Beyond the Scientific Way

Fahmi Amhar Official Blog

Archive for the ‘Islam’ Category

Menuju Islam tanpa Kata Sifat

Tuesday, July 11th, 2006

Tulisan ini dimuat pula pada situs www.hizbut-tahrir.or.id

Dr. Fahmi Amhar
Dosen Pascasarjana Univ. Paramadina

Secara bersamaan, dua tulisan tokoh liberal dimuat di Media Indonesia (20/6/2006), menanggapi tulisan Ismail Yusanto (14/6/2006) dan tulisan saya (15/6/2006). Saya berusaha berempati memahami alur pikir mereka.

Secara ringkas Luthfi Assyaukanie menegaskan bahwa demokrasi yang benar adalah demokrasi tanpa kata sifat, yakni demokrasi seperti yang diterapkan di negara-negara maju, menjadi ukuran lembaga-lembaga internasional dan PBB, yang lalu oleh pakar kontemporer disebut “demokrasi liberal”. Sedang model-model lain pada dasarnya justru ingin membunuh demokrasi. Bahkan Lutfi secara khusus menyebut kata sifat yang menempel pada demokrasi itu sebagai “ideologis” atau “demagogis”.

Saya bertanya-tanya, mengapa untuk demokrasi yang diterima adalah “demokrasi tanpa kata sifat”, namun untuk Islam, yang diterima adalah “Islam dengan kata sifat”. Rupanya bagi Lufhfi, Islam apa adanya – sebagaimana yang diwahyukan Allah dalam Qur’an dan dicontohkan pelaksanaannya oleh Nabi Muhammad – itu belum cukup. Dia memerlukan dalil suplemen dari Bernard Lewis yang juga tidak dipersoalkan apakah shahih apa tidak.

Saya juga keheranan, mengapa dia begitu “beriman” dengan demokrasi ala negara-negara maju, ala AS, Perancis, Israel dan PBB, padahal begitu jelas kemunafikan dari negara atau lembaga ini. Atau memang demokrasi itu harus begitu: munafik? Demokrasi AS adalah dari rakyat AS, oleh rakyat AS, untuk rakyat AS. Soal rakyat Afghanistan, Irak atau Palestina binasa, itu bukan topik yang perlu didiskusikan. Yang jelas aksi perang melawan terorisme George W. Bush sudah diamini oleh rakyat AS secara demokratis, buktinya terpilih kembali, dan diberi anggaran oleh Kongres AS. Mungkin benar bahwa demokrasi itu sendiri adalah ideologi.

Penolakan menempel kata sifat untuk demokrasi itu tentu saja juga akan berbenturan dengan “demokrasi Pancasila”, yang konon adalah arah atau ideologi dari NKRI. Jadi sekarang siapa ini yang jelas-jelas tidak ingin Pancasila menjadi arah bagi demokrasi kita? Apakah seseorang yang berideologi Pancasila lalu mustahil menjadi demokrat?

Di bagian lain Luthfi menegaskan bahwa Islam yang menolak demokrasi adalah islam yang sempit, yang tak mau berubah, yang selalu memposisikan dirinya bertentangan dengan Barat, dipenuhi prasangka-prasangka buruk tentang dunia modern, dan yang kelelahan karena selalu sibuk mencari-cari kesalahan orang lain. Sedang yang cocok dengan demokrasi liberal adalah Islam liberal.

Kenapa pertanyaan ini tidak ditujukan sebaliknya? Kalimat tadi bisa direformulasikan begini: “Demokrasi yang menolak Islam adalah demokasi yang sempit, yang tak mau berubah, yang selalu memposisikan dirinya bertentangan dengan Islam, dipenuhi prasangka-prasangka buruk tentang dunia Islam, dan yang kelelahan karena selalu sibuk mencari-cari kesalahan orang Islam”. Ini kenyataannya lebih jelas, dan faktanya saat ini ada negara adikuasa yang mensupport propaganda liberalisme di dunia Islam, perang melawan “teroris Islam”, termasuk membiayai LSM-LSM liberal, agar menjadi komprador mereka dalam mengeruk kekayaan negeri-negeri Islam.

Sedangkan Ahmad Fuad Fanani mengklaim bahwa setelah fatwa MUI 2005 tentang haramnya Sekulerisme, Pluralisme, Liberalisme (“Sipilis”), kelompok radikal semakin mendapat angin untuk memaksa orang mengikutinya. Masyarakat juga sudah resah dengan aksi-aksi ganyang maksiat FPI. Dia tulis juga, tuduhan bahwa Islam liberal menghina Al-Qur’an, Nabi dan Syariah itu mengada-ada. Syariah bukan sekedar perda syariat, dan pernyataan “Indonesia bukan negara agama dan bukan negara sekuler” adalah bukti penolakan penerapan syariat Islam.

Saya melihat Ahmad mencoba melepas konteks dari “aksi-aksi radikal”. Kalau sedikit jeli, aksi-aksi itu baru terjadi setelah penegak hukum tidak berbuat apa-apa melihat pelanggaran hukum, bahkan terkesan melindungi. Di NKRI ini masih ada KUHP yang melarang aliran sesat atau kemaksiatan seperti perjudian dan pelacuran. Anehnya, kalau anarkisme ini tidak terkait Islam – seperti kasus-kasus pilkada – kalangan liberal sibuk mencarikan apologi dengan mengajak melihat konteks.

Bahwa Islam Liberal menghina Qur’an, Nabi dan Syari’at itu fakta, rapi terdokumentasi dalam buku ataupun situs mereka. Saya tidak ingin menggeneralisir bahwa semua kalangan liberal setuju. Namun ucapan seperti “Selamatkan Indonesia dari Syariah” atau “Syariah itu sebaiknya dibakar saja, ganti dengan sekuler”, itu bukan mengada-ada, itu real diucapkan tokoh-tokoh liberal. Sayang kolom opini ini terbatas untuk memuat bukti-bukti itu.

Bahwa syariah bukan sekedar perda syariah, tentu saya setuju. Fakta juga dalam perda-perda itu, syariah hanya pada naskah akademis, bukan dalam konsiderans. Namun kalau dinyatakan bahwa “Indonesia bukan negara agama dan bukan negara sekuler” adalah bukti penolakan penerapan syariat Islam, itu ngawur. Dalam Sistem Hukum Nasional, sumber hukum Indonesia itu ada tiga: hukum Islam, hukum adat dan hukum Belanda. Dalam Dekrit 5 Juli 1959 yang memberlakukan kembali UUD1945 juga tegas disebutkan bahwa Piagam Jakarta itu menjiwai UUD1945. Konsep khilafah dari HTI juga setahu saya bukan negara agama (theokrasi). Khilafah itu negara manusia, pimpinannya dipilih oleh rakyat, bukan pendeta, cuma hukum-hukumnya digali dari Quran dan Sunnah. Contohnya ada. Negara yang dipimpin Nabi Muhammad itu bukan negara homogen, di dalamnya juga ada banyak non muslim. Malah justru kalimat itu tegas, kita bukan negara sekuler. Artinya, paham liberal yang sekuler itu harus ditolak.

Namun di bagian akhir Ahmad secara tak langsung mengakui bahwa HTI adalah kelompok yang peduli pada bangsa, meski banyak juga yang lain mengerjakan. Alhamdulillah.

Inkonsistensi

Sudah cukup lama saya merasa Islam Liberal penuh kontradiksi. Di satu sisi mereka menuduh kelompok radikal sebagai literalis, namun di sisi lain justru mereka yang literalis saat menyalahkan ide negara yang konon tidak ada dalilnya di Qur’an.
Di satu sisi mereka menolak RUU APP dengan alasan memasuki ranah privat (padahal yang ingin dilarang adalah ketelanjangan di tempat publik), tetapi di sisi lain mereka mendukung UU Anti Kekerasan Dalam Rumah Tangga – padahal ranahnya lebih privat.

Kesimpulan saya sementara, menjadi liberal itu sangat mudah. Kita tinggal konsisten pada satu hal saja, yaitu: inkonsistensi. Ibarat main bola, liberalisme adalah terjun ke piala dunia sambil terus menerus merubah aturan permainan, juga letak gawang dan besar lapangan.

Tak heran, jutaan orang yang hingga beberapa tahun yang lalu merasa tercerahkan dengan Islam liberal – mungkin termasuk saya – merasa mengalami “kelelahan spiritual” yang serius. Islam liberal tidak memuaskan secara intelektual maupun menenangkan secara emosional-spiritual. Maka tak heran juga, bila sekarang ini justru di kalangan kelas menengah ke atas, kajian-kajian Islam non liberal laku keras. Orang mencari lagi spiritualitas yang mendukung etos kerja, atau tasawuf yang membangkitkan. Bukan liberalisme yang berserah diri pada penjajah.

Mainstream Islam negeri ini adalah kembali kepada “Islam tanpa kata sifat”. Dari Kongres Umat Islam Indonesia 2005, Fatwa MUI, Munas NU dan Muktamar Muhammadiyah, semua mengikuti trend itu. Apakah dengan itu berarti ada radikalisasi Islam di Indonesia?

Jika hal ini akan membuat kita lebih cepat menuju terciptanya masyarakat yang adil, makmur, bermartabat dan benar-benar merdeka, apa salahnya?

Munculnya Diktator Liberal

Wednesday, June 21st, 2006

Tulisan ini dimuat di Media Indonesia, 15 Juni 2006.

Muncul keheranan ketika membaca tulisan Saiful Mujani “Kelompok Islam Anarkis” (Media Indonesia 12/06/2006). Tulisan itu jauh dari karya seorang peneliti yang mestinya teliti dan berimbang, tetapi lebih merupakan suatu bentuk propagative-provocation (provokasi yang terus disebarkan dan diulang-ulang) yang akhir-akhir ini gencar dilakukan teman-teman dari kalangan yang menamakan diri Islam Liberal. Meski salah, lama kelamaan hal itu akan membentuk memori kolektif, dan akhirnya dianggap seolah-olah benar. Seperti kata Hitler, “kebohongan seribu kali akan bisa menjadi kebenaran”.

Karena para penebarnya memiliki akses media, maka propaganda provokatif itu berlangsung massif. Namun kita cemas, alih-alih mencerahkan rakyat. Kelak mereka akan gigit jari, karena bisa terjadi sebaliknya, meminjam pepatah Arab: al-kadzdzab la yushaddiquhu wa lau kana shadiqan (para pembohong itu pada akhirnya omongannya tidak akan dianggap benar, sekalipun sesekali mereka benar).

Kita sadar, bahwa propaganda terkait dengan anarkisme kelompok Islam itu mempunyai tujuan akhir: pembubaran, pembekuan atau pelarangan ormas-ormas yang dicap melakukan anarkisme. Propaganda ini sedang menciptakan atmosfir yang kondusif bagi lahirnya kebijakan negara. Atmosfir yang kondusif itu akan digunakan sebagai justifikasi (pembenaran). Karena setiap kebijakan harus ada justifikasinya, baik logis maupun tidak. Nah, inilah yang terus-menerus digalang sampai tujuannya tercapai. Sayang kalau hal itu dibangun di atas kebohongan publik – apalagi oleh orang-orang yang mungkin pantas disebut intelektual.

Kasus Purwakarta, yang diidentikkan dengan insiden pengusiran Gus Dur, sengaja diperalat untuk mengadu-domba elemen-elemen Islam, meski pihak-pihak yang terlibat secara terbuka telah membantah adanya insiden itu. Sehari setelah kasus tersebut, Hizbut Tahrir Indonesia telah melakukan klarifikasi (25/05/2006), diikuti pernyataan bersama MUI, sejumlah ormas dan kepolisian (26/05/2006), bahkan pada akhirnya Gus Dur sendiri (27/05/2006), yang intinya menyatakan bahwa kasus pengusiran itu tidak ada. Tetapi, tetap saja isu pengusiran dan anarkisme tersebut terus dihembuskan. Mobilisasi massa pun dilakukan atas nama pembelaan terhadap Gus Dur, bahkan disertai dengan tuntutan, dari sekedar minta maaf sampai pembubaran.

Bahkan, kemudian Pancasila dan NKRI dinyaringkan lagi, setelah sekian lama seperti “hilang” dari wacana publik. Mereka tampil bak pahlawan kesiangan, atasnama Pancasila dan NKRI, menuduh lawan-lawannya sebagai anti Pancasila dan membahayakan NKRI. Dengan mengulang-ulang propaganda ini, mereka terus memprovokasi penguasa untuk memberangus kebebasan lawan mereka.

Munculnya Diktator Liberal

Propaganda provokatif dengan kebohongan itu, diakui atau tidak, adalah bentuk kekalahan intelektual para pejuang kebebasan. Mereka tidak bisa lagi beragumentasi secara logis dan sehat. Maka, bahasa ototlah yang mereka gunakan: pembubaran dan pembekuan, yang kesemuanya menggunakan tangan besi penguasa. Pelan-pelan mereka telah bermetamorfosis menjadi Diktator Liberal, Diktator yang mengatasnamakan kebebasan.

Aneh, dalam mengusung freedom of speech (kebebasan berbicara), di satu sisi mereka sampai berani menghina al-Qur’an, Nabi, kesucian agama, dan menolak syariat Islam, dengan tameng demokrasi dan kebebasan, tapi di sisi lain, ketika orang lain menyuarakan penerapan syariat Islam, dan bahkan membuat UU dan perda dengan mengambil sumber syariat Islam, langsung dituduh bertentangan dengan demokrasi, Pancasila, UUD 45, memecah belah NKRI, dan tuduhan yang terkesan asal-asalan lainnya.

Sejujurnya, mana pasal / ayat UU di negeri ini yang tegas menolak penerapan syariat Islam? Tidak ada. Mana pasal / ayat UUD 45 yang tegas menolak penerapan syariat Islam? Tidak ada. Mana sila-sila Pancasila yang tegas menolak penerapan syariat Islam? Tidak ada. Jadi kalau tidak ada, untuk apa ngotot seraya membohongi publik, dengan mengatakan bahwa penerapan syariat Islam jelas bertentangan dengan Pancasila, UUD 45, UU dan seterusnya. Apakah ini sikap yang intelektual?

Karena itu jangan tuduh orang lain yang menyuarakan aspirasinya untuk menerapkan syariat Islam dengan tuduhan melanggar hukum. Bukankah, UU dan perda-perda syariah itu lahir dari proses demokrasi? Ataukah demokrasi itu hanya untuk kepentingan kapitalis belaka, dan bukan untuk yang merindukan Islam? Kalau memang demikian, jangan klaim bahwa demokrasi itu kompatibel dengan Islam. Dan, jangan salahkan, kalau orang Islam meyakini, bahwa demokrasi itu hanya alat penjajahan, bertentangan dengan Islam dan justru untuk memberangus kemuliaan Islam.

Maka, kalau atas nama demokrasi kebebasan menyampaikan aspirasi, berekspresi dan berserikat dibenarkan UU, keliru kalau kemudian ketika HTI, MMI, FPI atau PKS menyampaikan aspirasi dan mewacanakan sistem alternatif, baik ekonomi, sosial, pemerintahan, pendidikan, politik dalam dan luar negeri yang berbasis syariah, sebagai wacana publik, kemudian disebut melanggar konstitusi. Konstitusi yang mana? <>Kalau logika itu dipakai, maka tak perlu lagi ada jurusan syariah, madrasah dan pesantren yang mengajarkan syariah, karena wacana syariah, sebagai wacana alternatif, dianggap melanggar konstitusi. Bedanya, HTI, MMI, FPI dan PKS mewacanakan syariah secara terbuka di ruang publik, melalui khutbah, buletin, majalah, koran, radio, televisi, dan internet sementara jurusan syariah, madrasah dan pesantren mewacanakannya di ruang-ruang kelas, dan sifatnya terbatas. Itu saja.  Ataukah propaganda ini memang untuk membendung Islamisasi, yang sering kali disebut Talibanisasi, Arabisasi, dan sebagainya itu?

Tuduhan bahwa HTI dengan konsep Khilafahnya akan menghancurkan NKRI itu juga terlalu mengada-ada. Kalau mau jujur, siapa yang mengingatkan rakyat negeri ini ketika Timor Timur akan merdeka? Siapa yang mengingatkan potensi lepasnya Aceh dan Papua saat ditandatanganinya Perjanjian Helsinki? Siapa yang mengingatkan bahaya masuknya militer asing, dengan kedok bantuan kemanusiaan di Aceh, dan menyerahkan urusan Aceh kepada pihak asing, melalui AMM? Siapa yang memprotes lepasnya Blok Cepu ke tangan Exxon-Mobil, memprotes UU Sumber Daya Air, yang menyebabkan rakyat negeri ini tidak lagi memiliki “tanah-air”? Kita harus akui, bahwa saat itu, HTI membuktikan diri kesetiaannya pada negeri ini dengan menyebar puluhan ribu booklet tentang hal itu serta menggalang aksi damai di Jakarta dan beberapa kota, tanpa mereka sok Pancasilais, demokrat, dan seterusnya.

Sayang, mereka yang mengklaim sebagai pejuang demokrasi, HAM, Liberal, Pancasilais, konstitusional, justru berdiam diri dengan penjualan aset negara kepada asing, membiarkan martabatnya diinjak-injak dengan menerima donasi dari negara-negara penjajah, dan tidak menunjukkan dukacita sedikitpun, saat ekonomi kita hancur, budaya kita tergadai dan peradaban kita tenggelam dari kancah dunia.

Mitos, Sains dan Iman di tengah Bencana

Sunday, June 11th, 2006

Tulisan ini dipublikasikan di harian KR, Yogya, 12 Juni 2006

Dr.-Ing. Fahmi Amhar
Peneliti Utama Bakosurtanal

Meletusnya Merapi sering dikaitkan dengan suatu mitos. Kiai Dandang Wesi – danyange gunung Merapi – ini nama menurut almarhum SH Mintardja – barangkali sedang hajatan. Dan menurut Mbah Maridjan, orang hajatan tidak akan buang sampah di pekarangan rumah. Makanya dia tenang-tenang saja tinggal di dusunnya. Dia bahkan tidak tertarik untuk diajak Walikota Berlin ke Jerman ikut “ngeruwat” Piala Dunia.

Demikian juga, gempa besar yang meluluhlantakkan Yogya dan Klaten tempo hari, konon karena Nyi Loro Kidul – ratu laut selatan – marah karena RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi mau disahkan. Karena nanti kembenannya yang seksi bisa jadi delik. Ini minimal menurut Permadi, anggota DPR dari PDIP yang tetap berprofesi atau berhobby sebagai paranormal. Versi lainnya mengatakan bahwa Nyi Loro Kidul yang sekarang sudah teremansipasi, jadi tidak mau lagi dimadu oleh Kanjeng Sultan Yogya. Wah-wah, yang namanya mitos bisa liar begini.

Tapi yang lebih liar lagi, beberapa hari yang lalu ada sms dan email yang beredar di seluruh jagad. Bahwa lempeng Indo-Australia sedang bergerak menuju lempeng Eurasia, dan dalam 11 hari setelah 27/5/2006, atau tanggal 6/6 kemarin, akan menumbuknya dan melecut gempa yang lebih besar lagi. Akibatnya beberapa kalangan ragu-ragu untuk beres-beres rumah. Sampai-sampai ada anggota tim yang ditugaskan mendata rumah yang akan dibantu lalu menunda pendataan, sekalian saja kalau gempa besar itu sudah terjadi, pikirnya.

Apa yang terjadi ini semua adalah mitos. Kadang-kadang mitos dibumbui dengan sains. Tentu saja dari orang yang tidak begitu mengerti sains. Karena yang namanya gerak lempeng itu tidak mudah diukur dalam ukuran hari. Kalau lempeng bergerak 10 cm per tahun, artinya per hari kurang dari 0,3 milimeter. Ini suatu dimensi yang bisa diukur untuk benda mikroskopis, tetapi tidak bisa diukur dengan ketelitian yang dibutuhkan untuk ukuran lempeng benua. Lagipula, gempa besar itu bukanlah saat “tumbukan” itu sendiri, tetapi ketika material yang ada di perut bumi sudah tidak sanggup menahan energi desakan lempeng.

Kembali ke masalah mitos. Mbah Maridjan mungkin sedang melakukan doa dan ritual tertentu sesuai keyakinannya. Waktu dulu Yogya terancam badai, ada sesaji dengan 12 atau 17 macam jenang. Ritual semacam ini tentu saja tidak ilmiah, tetapi faktanya sudah dilakukan orang berabad-abad. Pada situasi di mana sains juga tidak banyak menolong, orang biasa lari ke mitos dan klenik. Tidak cuma di Yogya. Di Jepang dan Amerika yang sudah majupun, mitos tetap ada. Hal ini terkait dengan kebutuhan spiritual yang merupakan bagian dari fitrah manusia.

Tetapi ada cerita menarik yang terjadi hampir 14 abad yang lalu. Kalau Yogya terancam gunung Merapi, maka negeri Mesir terancam banjir Sungai Nil atau di musim yang lain kekeringan. Maka Mbah Maridjan-nya negeri Mesir biasa melakukan ruwatan. Dan tak tanggung-tanggung, sesajennya – menurut mitos mereka – harus seorang perawan rupawan, yang setelah dihias akan dilarung hidup-hidup ke sungai Nil.

Ketika Islam masuk ke Mesir, dan ingin melarang orang Mesir meneruskan tradisi itu, mereka menghadapi penolakan. “Kalau tidak diruwat, kalau terjadi bencana gimana …”. Maka Khalifah Umar bin Khaththab lalu menulis sebuah surat.
Bunyi surat itu kira-kira begini, “Wahai Sungai Nil, kalau engkau mengalir karena dirimu sendiri, maka janganlah mengalir. Namun jika yang mengalirkan airmu adalah Allah, maka mintalah kepada-Nya untuk mengalirkanmu kembali”. Umar menyuruh orang Mesir untuk melarung surat itu, sebagai ganti dari perawan rupawan.
Allah Maha Mendengar. Tahun itu sungai Nil tidak membuat bencana. Dan mitos Mesir kuno pelan-pelan tergantikan dengan iman. Dan di zaman keemasan Islam, sains kemudian tumbuh pesat di sana dengan landasan iman.

Oleh sebab itu, mungkin rakyat Yogya – terutama yang muslim – pelu menggantikan segala jenis ruwatan ke Merapi, cukup dengan surat seperti surat Umar bin Khaththab tadi. “Wahai gunung Merapi, kalau engkau meletus karena kehendak Allah, taatlah kepada-Nya …. “.

Karena, bencana yang ditimbulkan Merapi atau Laut Selatan, yang tidak bisa kita cegah, boleh jadi memang kehendak Allah untuk menguji kita. Namanya anak sekolah, kalau mau naik kelas ya harus lulus ujian dulu. Begitu kan?

Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: “Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi? (Qs. 29-al-Ankabut : 2)