Beyond the Scientific Way

Fahmi Amhar Official Blog

Archive for the ‘Islam’ Category

BULAN PERUBAHAN – Ramadhan Hari-20: UBAH FORMASI

Monday, July 29th, 2013

fahmi-amhar-ubah-formasiSesungguhnya tidak ada orang maupun kaum, yang mengalami perubahan nasib tanpa mereka mengubah dulu formasi barisan mereka.

Di dunia ini lebih banyak pekerjaan yang membutuhkan kebersamaan dari pekerjaan yang dapat dilakukan sendiri-sendiri.  Lebih banyak fardhu kifayah dari fardhu ain.  Sebagai contoh: kewajiban sholat lima waktu adalah fardhu ain, tetapi ada sedikitnya tujuh hal terkait sholat yang merupakan fardhu kifayah, yaitu:

– membuatkan jadwal sholat sehingga orang dimudahkan mengetahui kapan harus sholat.

– mengumandangkan adzan agar orang tahu waktu sholat telah tiba.

– menyediakan air untuk wudhu.

– menyediakan tempat yang suci untuk sholat.

– menyediakan pakaian yang suci dan menutup aurat.

– mencarikan arah kiblat.

– mencarikan imam yang bacaannya baik.

Kalau jama’ah sholatnya semakin banyak dan perlu ruang yang khusus (masjid), maka juga fardhu kifayah untuk:

– menyediakan bahan material bangunan masjid.

– mencarikan tukang atau insinyur akan yang membangun.

– mendirikan sekolah tukang atau sekolah insinyur yang akan kompeten membangun masjid.

– mencarikan dana pembangunan masjid.

– dst.

Di dalam sholat jama’ah, formasi sangat menentukan.  Oleh karena itu, imam dianjurkan untuk memerintahkan jama’ah agar meluruskan dan merapikan shaf.  Orang yang berdiri di belakang imam diharuskan orang yang cukup kapasitasnya untuk sewaktu-waktu mengingatkan imam kalau salah dalam bacaan atau rukun sholat.  Orang tersebut bahkan harus siap untuk menggantikan imam bila sewaktu-waktu dibutuhkan. (more…)

BULAN PERUBAHAN – Ramadhan Hari-19: UBAH KONTRIBUSI

Monday, July 29th, 2013

fahmi-amhar-ubah-kontribusiSesungguhnya tidak ada orang maupun kaum, yang mengalami perubahan nasib tanpa mereka mengubah dulu jenis dan tingkat kualitas kontribusi mereka.

Sikap hidup seseorang terhadap hidupnya, itu ada beberapa tingkatan.

Tingkatan paling rendah adalah apatis.  Dia tidak berbuat apa-apa. Dia pasrah saja kemana “air mengalir”.  Padahal air selalu mengalir ke tempat yang lebih rendah.  Kadang air juga tidak mengalir ke lautan, tetapi berhenti di septic-tank.  Orang semacam ini, ada yang karena pemahaman taqdir yang keliru.  Dia percaya, bahwa Allah sudah menjamin rizkinya, rizkinya tidak akan nyasar, tidak akan bisa diambil orang lain.  Tetapi satu hal yang dia lupa, bahwa rizkinya tidak akan datang sendiri ke dirinya.  Dirinyalah yang harus berusaha menjemput rizkinya itu di suatu tempat yang telah ditentukan Allah, dengan sebuah usaha yang juga telah disyariatkan Allah.

Tingkatan berikutnya adalah positif.  Dia berbuat sesuatu.  Dia tidak membiarkan dirinya rusak, membusuk sendiri oleh keadaan. Namun, perbuatannya masih menunggu stimulasi.  Dia kadang masih bersikap reaktif.  Kalau tidak ada sebuah aksi dari luar, dari dirinya tidak muncul sebuah reaksi.  Kalau dia seorang mahasiswa, dia baru belajar kalau dosennya memberi tugas, atau mengumumkan bahwa besok akan ujian.  Masih positif sih, bahwa dia lalu belajar.  Tetapi, belajar itu belum muncul dari dirinya sendiri karena kecintaannya pada ilmu.

Tingkatan yang lebih tinggi lagi adalah produktif.  Dia menghasilkan sesuatu.  Dia berpartisipasi pada meningkatnya harkat hidup diri dan lingkungannya.  Bahkan dia sedikit banyak memberikan andil pada Produk Domestik Bruto dalam arti yang seluas-luasnya. Dia tidak hanya belajar agar dirinya lulus ujian, tetapi juga menghasilkan sebuah karya tulis yang dapat dimanfaatkan oleh orang lain.  Keberadaannya sebagai seorang lulusan sarjana masuk dalam statistik nasional yang menghitung angka output perguruan tinggi. (more…)

Ketahanan Energi

Saturday, July 27th, 2013

Oleh: Prof. Dr.-Ing. Fahmi Amhar
Peneliti Badan Informasi Geospasial

fahmi-amhar-ketahanan-energiAntrian BBM di SPBU kini telah menjadi pemandangan sehari-hari di banyak wilayah tanah air.  Kalau antrian ini hanya terjadi secara insidental dan lokal, mungkin ini hanya masalah teknis belaka.  Tetapi karena ini gejala nasional dan berlarut-larut, maka ini pasti sistemis.   Sistemis ini ada yang sifatnya kebijakan makro-ekonomis dan ada yang teknis.  Yang makro-ekonomis adalah realita bahwa selama ini, meski produksi energi nasional masih lebih dari cukup, tetapi gas alam dan batubara mayoritas justru diekspor dengan harga jauh di bawah pasar internasional.

Asumsi APBN kita memang baru menghitung produksi minyak (lifting), dan belum produksi energi secara keseluruhan.  Sedang secara teknis, baik minyak, gas dan batubara suatu hari memang akan habis, karena merupakan energi yang tidak terbarukan. Apalagi pertambahan penduduk dan pertumbuhan ekonomi juga menaikkan kebutuhan energi.  Negara kaya minyak seperti Iran pun paham, bahwa suatu saat minyak mereka akan habis.  Karena itu mereka mengembangkan nuklir.

Nuklir memang efisien, dan tidak menimbulkan gas rumah kaca (CO2) yang berdampak pemanasan global.  Problema nuklir adalah skalanya yang besar, perlu teknologi tinggi dan peran negara yang kuat, yang sanggup menahan tekanan asing yang ketakutan nuklir itu akan digunakan untuk senjata.  Selain itu limbahnya juga masih bermasalah, di samping risiko kecelakaan yang dapat fatal, seperti kasus Chernobyl 1986.  Untuk Indonesia yang masyarakatnya terkenal ceroboh dan birokratnya tidak transparan, wajar jika ”bermain-main” dengan PLTN agak mengkhawatirkan.

Sebenarnya bahan bakar nuklir (Uranium) juga terbatas.  Cadangan di dalam negeri amat kecil, sehingga kalau kita punya PLTN, bahan bakarnya harus impor.  Ketergantungan pada asing tentu saja tidak kita inginkan.

Maka yang layak dikembangkan di negeri ini adalah energi terbarukan.  Berbeda dengan energi baru yang bermakna non konvensional (seperti nuklir), energi terbarukan adalah energi yang di alam praktis tidak akan habis atau selalu diperbarui.  Sumber asal energi ini ada tiga: (1) matahari / surya, (2) magma / panas bumi, (3) efek pasang surut.

Indonesia adalah negeri dengan sekitar 130 gunung api, yang berarti ada sekitar 130 lokasi berpotensi panas bumi.  Panas bumi yang tidak bisa diekspor ini andaikata digunakan untuk pembangkit listrik akan menghasilkan daya di kisaran 30 GW, atau setara dengan seluruh pembangkit PLN saat ini. (more…)