Dr. Fahmi Amhar
Peneliti Utama Bakosurtanal
Suara Islam no 16 minggu I-II Maret 2007
Benarkah flu burung sudah menjadi bencana besar di Indonesia? Apakah ini bukan cuma konspirasi untuk membesarkan sesuatu yang remeh guna mengalihkan perhatian masyarakat pada hal-hal yang lebih serius? Persoalannya, Indonesia sudah dibelit begitu banyak masalah serius: banjir, lumpur panas, utang, korupsi, demam berdarah, pornografi, kecelakaan kapal dan pesawat, dsb.
Namun fakta, tahun 2005, Indonesia meraih posisi kedua setelah Vietnam. Ketika tahun 2006 Vietnam dinyatakan nol flu burung, Indonesia langsung meraih juara satu!
Kasus flu burung yang terjadi di Indonesia saat ini berstatus stadium tiga. Virus yang dikenal saat ini masih menular dari unggas ke manusia, belum manusia ke manusia. Namun, tidak mustahil kasus itu meningkat menjadi pandemi, saat virus tersebut menular dari manusia ke manusia. Kalau sudah begitu, maka penyakit ini akan berdampak sosial ekonomi yang amat serius.
Pada tahun 1918 pernah terjadi pandemi flu yang menyebabkan sepertiga penduduk dunia (saat itu sekitar 500 juta orang) sakit dan 50 juta di antaranya meninggal. Badan Kesehatan Dunia (WHO) sudah berhitung jika kini flu burung menjadi pandemi, namun masalah yang menyibukkan kita di Indonesia memang masih terlalu banyak.
Penyebab flu burung adalah virus influenza tipe A yang menyebar antarunggas. Virus ini kemudian diketahui mampu menyebar ke spesies lain seperti babi, kucing, anjing, dan manusia. Virus tipe A memiliki subtipe yang dicirikan dari adanya Hemaglutinin (H) dan Neuramidase (N). Ada sembilan varian H dan 14 varian N. Virus flu burung yang sedang berjangkit saat ini adalah subtipe H5N1 yang memiliki masa inkubasi tiga sampai lima hari. Ciri-ciri orang terkena flu burung adalah demam tinggi dan sesak nafas, serta diketahui dia sempat berada di wilayah yang diketahui ada unggas mati mendadak.
Untuk antisipasi flu burung, ada sejumlah perusahaan multinasional yang terkait unggas, yang menyiapkan monitor suhu (dengan kamera inframerah) di kantor. Jika ada karyawan yang suhunya tinggi maka akan langsung dilarikan ke rumah sakit sebagai ”suspect avian flu”.
Pencegahan utama memang penerapan biosecurity, di tempat yang berhubungan dengan unggas. Semua pekerja harus menggunakan sarung tangan, masker, dan sepatu boot. Sedangkan di luar yang berhubungan unggas adalah dengan pola hidup sehat dan higienis. Namun di Indonesia hal ini tidak mudah, karena unggas sering dipelihara dalam jumlah kecil sebagai hobby atau pekerjaan sambilan di tengah-tengah pemukiman.
Idealnya memang Dinas Kesehatan atau Dinas Peternakan memiliki suatu sistem informasi geografis yang menunjukkan lokasi-lokasi unggas. Dengan demikian, setiap kematian unggas mendadak yang mengindikasiikan flu burung dapat segera dilokalisir. Pemerintah setempat dapat segera memotong jalur-jalur kontak secara terarah, atau bahkan mengkarantina penduduk setempat, namun tak perlu sampai membuat generalisasi seperti larangan memelihara atau bahkan pemusnahan massal untuk suatu daerah administrasi yang cukup besar seperti Kabupaten atau Provinsi.
Vaksinasi
Sejauh ini flu burung belum ada obatnya, namun sudah ditemukan vaksinnya. Vaksin ini dikembangkan di Amerika Serikat dan Inggris dari virus yang diisolasi pada manusia di Hongkong tahun 2003. Pada Agustus 2006, WHO telah mengeluarkan prototype strains H5N1 untuk diproduksi. Perusahaan Aventis Pasteur (sekarang Sanofi Pasteur) di Pennsylvania dan Chiron Corporation di California (keduanya di AS) mendapatkan kontraknya. Upaya baru yang sedang berjalan adalah menciptakan vaksin universal melawan influenza yang tidak perlu tiap tahun direkaulang untuk menghadapi mutan virus yang baru. Perusahaan Inggris Acambis menyatakan telah sukses mencoba vaksin itu pada binatang, namun uji coba pada manusia masih memerlukan waktu.
Di lapangan, upaya vaksinasi tidak selalu berjalan mulus. Ada sinyalemen bernuansa politis bahwa virus flu burung itu sengaja disebar oleh negara kafir penjajah untuk membuat ketergantungan pada vaksin buatan mereka yang dipatenkan. Sinyalemen ini mirip seperti isu bahwa tsunami Sumatra 2004 dipicu oleh bom nuklir AS.
Dan secara umum, vaksinasi manusia yang diprogram secara massal seperti vaksinasi polio (misal melalui Pekan Imunisasi Nasional – PIN) pernah dicurigasi diisi dengan zat yang melemahkan kaum muslimin. Karena itu ada kalangan yang menolak imunisasi yang disponsori WHO ini karena kekhawatiran yang berlatarbelakang politis.
Kekhawatiran ini mirip yang terjadi pada gerakan anti-vaccinationist di Eropa abad-19 yang menolak vaksinasi dengan alasan keagamaan. Namun secara objektif-medis, kekhawatiran ini tidak beralasan. Meskipun Amerika Serikat melakukan politik penjajahan yang keji di negeri-negeri muslim, namun vaksin yang diberikan dalam program PIN itu juga vaksin yang dipakai di AS atau negara-negara maju lainnya. Semua ilmuwan (terutama ahli biokimia atau farmasi) dapat menguji apakah di dalam vaksin tersebut ada zat-zat berbahaya atau tidak. Bahwa di sejumlah negara program vaksinasi tidak lagi dilakukan secara massal, itu karena kasus penyakit tersebut di sana sudah sangat jarang akibat membaiknya mutu gizi, sanitasi dan lingkungan. Namun di sejumlah negara bagian di AS, vaksinasi lengkap masih merupakan syarat seorang anak masuk Sekolah Dasar. Dan di militer, semua prajurit wajib diimunisasi sebelum dikirim ke medan perang.
Karena itu, asal menolak vaksinasi – termasuk untuk menangkal flu burung – dengan alasan politis-ideologis semata, dan tidak didasarkan pada kebenaran objektif, justru bukan tindakan syar’i yang tepat, tetapi adalah tindakan gegabah yang tidak bertanggungjawab.
Dalam Daulah Islam, negara harus menjadikan masalah kesehatan sebagai salah satu fokus maqashidus syari’ah, yaitu perlindungan jiwa. Negara harus mengembangkan sistem kesehatan yang komprehensif. Dalam sistem ini, upaya preventif (pencegahan) jauh lebih utama dan juga lebih murah dari upaya kuratif (pengobatan). Vaksinasi atau imunisasi adalah salah satu upaya preventif. Dalam hal apapun. Bahkan juga dalam hal aqidah / ideologi.
Oleh: Dr. Fahmi Amhar (Dosen Pascasarjana Universitas Paramadina)
Berapa banyak ulama yang kita miliki? Ini pertanyaan sederhana, namun sulit dijawab; meski kita hanya mencari tahu secara kuantitatif, belum secara kualitatif. Kalau pertanyaannya dimodifikasi menjadi: Berapa alumni pondok pesantren di Indonesia? Jawabannya lebih mudah. Hitung saja pesantren yang terdaftar di Departemen Agama. Tentu kapasitas pesantren tidak merata. Yang bisa dihitung adalah yang sudah menerapkan administrasi modern. Padahal banyak pesantren kita yang tradisional, tidak mengenal pendaftaran maupun ujian dengan standar tertentu. Jika diasumsikan hanya ada 2000 pesantren se-Indonesia (5 buah per Kabupaten), dan rata-rata 100 lulusan pertahun, dapatkah diharapkan lahir 200.000 “ustadz”? Berapa dari mereka yang menjadi ulama?
Sulit dijawab. Berbeda dengan sarjana, doktor atau profesor yang definisinya jelas. Ulama—yang sejatinya adalah “scholar”—jauh lebih sulit. Tidak setiap ustadz atau dai pantas disebut ulama. Bahkan yang di MUI pun tidak semua merasa nyaman disebut ulama.
Ulama dalam “Jebakan”
Kini ulama adalah mahluk langka. Jarang anak kecil yang bercita-cita mau menjadi ulama. Orangtua pun kalau mengirim anaknya ke pesantren hanya agar anaknya menjadi salih, bukan menjadi ulama.
Di sisi lain, kalau kita memperkenalkan tokoh Indonesia ke orang Timur Tengah bahwa dia seorang ulama, orang Timur Tengah akan balik bertanya: Ulama di bidang apa? Apakah dalam ulumul Quran? Hadis? Fikih? Tarikh? Kalau kita tidak menjelaskan, mereka akan ragu, “Ulama apa itu? Ahli al-Quran bukan; ahli hadis bukan; ahli fikih bukan; ahli tarikh bukan. Jadi, ahli apa?”
Walhasil, kita tahu bahwa ulama saat ini sangat langka. Dari yang langka ini, lebih banyak ulama yang lemah daripada yang kuat. Yang lemah ini tidak menjadi inspirasi bagi umat, tidak memimpin umat keluar dari keterpurukannya, bahkan mereka tidak jarang justru menjadi bagian dari sistem yang menindas umat.
Apa sesungguhnya faktor-faktor yang membuat ulama yang langka ini semakin lemah? Secara umum ada tiga ”jebakan” bagi ulama. Pertama: jebakan pemikiran yang terjadi pada dirinya sendiri. Kedua: jebakan kultural yang “disiapkan” masyarakat. Ketiga: jebakan sistem yang direkayasa oleh para penguasa.
Agar dapat keluar dari jebakan ini, para ulama wajib memiliki kesadaran ideologis, di mana posisinya saat ini, agar dia tidak terjebak di salah satu atau ketiganya.
1. Jebakan Pemikiran.
Jebakan pemikiran adalah jebakan yang paling lembut sehingga yang terjebak tidak merasa dirinya terjebak. Jebakan pemikiran ini ada tiga macam. Pertama: sekularisasi. Sekularisasi adalah pemisahan agama dari kehidupan publik, yakni kehidupan tempat interaksi tak terbatas seluruh warga, baik Muslim maupun bukan, dalam segala aspek kehidupan: politik, ekonomi, sosial, budaya, pendidikan, pertahanan dll.
Pahit untuk mengakui, bahwa sebagian besar ulama kita sudah tersekularisasi di segala sisi. Mereka canggung berbicara masalah publik dari sisi Islam. Mereka membatasi diri untuk berbicara hanya saat ada persoalan moral seperti pornografi, miras, perjudian, pelacuran. Kalaupun mereka berbicara tentang terorisme, itu karena terorisme dikaitkan dengan ustad dan pesantren. Mereka juga hanya peka terhadap gerakan sesat (Ahmadiyah, shalat dwibahasa, dsb). Sebaliknya, mereka canggung untuk duduk bersama membahas pengaturan sumberdaya alam menurut Islam atau mengatasi krisis pangan menurut Islam; seakan-akan dalam masalah-masalah ini, Islam tidak mempunyai solusi.
Kalau berbicara tentang pendidikan Islam, yang terlintas hanya mata pelajaran agama di sekolah, atau pendidikan oleh yayasan Islam (termasuk pesantren). Jarang yang berpikir bahwa pendidikan Islam itu menyangkut segala segi, dari muatan kurikulumnya yang harus mengacu pada akidah Islam di segala pelajaran (termasuk bahasa, matematika, IPA, IPS) hingga bagaimana pendidikan itu bisa dibiayai sehingga semua warga bisa mendapatkan akses pendidikan bermutu yang terjangkau.
Kedua: dakwah ishlâhiyah dan khayriyah. Sejak sekularisasi menjadi arus utama, Islam dipelajari hanya sebatas ajaran perbaikan individu atau keluarga. Dakwah akhirnya hanya terfokus pada perubahan individual yang bersifat kebajikan (khayriyah). Topik yang dominan adalah fikih praktis (ibadah, tatacara makan/berpakaian, nikah, muamalah sehari-hari dan akhlak). Dakwah sudah dianggap sukses jika berhasil menjadikan seseorang rajin shalat atau perempuan mau berbusana Muslimah. Terkait dengan aktivitas masyarakat, dakwah ditekankan pada kepedulian sosial seperti sedekah, menyantuni anak yatim hingga mendirikan sekolah dan rumah sakit. Bagaimana memberikan solusi tuntas dan mendasar terhadap segala masalah umat (ekonomi, pendidikan, sosial, hukum, perundang-undangan, dll), hal itu jarang dijadikan target.
Ketiga: pemikiran “asketis”. Derap kehidupan hedonis, apalagi yang dibawa Kapitalisme, membuat sebagian ulama bereaksi dengan hidup bak pertapa sufi (asketis). Dakwah mereka fokus pada aspek ruhiah (spiritual) dan mengajak masyarakat menjauhi dunia. Walhasil, pada saat mendengar nasihat mereka, orang bisa mengucurkan air mata. Namun, begitu keluar majelis, aktivitas dunianya tidak mengacu syariah, karena syariah itu sendiri tidak pernah dibahas. Orang diasumsikan otomatis jadi baik ketika pikirannya mengingat Allah. Padahal faktanya, amal seseorang bergantung pada pemahaman syar‘i yang dimilikinya. Ada pemilik bank yang tiap hari bergelimang riba, namun dia tidak merasa berdosa, karena sudah rajin tahajud dan puasa sunnah.
2. Jebakan Kultural.
Jebakan kultural atau budaya terjadi di—dan dilakukan oleh—masyarakat. Masyarakat menggunakan pengalamannya dalam berinteraksi dengan agama lain saat memahami Islam. Jebakan kultural ini dapat memaksa seorang ulama yang semula kuat karena ikhlas menjadi lemah karena bias. Ada tiga jebakan kultural:
Pertama: mitos ulama. Pada semua ajaran lain, keyakinan berasal dari mitos atau aksioma yang tidak rasional. Ketika beralih ke Islam, penganut mitos pun memandang akidah Islam sebagai mitos. Rasul saw. berubah dari sosok manusia teladan menjadi sosok keramat yang supranatural. Bahkan ulama tiba-tiba dianggap “orang suci” yang mustahil salah, seperti penganut Katolik memandang Paus. Belakangan muncul orang-orang yang memanfaatkan hal ini demi keuntungan pribadi. Mereka melegitimasi diri di depan orang-orang awam dengan ayat al-Quran atau hadis yang diselewengkan. Lalu muncullah bid‘ah di mana-mana.
Di sisi lain, ulama dimitoskan dengan segala idealitas dalam pandangan awam, bukan pandangan syariah. Saat ulama itu melakukan hal yang dibenci awam (misalnya poligami), gelar “orang suci” tiba-tiba lenyap. Mereka tidak bisa menerima kenyataan, bahwa “ulama juga manusia”.
Kedua: mitos bahasa. Sebagai bahasa al-Quran, bahasa Arab adalah bahasa ilmu pengetahuan Islam. Namun, di masyarakat non-Arab, kini bahasa ini sudah menjadi “hak istimewa” selapis kecil ulama. Sekadar tulisan Arab saja kadang dianggap keramat dan mampu mengusir setan. Orang yang pintar membaca al-Quran langsung dipanggil ustadz. Yang fasih berbahasa Arab (baca kitab kuning) dijuluki ulama, tanpa melihat lagi pemahaman Islamnya.
Ketiga: mitos ijtihad. Pada zaman sekarang, ijtihad dimitoskan sama dengan berpendapat. Setiap orang akhirnya boleh berijtihad, sekalipun tanpa bekal memadai. Tidak aneh, muncullah fatwa-fatwa nyleneh. Namun, ini ditoleransi dengan dalil, bahwa ijtihad itu, kalau benar mendapat dua pahala, dan kalau salah mendapat satu pahala. Padahal yang terjadi kadang-kadang hanyalah adopsi terhadap paham sekular yang dilabeli Islam, yang jauh sekali dari kategori ijtihad.
3. Jebakan Sistem.
Para penguasa korup pada zaman manapun melihat para ulama sebagai orang-orang yang berpotensi menghalangi mereka. Karena itu, penguasa fâsid ini akan berupaya melemahkan para ulama, baik secara “legal” maupun “ilegal”. Yang legal ada tiga macam:
Pertama: depolitisasi. Ulama dimarjinalkan dari kancah politik dengan sekularisme. Ulama yang menolak sekularisme akan mundur dari arena; yang ada dalam sistem, mau tak mau, akan sama sekularnya. Contoh, pada masa lalu, ada UU yang mewajibkan asas tunggal bagi ormas dan parpol. Akibatnya, para ulama praktis kehilangan ‘rumah’, kecuali yang mau pindah ke ormas atau parpol pendukung penguasa. Meski berdalih akan “mengislamkan dari dalam”, yang terjadi justru sebaliknya.
Kedua: pragmatisme. Ulama dipojokkan untuk sekadar bertahan hidup dalam sistem. Sistem sekular menjamin pelaksanaan syariah di ranah pribadi. Pembangunan masjid dibantu. Dakwah khayriyah dipromosikan. Zakat dan haji dilayani pemerintah. Ulama yang terpojok akhirnya mengambil sikap, “Inilah yang masih bisa kita kerjakan.” Mereka akhirnya diam terhadap urusan publik yang masih diatur sistem kufur. Padahal kezaliman pada urusan ini (misalnya mahalnya BBM) melanda semua orang; Muslim atau bukan; apakah mereka tahu masalahnya atau tidak. Dakwah pun kemudian tak lagi untuk meluruskan penguasa yang bengkok, yang oleh Nabi saw. disebut sebagai afdhal al-jihâd (jihad paling utama), namun ”yang penting aman”.
Ketiga: Godaan 3-TA. Yang paling vulgar adalah pelemahan ulama dengan harta, tahta dan wanita. Ulama yang kesulitan finansial dibantu, pondoknya dibangun, santrinya diberi beasiswa, dan dakwahnya makin bernilai bisnis. Ada juga ulama yang dilamar jabatan, dari legislatif lokal hingga calon wapres. Yang terheboh tentu saja yang ditawari wanita. Namun, semua ada kompensasinya. Yang jelas kepekaan, sikap dan pengaruh politik yang bersangkutan bisa tergadai, atau setidaknya dia akan sibuk dengan 3-TA itu. Akibatnya, kinerja keulamaannya turun, atau bahkan dilupakan. Telah banyak pesantren yang hancur karena ditinggal pemimpinnya yang menjadi “selebritis” atau politisi di Senayan.
Adapun jebakan yang ilegal amat bergantung pada sikap penguasa. Kalau dia santun, ini tidak dilakukan. Dia mencukupkan diri dengan yang legal. Namun, penguasa zalim akan menempuh segala cara.
Pertama: pecah-belah. Adu domba ini tidak jarang dengan penyusupan intelijen. Fitnah dimunculkan: yang satu mencurigai yang lain; menuduh pihak lain sesat, ahli bid‘ah, dll. Akibatnya, ukhuwah islamiyah terputus.
Kedua: stigma negatif. Penguasa memberikan citra negatif seperti radikal, ekstremis dan teroris kepada ulama sehingga yang bersangkutan dijauhi masyarakat. Stigma ini umumnya ditujukan kepada ulama-ulama yang sederhana. Kadang-kadang jamaahnya dipancing untuk melakukan kekerasan, kemudian dimanfaatkan untuk mempertegas stigma yang diberikan.
Ketiga: siksaan dan penjara. Ini adalah cara terakhir untuk membungkam ulama. Namun, tren di negeri-negeri Muslim sekarang, ulama yang pernah disiksa atau dipenjara justru makin karismatik. Ini tidak disukai penguasa. Karena itu, direkayasalah seakan-akan sang ulama melakukan kriminalitas seperti menyimpan narkoba, melakukan kejahatan seksual atau pemalsuan dokumen; sebagaimana yang pernah divoniskan kepada Ustad Abu Bakar Baasyir.
Khatimah
Menyatakan seseorang atau sekelompok ulama telah terkena jebakan-jebakan di atas bisa menyulut emosi orang-orang yang merasa selama ini ikhlas berjuang dan berkonstribusi bagi umat. Mereka merasakan pahit-getirnya perjalanan dakwah. Sebagian bahkan telah menghabiskan usianya di penjara.
Semua itu tidak kita nafikan. Dengan menunjukkan jebakan-jebakan itu, kita tidak sedang menghakimi para ulama pada masa lalu, namun agar pada masa depan tidak ada dari kita yang kena sindiran Rasulullah saw.: Seorang Miuslim tidak akan terperosok ke dalam lubang yang sama dua kali.
Wallâhu a‘lam bi ash-shawâb. []
Kita memang memiliki beberapa keunggulan seperti keunggulan aqidah, syariah, posisi geografis, sumber daya alam, dan jumlah penduduk. Namun secara empiris berapa sebenarnya kekuatan itu?
Data Dunia Islam
Di antara lembaga yang mengumpulkan data seperti itu adalah Statistical, Economic, and Social Research & Training Center for Islamic Countries (SESRTC) di Turki. Data yang dikumpulkan dapat diakses melalui alamat: www.sesrtcic.org/statistics/byindicators.php
Meski sudah menolong, namun database ini belum lengkap ataupun 100% akurat. Ada peluang over- atau under-estimated. Informasi di negeri-negeri Islam memang langka atau simpang siur. Banyak pemerintah yang menutup-nutupi informasi dengan berbagai motif. Oleh sebab itu, data di sini harus dipandang sebagai taksiran atau pendekatan awal.
Untuk menjembatani beberapa negara yang datanya tidak tersedia, dalam mengolah data ini terkadang dipakai angka maksimum atau rerata dari data beberapa tahun terakhir.
Dewasa ini ada 57 negara yang ada dalam Organisasi Konferensi Islam (OKI). Negara-negara ini dijuluki ”dunia Islam”, karena penduduknya mayoritas atau 50% lebih muslim. Jadi sekitar 148 juta muslim India (13,4% populasi) dan 26 juta muslim Cina (2% populasi) belum terhitung.
Menurut CIA the World Factbook dalam http://en.wikipedia.org/wiki/Economy_of_the_OIC produk domestik bruto (GDP) dunia Islam adalah US$ 5,54 triliun US$ pertahun atau setara 9,14% GDP dunia. Untuk perbandingan GDP Uni Eropa atau AS adalah sekitar 12 triliun US$.
Bila dibagi penduduknya yang pada 2005 ditaksir 1,24 miliar didapatkan GDP/capita sebesar US$ 4.454/tahun, atau dengan kurs sekarang Rp 3,3 juta/orang per bulan. Namun distribusi harta ini amat tidak merata. GDP/capita tertinggi diraih Uni-Emirat Arab (US$ 45.200/tahun atau Rp 34 juta/bulan) dan terrendah di Somalia (US$ 600/tahun (Rp 450.000/bulan).
Luas wilayah 57 negara OKI ini adalah 32 juta km2, lebih luas dari AS atau Uni Eropa. Kepadatan penduduk rata-ratanya adalah 38 orang per kilometer persegi. Kepadatan tertinggi ada di Bahrain yang hanya”negara kota”, yaitu 1055 jiwa per Km-persegi, diikuti Maladewa (933), Bangladesh (817) dan Palestina (626). Mereka harus berdesakan di tempat yang sempit, padahal bumi Allah sangat luas.
Memang area luas ini baru bermakna bila produktif. Di satu sisi banyak bumi Islam itu berupa gurun pasir yang belum dihidupkan. Karena itu perlu ditinjau sejumlah indikator vital, seperti produksi minyak, bahan pangan, baja dan sebagainya.
IndikatorProduk Vital
Barangkali untuk analisis ekonomi yang komprehensif diperlukan seluruh parameter dalam statistik, namun mengingat tidak untuk setiap item tersedia data di seluruh negara serta belum adanya pembobotan yang disepakati, maka dipilih produksi minyak mentah sebagai sumber energi utama (meski di sejumlah negara tersedia sumber energi lain), lalu biji-bijian dan daging sebagai bahan pangan, dan baja untuk indikator industrialisasi.
Produksi minyak mentah tahun 2004 total sekitar 9,2 Milyar Barrel per tahun. Kalau ini dibagi populasi, akan didapat angka 3,2 liter per orang per hari. Sekedar pembanding, di Indonesia saat ini yang penggunaan energinya belum efisien, konsumsi BBM masih sekitar 0,82 liter per orang per hari.
Sementara itu produksi biji-bijian makanan pokok adalah 240,3 juta ton. Kalau dibagi populasi, didapat angka 0,529 kg per orang per hari. Meski ini masih di bawah kebutuhan rata-rata (menurut FAO) yakni 750 gram per orang per hari, namun insya Allah ancaman kelaparan tidak terjadi. Apalagi teknologi pertanian masih bisa ditingkatkan dan umat Islam biasa puasa.
Sementara itu untuk produksi daging ditaksir 19,5 juta ton. Kalau ini dibagi dengan populasi, akan didapat angka 15,7 kg daging per orang per tahun, atau 42 gram per orang per hari. Sebuah angka yang lumayan untuk komposisi gizi harian, mengingat sumber protein kita seharusnya bervariasi antara daging, ikan, unggas atau nabati.
Setelah energi dan pangan, baja adalah produk vital yang jadi modal dasar industri dan konstruksi. Produksi baja di dunia Islam ditaksir baru 60 juta ton per tahun. Bila setengahnya dipakai untuk konstruksi (gedung, jalan, jembatan, jaringan listrik & telekomunikasi), mesin pabrik, kereta api, kapal dan persenjataan, lalu setengahnya untuk memproduksi mobil berbobot rata-rata 2 ton, maka ini baru menghasilkan 15 juta mobil. Angka yang kecil untuk 1,2 milyar populasi, karena bila satu keluarga rata-rata terdiri dari 4 orang, akan ada 300 juta keluarga. Jadi baru setelah 20 tahun setiap keluarga itu akan memiliki mobil baru.
Kalau cerdas, keterbatasan produksi itu malah mendorong inovasi agar efisien, misal dengan transportasi massal kereta super ringan, atau menggalakkan sepeda yang selain hemat juga baik untuk kesehatan.
Kenyataannya, saat ini sumber daya negeri-negeri Islam banyak diekspor, sering dengan nilai tukar amat rendah karena kandungan teknologinya rendah. Contoh, tahun 1980, sebuah negeri muslim menukar 12910 karung kopi untuk satu lokomotif dari Swiss. Tahun 1990, untuk lokomotif serupa mereka harus menukar 45800 karung!
Neraca perdagangan dunia Islam sebenarnya positif (1042,9 Milyar US$ ekspor – 733,7 Milyar US$ impor). Namun dari jumlah ini, yang merupakan ekspor ke sesama dunia Islam hanya 113 Milyar US$ dan impor 118 Milyar US$. Jadi ketergantungan ke luar dunia Islam sangat besar. Bila ini dibiarkan akan jadi kendala saat Kesatuan Islam di bawah Daulah Khilafah diserukan dan lalu diembargo dari luar.
Sumber Daya Non-tangible
Selain sumber daya yang terukur dalam bentuk materi, terdapat sumber daya non-tangible yang tak dapat langsung terukur, misalnya SDM terdidik, organisasi (jejaring) dan informasi (pengalaman) yang terkumpul. Sumber daya ini terukur dengan melihat data penduduk melek huruf, rasio yang masuk perguruan tinggi, bagian pemerintah pada penciptaan GDP dan distribusi penghasilan.
Angka melek huruf pada orang dewasa di dunia Islam baru 69%! Inipun masih dengan bahasa nasional masing-masing (Arab, Persi, Urdu, Turki, Perancis, Russia, Melayu, dll.).
Sedang rasio yang dapat mengenyam pendidikan di perguruan tinggi baru 15% dari lulusan SLTA. Inipun masih di luar soal mutu asal-asalan dari pendidikan sekuler yang kapitalistik.
Bagian pemerintah dalam penciptaan GDP menggambarkan tingkat partisipasi rakyat pada aktivitas ekonomi. Makin tinggi sharing pemerintah, makin rentan ekonomi negeri itu pada gejolak. Idealnya pemerintah bertindak mengatur urusan umat dengan syariat, bukan sebagai pelaku bisnis yang bertindak dengan pertimbangan ekonomi. Di dunia Islam, pemerintah rata-rata masih berperan hingga 35% dalam aktivitas ekonomi. Ekonomi Sudan atau Guyana yang dilanda perang bahkan praktis 100% mengandalkan pemerintah. Pemerintah Brunei memegang 84% GDP karena produk utamanya minyak – semua milik raja yang memerintah.
Dalam hal ekonomi terkait SDA yang besar seperti minyak, angka-angka statistik boleh jadi akan rancu antara pemerintahan feodalistik, sosialistik dan Islami, di mana minyak masuk kepemilikan umum yang harus dikelola pemerintah – namun bukan terus dibisniskan.
Partisipasi rakyat juga terlihat pada distribusi penghasilan. Kalau menggunakan batas miskin tiap negara, maka angka kemiskinan rata-rata adalah 38,65%. Namun bila menggunakan standar Bank Dunia yaitu US$ 2 per orang per hari, maka 50% jatuh di bawah garis (UNDP Human Development Report 2006). Yang terparah Nigeria (92,4%), yang terbaik Iran (7,3%)
Menyatukan Ekonomi Dunia Islam
Dengan berbagai cara, ekonomi dunia Islam ini telah berkali-kali dicoba disatukan. OKI telah gagal. Pakta selatan-selatan – yang melibatkan negara-negara Amerika Latinpun gagal. Percobaan terakhir adalah dengan kelompok D-8 (Development-Eight), yang terdiri dari Bangladesh, Indonesia, Iran, Malaysia, Mesir, Nigeria, Pakistan dan Turki. Realitasnya, pengaruh D-8 ini bahkan lebih kecil dari kelompok semacam ASEAN, apalagi terhadap G-8, yakni negara-negara industri maju (AS, Canada, Inggris, Perancis, Jerman, Itali, Jepang dan Russia) yang merupakan 65% dari ekonomi dunia.
Penyebabnya kegagalannya terlalu banyak, mulai dari ego-nasionalisme tiap negara, para pemimpinnya yang tidak benar-benar kapabel maupun independen (menjadi boneka negara besar), hingga produk antar negara yang terlalu mirip sehingga tidak saling melengkapi.
Tanpa suatu perubahan yang fundamental dalam cara berpikir di dunia Islam, yaitu cara berpikir tentang visi dan missi negeri mereka di dunia, rasanya sulit akan ada sinergi dari penyatuan ekonomi dunia Islam.
Dengan perubahan paradigma itu akan ada upaya-upaya di masyarakat tiap negeri untuk tak sekedar jadi ”lahan” negara-negara maju, tetapi jadi agen perubahan ke dunia yang diridhai Allah. Perlahan namun pasti mereka mereformasi cara berpikir, bersikap serta ikatan-ikatan yang selama ini menjadikan mereka berbangsa dan bernegara.
Kemudian suatu negara yang masyarakat serta kekuatan politik-militernya paling siap, akan memimpin mendeklarasikan berdirinya negara baru, Daulah Khilafah. Negara di saat awal akan menunjukkan kinerjanya, sebagai negara yang adil dan benar-benar merdeka, sambil mengajak negeri-negeri muslim lain untuk bergabung. Ketika rakyat negeri lain melihat bahwa dengan bergabung itu terbuka peluang luas untuk berkehidupan yang lebih baik, maju dan kuat sehingga mampu memimpin dunia, mereka akan mendesak pemerintah masing-masing untuk bergabung ke Daulah Khilafah.
Satu demi satu negeri Islam akan masuk ke dalam Khilafah, seperti dulu bergabungnya daerah-daerah Hindia Belanda ke Republik Indonesia, atau kini bergabungnya negara-negara Eropa ke Uni Eropa. Kekuatan dunia Islam yang bersatu di bawah Daulah Khilafah akan jadi realita, bahkan lebih besar lagi, jika sistem Islam telah mengoptimasi pengaturan seluruh potensi alam maupun manusia di dalamnya, serta muslim-muslim terbaik yang selama ini ada di negara-negara maju ramai-ramai pulang untuk membaktikan dirinya demi kemuliaan Islam dan kaum muslimin.
Penulis: Dr. Fahmi Amhar, dosen pascasarjana Universitas Paramadina.