Beyond the Scientific Way

Fahmi Amhar Official Blog

Archive for the ‘Islam’ Category

Kronologi Sejarah Palestina

Saturday, January 17th, 2009

(tulisan ini pernah dimuat di Majalah Suara Hidayatullah, tahun 1996 – maaf belum diupdate)

oleh Fahmi Amhar

Palestina Tanah Yang (Pernah) Dijanjikan
2000 SM – 1500 SM: Ibrahim as. melahirkan Ismail as. (Bapak bangsa Arab) dan Ishak as. Ishak melahirkan Ya’kub as. alias Israel. Ya’kub punya anak Yusuf as, yang ketika kecil dibuang oleh saudaranya, namun belakangan menjadi bendahara kerajaan Mesir. Ketika dilanda paceklik, Ya’kub as. sekeluarga atas undangan Yusuf berimigrasi ke Mesir. Populasi anak keturunan Israel (bani Israel atau bangsa Israel) membesar.

1550 SM – 1200 SM: Politik di Mesir berubah. Bani Israel dianggap problem, dan akhirnya oleh Fir’aun statusnya diubah menjadi budak.
1200 SM – 1100 SM: Musa as. memimpin bangsa Israel meninggalkan Mesir, mengembara di padang Sinai menuju tanah yang dijanjikan, bila mereka taat kepada Allah. Namun saat mereka diperintah memasuki Filistin (Palestina), mereka membandel dan mengatakan:

Hai Musa, kami sekali-kali tidak akan memasukinya selama-lamanya, selagi ada orang-orang yang gagah perkasa di dalamnya, karena itu pergilah kamu bersama Rabbmu, dan berperanglah kamu berdua, sesungguhnya kami hanya duduk menanti di sini saja”. (QS. 5:24)

Akibatnya mereka dikutuk dan hanya berputar-putar saja di sekitar Palestina. Belakangan agama Musa as disebut “Yahudi” – menurut nama salah satu marga Israel yang paling banyak berketurunan, yakni Yehuda, dan bani Israel -tanpa memandang warga negara atau tanah air- disebut juga orang-orang Yahudi.

1000 SM – 922 SM: Daud as. mengalahkan Goliath dari Filistin. Palestina berhasil direbut. Daud dijadikan raja. Wilayah kerajaannya membentang dari tepi Nil hingga Efrat di Iraq. Sekarang ini Yahudi tetap memimpikan kembali kebesaran Israel raya Raja Daud. Bendera Israel adalah dua garis biru (Nil dan Efrat) dan bintang Daud. Daud diteruskan Sulaiman as. Masjidil Aqsha dibangun.

922 SM – 800 SM: Sepeninggal Sulaiman Israel dilanda perang saudara yang berlarut, hingga kerajaan tersebut terbelah dua: utara bernama Israel beribukota Samaria dan selatan bernama Yehuda beribukota Yerusalem.
800 SM – 600 SM: Karena kerajaan Israel sudah terlalu durhaka kepada Allah swt. maka kerajaan itu dihancurkan lewat tangan kerajaan Asyiria.

Sesungguhnya Kami telah mengambil perjanjian dari Bani Israel, dan telah Kami utus kepada mereka rasul-rasul. Tetapi setiap datang seorang rasul kepada mereka dengan membawa apa yang tidak diingini hawa nafsu mereka, maka sebagian rasul-rasul itu mereka dustakan atau mereka bunuh. (QS. 5:70)

Hal ini juga bisa dibaca di Bible: Kitab Raja-raja ke-I 14:15, dan Kitab Raja-raja ke-II 17:18.

600 SM – 500 SM: Kerajaan Yehuda dihancurkan lewat tangan Nebukadnezar dari Babylonia. Dalam Bible Kitab Raja-raja ke-II 23:27 dinyatakan bahwa mereka tidak mempunyai hak lagi atas Yerusalem. Mereka diusir dari Yerusalem dan dipenjara di Babylonia.
500 SM – 400 SM: Cyrus Persia meruntuhkan Babylonia dan mengijinkan bani Israel kembali ke Yerusalem.

330 SM – 322 SM: Israel diduduki Alexander Agung dari Macedonia (Yunani). Ia melakukan Hellenisasi terhadap bangsa-bangsa taklukannya. Bahasa Yunani menjadi bahasa resmi Israel, sehingga nantinya Injil pun ditulis dalam bahasa Yunani, dan bukan dalam bahasa Ibrani.

300 SM – 190 SM: Yunani dikalahkan Romawi. Maka Palestina pun dikuasai imperium Romawi.
1 – 100: Nabi Isa as. (Yesus) lahir, kemudian menjadi pemimpin gerakan melawan penguasa Romawi. Namun selain dianggap subversi oleh penguasa Romawi (dengan ancaman hukuman tertinggi yaitu disalib), ajaran Yesus sendiri ditolak oleh para rabi Yahudi. Namun setelah Isa tiada, bangsa Yahudi memberontak terhadap Romawi.

Palestina area bebas Yahudi
100 – 300: Pemberontakan berulang. Akibatnya Palestina dihancurkan dan dijadikan area bebas Yahudi. Mereka dideportasi keluar Palestina dan terdiaspora ke segala penjuru imperium Romawi. Namun demikian tetap ada sejumlah kecil pemeluk Yahudi yang tetap bertahan di Palestina. Dengan masuknya Islam serta dipakainya bahasa Arab di kehidupan sehari-hari, mereka lambat laun terarabisasi atau bahkan masuk Islam.
313: Pusat kerajaan Romawi dipindah ke Konstantinopel dan agama Kristen dijadikan agama negara.

500 – 600: Bangsa Yahudi merembes ke semenanjung Arabia (di antaranya di Khaibar dan sekitar Madinah), kemudian berimigrasi dalam jumlah besar ke daerah tersebut ketika terjadi perang antara Romawi dan Persia.
619: Nabi Muhammad saw melakukan perjalanan ruhani: Isra’ dari masjidil Haram ke masjidil Aqsha dan Mi’raj ke langit. Rasulullah menetapkan Yerusalem sebagai kota suci-3 ummat Islam, sholat di masjidil Aqsha dinilai 500 kali dibanding sholat di masjid yang lain selain masjidil Haram dan masjid Nabawi. Masjidil Aqsha juga menjadi kiblat ummat Islam sebelum dipindah ke ka’bah.

622: Hijrah nabi ke Madinah dan pendirian negara Islam (yang seterusnya disebut khilafah). Nabi mengadakan perjanjian dengan penduduk Yahudi di Madinah dan sekitarnya, yang dikenal dengan “Piagam Madinah”.
626: Pengkhianatan Yahudi dalam perang Ahzab (atau perang parit) dan berarti melanggar Piagam Madinah. Sesuai dengan aturan di Kitab Taurat mereka sendiri, mereka dibunuh atau diusir.

Palestina di bawah Daulah Islam
638: Di bawah Umar bin Khattab, seluruh Palestina dimerdekakan dari penjajah Romawi. Seterusnya seluruh penduduk Palestina, muslim maupun non muslim, hidup aman di bawah khilafah. Kebebasan beragama dijamin.
700 – 1000: Wilayah Islam meluas dari Asia Tengah, Afrika hingga Spanyol. Di dalamnya, bangsa Yahudi mendapat peluang ekonomi dan intelektual yang sama. Ada beberapa ilmuwan yang terkenal di dunia Islam yang sesungguhnya adalah orang Yahudi.

1076: Yerusalem dikepung tentara salib dari Eropa. Karena pengkhianatan kaum munafik (sekte Drusiah yang mengaku Islam tapi ajarannya sesat), pada 1099 tentara salib berhasil menguasai Yerusalem dan mengangkat seorang raja Kristen. Penjajahan ini berlangsung hingga 1187, sampai Salahuddin al Ayubi membebaskannya, setelah ummat Islam yang terlena sufisme yang sesat bisa dibangkitkan kembali.

Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan suatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. …(QS. 13:11)

1453: Setelah melalui proses reunifikasi dan revivitalisasi wilayah-wilayah khilafah yang tercerai berai setelah hancurnya Bagdad oleh tentara Mongol (1258), khilafah Utsmaniyah di bawah Muhammad Fatih menaklukkan Kontantinopel, dan mewujudkan nubuwwah Rasulullah. 700 tahun lebih kaum muslimin berlomba untuk menjadi mereka yang diramalkan Rasul dalam hadits berikut:

Hari kiamat tak akan tiba sebelum tanah Romawi di dekat al-A’maq atau Dabiq ditaklukkan. Sepasukan tentara terbaik di dunia akan datang … Maka mereka bertempur. Sepertiga dari mereka akan lari, dan Allah tak akan memaafkannya. Sepertiga lagi ditakdirkan gugur sebagai syuhada. Dan sepertiga lagi akan menang dan menjadi penakluk Konstantinopel. (HR Muslim, no. 6924)

1492: Andalusia sepenuhnya jatuh ke tangan Kristen Spanyol (reconquista). Karena cemas suatu saat ummat Islam bisa bangkit lagi, maka terjadi pembunuhan, pengusiran dan pengkristenan massal. Hal ini tak cuma diarahkan pada muslim namun juga pada Yahudi. Mereka lari ke wilayah khilafah Utsmaniyah, di antaranya ke Bosnia. Pada 1992 raja Juan Carlos dari Spanyol secara resmi meminta maaf kepada pemerintah Israel atas holocaust 500 tahun sebelumnya.

1500-1700: Kebangkitan pemikiran di Eropa, munculnya sekularisme (pemisahan gereja – negara), nasionalisme dan kapitalisme. Mulainya kemajuan teknologi modern di Eropa. Abad penjelajahan samudera dimulai. Mereka mencari jalur alternatif ke India dan Cina, tanpa melalui daerah-daerah Islam. Tapi berikutnya mereka didorong semangat kolonialisme / imperialisme.

1529: Tentara khilafah berusaha menghentikan arus kolonialisme / imperialisme serta membalas reconquista langsung ke jantung Eropa dengan mengepung Wina, namun gagal. Tahun 1683 kepungan ini diulang, dan gagal lagi. Kegagalan ini terutama karena tentara Islam terlalu yakin pada jumlah dan perlengkapannya.

yaitu ketika kamu menjadi congkak karena banyaknya jumlahmu, maka jumlah yang banyak itu tidak memberi manfa’at kepadamu sedikitpun, dan bumi yang luas itu terasa sempit olehmu, kemudian kamu lari kebelakang dan bercerai-berai. (QS. 9:25)

Barat memperalat Yahudi
1798: Napoleon berpendapat bahwa bangsa Yahudi bisa diperalat bagi tujuan-tujuan Perancis di Timur Tengah. Wilayah itu secara resmi masih di bawah khilafah.
1831: Untuk mendukung strategi “devide et impera” Perancis mendukung gerakan nasionalisme Arab, yakni Muhammad Ali di Mesir, dan Pasya Basyir di Libanon. Khilafah mulai lemah dirongrong oleh nasionalisme.
1835: Sekelompok Yahudi membeli tanah di Palestina, dan lalu mendirikan sekolah Yahudi pertama di sana. Sponsornya adalah milyuner Yahudi Inggris, Sir Moshe Monteveury, anggota Free Masonry. Ini adalah pertama kalinya sekolah berkurikulum asing di wilayah khilafah.
1838: Inggris membuka konsulat di Yerusalem yang merupakan perwakilan Eropa pertama di Palestina.

1849: Kampanye mendorong imigrasi orang Yahudi ke Palestina. Pada masa itu jumlah Yahudi di Palestina baru sekitar 12000. Pada tahun 1948 jumlahnya sudah 716700, dan pada 1964 sudah hampir 3 juta. 1882: Imigrasi besar-besaran orang Yahudi ke Palestina yang berselubung agama, simpati dan kemanusiaan bagi penderitaan Yahudi di Eropa saat itu.

1891: Para penduduk Palestina mengirim petisi kepada khalifah, menuntut dilarangnya imigrasi besar-besaran ras Yahudi ke Palestina. Sayang saat itu khilafah sudah “sakit-sakitan” (dijuluki “the sick man at Bosporus”), dekadensi pemikiran meluas, walau Sultan Abdul Hamid sempat membuat terobosan dengan memodernisir infrastruktur, termasuk memasang jalur kereta api dari Damaskus ke Madinah via Palestina !! Sayang, sebelum selesai, Sultan Abdul Hamid dipecat oleh Syaikhul Islam (Hakim Agung) yang telah dipengaruhi Inggris. PD-I meletus, dan jalur kereta tersebut dihancurkan.

Zionisme
1896: Theodore Herzl merampungkan sebuah doktrin baru Zionisme sebagai gerakan politik untuk mendirikan negara Yahudi Israel. Mereka mendapat inspirasi untuk “bekerjasama” dengan negara-negara besar (Amerika, Inggris, Perancis, Rusia) dalam realisasinya. Sebaliknya negara-negara besar itu berkepentingan dengan sumber alam di wilayah itu, dan memerlukan “agen” untuk melemahkan ummat Islam di sana.

1897: Theodore Herzl menggelar kongres Zionis dunia pertama di Basel, Swiss. Peserta Kongress-I Zionis mengeluarkan resolusi, bahwa ummat Yahudi tidaklah sekedar ummat beragama, namun adalah bangsa dengan tekad bulat untuk hidup secara berbangsa dan bernegara. Dalam resolusi itu, kaum zionis menuntut tanah air bagi ummat Yahudi -walaupun secara rahasia- pada “tanah yang bersejarah bagi mereka”. Sebelumnya Inggris hampir menjanjikan tanah protektorat Uganda atau di Amerika Latin! Di kongres itu, Herzl menyebut, zionisme adalah jawaban bagi “diskriminasi dan penindasan” atas ummat Yahudi yang telah berlangsung ratusan tahun. Pergerakan ini mengenal kembali, bahwa nasib ummat Yahudi hanya bisa diselesaikan di tangan ummat Yahudi sendiri. Di depan Kongres Herzl berkata: “Dalam 50 tahun akan ada negara Yahudi !!!” Apa yang direncanakan Herzl menjadi kenyataan pada 1948.

1916: Perjanjian rahasia Sykes-Picot oleh sekutu – (Inggris, Perancis, Rusia) dibuat saat meletusnya PD-I, untuk mencengkeram wilayah-wilayah Arab dari khilafah Utsmaniyah dan membagi-bagi di antara mereka. PD-I berakhir dengan kemenangan sekutu. Inggris mendapat kontrol atas Palestina. Di PD-I ini, Yahudi Jerman berkomplot dengan sekutu untuk tujuan mereka sendiri (memiliki pengaruh atau kekuasaan yang lebih besar).

1917: Menlu Inggris keturunan Yahudi, Arthur James Balfour, dalam deklarasi Balfour, memberitahu pemimpin Zionis Inggris, Lord Rothschild, bahwa Inggris akan memperkokoh pemukiman Yahudi di Palestina dalam membantu pembentukan tanah air Yahudi. Lima tahun kemudian Liga Bangsa-bangsa (cikal bakal PBB) memberi mandat ke Inggris untuk menguasai Palestina.

Setelah Hancurnya Khilafah Islam
1924: Mustafa Kemal Ataturk – seorang Turki yang terdidik oleh Free Masonry, menganggap kemunduran khilafah itu karena Islam. Ia merasa jalan keluarnya adalah nasionalisme dan sekularisme seperti yang telah berhasil di Barat. Bersama tentara yang seide, ia merebut kekuasaan dan mengumumkan bahwa khilafah bubar. Dengan itu maka tidak ada lagi ikatan antar ummat Islam sedunia yang akan “take care” bila ada satu bumi Islam jatuh dalam penderitaan. Nasionalisme menggantikan solidaritas Islam (ukhuwah Islamiyah).

1938: Nazi Jerman menganggap bahwa pengkhianatan Yahudi Jerman adalah biang keladi kekalahan mereka pada PD-I yang telah menghancurkan ekonomi Jerman. Maka mereka perlu “penyelesaian terakhir” (Endlösung). Ratusan ribu dikirim ke kamp konsentrasi atau lari ke luar negeri (terutama ke USA). Sebenarnya ada etnis lain serta kaum intelektual yang berbeda politik dengan Nazi yang bernasib sama, namun setelah PD-II Yahudi lebih berhasil menjual ceritanya karena menguasai banyak surat kabar atau kantor berita di dunia.

1944: Partei buruh Inggris yang sedang berkuasa secara terbuka memaparkan politik “Membiarkan orang-orang Yahudi terus masuk ke Palestina, jika mereka ingin jadi mayoritas. Masuknya mereka akan mendorong keluarnya pribumi Arab dari sana”. Kondisi Palestina memanas.
1947: PBB merekomendasikan pemecahan Palestina menjadi dua negara: Arab dan Israel.

1948 14 Mei: sehari sebelum habisnya perwalian Inggris di Palestina para pemukim Yahudi memproklamirkan kemerdekaan negara Israel, melakukan agresi bersenjata terhadap rakyat Palestina yang masih lemah, jutaan dari mereka terpaksa mengungsi ke Libanon, Yordania, Syria, Mesir dll. Palestinian Refugees menjadi tema dunia. Namun Israel menolak existensi rakyat Palestina ini, dan menganggap mereka telah memajukan areal yang semula kosong dan terbelakang. Timbullah perang antara Israel dengan negara-negara Arab tetangganya. Namun karena para pemimpin Arab sebenarnya ada di bawah pengaruh Inggris, maka Israel mudah merebut daerah Arab Palestina yang telah ditetapkan PBB.

Setelah Negara Israel Berdiri
1948 2 Desember: Protes keras Liga Arab atas tindakan USA dan sekutunya berupa dorongan dan fasilitas yang mereka berikan bagi imigrasi zionis ke Palestina. Pada waktu itu, Ikhwanul Muslimin (IM) di bawah Hasan Al-Bana mengirim 10000 mujahidin untuk berjihad melawan Israel. Usaha ini kandas bukan karena mereka dikalahkan Israel, namun karena Raja Farouk yang korup dari Mesir takut bahwa di dalam negeri, IM bisa kudeta. Akibatnya, tokoh-tokoh IM dipenjara atau dihukum mati.
1952: Para perwira Mesir di bawah Jamal Abdul Nasser melakukan kudeta terhadap Raja Farouk.

1953: Harakah Islam Hizbut Tahrir berdiri di Yerusalem dengan tujuan mengembalikan kehidupan Islam ketengah masyarakat dan membentuk khilafah Islam yang menerapkan sistem Islam dan membebaskan seluruh dunia dari penghambaan kepada selain Allah. Metode yang ditempuh dalam membentuk khilafah adalah dakwah untuk merubah opini masyarakat.
1956: Nasser menasionalisasikan terusan Suez. Hal ini membangkitkan harga diri pada bangsa Arab, sehingga tak sedikit yang kemudian “memuja” Nasser.
1956 29 Oktober: Israel dibantu Inggris dan Perancis menyerang Sinai untuk menguasai terusan Suez.

1964: Para pemimpin Arab membentuk PLO (Palestina Liberation Organitation). Dengan ini secara resmi, nasib Palestina diserahkan ke pundak bangsa Arab-Palestina sendiri, dan tidak lagi urusan ummat Islam. Masalah Palestina direduksi menjadi persoalan nasional.

1967: Israel menyerang Mesir, Yordania dan Syiria selama 6 hari dengan dalih pencegahan. Israel berhasil merebut Sinai dan jalur Gaza (Mesir), dataran tinggi Golan (Syria), Tepi Barat dan Yerussalem (Yordania). Israel dengan mudah menghancurkan angkatan udara musuhnya karena informasi dari CIA. Sementara itu angkatan udara Mesir ragu membalas serangan Israel, karena Menhan Mesir ikut terbang dan memerintahkan untuk tidak melakukan tembakan selama dia di udara.

1967 Nopember: Dewan keamanan PBB mengeluarkan resolusi nomor 242, untuk perintah penarikan mundur Israel dari wilayah yang direbutnya dalam perang enam hari, pengakuan semua negara di kawasan itu dan penyelesaikan secara adil masalah pengungsi Palestina.
1969: Yasser Arafat dari faksi Al-Fatah terpilih sebagai ketua komite eksekutif PLO dengan markas di Yordania.

1970: Berbagai pembajakan pesawat sebagai publikasi perjuangan rakyat Palestina membuat PLO dikecam oleh opini dunia, dan Yordania dikucilkan. Karena ekonomi Yordania sangat tergantung dari USA, maka akhirnya Raja Hussein mengusir markas PLO dari Yordania. PLO pindah ke Libanon.

1973 6 Oktober: Mesir dan Syiria menyerang pasukan Israel di Sinai dan dataran tinggi Golan pada hari puasa Yahudi Yom Kippur. Pertempuran ini dikenal dengan Perang Oktober. Mesir dan Syria hampir menang, kalau Israel tidak tiba-tiba dibantu USA. Anwar Sadat terpaksa berkompromi, karena dia cuma “siap untuk melawan Israel, namun tidak siap berhadapan dengan USA”. Arab membalas kekalahan itu dengan menutup keran minyak. Akibatnya harga minyak melonjak pesat.
1973 22 Oktober: Dewan Keamanan PBB mengeluarkan resolusi 338, untuk gencatan senjata, pelaksanaan resolusi 242 dan perundingan damai di Timur Tengah.

Ditipu sejak Camp David
1977: Pertimbangan ekonomi (perang memboroskan kas negara) membuat Presiden Mesir Anwar Sadat pergi ke Israel tanpa berkonsultasi dengan Liga Arab. Ia menawarkan perdamaian, jika Israel mengembalikan seluruh Sinai. Negara-negara Arab merasa dikhianati. Karena politiknya ini, belakangan Sadat dibunuh (1982).

1978 September: Mesir dan Israel menandatangani perjanjian Camp David yang diprakarsai USA. Perjanjian itu menjanjikan otonomi terbatas kepada rakyat Palestina di wilayah-wilayah pendudukan. Sadat dan PM Israel Menachem Begin dianugerahi Nobel Perdamaian 1979. Namun Israel tetap menolak perundingan dengan PLO dan PLO menolak otonomi. Belakangan, otonomi versi Camp David ini tidak pernah diwujudkan, demikian juga otonomi versi lainnya. Dan USA sebagai pemrakarsanya juga tidak merasa wajib memberi sanksi, bahkan selalu memveto resolusi PBB yang tak menguntungkan Israel.

Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu sehingga kamu mengikuti keinginan mereka. Katakanlah: “Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang sebenarnya)”. Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu. (QS. 2:120)

1979: Ayatullah Khumaini memaklumkan Revolusi Islam di Iran yang menumbangkan rezim korup pro Barat Syah Reza Pahlevi. Referendum menghasilkan pembentukan Republik Islam, yang salah satu cita-citanya adalah mengembalikan bumi Palestina ke ummat islam dengan menghancurkan Israel. Iran mensponsori gerakan anti Israel “Hizbullah” yang bermarkas di Libanon.
1980: Israel secara sepihak menyatakan bahwa mulai musim panas 1980 kota Yerusalem yang didudukinya itu resmi sebagai ibukota.

1980: Pecah perang Iraq-Iran selama 8 tahun. Perang ini direkayasa oleh Barat untuk melemahkan gelombang revolusi Islam dari Iran. Negara-negara Arab dipancing fanatisme sunni terhadap Iran yang syiah. Iraq mendapat bantuan senjata yang luar biasa dari Barat.

1982: Israel menyerang Libanon dan membantai ratusan pengungsi Palestina di Sabra dan Shatila. Pelanggaran atas batas-batas internasional ini tidak berhasil dibawa ke forum PBB karena veto USA. Belakangan Israel juga dengan enaknya melakukan serangkaian pemboman atas instalasi militer dan sipil di Iraq, Libya dan Tunis.

Intifadhah
1987: Intifadhah, perlawanan dengan batu oleh orang-orang Palestina yang tinggal di daerah pendudukan terhadap tentara Israel mulai meledak. Intifadhah ini diprakarsai oleh HAMAS, suatu harakah Islam yang memulai aktivitasnya dengan pendidikan dan sosial.
1988 Desember: USA membenarkan pembukaan dialog dengan PLO setelah Arafat secara tidak langsung mengakui existensi Israel dengan menuntut realisasi resolusi PBB no. 242 pada waktu memproklamirkan Republik Palestina di pengasingan di Tunis.

1990 Agustus: Invasi Iraq ke Kuwait. Arafat menyatakan mendukung Iraq. Terjadi lagi perpecahan antar Arab. Perang ini juga direkayasa Barat untuk melemahkan Iraq, yang setelah perang dengan Iran arsenalnya dinilai terlalu besar dan bisa membahayakan Israel. Dan Barat sekaligus bisa lebih kuat menancapkan pengaruhnya di negera-negara Arab. Pemerintah diktatur di negara-negara Arab ditakut-takuti dengan “Islam fundamentalis”.

1991 Maret: Presiden USA George Bush menyatakan berakhirnya perang teluk-II dan membuka kesempatan “tata dunia baru” bagi penyelesaian konflik Arab-Israel.Yasser Arafat menikahi Suha, seorang wanita Kristen. Sebelumnya Arafat selalu mengatakan “menikah dengan revolusi Palestina”.

1993 September: PLO-Israel saling mengakui existensi masing-masing dan Israel berjanji memberi hak otonomi kepada PLO di daerah pendudukan. Motto Israel adalah “land for peace” (=tanah untuk perdamaian). Pengakuan itu dikecam keras dari pihak ultra-kanan Israel maupun kelompok di Palestina yang tidak setuju. Namun negara-negara Arab (Saudi Arabia, Mesir, Emirat dan Yordania) menyambut baik perjanjian itu. Mufti Mesir dan Saudi mengeluarkan “fatwa” untuk mendukung perdamaian. Setelah kekuasaan di daerah pendudukan dialihkan ke PLO, maka sesuai perjanjian dengan Israel, PLO harus mengatasi segala aksi-aksi anti Israel. Dengan ini maka sebenarnya PLO dijadikan perpanjangan tangan Yahudi.
Yasser Arafat, Yitzak Rabin dan Shimon Peres mendapat Nobel Perdamaian atas usahanya tersebut.

1995: Rabin dibunuh oleh Yigal Amir, seorang Yahudi fanatik. Sebelumnya, di Hebron, seorang Yahudi fanatik membantai puluhan muslim yang sedang sholat shubuh. Hampir tiap orang dewasa di Israel, laki-laki maupun wanita, pernah mendapat latihan dan melakukan wajib militer. Gerakan Palestina yang menuntut kemerdekaan total menteror ke tengah masyarakat Israel dengan bom “bunuh diri”. Dengan ini diharapkan usaha perdamaian yang tidak adil itu gagal. Sebenarnya “land for peace” diartikan Israel sebagai “Israel dapat tanah, dan Arab Palestina tidak diganggu (bisa hidup damai)”.

1996: Pemilu di Israel dimenangkan secara tipis oleh Netanyahu dari partai kanan, yang berarti kemenangan Yahudi yang anti perdamaian. Netanyahu mengulur-ulur pelaksanaan perjanjian perdamaian. Ia menolak adanya negara Palestina. Palestina agar tetap sekedar daerah otonom di dalam Israel. Ia bahkan ingin menunggu / menciptakan konstelasi baru (pemukiman di daerah pendudukan, bila perlu perluasan ke Syria dan Yordania) untuk sama sekali membuat perjanjian baru. USA tidak senang bahwa Israel jalan sendiri di luar garis yang ditetapkannya. Namun karena lobby Yahudi di USA terlalu kuat, maka Bill Clinton harus memakai agen-agennya di negara-negara Arab untuk “mengingatkan” si “anak emasnya” ini. Maka sikap negara-negara Arab tiba-tiba kembali memusuhi Israel. Mufti Mesir malah kini memfatwakan jihad terhadap Israel. Sementara itu Uni Eropa (terutama Inggris dan Perancis) juga mencoba “aktif” jadi penengah, yang sebenarnya juga hanya untuk kepentingan masing-masing dalam rangka menanamkan pengaruhnya di wilayah itu. Mereka juga tidak rela bahwa USA “jalan sendiri” tanpa “bicara dengan Eropa”.

Khatimah
Negara Israel adalah kombinasi dari sedang lemahnya ummat Islam, oportunisme Zionis Yahudi serta rencana Barat untuk mengontrol bumi dan ummat Islam.

Di Palestina berhasil didirikan negara Yahudi setelah sebelumnya ummat Islam berhasil diinflitrasi dengan pikiran-pikiran yang tidak islami, sehingga dapat dipecah belah bahkan sampai dilenyapkan khilafahnya.

Nabi berkata: Kunci Timur dan Barat telah ditunjukkan Allah untukku dan kekuasaan ummatku akan mencapai kedua ujungnya. Telah kumohon kepada Rabbku agar ummatku tidak dihancurkan oleh kelaparan maupun oleh musuh-musuhnya. Rabbku berkata: Apa yang telah Ku-putuskan tak ada yang bisa merubahnya. Aku menjamin bahwa ummatmu tak akan hancur oleh kelaparan atau oleh musuh-musuhnya, bahkan jika seluruh manusia dari segala penjuru dunia bekerja bersama-sama untuk itu. Namun di antara ummatmu akan ada yang saling membunuh atau memenjarakan. (HR Muslim no. 6904)

Karena itu baik strategi Zionis maupun Barat adalah menimbulkan permusuhan di kalangan ummat Islam sendiri. Namun sementara itu sesungguhnya Zionis atau Barat sendiri juga saling bersaing demi kepentingannya. Permusuhan antara sesama mereka adalah sangat hebat.

Kamu kira mereka itu bersatu sedang hati mereka berpecah belah. Yang demikian itu karena sesungguhnya mereka adalah kaum yang tiada mengerti. (QS. 59:14)

Yang jelas, sang perampok Israel tidak bisa diusir dalam kondisi ummat Islam dewasa ini. Terlebih dahulu mereka harus menata aqidah dan menegakkan khilafah. Bukan PLO dan bukan negara-negara Arablah yang akan membebaskan kembali Palestina dan Yerusalem, namun ummat Islam bersama khilafahnya yang berhak melakukan tugas mulia itu, serta (insya Allah) memenuhi salah satu nubuwwat Rasulullah berikut ini:

Tidak datang hari Kiamat, sebelum kamu memerangi kaum Yahudi, hingga mereka lari ke belakang sebuah batu, dan batu itu berkata: “ada orang Yahudi di belakangku, datanglah, dan bunuhlah” (HR Bukhari Vol. 4 Kutub 52 no. 176 dan HR Muslim no. 6985)

Nubuwwah ini sepertinya baru akan terjadi di zaman “total digital”, yang baru akan tiba, di mana rumah kita, sejak dari pintu hingga tong sampah, semua “ber-chip”, dan bisa berkomunikasi dengan manusia.

Matematika Islam bukan Numerologi

Wednesday, December 17th, 2008

Dr. Fahmi Amhar

Apakah itu matematika Islam?  Di masa kini ada sejumlah orang yang memahami “matematika Islam” sebagai islamic numerology.  Contoh praktisnya adalah menghitung-hitung jumlah ayat atau huruf tertentu di dalam surat Al-Qur’an kemudian mencari-cari bentuk atau makna yang unik dari situ, misalnya dengan klaim diketemukannya bilangan prima 19 sebagai faktor dari jumlah-jumlah tadi, atau bahwa di dalam ayat tertentu ternyata tersembunyi bilangan kecepatan cahaya, panjang keliling bumi atau bahkan tanggal robohnya gedung WTC akibat ditubruk oleh pesawat pada 11 September 2001 alias tragedi 911.

Tentunya ini semua hanya mencari-cari atau “otak-atik gathuk”, mirip orang yang mencari nomor togel dari angka-angka yang tidak ada hubungannya (sekalipun itu nomor ayat al-Quran).  Ini karena bilangan kecepatan cahaya adalah tergantung dari satuan panjang dan waktu yang digunakan, dan semua orang tahu bahwa meter dan detik adalah kesepakatan teknis manusia zaman mutakhir.  Kalau “meter” diganti “mil” saja, angka itu sudah pasti berubah.  Demikian juga, tanggal 11 September adalah kalender Gregorian.  Orang-orang Kristen Orthodox yang tetap menggunakan kalender Julian menunjuk pada tanggal yang berbeda, sebagaimana mereka saat ini menunjuk 6 Januari kita sebagai hari Natal, dan bukannya 25 Desember, meski di kalender Julian itu tertulis 25 Desember.

Kalau kita kembali ke zaman peradaban emas Islam, ternyata matematika Islam dipandang dengan cara yang sama sekali berbeda.

John J. O’Connor dan Edmund F. Robertson (1999) menulis dalam MacTutor History of Mathematics archive: “Recent research paints a new picture of the debt that we owe to Islamic mathematics. Certainly many of the ideas which were previously thought to have been brilliant new conceptions due to European mathematicians of the sixteenth, seventeenth and eighteenth centuries are now known to have been developed by Arabic/Islamic mathematicians around four centuries earlier.”  (Penelitian terkini memberikan gambaran yang baru pada hutang yang telah diberikan matematika Islam pada kita.  Dapat dipastikan bahwa banyak ide yang sebelumnya kita anggap merupakan konsep-konsep brilian matematikawan Eropa pada abad 15, 17 dan 18, ternyata telah dikembangkan oleh matematikawan Arab/Islam kira-kira empat abad lebih awal).

Al-Khawarizmi (780-850 M), yang dari namanya muncul istilah “algoritma” yang lazim digunakan di dunia ilmu komputer, memberikan sumbangan signifikan ke ilmu aljabar, yang diturunkan dari judul bukunya “Kitab al-Jabar wa al-Muqabalah”, yang merupakan buku pertama tentang dasar-dasar aljabar.  Suatu riwayat menyebutkan bahwa beliau menekuni aljabar setelah mendapat pertanyaan tentang teknis pembagian waris.  Sebagaimana diketahui hukum waris dalam Islam cukup rumit sehingga dalam kasus-kasus tertentu membutuhkan seorang ahli aljabar untuk menghitungnya secara rinci.

Dalam bukunya ini, al-Khawarizmi juga memperkenalkan penggunaan angka Arab (sistem per-sepuluhan), yang aslinya adalah angka India.  Namun di India angka ini tidak populer dalam perhitungan sehari-hari, karena merupakan priviles para pendeta Hindu dalam komunikasi di antara mereka.  Selain itu al-Khawarizmi juga membuat perbaikan dengan memperkenalkan notasi pecahan sebagai desimal di belakang koma.

Al-Kindi (801-873) adalah perintis dalam analisis kriptologi, yaitu ilmu persandian suatu teks sehingga hanya dapat dimengerti bila diketahui kuncinya. Persandian mutlak diperlukan agar suatu teks yang dikirim melalui jalur komunikasi tidak diketahui atau digunakan orang yang tidak berhak.  Aplikasinya mencakup perlindungan data ATM atau kartu-kredit, hingga agar ponsel kita tidak disadap.  Semua teknik dasar al-Kindi ini masih dipakai hingga kini, termasuk di salah satu badan intelejen Amerika yaitu National Security Agency (NSA) yang mempekerjakan ribuan matematikawan untuk mengurai teks-teks tersandi yang bersliweran di internet.  Dalam buku A Manuscript on Deciphering Cryptographic Messages ditunjukkan bagaimana al-Kindi mengurai suatu teks tersandi dengan analisis frekuensi.

Teknik induksi matematika muncul pertama kali dalam buku tulisan Al-Karaji sekitar tahun 1000 M, yang menggunakannya untuk menguji teorema binomial serta jumlah dari kubus integral.  Sejarawan matematika F. Woepcke memuji Al-Karaji sebagai “yang pertama mengajarkan teori kalkulus aljabar”.

Ibn al-Haytham adalah matematikawan pertama yang menurunkan rumus persamaan pangkat empat, dan menggunakan metode induksi untuk mengembangkan rumus umum segala persamaan integral – apa yang di Eropa baru dikembangkan Newton dan Leibniz empat abad setelahnya.  Pekerjaan Ibn al-Haytham diteruskan oleh Sharaf al-Din al-Tusi (1135-1213) yang menemukan solusi numerik untuk persamaan kubik sehingga menjadi penemu deret kubik yang merupakan hal esensial dalam kalkulus differensial.

Pada abad-11 M, seorang penyair yang juga matematikawan (suatu kombinasi yang saat ini amat langka), yaitu Umar Khayyam adalah yang pertama kali menemukan solusi geometris dari persamaan kubik (yaitu bentuk-bentuk seperti ellips, parabola, dan hyperbola) dan memberi dasar bagi geometri analisis, geometri aljabar dan non-euclidian geometri.  Yang terakhir inilah yang di awal abad-20 memberi jalan bagi Albert Einstein untuk mengembangkan fisika relativitas!

Capaian matematikawan muslim juga meliputi penemuan trigonometri sferis, yang menjadi dasar segala perhitungan penentuan lintang bujur di atas bumi, hal yang amat mendasar di dunia astronomi, geodesi dan geografi.  Mereka juga menciptakan tabel-tabel sinus-cosinus-tangent dengan teknik perhitungan deret trigonometris.

Ini hanyalah sedikit dari “gunung es” matematikawan pada masa khilafah Islam.  Kebutuhan mengurusi umat dan memenangkan jihad serta dorongan spiritual dari beberapa perintah al-Qur’an membuat kaum muslim bergiat dalam matematika, yang tidak sekedar berhenti pada olah pikiran, namun juga menghadirkan sesuatu yang real bermanfaat dalam kehidupan nyata.

Matematika Islam telah mengusir numerologi Yunani, Mesir, Persia atau India kuno ke keranjang sampah peradaban.  Aneh bila pada saat ini sejumlah orang yang ihlas dan ghirah Islamnya tinggi justru terjebak pada pengembangan numerologi yang sejenis, yang tidak pernah terbukti mampu mengangkat peradaban manusia.

(dimuat di Media Umat no 3, Desember 2008)

Khilafah: sistem manusiawi

Sunday, November 4th, 2007

Dr. Fahmi Amhar [Al Wa’ie November 2007]

Khilafah: Solusi Dunia

Perkembangan dunia Abad 21 ini menunjukkan peningkatan interdependensi (saling ketergantungan) antarbangsa. Teknologi komunikasi dan informasi (ICT) menjadikan dunia sebagai “desa global” (global village). Perkembangan di manapun dapat diikuti oleh siapapun di pelosok dunia manapun. Ini membuat batas-batas artifisial yang diciptakan oleh Negara-bangsa menjadi kurang berarti. Pertanyaannya: siapa yang dapat memanfaatkan perkembangan global itu lebih baik?

Dalam hal ini, gaya hidup yang diciptakan dunia Barat yang materialistis-kapitalistis dan liberal-sekular pada awalnya memang berhasil mewarnai seluruh pelosok dunia lebih cepat. Namun, ujung-ujungnya gaya hidup ini juga lebih cepat menuai kecaman dari seluruh bangsa di dunia. Di segala pelosok dunia orang mengeluhkan pemborosan sumberdaya alam yang makin cepat, perusakan lingkungan yang makin dahsyat, tercerabutnya kearifan lokal, terdesaknya masyarakat adat dan makin jelasnya penjajahan ekonomi di mana-mana. Globalisasi yang semula dimaksudkan untuk mengokohkan peradaban Kapitalisme—sehingga Francis Fukuyama menyebutnya sebagai “The End of History”—justru menjadi bumerang. Di mana-mana orang mencari alternatif. Bahkan di negeri-negeri asal Kapitalisme, arus orang yang mencari jalan alternatif semakin meningkat. Orang mencari makanan alternatif. Tren pertanian tanpa pupuk kimia atau pestisida (pertanian organik) meningkat pesat. Orang mencari wisata alternatif (eco-wisata). Bahkan orang mencari agama alternatif (dari mainstream di sana, yaitu agama Nasrani). Jumlah pemeluk Islam, Budhisme dan sekte-sekte tumbuh pesat.

Di sinilah, sistem Khilafah dengan syariah Islam sebagai solusi total permasalahan manusia akan menjadi alternatif yang makin menarik guna memberikan pemecahan praktis persoalan dunia. Dunia yang kehilangan arah makna kehidupan akan diberi paradigma baru yang tepat. Sistem Khilafah yang bersifat global, tetapi memberikan ruang bagi pluralitas, akan memberikan jalan yang berbeda daripada perangkap-perangkap negara-bangsa yang sudah tidak kompatibel lagi dengan perkembangan teknologi komunikasi dan informasi serta isu-isu lingkungan hidup.


Khalifah Juga Manusia

Sistem khilafah masih perlu didetilkan. Konferensi Khilafah Internasional (KKI) yang digagas Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) pada 12 Agustus 2007 lalu mulai menuai bola salju. Di Harian Media Indonesia (24/8/2007) lalu muncul dua tulisan yang mempersoalkan ide-ide HTI.

M. Hasibullah Satrawi (alumnus al-Azhar Kairo) mempertanyakan prosedur pemerintahan seperti apa yang hendak diciptakan? Satrawi menganggap HTI mengalami kerancuan paradigma; di satu sisi ingin menegakkan pemerintahan Khilafah (yang menurutnya pada masa awal Islam sarat dengan nilai-nilai demokrasi), tetapi di sisi lain HTI anti demokrasi. Bahkan dia mempertanyakan apakah HTI sama atau memang Khawarij baru—suatu hal yang juga dilontarkan oleh kelompok Salafi.

Adapun Zuhairi Misrawi (Direktur Moderate Muslim Society) menggunakan pendekatan hermeneutik. Istilah khalifah dan khilafah dikatakan mengalami perkembangan dan partikularisasi, dari “mandat Tuhan yang diberikan kepada setiap manusia apapun agamanya” menjadi “justifikasi dan legitimasi suatu klan politik”. Kedaulatan Tuhan atau sistem Khilafah menurutnya adalah kalimat mulia tetapi maknanya bisa menjadi batil.

Lepas dari setuju atau tidak dengan isinya, keberadaan dua tulisan itu dapat bernilai positif, dan diharapkan terus membuka perdebatan ilmiah yang mengandalkan kekuatan logika.

Sepanjang sejarahnya, HT terbukti konsisten untuk concern dengan adu argumentasi ilmiah, dan bukan kekerasan atau main larang bicara yang hanya mengandalkan logika kekuatan. Justru logika kekuatan ini yang akhir-akhir ini ditunjukkan oleh penguasa negeri ini (atas desakan AS dan Uni Eropa), yang mencekal dan mendeportasi para pembicara KKI dari Luar Negeri, serta melarang dan menekan beberapa tokoh Dalam Negeri agar tidak hadir apalagi berorasi di forum KKI.

Sebenarnya apa yang dipersoalkan dua penulis di atas sudah terjawab oleh buku-buku HT sendiri. Dalam buku Ajhizah Dawlat al-Khilâfah (Struktur Negara Khilafah) yang dikeluarkan HT (Internasional) tahun 2005, ditegaskan bahwa sistem Khilafah adalah sistem manusia dan bersifat duniawi. Khalifah juga manusia dan negara Khilafah bukan negara teokrasi.

Memang, istilah khalifah dipakai secara umum dalam al-Quran surah al-Baqarah ayat 30, dan secara agak khusus dalam surah Shad ayat 26. Namun, Rasul saw. telah dengan jelas membatasi istilah khalifah/khilafah itu untuk pemerintahan pasca Beliau. Nabi saw. bersabda:

“Dulu Bani Israel diurus oleh para nabi. Setiapkali seorang nabi meninggal, ada nabi lain yang menggantikannya. Sesungguhnya tidak ada nabi sesudahku; yang akan ada adalah para khalifah, dan mereka banyak.” Para Sahabat bertanya, “Lalu apa yang engkau perintahkan kepada kami?” Nabi menjawab, “Penuhilah baiat yang pertama, yang pertama saja, dan berikanlah kepada mereka hak mereka. Sesungguhnya Allah akan meminta pertanggungjawaban mereka atas apa yang mereka urus.” (HR Muslim).

Dalam hadis lain Rasulullah sangat menekankan kesatuan negara sehingga melarang munculnya kepala negara tandingan. Dalam hal ini, Nabi saw. secara eksplisit menggunakan istilah khalifah untuk kepala negara kaum Muslim:

Jika dibaiat dua orang khalifah maka bunuhlah yang paling akhir dari keduanya. (HR Muslim).

Tentang mekanisme pemilihan khalifah, apa yang terjadi pada masa Khulafaur Rasyidin, dan diamnya mereka melihat mekanisme pemilihan Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali yang berbeda-beda, menunjukkan bahwa keempatnya adalah sah sebagai model. Hal ini karena ada sabda Nabi saw.:

Umatku tidak akan sepakat dalam kemungkaran.

HT menyimpulkan bahwa Ijmak Sahabat adalah sebuah sumber hukum. Karena itu, bagi HT mekanisme itu sangat jelas. Khalifah boleh dipilih secara langsung seperti Abu Bakar, atau dengan nominasi khalifah sebelumnya seperti Umar, atau dengan suatu komite pemilihan seperti Utsman. Semua model ini semuanya absah pada saat yang tepat. Jadi, keliru untuk mengatakan bahwa Islam atau sistem Khilafah tidak memiliki model suksesi.

Adapun apa yang terjadi di masa Bani Umayah, Abbasiyah atau Utsmaniyah adalah penyalahgunaan sistem baiat, namun bukan metode nominasinya sendiri yang salah. Dalam sistem demokrasi juga ada nominasi. Hampir semua penerus perdana menteri (PM) pada sistem demokrasi parlementer dinominasikan oleh PM sebelumnya. Toh nominasi ini hanya akan berjalan dengan baik kalau diterima oleh Parlemen dan diperkuat pada Pemilu berikutnya.

Dalam sistem Khilafah, orang yang dicalonkan ini baru akan sah menjadi Khalifah dengan baiat. Baiat adalah akad antara umat (yang terwakili oleh tokoh-tokoh kunci kekuatan umat, yaitu di politik atau militer) yang siap taat dan membela seseorang agar menerapkan syariah Islam. Orang yang menerima baiat itulah yang kemudian menjadi khalifah, atau amirul mukminin, atau sultan atau sebutan lain yang sah. Karena itu, jika khalifah tidak lagi menerapkan syariah maka akadnya otomatis batal. Mahkamah Madzalim secara konstitusional dapat memecat khalifah. Pemecatan ini tentu saja baru akan efektif jika kekuatan politik dan militer mendukungnya—sebagaimana juga mereka adalah kunci ketika seorang khalifah naik tahta. Kondisi real politis ini ada pada sistem apapun.

Sebaiknya dalam melihat suatu sistem pemerintahan, kita tak hanya terpaku pada sistem suksesi atau peralihan kekuasaannya. Konstitusi manapun tidak hanya mengatur suksesi. Dalam UUD ‘45 hasil amandemen, soal suksesi hanya ada pada 3 pasal dari 37 pasal. Jadi, saat kita menilai kualitas sebuah negara, jangan pula hanya melihat suksesinya. Kalau mau jujur, Indonesia ini, meski telah melakukan suksesi secara sangat demokratis, kualitas kehidupan masyarakatnya justru semakin parah dan semakin jauh dari cita-cita proklamasi. Sebaliknya, meskipun terjadi penyimpangan sebagian kecil khalifah pada masa lalu, mereka masih melindungi seluruh rakyatnya, mencerdaskannya, menjadikannya sejahtera, dan menorehkan sejarah peradaban yang mulia. Umar bin Abdul Azis dari Bani Umayyah berhasil mensejahterakan rakyatnya dalam 2,5 tahun, padahal waktu itu kekuasaannya membentang dari Spanyol hingga Irak. Khalifah al-Rasyid dan al-Makmun dari Bani Abbasiyah mensponsori aktivitas keilmuan yang luar biasa. Al-Mu’tashim Billah dengan tegas menindak suatu negara boneka Romawi yang aparatnya melakukan pelecehan seksual atas Muslimah di negeri itu. Bayangkan dengan apa yang diperbuat Republik yang sangat demokratis ini pada ribuan perempuan buruh migran yang tidak cuma dilecehkan namun juga disiksa di luar negeri? Al-Qanuni dari Bani Utsmaniyah berhasil menahan—untuk beberapa abad kemudian—laju imperialisme kekaisaran-kekaisaran Eropa saat itu (Habsburg Austria, Tsar Rusia, dll). Andaikata Khilafah Utsmani ini tidak pernah ada, barangkali Islam belum berkembang di Indonesia seperti saat ini.


Khilafah: Negara Hukum, Bukan Totaliter

Sering menjadi pertanyaan pula adalah masalah check and balance. Sistem demokrasi sering dipuja-puja karena adanya trias politika atau pembagian/pemisahan kekuasaan: legislatif–eksekutif–yudikatif. Sebaliknya, kekuasaan khalifah seperti dalam kitab-kitab fikih dituduh terlalu besar, tidak cuma sebagai eksekutif, tetapi juga bisa merangkap legislatif dan yudikatif. Sebagai legislatif: meski ada Majelis Syura, hanya dalam soal masyura keputusan syura mengikat; sedangkan dalam hukum syariah keputusan syura tidak mengikat. Sebagai yudikatif: selama tidak menyangkut dirinya, khalifah boleh mengadili secara langsung suatu pertikaian.

Orang lupa bahwa dalam sistem demokrasi dengan trias politika, kepala negara tetap paling berkuasa. Undang-undang apapun, kalau presiden tidak menerapkan, ya tidak jalan. Presiden juga bisa membuat Peraturan Pemerintah/Peraturan Presiden agar suatu UU menjadi operasional. Adapun dalam soal yudikatif, faktanya presiden mempunyai kekuasaan memberikan amnesti, grasi, abolisi dan rehabilitasi—sesuatu yang justru dalam sistem Khilafah tidak ada ketika perkaranya menyangkut hudûd atau jinâyah.

Orang juga sering lupa bahwa di negara manapun, dengan sistem apapun, kualitas kekuasaan akan bergantung pada kualitas masyarakatnya! Pada negara demokratis dengan trias politika, bisa saja seluruh kekuasaan itu praktis pada satu partai atau bahkan satu tangan. Jika suatu partai yang populer menang mutlak dalam Pemilu, dia akan mendominasi legislatif dan eksekutif. Anggota yudikatif yang konon independen pun toh dipilih dari para ahli hukum oleh DPR. Di Indonesia kita melihat sendiri seperti apa kualitas lembaga legislatif dan yudikatif yang konon melakukan check and balance itu.

Di sisi lain, jika legislatif dan eksekutif didominasi partai yang berbeda memang check and balance akan lebih kuat, namun dalam banyak hal juga akan membuat pengambilan keputusan sangat lamban yang bahkan bisa membuat pemerintahan lumpuh.

Seberapa efektif kekuasaan itu juga sangat bergantung pada kekuatan politik dan militer yang mengawalnya. Di negara yang sangat diktator pun, pemimpin tertinggi (raja, presiden atau sekjen partai komunis) akan berpikir seribu kali agar keputusannya juga didukung para aristokrat, tokoh partai dan pemimpin militer. Pada awal tahun 90-an, politik di sejumlah negara (Jerman Timur, Polandia, Uni Soviet dan Afrika Selatan) berubah total meski tanpa Pemilu. Kuncinya adalah perubahan cara pandang para tokoh politik dan militer sehingga sejalan dengan aspirasi masyarakat. Jadi, kuncinya sangat bergantung pada kualitas masyarakat. Dari rahim merekalah lahir para pemimpin. Masyarakat yang cerdas akan memunculkan para pemimpin politik dan militer yang cerdas.

Dari sini kita akan dapat mengerti bahwa tidak mungkin seluruh khalifah pada masa Umayyah-Abbasiyah-Utsmaniyah itu memerintah secara totaliter. Kalau ini terjadi, pasti umur sistem itu tak akan lama. Faktanya, mereka meninggalkan peradaban yang besar dan masyarakat yang kuat.

Namun, menganggap sistem Khilafah awal sarat dengan nilai-nilai demokrasi juga menunjukkan kebutaan kita terhadap demokrasi. Demokrasi direduksi hanya dalam proses prosedur Pemilu (demokrasi prosedural). Orang-orang liberal pun paham akan hal ini sehingga mereka menentang kalau orang Islam hanya menggunakan demokrasi sebatas prosedural.

Sejatinya, dalam demokrasi itu ada asas sekularisme (penetralan kehidupan publik dari acuan agama apapun), asas liberalisme (kebebasan berpikir, berpendapat dan berperilaku sepanjang tidak mengganggu kebebasan orang lain) serta asas kapitalisme (pasar bebas dengan modal sebagai panglima). Demokrasi boleh mempersoalkan apa saja (termasuk Islam), namun tidak boleh mempersoalkan ketiga asas penopangnya.

Sebaliknya, ide khilafah yang diusung HT sebenarnya tidak mempersoalkan pemilihan langsung oleh rakyat, sebab kekuasaan memang ditangan rakyat, namun menentang demokrasi dengan tiga asas penopangnya. Adakah demokrasi tanpa sekulerisme, liberalisme dan kapitalisme? Negara mana contohnya?


Kesimpulan

Sistem Khilafah adalah sistem pemerintahan manusiawi yang menjadikan al-Quran dan as-Sunnah sebagai sumber hukum (kedaulatan dari Allah), namun kekuasaan adalah dari umat. Karena kekuasaan dari umat, maka ia akan mengikuti dinamika politik manusia yang ada di dunia. Ini adalah realitas yang harus dimengerti, baik oleh para pejuang Khilafah maupun mereka yang skeptis terhadapnya. Wallâhu a‘lam bi ash-shawâb.[Dr. Fahmi Amhar]

 

Daftar Pustaka:

Ali Muhammad Ash-Shalabi: Bangkit & Runtuhnya Khilafah Utsmaniyah. Pustaka al-Kautsar, 2003.

Ibnu Khaldun: Muqaddimah. Edisi Indonesia oleh Pustaka Firdaus, 2000.

Robert Greene: The 48 Laws of Power. Edisi Indonesia oleh Karisma Publishing Groups, 2007.