Dr. Fahmi Amhar
Hari-hari ini kita disibukkan dengan kasus Prita Mulyasari, seorang ibu berusia 32 tahun, yang semula dirawat inap di sebuah rumah sakit swasta bertaraf internasional, namun pelayananannya tidak memuaskannya, karena hasil lab yang memaksanya rawat inap itu tidak dapat dia peroleh. Maka dia curhat ke teman-temannya melalui email, sayang email ini kemudian bocor ke publik melalui milis, dan si ibu Prita ini lalu dituntut oleh Rumah Sakit itu dengan tuduhan pencemaran nama baik, melanggar pasal 310 dan 311 KUHP, dan pasal 27 UU 11/2008 ttg Informasi dan Transaksi Elektronik (“Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemarannama baik) yang dalam pasal 45 UU tersebut diancam dengan penjara 6 tahun dan/atau denda 1 Milyar Rupiah. Karena ancaman hukumannya lebih dari 5 tahun ini maka si ibu yang malang ini langsung ditahan hingga 3 minggu, dan baru dilepas setelah kasusnya menjadi perhatian publik, bahkan perhatian para capres yang sedang kampanye.
Si ibu yang malang ini semula hanya ingin mengadukan nasibnya sebagai pasien, konsumen layanan medis. Jutaan pasien di negeri ini dalam posisi lemah terhadap dokter dan rumah sakit yang jarang proaktif memberikan informasi yang lengkap kepada pasien, apalagi pilihan tentang jenis obat atau tindakan yang diperlukan pasien. Pasien hanya sekedar menjadi objek, bukan subjek yang memiliki kehendak dan bisa diajak kerjasama memulihkan kesehatannya. Perlakuan dokter atau rumah sakit ini makin menggila jika pasien ditanggung oleh asuransi swasta. Dengan alasan memberi layanan terbaik, maka obat yang termahal pun diberikan, sekalipun mungkin tidak dibutuhkan oleh fisik pasien, atau bahkan dalam jangka panjang bisa merusak organ vital pasien.
Ketika pasien diperlakukan semacam ini, kepada siapa dia akan mengadu? Meski ada UU no 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen, dan telah dibentuk Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) di Departemen Perdagangan, namun faktanya tidak banyak masyarakat yang tahu keberadaannya. Akibatnya orang lebih suka mengeluh ke mana saja pihak yang dia percaya: ke LSM seperti Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), ke Komnas HAM, ke DPR, atau menulis surat pembaca ke media massa atau email ke dunia maya. Ini terjadi karena BPKN hanya bertindak setelah ada pengaduan langsung kepadanya. BPKN tidak diwajibkan bertindak proaktif dengan memonitor dunia perdagangan, sekalipun hanya dari surat pembaca di media massa.
Masalahnya, begitu menjadi konsumsi publik, keluhan konsumen ini dapat dengan mudah dibalikkan oleh yang merasa lebih kuat (yaitu produsen) dengan tuduhan pencemaran nama baik. Polisi, Jaksa ataupun Hakim yang menangani pun bisa bertindak tidak profesional, baik karena alasan keyakinan tertentu (yang mungkin mitos), alasan politis maupun alasan kepentingan lain yang terkait dengan pihak yang lebih kuat itu. Maka sang konsumen yang malang tadi tertimpa tangga dua kali: diperlakukan tidak adil dalam transaksi muamalahnya, lalu didzalimi oleh alat negara ketika mencari keadilan.
Solusi Islam
Islam memberikan solusi preventif yang luar biasa, tidak cuma sekedar secara individual dengan ketaqwaan dan ahlaq, namun juga secara kultural dan struktural, karena mustahil mengharapkan semua orang bertaqwa dan berahlaq mulia, sebagaimana di zaman Nabi pun tetap ada orang-orang fasik dan munafik.
Solusi pertama adalah Mahkamah Hisbah (Muhtasib), yang berfungsi menjaga kepentingan umum. Mahkamah ini dalam menegakkan hukum bertindak proaktif, tidak menunggu adanya pengaduan, karena realitasnya orang yang terganggu sering malas mengadu karena tidak cuma dia yang terganggu. Dalam sistem sekuler, pengaduan orang banyak harus melalui class action. Namun Rasulullah pernah memberi contoh yang lebih simpatik: mensidak pasar dan mengecek apakah kualitas gandum yang di bawah sama dengan yang dipajang di atas. Di zaman modern ini, sebagian fungsi mahkamah muhtasib ada yang dijalankan oleh polisi (misalnya merazia SIM di jalanan, agar umum tidak dirugikan pengemudi yang tidak berhak), oleh metrologi (yang menera takaran di SPBU), oleh Badan POM (merazia makanan illegal, berracun atau kedaluarsa) atau oleh pemda yang merazia bangunan tidak ber-IMB yang bisa membahayakan atau merugikan kepentingan umum. Namun masih banyak yang dapat dijadikan kewenangan Mahkamah Hisbah. Mahkamah ini bisa merazia sekolah-sekolah palsu yang hanya menjual ijazah, layanan medis yang tidak menghargai hak pasien maupun pengobatan alternatif yang tidak syar’i, bisnis investasi atau MLM yang hanya bersifat money-game dan masih banyak lagi. Rasulullah telah memberi teladan tentang sikap proaktif dalam melindungi rakyat. Kita memerlukan birokrat-birokrat proaktif, inilah birokrat syariah yang sesungguhnya, bukan syariah yang hanya mempersoalkan pakaian atau ibadah semata.
Solusi kedua adalah Mahkamah Madzalim yang berfungsi menghilangkan kedzaliman dari alat negara, termasuk kedzaliman polisi, jaksa, hakim dan bahkan kedzaliman dari Undang-undang yang telah disahkan pemerintah. Mahkamah ini berwenang memecat semua pejabat negara, bahkan memakzulkan Khalifah (Kepala Negara) bila mereka terbukti melakukan kedzaliman. Bentuk-bentuk kedzaliman ini seperti mengambil harta rakyat tanpa landasan hukum, tidak tabayyun mendengarkan kedua pihak yang berperkara, tidak menerapkan hukum yang sesuai (semisal hukuman zina diterapkan pada orang yang nikah siri) hingga menerapkan hukum kufur seperti menghalalkan riba atau judi atau peredaran minuman keras pada masyarakat muslim.
Tentu saja, berjalannya struktur atau sistem ini sangat tergantung kepada kualitas budaya kritik sosial di masyarakat. Imam Ghazali dalam kitab “Ihya Ulumudin” mengatakan, “Rusaknya rakyat adalah akibat rusaknya para pemimpin; Rusaknya para pemimpin adalah akibat rusaknya para ulama; dan Rusaknya para ulama adalah karena mereka cinta dunia (haus harta dan tahta)”.
Para ulama dan para ilmuwan harus menjadi mudzakkir (pemberi peringatan) baik pada para pemimpin, pebisnis maupun masyarakat umum. Rasulullah menyatakan bahwa “Jihad terbaik itu adalah memberi peringatan di depan orang kuat / penguasa yang ja’ir (dzalim)”.
Dr. Fahmi Amhar
Indonesia konon adalah negara yang “bukan-bukan”. Negara ini bukan negara sekuler, bukan pula negara Islam. Jadi bukan-bukan. Jaman Orde Baru dulu negara kita bukan demokrasi liberal, bukan pula diktator. Jadi bukan-bukan. Sistem republik kita juga bukan presidensil murni, bukan pula parlementer. Jadi bukan-bukan.
Kebingungan ini barangkali berhubungan dengan pola pendidikan tentang ketatanegaraan yang membosankan. Pada masa Orde Baru, ihwal tata negara dimasukkan dalam pelajaran Pendidikan Moral Pancasila atau Penataran P4. Kesan yang muncul: siapapun yang masih kurang sreg dengan sistem ketatanegaraan yang berlaku akan di-stigma “tidak bermoral Pancasila”. Padahal siapakah moralis Pancasila sejati? Pada akhirnya sejarah melihat, Soeharto Sang Penggagas P4 tumbang setelah KKN-nya makin memuakkan rakyat.
Reformasi kemudian mengaduk-aduk tata negara. UUD 45 yang semula dianggap “suci” diamandemen beberapa kali. Hak-hak asasi manusia dipertegas. Otonomi daerah diperluas. Presiden dan Kepala Daerah dipilih langsung. Masa jabatan presiden dibatasi dua kali. DPR diperkuat. Komisi-komisi dibentuk. Dan Mahkamah Konstitusi dijadikan pemutus perbedaan tafsir konstitusional.
Meski demikian, proses ini sepertinya masih lama belum akan berakhir. Hak-hak asasi manusia membuat arus liberalisme menjadi-jadi. Hanya sedikit daerah yang terbukti sanggup memanfaatkan otonomi untuk menaikkan taraf hidup rakyatnya. Pemilu yang terlalu sering juga malah membuat rakyat jenuh, sehingga angka golput meningkat. DPR yang kuat justru membuat pemerintah gerah, karena tanpa dukungan DPR (misalnya dalam hal anggaran), agenda pemerintah akan macet. Dan Mahkamah Konstitusi dianggap tirani baru, karena 5 dari 9 hakim MK sudah cukup untuk membatalkan suatu Undang-undang yang disepakati 550 anggota DPR.
Jadi, dalam dua puluh tahun terakhir ini kita menyaksikan tata negara yang “membosankan” ala Orde Baru dan lalu “membingungkan” ala Reformasi. Mungkin persoalannya akan berbeda kalau kita gali ilmu ini seperti nenek moyang kaum muslimin melakukannya.
Tata negara sebagai amalan praktis – tak sekedar sebagai teori filsafat – sudah dipraktekkan sejak zaman sahabat. Mereka ditugaskan dalam berbagai pos, seperti sebagai gubernur, panglima, qadhi, bendahara baitul maal, penarik zakat, dan sebagainya. Para imam mujtahid juga pasti memasukkan bab siyasah dalam kitab-kitab fiqihnya.
Namun tata negara sebagai sebuah ilmu yang utuh dan sistematik adalah hasil tangan dingin Abu al-Hasan Ali ibn Muhammad ibn Habib al-Mawardi (972-1058 M). Beliau dikenal sebagai ahli tafsir dan fiqh madzhab Syafi’i; serta mendalami sastra, naskah kuno dan etika. Dia pernah bekerja sebagai qadhi di berbagai daerah di Iraq, juga sebagai utusan Khalifah ke berbagai penjuru negeri Islam.
Karya al-Mawardi yang paling monumental dan sudah menjadi klasik adalah kitab Al-Ahkam al-Sulthaniyya w’al-Wilayat al-Diniyya (Kitab tentang sistem pemerintahan, wilayah dan agama). Selain itu ada juga menulis Qanun al-Wazarah (Hukum tentang para Menteri), Kitab Nasihat al-Mulk (Buku tentang Nasehat untuk Para Penguasa), dan Kitab Aadab al-Dunya w’al-Din (Buku tentang Etika Dunia dan Agama).
Al-Mawardi menulis bukunya berdasarkan realitas empiris pengalaman praktik pemerintahan yang beliau hadapi sebagai qadhi dan utusan khalifah, yang lalu dianalisis dan dikaitkannya sesuai persepsinya sebagai ahli fiqh. Dia termotivasi untuk menulis buku-bukunya itu agar para penguasa muslim di wilayah yang semakin luas itu, juga generasi sesudahnya, dapat semakin efektif menjalankan roda pemerintahan berdasarkan syariat Islam. Dalam banyak aspek al-Mawardi melakukan ijtihad sendiri atas persoalan yang memang di masa Nabi atau generasi sahabat belum ditemui, dan di sisi lain, dia juga melakukan adopsi atas hal-hal yang sifatnya teknis administratif pemerintahan – yang sejak masa Khalifah Umar bin Khattab – banyak ditiru dari Persia atau Romawi.
Dibandingkan misalnya pendapat Plato (360 SM) tentang “Republik” dalam bukunya Πολιτεία (Politea), pendapat-pendapat al-Mawardi terasa sangat revolusioner.
Al-Mawardi membahas rinci tata cara pengangkatan para pejabat dari khalifah hingga panglima, hakim dan petugas zakat; juga tentang jihad, pembagian harta negara (termasuk ghanimah dan fai); tentang status daerah, pertanahan, dokumen, pidana hingga hisbah. Banyak sekali apa yang ditulis al-Mawardi tetap dijadikan prinsip umum administrasi negara hingga zaman modern.
Sezaman dengan al-Mawardi adalah Abu Ya’la Muhammad bin al-Hasan bin Muhammad bin Khalaf bin al-Farra’ yang menariknya juga menulis buku dengan judul yang sama. Hanya saja, al-Mawardi ternyata lebih tua dari Abu Ya’la, dan bukunya terbit lebih dulu. Selain itu buku al-Mawardi juga menggunakan metode muqaranah (komparatif) antar pendapat fiqh berbagai mazhab yang dikenalnya, dan tidak hanya mengacu kepada satu mazhab tertentu, sementara Abu Ya’la hanya mengacu ke mazhab Hanbali.
Setelah al-Mawardi, ilmuwan besar yang menekuni tata negara adalah Abu ‘Abdullah Muhammad ibn Ahmad ibn Abu Bakr al-Ansari al-Qurtubi (1214 – 1273 M), seorang imam mazhab Maliki dengan karyanya yang terkenal Tafsir al-Qurtubi Al-Jami’ li Ahkam il-Qur’an, sebuah tafsir 10 jilid tebal dengan fokus tentang masalah hukum, termasuk hukum-hukum tata negara.
Kemudian kajian tata negara ini diteruskan Taqī ad-Dīn Abu ‘l Abbās Ahmad ibn ‘Abd al-Halīm ibn ‘Abd as-Salām Ibn Taymiyah al-Harrānī (1263 – 1328 M), yang antara lain menulis kitab al-Siyasa al-shar’iyya.
Seabad kemudian Jalaluddin as-Suyuti (1445-1505 M) menulis hampir 500 kitab, dan yang paling terkenal adalah Tarikh al-Khulafa yang mempelajari tata negara secara historis serta Al-Khulafah Ar-Rashidun tentang praktek kenegaraan ala empat khalifah pertama.
Selama mengacu kepada Islam, tata negara berdasarkan syara’, tidak akan membosankan. Negara khilafah baru redup ketika fiqh tata negara makin jarang dibicarakan, dan rakyat awam yang tahu makin sedikit. Ini berdampak makin memburuknya penerapan sejumlah hukum Islam. Zakat, kharaj atau jizyah memang terus dipungut, tetapi negara tidak lagi serius mendistribusikan pungutan itu kepada mereka yang berhak. Negara makin mengabaikan tanggung jawabnya terhadap rakyat. Akibatnya rakyat yang terdhalimi jadi mudah terprovokasi untuk disintegrasi. Mereka akhirnya jatuh ke pelukan penjajah.
Sekarang ketika khilafah sudah tiada, saatnyalah fiqh tata negara digali lagi dan diaktualisasi, untuk modal kebangkitan hakiki, agar kita tidak jalan di tempat, bingung menjadi bangsa dengan negara bukan-bukan.
Dr. Fahmi Amhar
Setelah Pemilu Legislatif lalu diperkirakan ada satu profesi yang “panen”, yang sayang hal ini tidak membanggakan, yaitu: ahli jiwa berikut rumah sakit jiwa. Ya ribuan caleg stress bertebaran di mana-mana. Mereka semula sudah menggadaikan rumah, utang bank ratusan juta, bahkan utang ke pengusaha sablon dan alat-alat pesta, sambil bermimpi hidup enak jadi anggota dewan berikut pensiun seumur hidup. Tiba-tiba kini menghadapi kenyataan pahit, perolehan suaranya cuma nol koma Insya Allah. Ada caleg yang langsung kena serangan jantung dan tewas, ada yang bunuh diri, ada yang keluar hanya bercelana kolor, ada yang merampas kembali barang-barang yang sudah dibagikan ke konstituennya, ada yang mengusir orang-orang yang bertahun mengontrak rumahnya, dan masih banyak lagi tanda-tanda gangguan jiwa lainnya.
Setiap bicara gangguan jiwa, orang teringat pada ilmu jiwa. Psikologi atau ilmu jiwa termasuk ilmu sosial yang banyak dipengaruhi oleh pandangan hidup. Ilmu jiwa dirasa penting ketika ada fenomena orang sakit jiwa (gila). Pada masa lalu, di hampir semua kebudayaan, orang gila sering dianggap orang yang jiwanya goyah karena kurang iman, kena sihir atau kerasukan setan. Akibatnya, terapi atas orang gila adalah terapi keagamaan atau ritual pengusiran setan (ruqyah). Terapi ini kadang berhasil, tetapi sering juga gagal. Pandangan bahwa orang bisa gila karena kurang iman juga tidak cocok dengan kenyataan bahwa Rasulullah sendiri tidak memandang semua orang kafir itu sebagai orang gila, meski jelas mereka tidak punya iman.
Namun pandangan semacam itu di Barat ternyata masih bercokol hingga zaman modern, bahkan sebagian hingga kini. Sigmund Freud, orang Austria yang dianggap Bapak psikologi modern – disebut modern karena mempelajari ilmu jiwa secara eksperimental – pun menganggap bahwa gangguan jiwa terjadi karena ada “gap” (perbedaan) antara ide (rasio), ego (nafsu), dan superego (hati nurani), dan gap ini harus dijembatani. Dalam bukunya yang berbahasa Jerman berjudul “Die Deutung der Traumen” (Arti Mimpi-Mimpi) dia menyatakan bahwa beberapa kasus kejiwaan disebabkan oleh keinginan seks yang tidak terpenuhi, sehingga saran terapinya adalah dengan memberi pasien kesempatan melakukan hubungan seks.
Saran dari Sigmund Freud ini tentu saja mendapat reaksi keras, tidak cuma di dunia Islam, tetapi juga di kalangan konservatif Eropa. Sayangnya mereka tidak punya alternatif, karena Freud-lah perintis psikologi di Eropa.
Namun bagi kaum muslim, psikologi tidak harus mengacu kepada Sigmund Freud. Sejarah sains Islam ternyata juga mencatat prestasi-prestasi di bidang psikologi. Ini karena Islam menjadikan aqil (sehat akal, lawan dari gila) sebagai syarat seseorang menjadi subjek hukum. Orang yang terbukti gila tidak boleh menjadi pejabat publik, dan seorang Khalifah yang terbukti gila dengan serta merta akan dipecat. Tapi bagaimana mendefinisikan gila, bagaimana cara mengukurnya, lantas bagaimana mengobatinya? Ini adalah bahasan-bahasan psikologi.
Dalam dunia psikologi, karya pertama tentang psikologi dan komunikasi dalam dunia hewan telah ditulis oleh Al-Jahiz (766–868 M). Sedang Abū Naṣr Muḥammad al-Fārābi (872–951 M), dikenal sebagai pendiri psikologi sosial dan psikologi perkotaan. Dia menyatakan bahwa untuk meraih kesempurnaan, seorang manusia perlu untuk tinggal di suatu lingkungan bertetangga dengan yang lain dan bekerja bersama mereka.
Konsep kesehatan mental pertama kali diajukan oleh Ahmed ibn Sahl al-Balkhi (850-934 M) dalam kitabnya Masalih al-Abdan wa al-Anfus. Bersama Muhammad ibn Zakarīya Rāzi (Rhazes), al-Balkhi dikenal sebagai ahli-ahli pertama yang mempelajari psikoterapi. Ar-Razi bahkan telah membangun bagian jiwa di rumah sakit Bagdad, hal yang saat itu tak mungkin ada di Eropa karena kepercayaan bahwa penyakit jiwa adalah akibat kerasukan setan.
Ibnu Sina adalah perintis psikologi fisis dan psikosomatis. Dia mendapatkan bahwa dalam mengobati suatu penyakit mesti melibatkan emosi dan dia mendapatkan juga bahwa denyut jantung terkait dengan perasaan. Dia adalah orang pertama yang menggambarkan berbagai kondisi neuropsikiatri termasuk halusinasi, insomnia (kesulitan tidur), mania (gila atas sesuatu), nightmare (mimpi buruk), epilepsi (ayan), stroke, vertigo dan sebagainya.
Dalam dunia medis, psikologi secara umum terkait dalam tiga hal: (1) psikiatri – yakni terapi medis bagi orang yang hilang ingatan atau berpersepsi abnormal (schizophrenia); (2) psikoterapi – dialog psikologis untuk membantu orang menyadari kondisi yang lebih menenteramkannya dan menurunkan perasaan ketidaknyamanan yang subjektif. (3) psikosomatis – kaitan kesehatan mental dengan fisis, atau disebut juga psycho-physiologis.
Dalam ketiga aspek ini para ilmuwan muslim memberikan kontribusi yang signifikan. Ibnu Sina dan Ar-Razi adalah perintis-perintis psikiatri dan psikosomatis. Sedang al-Balkhi dan al-Farabi adalah sumber ide psikoterapi, yang tidak hanya berlaku individual tetapi juga untuk masyarakat (psikologi pendidikan, psikologi sosial, dan psikologi massa).
Tokoh Al-Farabi ini bahkan cukup unik. Beliau menekuni bagaimana memberikan kondisi yang nyaman bagi kebanyakan orang, dan menemukan bahwa bunyi yang ritmis namun lembut mampu menciptakan hal itu. Karena itu kemudian dia mempelajari irama musik hingga ke alat-alatnya dan menemukan hubungan matematika antara tangga nada. Al-Farabi menulis buku Kitab-al-Musiqa (Buku tentang musik), dan menemukan beberapa jenis instrumen, termasuk di dalamnya yang zaman sekarang berkembang menjadi piano.
Berbeda dengan instrumen musik rebana yang sudah ada di tanah Arab sejak zaman pra-Islam, dan umumnya dipakai untuk mengiringi acara pesta gembira, dentang piano yang lembut dan menenangkan justru semula diciptakan al-Farabi sebagai alat menciptakan efek terapi pada kondisi mental, yang seterusnya juga akan berefek positif pada kondisi kesehatan fisik.