Dr. Fahmi Amhar
Tahukah anda berapa tingkat buta huruf di desa anda? Tingkat buta huruf adalah indikator ketertinggalan. Anda percaya, bahwa di zaman sekarang, tinggal sedikit orang yang buta huruf. Jika ada, itu “butu huruf sekunder”, yakni orang-orang yang pernah bisa membaca, tetapi lupa membaca, karena berpuluhtahun keterampilan itu jarang dipakai. Dia lebih suka menonton televisi, itupun yang tak ada tulisannya. Tentunya dia juga tak pernah menulis pesan pendek (sms).
Bayangkan suatu negeri yang tingkat buta hurufnya 95%! Mengerikan. Tetapi itulah Eropa abad 9 hingga 12 M. Bahkan Kaisar Karl dari Aachen di usia tuanya konon masih berusaha mempelajari “keterampilan yang sulit dan langka” itu! Di biara-biara hanya sedikit pendeta yang mampu membaca. Di biara St Gallen Swiss pada 1291 bahkan tak ada seorangpun dapat membaca dan menulis. Pada saat yang sama, jutaan anak-anak di desa dan kota Daulah Khilafah duduk di atas karpet dan mengeja huruf-huruf Qur’an, menulisnya, hingga menghafal surat-surat itu, lalu memulai mempelajari dasar-dasar gramatika bahasa Arab (nahwu dan shorof).
Keinginan seorang muslim untuk menjadi muslim yang baik, adalah awal semua ini. Karena setiap muslim mesti mampu membaca Qur’an. Di sinilah jurang antara Timur dan Barat. Untuk kitab suci Nasrani, hanya pendeta yang memiliki akses, membaca dan mengerti bahasa kitab suci. Namun sejak 800 M, para pengkhutbah dalam bahasa Latin sudah susah dimengerti orang kebanyakan, sampai-sampai sinode gereja memerintahkan menggunakan idiom awam, karena yang menikmati sekolah (berbahasa Latin) hanya selapis tipis rohaniwan.
Ini berbeda dengan Daulah Khilafah yang sangat berkepentingan agar rakyatnya cerdas. Pendidikan benar-benar menjadi urusannya. Anak-anak semua kelas sosial mengunjungi pendidikan dasar, dengan biaya yang terjangkau semua orang. Karena negara membayar para gurunya, orang-orang miskin mendapat tempat cuma-cuma. Di banyak tempat malah sekolah sama sekali gratis, misalnya di Spanyol. Selain 80 sekolah umum Cordoba yang didirikan al-Hakam-II pada 965 M, masih ada 27 sekolah khusus untuk anak-anak miskin. Di Kairo, al-Mansur Qalawun mendirikan sekolah untuk anak yatim, dan menganggarkan setiap hari ransum makanan yang cukup dan satu stel baju untuk musim dingin dan satu stel baju untuk musim panas. Bahkan untuk orang-orang Badui yang berpindah-pindah, dikirim guru yang juga siap berpindah-pindah mengikuti tempat tinggal muridnya. Tak ada lagi celah dalam jejaring sekolah seperti ini.
Namun pendidikan di Daulah Khilafah tidak terbatas pada pendidikan dasar. Yang “salah” adalah politik.
Kompetisi antara oposisi dan pemerintah dalam melayani rakyat menyebabkan tingkat pendidikan cepat terangkat. Pada abad-10 M, oposisi meluncurkan konsep berbagai program pendidikan untuk lebih menarik dukungan masyarakat dalam mengkritisi pemerintah. Para oposisi ini merencanakan membangun universitas, tentunya juga bebas biaya. Maka segera pemerintah mengambil ide ini, agar oposisi batal mendapat dukungan. Hasilnya rakyat di seluruh kota besar menikmati pendidikan tinggi!
Para mahasiswa tinggal di kamar-kamar lantai atas gedung kampus. Mereka juga mendapat makanan lengkap cuma-cuma, bahkan uang saku. Di bawah tanah terdapat dapur, gudang dan tempat mandi. Di lantai dasar ada ruang-ruang belajar dan perpustakaan. Di situlah dipelajari Quran, Hadits, Bahasa Arab, Sejarah, Sosiologi, Geografi, Logika, Matematika dan Astronomi. Melalui pertanyaan dan debat, mahasiswa dilibatkan dalam proses pembelajaran. Para mahasiswa tingkat lanjut dan alumni membantu mereka belajar. Mereka seperti “lebah yang sedang meracik madu ilmu dari ribuan bunga pengetahuan”, tulis Sigrid Hunke, sejarawan Jerman dalam Allah Sonne ueber dem Abendland.
Sebagian petani dari desa menitipkan anak mereka ke seorang guru di kota, bersama uang atau hasil bumi untuk biaya hidupnya. Mereka berharap anaknya akan tumbuh menjadi seorang faqih yang kelak diterima sebagai qadhi atau bahkan syukur-syukur menjadi mujtahid Khalifah. Anak-anak titipan ini akan menjadi “ajudan” dari sang guru. Sebagai balas jasa, sang guru akan merawatnya jika si anak sakit, bahkan siap menjual keledai satu-satunya jika dia perlu membeli obat.
Sebagian ayah memanggil guru ke rumah, biasanya untuk anak berbakat, seperti misalnya Ibnu Sina yang di usia 10 sudah hafal Qur’an dan kitab-kitab kuno. Ini tentu tidak mungkin tertampung di sekolah umum. Setelah ia menamatkan fiqih pada seorang faqih dan aritmetika pada seorang pedagang, ayahnya memanggil Abu Abdullah an-Natsibi, yang terkenal sebagai filosof. Tapi tak lama kemudian terbukti sang murid lebih pandai dari gurunya. Baru saja gurunya mengajari 5-6 gambar dari kitab geometri karya Euklides, Ibnu Sina melanjutkan sendiri dengan bantuan kitab syarah. Selesai kitab Euklid, dia teruskan dengan Almagest dari Ptolomeus, yakni kitab astronomi termasyhur saat itu. Itupun tidak lama. Dia kemudian pindah ke fisika, lalu di bawah bimbingan Isa bin Yahya al Masihi, ke kedokteran. Dia diminta membaca buku yang tersulit. Belakangan dia katakan kedokteran tidak sulit, karena dia hanya butuh waktu singkat. Saat menamatkan semua ini, usianya baru 16! Maka Sultan memanggilnya untuk menjadi ilmuwan istana. Dia menambah ilmunya lagi dengan belajar di perpustakaan sultan dan di rumah sakit. Di usia 18, dia benar-benar menamatkan semua yang dapat dipelajarinya.
Tentu yang seperti Ibnu Sina ini memang luar biasa. Namun jalan umum untuk belajar adalah di masjid-masjid. Siapa saja boleh datang dan pergi, laki ataupun perempuan. Dan siapa saja boleh menginterupsi para guru untuk bertanya atau membantah. Ini memaksa para guru untuk mempersiapkan materinya dengan seksama. Sebenarnya, siapapun yang merasa mampu boleh mengajar. Namun audiensnya yang selalu siap mengkritik, mencegah orang-orang yang belum matang atau baru setengah matang dalam ilmu untuk memimpin kalimat.
Di masjid-masjid juga biasa didengarkan kalimat dari para ulama yang sedang dalam perjalanan yang singgah di kota itu, terutama ketika musim haji. Dengan demikian para mahasiswa selalu mendapatkan masukan. Bahkan juga cepat tahu bila ada karya yang “dicuri” mentah-mentah (plagiarism). Untuk mengungkap karya orang lain, sanad atau rawi wajib disebutkan. Dan untuk itu perlu ada ijazah (lisensi) tertulis dari gurunya, bahwa dia layak untuk menjadi sanad dari pengetahuan tersebut. Inilah mengapa gelar sarjana di timur tengah adalah Lc. dari kata Licentiate – berlisensi untuk menyampaikan.
Al-Azhar Press
isbn: 979-3118-80-6
Buku ini saya sebut “TSQ-stories”, karena berisi kisah-kisah tentang kecerdasan ilmiah dan kreativitas teknologi yang berbasis spiritual (technoscience-spiritual-quotient). Kisah-kisah ini digali dari sejarah keemasan peradaban Islam, era di mana diyakini ada keseimbangan yang luar biasa antara budaya rasional dan transendental, antara dunia “aqli” dan “naqli”, dan antara kemajuan dunia dan keselamatan akherat.
Kisah-kisah ini “dipulung” dari banyak sekali sumber. Saya amat berhutang budi kepada Wikipedia, Sigrid Hunke (“Allahs Sonne ueber dem Abendland”), Ahmad Y Al-Hassan & Donald R. Hill (“Islamic Technology: An Illustrated History”), suami istri Ismail Roji & Lois Lamya al-Faruqi (“The Cultural Atlas of Islam”), Francis Robinson (“Atlas of the Islamic World since 1500”), Geoffrey Barraclough (“The Times Atlas of World History”), dan masih banyak lagi sumber-sumber yang berserakan. Meski akurasinya dijaga, buku ini tidak dimaksudkan sebagai karya ilmiah yang harus mencantumkan sumber referensi di setiap pernyataan, namun buku ini ditulis lebih untuk dijadikan inspirasi.
Dengan kisah-kisah ini kita tidak ingin bernostalgia dan selalu menengok masa lalu. Apalah artinya uang segudang tapi adanya di masa lalu dan sekarang dengan kantong kosong dan perut lapar kita menjadi pengemis pada rentenir-rentenir dunia? Namun dengan kisah-kisah ini kita ingin menunjukkan, bahwa kita pernah memiliki kakek dan nenek orang-orang hebat nan mulia. Di dalam tubuh kita mengalir darah mereka. Dan kita juga masih memiliki apa yang pernah membuat mereka hebat dan mulia, yakni ajaran Islam, yang bila dipraktekkan secara sinergis baik di level individual, level sosial-kultural, maupun level sistemik-struktural pasti akan memberikan “ledakan peradaban” yang sama. Dalam bahasa yang lebih gamblang, pada masa keemasan Islam itu tak cuma ada kesalehan individual, tetapi juga ada kesalehan kolektif, dan kesalehan negara. Untuk itulah pada awal setiap kisah selalu diberikan refleksi untuk menghubungkan masa kini dengan dengan masa lalu.
Tentunya akan muncul pertanyaan lanjutan yang sangat absah: mengapa peradaban tinggi yang pernah membuat generasi hebat nan mulia itu kemudian tenggelam? Lalu apa saja yang dapat kita perbuat untuk menarik peradaban itu dari dasar samudra agar dapat tegak kembali berlayar menuju tanah impian? Untuk pertanyaan-pertanyaan ini sudah tersedia jawabannya, namun bukan di buku ini.
Buku ini didesain agar ringan, dapat dibawa ke sekolah di level apapun, dijadikan materi diskusi oleh guru pelajaran apapun. Sengaja, hampir seluruh pelajaran yang ada di SD hingga SMA dapat dicarikan contohnya di satu atau lebih judul tulisan dalam buku ini. Kita ingin, Islam tidak cuma dikenal dan diinternalisasi oleh guru agama saja, tetapi juga oleh guru-guru dari segala mata pelajaran. Guru matematika mengetahui kisah-kisah matematikawan muslim di masa lalu, sebagaimana guru olahraga atau guru kesenian juga mendapatkan perkenalan yang serupa. Bahkan lulusan SMA yang ingin meneruskan ke perguruan tinggi dapat mendapatkan inspirasi – dan juga motivasi – tentang jurusan apa di perguruan tinggi yang dapat mengikat emosinya dengan kehebatan dan kemuliaan nenek moyang kaum muslim.
Tentu saja, sebagai perkenalan, buku ini teramat singkat. Sesungguhnya tulisan-tulisan ini pernah dipublikasikan di tabloid Media Umat dari tahun 2008 hingga 2010. Setelah mengarungi nyaris seluruh jenis ilmu, tiba saatnya bahasan di tabloid tersebut diperdalam. Kalau tidak, niscaya kisah-kisah singkat yang bersifat overview semacam ini lekas kehabisan bahan.
Sebagai catatan terakhir, kalau di buku ini disebut “ilmuwan Islam”, maka maksudnya adalah “ilmuwan negara Khilafah”. Ilmuwan yang bersangkutan boleh jadi non muslim, atau kemurnian aqidahnya diragukan oleh sejumlah ulama ushuluddin. Kita tidak perlu berdebat tentang itu. Yang penting, selama seorang ilmuwan mengabdikan hidupnya dalam negara Khilafah dan karyanya memuliakan Islam dan kaum muslim, maka dia adalah “ilmuwan Islam”. Ini karena Islam adalah suatu tatanan atau suatu ideologi yang khas. Masyarakat Islam dibangun di atas tatanan itu, mulai dari cara pandangnya atas kehidupan dan metode mereka menyelesaikan segala persoalan kehidupan itu, yang semuanya khas.
Hal ini sebenarnya mirip dengan kalau kita menyebut “ilmuwan Amerika” untuk para saintis atau teknolog di Amerika, mulai yang bekerja di NASA atau di Microsoft hingga yang membangun Disneyland atau membuat animasi untuk Hollywood. Mereka tak semuanya warga negara Amerika dan secara individual juga tidak semua setuju dengan ideologi ataupun politik luar negeri Amerika. Tetapi kita tidak salah menyebut mereka “ilmuwan Amerika”, karena mereka, meski berasal dari Cina, India ataupun Timur Tengah, bekerja di Amerika, dan ikut memakmurkan, membuat jaya, dan mengharumkan citra Amerika di dunia.
Saya memohon kepada Allah, semoga langkah yang kecil ini dapat mendorong ribuan langkah kecil lainnya, hingga menjadi langkah-langkah raksasa yang cukup demi menarik peradaban Islam keluar dari dasar samudra, kembali memimpin zaman, merahmati seluruh alam.
Saya memohon kepada Allah, agar mempertemukan kita dengan orang-orang yang amat kita rindukan, yaitu baginda Nabi dan para sahabatnya, serta para ilmuwan Islam yang shaleh, yang perjalanannya mencari ilmu adalah jihad fii sabilillah, dan goresan tintanya lebih mulia dari darah para syuhada.
Daftar Isi:
1. Ketika Agama bukan sekedar Dogma dan Busana
2. Belajar Bahasa untuk Negara Adidaya
3. Olahraga Para Mujahid
4. Ketika para Seniman Orang-orang Beriman
5. Matematika Islam bukan Numerologi
6. Astronomi Islam tak sekedar Hisab & Ru’yat
7. Fisikawan Islam Mendahului Zaman
8. Terbang tanpa karpet ajaib
9. Ketika Kimiawan tak lagi Tukang Sihir
10. Teknologi Militer Islam
11. Kedokteran Islam pakai Uji Klinis
12. Ketika Sehat bukan Misteri
13. Islam Pernah Merevolusi Pertanian
14. Ketika geografi induk segala ilmu
15. Ilmu Sosial bukan Anak Tiri
16. Psikologi tak harus ikut Freud
17. Tata Negara yang tidak membosankan
18. Ekonomi Umat tak hanya Zakat
19. Industri Islam tak hanya Perangkat Ibadat
20. Negeri Kincir Angin pertama bukan Belanda
21. Arsitektur Islam tak hanya Masjid Sentris
22. Kota Islami Kota Terrencana
23. Ketika Bencana tak hanya diratapi dengan doa
24. Krisis Energi bagi sebuah Negara Merdeka
25. Ketika Jarak bukan Penghalang Komunikasi
26. Teknologi Kelautan untuk Negara Adidaya
27. Teknologi untuk Menutup Aurat
28. Menjadi Cerdas dengan Kertas
29. Ketika Perpustakaan Jadi Identitas
30. Manajemen Riset para Mujtahid
Total 204 halaman.
Dr. Fahmi Amhar
Kenalkah anda dengan satu perpustakaan di kota anda? Pernahkah anda mengunjunginya? Apakah anda merasa betah di dalamnya dan meraup manfaat darinya? Berapa buku yang pernah anda baca dari perpustakaan? Berapa orang yang biasanya anda jumpai di perpustakaan? Apa yang biasanya mereka kerjakan?
Bagi banyak orang, jawaban pertanyaan-pertanyaan di atas adalah jelas: geleng-geleng atau angkat bahu. Perpustakaan yang lazim dikenal barangkali cuma perpustakaan sekolah atau kampus. Orang ke sana karena ada tugas dari dosen dan harus mencari literatur. Selain itu karena ingin belajar pada suasana yang nyaman, sambil sekali-sekali membaca koran hari itu. Jarang orang datang ke perpustakaan, apalagi perpustakaan non kampus, untuk membaca buku-buku bermutu yang ada di dalamnya. Perpustakaan menjadi tempat yang sepi, agak berdebu dan “angker”. Hanya peneliti yang memerlukan singgah ke sana. Para penjaganya juga kesepian, sehingga ada perpustakaan yang buka hanya kalau ada permintaan saja.
Beberapa perpustakaan lalu ganti strategi. Mereka menjaring pembaca remaja dengan menyediakan lebih banyak bacaan populer, komik, teen-lit, dan multimedia. Perpustakaan pelan-pelan beralih fungsi menjadi tempat penyewaan komik dan DVD. Namun bertahan menjadi perpustakaan semacam ini tentu tidak mudah. Dalam waktu singkat, koleksi populer itu pasti akan termakan zaman. Tidak murah untuk terus mengupdate koleksi itu sesuai penerbitan terakhir yang jumlahnya makin banyak. Ada yang terpaksa mengambil jalan pintas dengan membeli buku atau DVD bajakan. Namun inipun tidak juga selalu menutup biaya operasional. Perpustakaan adalah proyek rugi, cost center, bukan profit-center.
Ini berbeda dengan seribu tahun yang lalu.
Tahun 1000 M, di Bagdad pedagang buku Ibn an Nadim mempublikasikan al-Fihrist (“Katalog Pengetahuan”). Buku ini terdiri dari 10 Jilid dan memuat judul seluruh buku dalam bahasa Arab yang terbit hingga saat itu, baik dari ilmu ushuluddin, astronomi, matematika, fisika, kimia, dan kedokteran. Buku-buku yang masuk dalam katalog itu seperti sudah terjamin mutunya dan menjadi buruan para pengelola perpustakaan, berikut ahli salinnya, juga para cerdik cendekia yang tidak ingin ilmunya dikatakan orang “di bawah standar”, hanya karena tidak mengenal buku yang ada dalam katalog itu. Buku yang saat itu masih ditulis tangan tentu saja sangat mahal. Untunglah, bagi yang tak mampu membelinya tersedia perpustakaan.
Maka tertariklah mahasiswa dari timur dan barat pada perpustakaan-perpustakaan di dunia Islam. Perpustakaan Universitas Cordoba memiliki koleksi setengah juta buku. Di Kairo ada beberapa ratus pustakawan yang melayani perpustakaan khilafah dengan koleksi dua juta buku. Ini duapuluh kali lipat perpustakaan Mesir kuno di Alexandria sebelum dihancurkan oleh Romawi. Pernahkah anda menghitung berapa buku yang dapat dimuat dalam rak buku anda? Satu rak buku standar yang banyak terdapat di rumah-rumah dapat memuat rata-rata 100 buku. Jadi di perpustakaan Kairo kira-kira terdapat 20.000 rak. Kalau satu rak berikut ruang untuk orang lewat perlu area 1 meter persegi, maka berarti luas lantai perpustakaan itu kira-kira dua hektar!
Para pustakawan di masa itu wajib memiliki ilmu yang terkait dengan koleksi yang diurusnya. Ia bukan hanya seorang yang tahu judul buku, pengarang dan di rak mana letaknya. Namun seorang pustakawan yang mengurus buku-buku fiqih harus pula seorang faqih, seperti halnya pustakawan yang mengurus karya-karya al-Biruni atau al-Haitsam harus pula seorang astronom atau matematikawan. Para pembaca dapat berkonsultasi tentang isi buku-buku itu pada para pustakawan.
“Aneh, bahwa di Roma tidak ada seorangpun, yang memiliki pendidikan yang cukup, bahkan sekedar untuk menjadi penjaga pintu perpustakaan itu”, keluh orang yang mestinya paling tahu, yaitu: Gerbert de Aurillac, yang pada tahun 999 M menjadi Paus di Roma! Demikian Sigrid Hunke dalam Allahs Sonne ueber dem Abendland.
Pada tahun tersebut, Abulkasis menyelesaikan ensiklopedi bedah. Al-Biruni menunjukkan kejeniusan layaknya “Aristoteles-nya dari Arab”, dengan karya-karya tentang peredaran bumi mengelilingi matahari. Al-Haitsam menulis prinsip-prinsip optika serta bereksperimen dengan kamera obscura dan berbagai bentuk lensa dan cermin.
Pada tahun tersebut, saat dunia Islam sedang menikmati zaman keemasannya, dunia Barat ketakutan akan segera datangnya hari kiamat. Anak lelaki Kaisar Otto III yang berusia duapuluh tahun berziarah ke Roma dan berpidato dalam penuh suasana sakral, “Sekarang Kristus akan segera datang untuk mengadili dunia dengan api, karena kedurjanaan sudah merajalela di Roma”.
Pada saat yang sama dan di usia yang sama, Ibnu Sina sedang memulai mengisi dunia dengan karya-karya intelektualnya yang hebat.
Dua dunia yang sangat berbeda. Berawal dari padangan hidup yang juga amat berbeda. Masyarakat Islam dituntun oleh sabda Nabinya, yang antara lain berbunyi, “Barang siapa meninggalkan kampung halamannya untuk mencari ilmu, dia seperti sedang pergi jihad fisabilillah”, “Tinta seorang pembelajar adalah lebih mulia daripada darah seorang syuhada”, dan “Ilmu itu ternak kaum muslim yang hilang, maka di mana saja kamu dapatkan, ambillah, sekalipun dari lisan seorang kafir”.
Sementara itu masyarakat Barat terpaku pada kata-kata Paulus, yang berbunyi, “Apakah Tuhan tidak menyatakan bahwa pengetahuan dunia ini sebagai hal tercela?”. Satu-satunya sumber kebenaran untuk kaum Nasrani adalah kitab suci. Karena itulah, meski Romawi mewarisi banyak peradaban tua seperti Yunani ataupun Mesir, mereka lalu membuangnya sejak beralih ke agama Nasrani. Perpustakaan Alexandria yang sangat tua dibakar habis. Andaikata tidak ada kaum muslim yang rajin memungut kembali ilmu pengetahuan Yunani, menerjemahkannya, dan mengkoleksinya di perpustakaan-perpustakaan, barangkali kita sekarang ini tak pernah lagi mengetahui tentang hukum hidrostatika Archimedes atau geometri Euklides.
Sementara itu orang-orang kaya se antero dunia khilafah menjadikan wakaf perpustakaan sebagai salah satu cara menunjukkan identitas. Di Baghdad saja ada 200 perpustakaan pribadi yang diwakafkan untuk umum. Dan tidak main-main, banyak yang mewakafkannya berikut suatu asset produksi untuk membiayai operasional perpustakaan selamanya. Sayang, saat serbuan tentara Mongol, nyaris seluruh perpustakaan itu dihancurkan, sampai air sungai Tigris menjadi hitam warnanya.