Beyond the Scientific Way

Fahmi Amhar Official Blog

Archive for the ‘Islam’ Category

Islam masuk sampai ke Dapur

Wednesday, May 26th, 2010

Dr. Fahmi Amhar

Salah satu cara untuk menilai penetrasi kebudayaan adalah dengan melihat dapur suatu rumah tangga di sebuah negeri.  Bagaimana anda menilai dapur anda saat ini?  Type masakan apa yang dominan anda siapkan?  Masakan Jawa?  masakan Padang?  masakan Cina?  masakan Barat?  atau Masakan Timur Tengah?

Kalau anda suka nasi rames, atau gudeg, itu sangat Jawa.  Kalau anda suka rendang atau sambal goreng, itu Padang.  Kalau anda suka mie, itu Cina.  Kalau anda suka roti dengan selai, itu Barat.  Dan kalau anda suka kebab atau nasi kebuli, itu Timur Tengah.

Baiklah, tapi mungkin ada pertanyaan: apa hubungannya semua ini dengan Islam?  Bukankah itu semua mubah-mubah saja?  Bukankah suka dapur Arab tidak berarti mencerminkan keterikatan dengan Islam – karena dulupun Abu Lahab dan Abu Jahal juga punya dapur Arab.

Benar.  Yang akan kita bahas kali ini kita memang bukan jenis masakannya, tetapi apa yang dibawa peradaban Islam sampai ke dapur?  Islam membawa setidaknya empat hal sampai ke dapur:

Pertama adalah norma, yaitu bahwa yang dipersiapkan di dapur harus bahan yang halal dan thoyyib, serta diolah dengan cara yang halal pula.  Dengan demikian dapat dipastikan bahwa teknologi pembuatan minuman keras atau pengolahan darah untuk makanan tidak akan berkembang dalam dapur Islam.

Kedua adalah bahan-bahan “baru”, yakni bahan makanan yang baru berkembang setelah sejumlah ilmuwan muslim menekuni teknik pembuatannya secara praktis, sejak dari pembudidayaan pertaniannya hingga pengolahannya.

Ketiga adalah alat-alat “baru”, yakni alat-alat masak yang dikembangkan dan disebarluaskan pemakaiannya oleh umat Islam ke seluruh dunia.

Keempat adalah teknik memasak yang dipopulerkan, yang ini boleh saja mencakup keberagaman kuliner antar etnis.

Aspek pertama tentu saja jarang diadopsi oleh negeri non muslim.  Sebagai contoh Jerman atau Perancis saat ini sangat terkenal aneka minuman kerasnya.  Di Technische Univesitaet Muenchen bahkan ada program studi teknik pembuatan bir.  Namun aspek yang lain, ternyata tidak ada negeri di dunia saat ini yang tidak “dimasuki Islam”.  Islam ternyata telah masuk sampai ke dapur-dapur mereka, suka ataupun tidak, tahu ataupun tidak.

Penyebab utamanya adalah revolusi pertanian pada akhir abad-5 H (11 M).  Satu aspek penting revolusi ini adalah pengenalan dan penyebaran berbagai jenis tanaman baru seperti padi, sorghum, gandum keras (triticum durum – digunakan untuk membuat pasta), tebu dan berbagai jenis bunga, sayuran dan buah-buahan.  Adanya tanaman baru itu mengubah sistem pertanian menjadi lebih intensif.  Al-Marqasi (awal abad 9H / 15M) menceritakan bahwa sebelum menanam tebu di Mesir, tanah terlebih dahulu harus dibajak enam kali dengan peluku berat.  Ibn al-Bassal menganjurkan agar pembajakan dilakukan hingga sepuluh kali dan pemupukan tanah sebaiknya dilakukan sebelum benih ditebarkan.  Aktivitas pemanfaatan lahan marginal yang sebelumnya tidak berproduksi dengan berbagai tanaman baru tak luput dari perhatian ilmuwan Muslim.  Berbagai buku manual ditulis, di antaranya Kitab al-Filaha wa An-Nabatiya dari Ibn Wahsyiyya.

Hasilnya adalah, produksi gandum yang melimpah, yang kemudian memicu penemuan alat-alat penggiling gandum yang lebih efisien.

Sebagai bahan pangan utama, padi berada pada posisi kedua setelah gandum.  Padi adalah salah satu tumbuhan yang pertama kali mulai ditanam pada masa revolusi pertanian Muslim, ketika harga roti-gandum masih tinggi.  Roti-beras telah meringankan masalah ekonomi yang muncul di berbagai daerah.

Ada berbagai jenis roti yang dibuat di negeri-negeri Islam.  Sebuah kitab dari Al-Muqaddasi mendaftar sekitar duabelas jenis dan menguraikan teknik pembuatannya.  Roti yang paling lazim berbentuk pipih dan dibuat dari gandum serta dibakar dengan cara sederhana.

Di sebagian kota-kota Islam, pembakar roti menjadi sebuah profesi. Banyak anggota masyarakat yang membuat adonan roti di rumah lalu membawanya ke toko roti untuk dibakar.  Tukang roti diawasi oleh muhtasib untuk menjaga kualitasnya agar konsumen terlindungi.

Gula merupakan komoditas dasar yang pengembangan dan penyebarannya berhutang banyak pada peradaban Islam.  Tanaman tebu berasal dari India, dan menyebar ke tetangganya, tetapi belum menjadi bahan makanan di masa pra-Islam.  Literatur Barat sebelum abad ke-7 M tidak menyebut-nyebut gula.  Hingga abad pertengahan, bahan pemanis yang digunakan di Eropa adalah madu.

Dari semua jenis makanan di abad pertengahan, gula adalah satu-satunya bahan yang membutuhkan proses kimia.  Pembuatan gula membutuhkan kecakapan teknologi tinggi, baik pada saat penanaman tebu maupun proses pembuatannya.  Karena itu industri ini berada di luar kemampuan petani kecil atau buruh, dan sejak awal negara memainkan peran utama dalam perkebunan tebu dan pendirian pabrik gula.  Dalam kitab Nihayat al-Arab fi Funun al-Adab  dari Al-Nuwairi, banyak terdapat informasi mengenai perkebunan tebu di berbagai negeri Islam.  Teknologi gula bahkan juga ditransfer ke Cina.  Kali ini bukan “belajarlah sampai ke negeri Cina”, tetapi “mengajarlah sampai ke negeri Cina”.  Menurut Marco Polo, para teknisi Mesir dipanggil ke Cina untuk mengajari orang-orang Fukian cara mengilang gula dengan menggunakan abu kayu bakar.

Selama abad ke-4 dan ke-10 H (ke 10 dan ke-14 M) banyak ditulis buku-buku masakan (tabikh).  Hanya satu yang telah diterjemahkan ke bahasa Eropa. Sebagian besar masih dalam bentuk manuskrip.  Dari buku-buku itu dapat dipelajari berbagai jenis hidangan utama yang disuguhkan di Bagdad, Damaskus, Kairo dan negeri-negeri muslim yang lain.  Kitab At-Tabikh yang ditulis oleh Al-Baghdadi tahun 623H / 1226M menguraikan resep-resep masakan di Baghdad.  Buku ini memuat paling kurang 153 resep yang dapat dikategorikan sebagai berikut: 22 masakan asam, 6 masakan bersusu, 18 hidangan sehari-hari, 8 gorengan kering, 22 hidangan sederhana, berbagai masakan ayam, 9 kue kering dan bakar, 11 hidangan buah-buahan dan kue pastel, 5 hidangan ikan segar, 4 hidangan ikan asin, 3 hidangan tirrikih (ikan asin kecil), 4 macam saus, 5 masakan pembuka, 5 masakan penyedap, 12 judhah, khabis dan hidangan berselai lainnya, 9 halwa atau kue manis, 10 mutabbaq (sejenis kue dadar), dan qataif (sejenis donat).  Buku masakan yang lebih lengkap ditulis oleh Ibn Sayyar al-Warraq, memuat tidak hanya seluruh aspek masak memasak tetapi dimulai dengan penjabaran perlengkapan dapur dan diakhiri dengan adab di meja makan.

Pengawetan makanan juga sudah diselidiki oleh para ilmuwan pangan muslim.  Pengawetan yang lazim dilakukan dengan pengeringan, pengasinan, pengasapan, pemberian cuka, kristalisasi gula dan madu, atau pengawetan dengan bumbu.  Ibn al-Awwam dan Al-Dimasyqi banyak menguraikan proses pengawetan makanan dalam buku-buku mereka.  Es-es pada musim dingin disimpan di dalam gudang di bawah tanah untuk mengawetkan buah-buah segar hingga berbulan-bulan, atau dimasukkan dalam peti-peti pengangkut buah untuk dibawa ke kota yang cukup jauh.

Kalau sekarang banyak makanan tiruan seperti daging vegetarian (mirip daging tetapi bukan dari daging), ternyata hal ini sudah dicoba lebih dari seribu tahun yang lalu.  Sebuah manuskrip yang dinisbahkan ke Al-Kindi menyebutkan cara-cara membuat hidangan daging yang dibuat tanpa daging, telor dadar yang dibuat tanpa telor, kue beras tanpa beras dan kue halwa tanpa madu/gula.  Al-Jaubari dalam kitab al-Mukhtar fi Kasyf al-Asrar (Buku Favorit Pembuka Berbagai Rahasia) membuat satu bab khusus tentang rahasia para pembuat makanan, menyatakan bahwa orang-orang itu punya banyak kiat dalam memasak, dan tak satupun makanan yang dimasak tanpa sedikit peniruan.  Itulah gunanya para muhtasib juga memiliki ilmu untuk menguji mutu sosis, daging asap, gula-gula dan sebagainya.

Keramik dan Porselin bukan dari Cina

Monday, April 12th, 2010

Dr. Fahmi Amhar

Apakah yang anda bayangkan tentang porselin?  Boneka yang cantik, atau guci yang indah?  Sama saja?  Kalau begitu, dari mana porselin yang anda nilai mahal?  Atau dari zaman apa?  Pada umumnya kolektor benda antik amat menghargai porselin dari zaman dinasti Ming yang memerintah Cina dari 1368-1644 atau bahkan yang lebih tua dari dinasti Tang ((618-907 M).

Anda tidak sama sekali salah.  Cina memang mata air ilmu pembuatan porselin di dunia.  Ke sana pula Rasulullah memerintahkan kaum muslim untuk berburu ilmu.  Tetapi tahukah anda, bahwa di abad pertengahan banyak porselin lain yang sama indahnya beredar di pasaran, namun bukan made in Cina?  Di banyak museum di dunia masih disimpan porselin-porselin dari era keemasan Islam.

Sejarah keramik kaum muslim tidak terbatas hanya pada kaligrafi di atas keramik.  Sisi teknologi di bidang ini memang termasuk yang jarang diketahui kecuali oleh para sejarahwan.  Padahal umat Islam melakukan banyak inovasi keramik dan porselin untuk berbagai kebutuhan.  Ada yang menjadi lantai dan dinding masjid, toilet dan bak mandi, tungku pemasak, hiasan di istana sultan, hingga alat-alat makan.  Proses pembuatannya pun beraneka ragam.  Teknologi ini terkait erat dengan pembuatan tembikar atau keramik dari tanah liat dan pembuatan gelas dari pasir kuarsa.

Para sejarahwan membagi keramik zaman Islam ke dalam tiga periode: periode awal (mulai abad-1 H sampai dengan abad-4 H, era pemerintahan bani Umayyah dan awal Abbasiyah), periode pertengahan (abad-5 H sampai abad-10 H) dan periode setelah abad-10 H (era bani Utsmaniyah).

Barang pecah belah dari awal dinasti Abbasiyah yang ditemukan di Samarra dapat digolongkan menjagi 6 tipe: (1) Tembikar tanpa glazur; (2) Tembikar berlapis monokrom alkalin; (3) Tembikar berlapis timah berhiasan relief; (4) Tembikar berlapis timah berhiasan bintik-bintik atau gambar abstrak warna-warni; (5) Tembikar berlapis aluminium; dan (6) Tembikar berlukis di bawah lapisan gelas.

Salah satu prestasi besar orang-orang Islam di periode ini adalah penemuan pelapisan dengan alumnimum.  Jika glazur aluminium oksida ditambahkan pada glazur timah, akan didapatkan porselin krem ala dinasti Tang.  Keunggulan aluminium oksida selain memungkinkan pengecatan permukaan bergelombang yang belum dibakar, juga karena cat tersebut tidak memudar ketika tembikar dibakar seperti halnya yang terjadi pada pemakaian glazur timah secara langsung.

Sepanjang periode Islam pertengahan, prestasi penting yang lain adalah penciptaan tembikar warna putih.  Ini diperoleh dari bahan-bahan baru dari pasir kuarsa, lempung putih dan potasium.  Produk ini tercipta dari keinginan pengrajin muslim untuk menyaingi porselin Cina.  Jika dibakar, bahan-bahan baru ini menghasilkan tembikar semi-transparan yang sangat keras, yang di Eropa setelah abad 18 M dikenal sebagai “porselin pasta lunak”.

Pusat yang paling masyhur dalam pembuatan porselin adalah Kasyan di Iran.  Pada tahun 700 H / 1301 M, Muhammad Abu Al-Qassim al Kasyani menulis sebuah buku penting yang memberikan rincian teknik keramik Islam.

Beberapa jenis inovasi keramik dan porselin yang terkenal adalah:

(1)   Abarello: ini adalah semacam poci yang didesain untuk menyimpan obat-obatan dari abad 15.

(2)   Fritware: ini adalah alat dapur untuk memanggang atau menggoreng dari abad 11.  Sebuah resep cara membuatnya ditulis Abu al-Qassim pada tahun 1300 yang memuat perbandingan bahan-bahannya yaitu kuarsa : gelas frit : lempung putih = 10 : 1 : 1.

(3)   Hispano-Moresqueware: ini adalah keramik yang dibuat di Spanyol Islam setelah bangsa Moor (Maroko) mengenalkan teknik pembuatan keramik ke Eropa dengan pelapisan timah dan gambar warna.  Teknik ini sangat berbeda dengan keramik yang dikenal di kalangan Kristen dari karaketer Islam dalam dekorasinya yang bermotif kaligrafi.

(4)   Iznik: ini adalah keramik dari era Turki Utsmani pada awal abad-15 M.  Keunggulannya adalah ramuan bahan-bahannya yang membuat koefisien muainya turun sehingga tahan panas.

(5)   Lusterware: lapisan gilap untuk keramik jenis ini semula dipakai di Mesopotamia (Irak) sejak abad-9 M lalu sangat terkenal di Persia dan Syria, dan berikutnya diproduksi massal di Mesir selama era Fatimiyah (abad-10 hingga abad-12 M).  Teknik inilah yang pada abad-16 M menyeberang ke Itali di masa rennaisance lalu menyebar ke Belanda, Perancis dan negeri Eropa lainnya.

 

Sebuah porselin yang berlapis timah dari Spanyol-Mor di era Islam (disebut Hispano-Moresque), tahun 1475.

 

Di abad-20, teknologi keramik sempat terdesak oleh teknologi plastik yang membuat alat-alat yang sama dari bahan baku hidrokarbon (minyak) karena alasan lebih murah, lebih ringan dan tahan pecah.  Namun belakangan disadari bahwa limbah plastik tidak bisa hancur secara alami dan menjadi masalah lingkungan yang serius.  Proses pembuatan plastik juga tidak ramah lingkungan karena melepaskan dioxyn yang menyebabkan kanker.  Maka kini orang kembali menengok ke keramik.  Perkembangan di fisika nano membuat kini mampu dibuat keramik yang juga murah, ringan, tahan pecah dan juga bahkan anti kotor!  Ini suatu perkembangan yang menarik.  Mungkinkan para ilmuwan muslim kembali berperan dalam mengembangakan keramik seperti seribu tahun yang silam?

Dengan Aljabar Kau Kulamar

Monday, April 12th, 2010

Dr. Fahmi Amhar

Setelah kemampuan membaca dan menulis, tingkat kecerdasan sebuah bangsa adalah pada matematika.  Kalau kemampuan matematika bangsa ini dihitung dalam skala 0-100, berapa nilai yang pantas kita berikan?

Ada guyonan, bahwa mereka yang terpandai dalam matematika di sekolah akan menjadi dokter, insinyur atau pilot, yang ketika menghitung dosis obat, kekuatan bangunan atau tinggi terbang memang perlu kemampuan berhitung yang cepat nan akurat.  Yang pas-pasan dalam matematika akan menjadi pedagang yang tidak perlu menghitung yang rumit-rumit, tetapi harus bisa memastikan bahwa bisnis masih untung.  Sedang yang matematika di sekolahnya paling jeblok akan menjadi politisi, orang partai, anggota DPR atau kepala daerah.  Mereka ditengarai sama sekali tidak bisa berhitung.  Dalam proses politik saja mereka sering sudah salah hitung tentang potensi perolehan suara.  Sedang bila sudah berkuasa, mereka terbukti tidak mampu berhitung bahwa berbagai peraturan dan kebijakan yang dibuatnya – seperti konsesi, privatisasi, dan utang luar negeri – telah membuat negeri dan rakyatnya ini semakin bangkrut.  Dari matematika, yang mereka kuasai cuma menambah (beban pajak), mengurangi (subsidi) dan mengalikan (gaji diri sendiri).  Yang tersulit adalah membagi (kekayaan umum kepada rakyat).  Tapi sekali lagi ini cuma guyonan.

Namun para pemimpin yang hebat dalam sejarah dunia sejatinya adalah para pecinta dan pengguna matematika yang baik.  Tentu saja yang kita ceritakan bukanlah Eropa abad pertengahan, namun adalah negeri Daulah Khilafah.

Pada tahun 773 Masehi, seorang astronom India bernama Kankah mengunjungi khalifah al-Mansur yang berkuasa di Bagdad antara 754-775 M.  Lelaki itu membawa buku berjudul Sindhind tentang teknik berhitung (aritmetika), yang dengannya dia terbukti mampu menghitung bintang dengan sangat baik.  Al-Mansur lalu memerintahkan agar buku itu diterjemahkan ke bahasa Arab, kemudian agar dibuat sebuah pedoman untuk menghitung gerakan-gerakan planet.  Muhammad bin Ibrahim al-Fasari lalu membuat pedoman ini, yang di kalangan astronom kemudian disebut “Sindhind besar”.  Belakangan karya ini diedit ulang oleh Muhammad bin Musa al-Khawarizmi.

Dengan karya ini, angka India menjadi populer.  Ketika pada tahun 706 M Khalifah al-Walid I menguasai Spanyol dan segera melarang penggunaan bahasa Yunani atau Latin dalam urusan resmi untuk diganti dengan bahasa Arab, dia masih mengecualikan penggunaan angka Yunani, karena angka ini belum ada penggantinya.  Namun ketika buku al-Fasari dan kemudian al-Khawarizmi keluar, dengan segera “angka India” diadopsi tak hanya oleh birokrasi, tetapi juga kalangan pebisnis dan surveyor.  Bagi orang-orang Spanyol, angka yang dibawa oleh para matematikawan muslim yang berbahasa Arab ini lalu disebut “Angka Arab”.

Al-Khawarizmi adalah tokoh matematikawan besar yang ditarik oleh khalifah al-Makmun ke istana.  Semua orang tahu bahwa al-Makmun adalah politisi yang sangat antusias dengan logika dan matematika.  Dan al-Makmun tidak salah.  Al-Khawarizmi membuktikan diri sebagai orang pertama yang berhasil “mengawinkan” geometri Yunani dengan arimetika India.

Pada masa Yunani kuno, para matematikawan lebih asyik berfilosofi tentang geometri daripada memikirkan aplikasi praktis capaian geometri mereka.  Contoh: mereka telah berhasil menghitung hubungan jari-jari lingkaran dengan luas lingkaran, yaitu bilangan pi (π).  Karena nilai pi ini saat dihitung “tidak mau selesai”, maka bilangan ini disebut “trancendental”, artinya: hanya Tuhan yang tahu.  Dewasa ini, dengan superkomputer, nilai pi sudah dicoba didekati hingga semilyar angka di belakang komma, dan tetap saja tidak berhenti atau ditemukan keteraturan.

Kalau sebuah bidang datar memotong sebuah kerucut secara miring dan membentuk ellips, lalu pertanyaannya berapa luas dan panjang keliling ellips tersebut, maka geometri Yunani tak lagi memberi jawaban.  Pada saat yang sama, seni berhitung (arimetika) ala India juga tidak pernah dipakai menghitung persoalan serumit ini.  Di sinilah al-Khawarizmi mencoba “mengawinkan” geometri dan aritmetika.  Perpotongan kerucut dengan bidang datar secara miring menghasilkan beberapa unknown (variabel yang nilainya dicari), yang akan ditemukan kalau rumus bidang datar, rumus kerucut dan kemiringan perpotongan dijadikan satu lalu diselesaikan.  Inilah aljabar.  Dan model hitungan “perpotongan kerucut” ini belakangan dipakai oleh Galileo, Kepler, dan Newton dalam meramalkan gerakan planet.

Namun karya terbesar al-Khawarizmi yang sebenarnya justru bukanlah makalah ilmiah yang berat, tetapi dua buah buku kecil yang sengaja ditulis untuk kalangan awam tentang penggunaan matematika dalam kehidupan sehari-hari.

Buku perrtama memang menyandang judul yang sangat teoretis, “Aljabar wa al-Muqobalah” – kitab tentang persamaan-persamaan dan penyelesaiannya.  Namun isi sebenarnya ringan.  Ketika orang Barat menerjemahkan buku ini ke bahasa Latin, judul Arabnya tetap bertahan – hingga hari ini: Algebra.

Buku kedua yang ditulis al-Khawarizmi justru membuat namanya abadi.  Buku ini tentang teknik berhitung dengan menggunakan angka India, tentang bagaimana menjumlah, mengurangi, mengalikan dan membagi.  Pada abad-12 buku ini diterjemahkan ke bahasa Latin dan tersebar di Eropa.  Lambat laun, teknik berhitung ala al-Khawarizmi disebut algorizmus, atau algoritma.

Anehnya bangsa Eropa sendiri kemudian lupa asal-usul kata algoritma.  Ada yang menyangka algoritma berasal dari kata “alleos” (asing) dan “goros” (cara pandang), karena teknik ini memerlukan cara pandang yang baru.  Ada lagi yang menduga algoritma dari “algos” (pasir) dan “ritmos” (angka), atau teknik dengan angka-angka yang mampu menghitung objek sebanyak pasir di pantai.  Ada juga yang menyangka bahwa algoritma adalah judul buku Mesir kuno seperti Almagest karya Ptolomeus.  Demikian puluhan teori muncul, sampai akhirnya pada 1845, Franzose Reinand menemukan kembali al-Khawarizmi dalam algoritma.  Salah satu buktinya adalah bahwa dalam perhitungan aritmetika, selalu dihitung satuan dulu yang ditaruh paling kanan, kemudian ke kiri dengan puluhan dan seterusnya.  Sebagaimana diketahui, huruf Arab ditulis dan dibaca dari kanan ke kiri.

Pada masa rennaisance di Eropa, menguasai aljabar menjadi sesuatu yang sangat prestisius.  Maka tentu tak sulit membayangkan, bahwa kalau di dunia Islam orang dapat melamar seorang gadis dengan mahar mengajarkan al-Qur’an, maka di Eropa, orang dapat melamar seorang gadis dengan mengajarkan aljabar!

[ GAMBAR ]

 

Adu cepat berhitung antara kaum Abacist (yang berhitung dengan abakus Yunani) dengan kaum Algoritmiker (pengikut metode al-Khawarizmi), dan dimenangkan oleh kaum Algoritmiker.