Bagaimana perasaan Anda jika bisa berada di dua tempat yang sangat berjauhan pada hari, tanggal dan jam yang sama? Itulah yang saya rasakan pada Sabtu 7 November 2009 pukul 10 pagi. Saya tercatat berada di Manila (Filipina) dan di Honolulu Hawaii (Amerika Serikat), pada hari, tanggal dan jam yang sama. Padahal keduanya terpisah hampir 8.000 kilometer.
Ketika saya Sabtu sore 7 November terbang Manila – Honolulu, saya melintasi garis batas tanggal internasional, sehingga tanggal saya dimundurkan satu hari sebelumnya. Akhirnya meski saya baru esok paginya sampai di Honolulu, tapi di sana masih Sabtu pagi, 7 November. Jadi saya menjalani hari Sabtu itu dua kali! Tentu saja, saat perjalanan pulang, yang terjadi sebaliknya. Meski berangkat Sabtu pagi, dan tidak menyaksikan malam, ketika sore sampai di Manila, di sana sudah Ahad sore.
Manila terletak pada zona waktu GMT+9 (sama dengan Waktu Indonesia Timur). Sedang Honolulu pada GMT-10. Jadi bedanya 19 jam! Ini menjadi persoalan tersendiri kalau pada akhir bulan Ramadhan, Muslim di Manila mengabarkan melihat hilal pada Sabtu sore dan mengumumkan ke seluruh dunia agar merayakan Ied esoknya, yaitu Ahad. Maka, “esoknya” itu bagi Muslim di Hawai masih Sabtu, bukan Ahad! Sebaliknya, bila yang melihat hilal ini adalah Muslim di Honolulu, misal pada Sabtu sore, maka “esoknya” itu di Manila sudah Senin!
Apakah memang ada Muslim di kedua tempat itu? Ada. Filipina bahkan punya pahlawan Muslim (baca MU no. 35). Di Honolulu saya sempat shalat Jumat di Islamic Center.
Penduduk asli Hawaii adalah bangsa Polynesia yang serumpun dengan suku-suku di Nusantara. Menurut penelitian sebaran bahasa, rumpun Polynesia ini tersebar dari Madagaskar hingga Hawaii. Mungkin karena mereka umumnya pelaut. Baru tahun 1778 Hawaii dikunjungi orang Eropa. Bersama kedatangan mereka, datang pula penyakit yang sebelumnya tak ada di pulau terisolasi itu.
Penjajah mulai melakukan adu domba antar para raja di Hawaii. Raja yang merasa dibantu lalu memberi konsesi untuk membangun perkebunan dan memasukkan pekerja dari luar. Namun sejarah lalu mencatat bahwa para pengusaha inilah yang kemudian membiayai kudeta untuk menghapus kerajaan dan berupaya agar Hawaii jadi bagian Amerika Serikat. Setelah berstatus “Teritori” (yakni wilayah perlindungan AS namun tidak berhak pemerintahan negara bagian), akhirnya tahun 1959 dalam referendum, penduduk setuju Hawaii menjadi negara bagian AS ke-50.
Sejak penyerangan Pearl Harbour oleh Jepang tahun 1941, AS menganggap Hawaii adalah tempat yang strategis. Perang Dunia-II di Lautan Pacific bermula dan ditentukan jalannya dari Hawaii. Maka AS kini menempatkan markas armada lautnya di Hawaii. Dari 1,3 juta penduduk Hawaii, sekitar 2 persennya adalah anggota militer.
Dari sisi keagamaan, 29 persen penduduk Hawaii mengaku Kristen, 9 persen Budha (pada umumnya keturunan Jepang), 1 persen Yahudi, dan sisanya (61 persen) bervariasi dari berbagai jenis kepercayaan animisme sampai Islam.
Warga Islam di Hawaii terpusat di Oahu, yakni pulau yang terpadat penduduknya, di mana Honolulu berada. Mereka umumnya imigran Timur Tengah, Asia Selatan dan Asia Tenggara. Jumlahnya masih di kisaran ribuan dan sering berganti (karena faktor mahasiswa yang lulus dan pulang). Meski demikian mereka berhasil membentuk Muslim Association of Hawai’i dan membangun Islamic Center di alamat “1935 Aleo Place – Honolulu, HI 96822” dekat Manoa Road. Saya menemukan alamat ini di internet. Namun ternyata tak mudah menemukan alamat itu bagi sopir taksi sekalipun dibantu GPS. Taksi sempat nyasar dan sopirnya harus konsultasi beberapa kali dengan sentralnya. Namun ketika tampak bangunan berfasade lekukan-lekukan yang lazim ada pada masjid saya yakin bahwa itu pastilah Islamic Center yang dimaksud.
Meski awalnya saya khawatir terlambat (karena nyasar), ternyata masjid masih sepi. Jumatan baru dimulai pukul 13:30, dan akhirnya masjid penuh juga. Selesai Jumatan ada bazaar. Dijual makan siang seharga 5 dollar. Harga yang murah untuk ukuran Hawaii. Di supermarket, uang 5 dollar hanya bisa untuk membeli roti tawar isi ikan tuna 2 potong yang tidak mengenyangkan. Sebagai pulau terisolasi, nyaris semua kebutuhan pokok di Hawaii harus didatangkan sehingga harganya amat mahal. Di tempat simposium, harga makan siang mencapai 25 dollar.
Aktivitas Islamic Center ini cukup beragam. Ada penerbitan buletin, training calon muallaf (umumnya karena pernikahan), presentasi Islam untuk sekolah (pelajaran IPS), Islam Day untuk memperkenalkan Islam di masyarakat, sampai polling pendapat atas suatu isu yang terkait Islam atau umat Islam.
Masyarakat Indonesia di Hawaii yang Muslim lumayan banyak, walaupun yang dominan masih non Muslim. Salah satu dari mereka yang dituakan adalah Bapak Haji Djunaidi. Bapak ini bahkan ikut menyaksikan ketika Barack Obama masih kecil. Ayah biologis maupun ayah tiri Obama adalah Muslim. []
Cina, negeri dengan penduduk terbanyak di dunia. Kalau mendengar Cina, kita ingat komunisme, yang konon pada tahun 1965 berada di belakang Partai Komunis Indonesia. Namun komunis di Cina kini tinggal berada di bidang politik. Sejak tahun 1990-an, kehidupan ekonomi di Cina adalah kapitalis. Dan Cina tumbuh menjadi raksasa ekonomi yang ditakuti oleh Amerika Serikat.
Namun mendengar kata Cina, kita juga ingat akan suatu riwayat di mana Nabi Muhammad memerintahkan umatnya untuk mencari ilmu sampai negeri Cina. Tentu saja ilmu yang dimaksud bukan ilmu aqidah, ilmu fiqih atau ilmu tafsir. Yang dimaksud adalah teknologi, karena di zaman Nabi, Cina sudah dikenal memiliki beberapa teknologi yang belum dikuasai oleh bangsa-bangsa Persia atau Romawi sekalipun, misalnya teknologi pembuatan kertas, kompas atau mesiu. Saat itu tembok Cina juga sudah terbangun beberapa ratus kilometer, sebuah mahakarya yang tak ada duanya di dunia.
Tak heran di masa Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq sudah ada kafilah dagang yang pergi ke Cina, dengan berbagai tujuan sekaligus: mencari ilmu, berdagang untuk hidup dan berdakwah. Tentu saja mereka mengalami banyak kesukaran seperti antara lain wajib mempelajari berbagai bahasa yang diperlukan agar dapat berkomunikasi di Cina.
Hasilnya tidak sia-sia. Di zaman Utsman bin Affan, para alumni Cina ini sudah dapat membuat sendiri kertas, yang dengan itu Mushaf Utsmani ditulis. Namun mereka juga meninggalkan cikal bakal Islam di Cina. Bahkan pernah ada seorang Laksamana Cina yang seorang Muslim, yaitu Cheng Ho.
Tahukah Anda, bahwa masjid di Beijing lebih tua usianya dari semua masjid yang ada di Nusantara? Masjid ini didirikan tahun 996 M. Tidak terlalu sulit untuk menemukan Masjid Niu Jie di Beijing ini, meski tidak banyak sopir taksi yang mengetahuinya. Dengan menunjukkan ke peta yang ada aksara Cina-nya, dibantu sedikit bahasa Tarzan, akhirnya sampai juga saya ke masjid Niu Jie, dengan nyasar dulu ke sebuah kelenteng yang tidak jauh dari masjid. Kelenteng ini jauh lebih kecil, tapi ternyata buat orang Cina lebih dikenal.
Dari segi bangunan, masjid Niu Jie ini tidak berbeda jauh dengan arsitektur sebuah kelenteng. Warna-warna merah mendominasi. Yang membedakan hanya kaligrafi Arab di atas pintu-pintunya. Di seputar masjid ada beberapa bangunan lain. Kaum wanita dan anak menempati bangunan terpisah, sehingga saat bapak-bapak shalat Jumat mereka dapat shalat Dzuhur sendiri. Ruang terbuka di antara bangunan itu mengingatkan pada lapangan latihan kungfu di padepokan Shaolin. Mungkin memang pernah difungsikan demikian.
Khutbah Jumat dan shalatnya sendiri alhamdulillah masih tetap dalam bahasa Arab. Hanya saja saat shalat akan dimulai, dan jamaah diminta merapikan shaf, ada perintah Imam dalam bahasa Cina, yang tentu saja terdengar agak menggelikan bagi kita: ada bahasa Cina di masjid!
Masjid Niu Jie memang terletak di kawasan Muslim. Di sekitarnya berdiri beberapa supermarket dan restoran halal. Perempuan Cina yang berkerudung banyak terlihat. Anak-anak muda Cina di situ juga lebih familier bahasa Arab daripada bahasa Inggris. Di Cina, ditaksir ada sekitar 10 persen penduduk Muslim. Karena penduduk Cina 1,4 milyar manusia, maka 10 persen ini banyak juga. Bagi pemerintah Cina, keberadaan Muslim di Beijing sebagai minoritas tidak menjadi masalah. Lain halnya dengan Muslim Uighur di Xin Jiang yang mayoritas dan menginginkan otonomi khusus. Mereka ditekan dan bahkan kadang-kadang dibantai. []
Dr. Fahmi Amhar
Pernahkah anda berlomba untuk memperebutkan posisi sebagai muadzin di masjid? Muadzin mungkin bukan orang nomor satu di sebuah masjid. Kedudukan itu barangkali lebih tepat diberikan kepada imam. Namun Rasulullah pernah bersabda, “Andaikata umatku tahu besarnya pahala mengumandangkan adzan, barangkali setiap saat aku harus mengundinya di antara mereka”.
Untuk menjadi muadzin biasanya diperlukan sejumlah syarat, antara lain: memiliki suara yang lantang tetapi indah – sehingga orang suka mendengarnya, untuk kemudian datang ke masjid; tidak dikenal sebagai orang yang fasik; dan tentu saja bersedia datang lebih awal. Kalau orang biasa baru berangkat ke masjid setelah mendengar suara adzan, tentunya bukan dia yang akan mengumandangkan adzan. Ini artinya, muadzin harus hafal kapan saat-saat sholat, yang setiap harinya bisa bergeser beberapa menit.
Untuk syarat yang terakhir ini sekarang tergolong mudah. Di mana-mana ada jam, dan di setiap masjid ada jadwal shalat abadi. Kalau untuk adzan maghrib, orang dapat pula mendengar dari radio atau televisi – yang biasanya hanya mengacu pada kota tertentu dan sekitarnya. Tetapi dulu, seorang muadzin wajib mengetahui sendiri saat-saat sholat. Karena saat-saat sholat ditentukan oleh posisi matahari, maka seorang muadzin harus sedikit banyak tahu tentang astronomi. Bahkan karena ilmu ini juga dibutuhkan untuk mengetahui arah kiblat dan awal/akhir puasa, maka praktis seorang muadzin harus seorang astronom! Untuk itulah, di masa lalu, semua muadzin wajib memiliki sertifikasi (ijazah) ilmu falak dasar, yakni astronomi dasar untuk persoalan jadwal sholat, puasa dan arah kiblat.
Untunglah, banyak ulama Islam yang mencurahkan hidupnya untuk memudahkan pekerjaan ini. Mereka membangun dasar-dasar ilmu falak dan lebih dari itu juga astronomi untuk navigasi di medan jihad. Walhasil, banyak juga muadzin yang karena kemampuan astronomi ini lalu direkrut untuk jihad fi sabilillah. Jadi di belakang predikat seorang muadzin, tidak cuma tersembunyi kemampuan mengumandangkan adzan dengan indah, tetapi juga ilmu astronomi dan pengalaman jihad. Subhanallah.
Kaum muslim telah berburu ilmu ke Barat (Mesir, Yunani) maupun ke timur (Persia, India), mengintegrasikannya, memperkuat dasar-dasarnya dan mengembangkan jauh di atas para gurunya. Pusat penelitian astronomi Islam yang paling tua bermula di kota Maragha. Maka dalam sejarah ilmu pengetahuan muncullah “Madzhab Maragha” atau bahkan “Revolusi Maragha” – sebuah revolusi saintifik sebelum Rennaisance.
Ini berawal ketika Khalifah al-Ma’mun memerintahkan untuk mendirikan sebuah observatorium dan merekrut para astronom untuk melakukan pengumpulan data yang teliti guna mengoreksi data yang telah ada hingga saat itu. Untuk itu para astronom meminta bantuan ahli-ahli mekanik untuk membuatkan sebuah alat pengamatan langit yang disebut astrolabs. Hasil-hasil pengamatan langit yang lebih teliti ini menyelesaikan problem yang signifikan yang selalu timbul dalam model langit geosentris Ptolomeus. Saat-saat tertentu, planet Mars tampak seperti bergerak mundur (retrograde motion). Kalau saja model ini diubah menjadi heliosentris, maka gerak mundur planet Mars itu mudah sekali dipahami, yaitu tatkala bumi yang beredar mengelilingi matahari lebih cepat dari Mars, sedang “menyalip” Mars. Tapi waktu itu, Ptolomeus yang percaya pada teori geosentris, mencoba memecahkan problema itu dengan lingkaran-lingkaran tambahan yang disebut episiklus. Tetapi episiklus-episiklus ini makin lama menjadi makin rumit.
Maka sejumlah astronom muslim seperti Ibnu al-Haytsam dan Ibnu al-Syatir menekuni kemungkinan bahwa bumi berputar pada porosnya serta kemungkinan adanya sistem tata surya yang berpusat di matahari. Mereka membuat model planet non Ptolomeus. Sedang Muayyaduddin Urdi secara total menolak model Ptolomeus karena dasar empiris, tak hanya filosofis. Ini pendapat yang luar biasa maju. Nicolaus Copernicus baru berani mengemukakan pendapat ini di Eropa 500 tahun kemudian. Buka Copernicus yang berjudul De Revolutionibus ternyata banyak mengadaptasi model langit dari Ibnu al-Syatir dan at-Tusi dari madzhab Maragha. Argumentasi Copernicus tentang rotasi bumi juga senada dengan karya Ali al-Qusyji.
Pada abad-21 ini, fenomena langit seputar tata surya sudah bukan teori lagi, tetapi sudah menjadi fakta keras yang tidak dapat dibantah lagi. Manusia berbagai bangsa sudah meluncurkan ribuan pesawat ruang angkasa dan satelit yang mengorbit bumi. Terakhir, tahun 2009 para astronom dan insinyur aeronautika Iran sudah berhasil membuat satelit dan meluncurkannya dengan roket yang dibuat sendiri tanpa pertolongan negara lain. Semua hasil eksperimen ini terus membuktikan bahwa bumi memang berputar pada porosnya dan mengelilingi matahari.
Anehnya, di abad ini pula, justru ada sejumlah orang yang ghirah Islamnya tinggi kembali meragukan pendapat bahwa bumi itu berputar pada porosnya dan mengelilingi matahari. Mereka berpendapat, bumi itu diam, dan matahari, bulan dan seluruh bintang-bintang beredar mengelilingi bumi. Mereka menganggap pendapat ini didukung Al-Qur’an (antara lain QS 35:41, dan QS 21:33).
Padahal kebenaran sebuah fenomena alam yang dapat diamati atau diukur sama sekali tidak memerlukan dalil kitab suci manapun. Rupanya para astronom seribu tahun yang lalu justru lebih jernih dalam memahami ayat Al-Qur’an sekaligus memahami fenomena alam. Dengan itulah mereka dapat menjadikan astronomi sebagai modal untuk memuliakan Islam dan kaum muslim. Itu karena para astronom itu berangkat dari seorang muadzin!
Abu ar-Raihan al-Biruni menegaskan perbedaan antara astronomi dengan astrologi, sehingga menekankan pengamatan empiris yang akurat dan eksperimen untuk membuktikan kebenaran perhitungan astronomi. Akurasi data itu juga membuat astrofisika dimulai. Adalah Ja’far Muhammad bin Musa bin Syakir yang dari ribuan pengamatannya memastikan bahwa benda-benda langit mengalami hukum fisika yang sama seperti bumi. Sedang Ibnu al-Haytsam, sang penemu fisika optika – yang menjadi dasar pembuatan lensa untuk teropong bintang – dari pengamatannya memastikan, bahwa apa yang hingga saat itu diyakini sebagai “lapisan-lapisan langit” ternyata bukanlah sesuatu yang padat, melainkan bahkan kurang rapat dibanding udara. Jadi kalau di Qur’an disebut “lapis langit pertama sampai ketujuh”, maka itu pasti terletak di alam ghaib yang tidak dapat diamati manusia. Di situlah, ketika sains berakhir, dimulailah keimanan.