Dr. Fahmi Amhar
Tunisia bergolak. Rakyat turun ke jalan. Presiden Ben Ali lari. Tirani sekian puluh tahun pun berganti. Berganti, bukan berhenti. Mungkin akan muncul tirani baru yang belum disadari. Bukan sistem baru. Tirani baru yang tetap akan melarang wanita memakai jilbab di ruang publik. Tirani baru yang akan tetap berhamba kepada hukum sekuler warisan Barat. Padahal Barat yang diperhamba ternyata lepas tangan, tidak mau menolong Presiden Ben Ali, saat rakyat mengusirnya.
Sayang sekali. Padahal Tunisia adalah mutiara di Afrika yang ditinggalkan peradaban Islam pada masa jayanya. Pada pergantian abad ke-7 ke abad ke-8 M, wilayah Tunisia dibuka oleh kaum muslim. Mereka mendirikan kota Kairouan, yang menjadi kota pertama Afrika utara. Di kota ini pula berdiri masjid dengan seni arsitektur terindah di dunia Islam bagian barat.
Pemerintahan Islam juga membangun instalasi irigasi yang ekstensif untuk menjamin kota dan daerah pertanian dengan air. Akhirnya kemakmuran yang diraih itu memungkinkan untuk membangun istana Al-Abassiyah pada tahun 809 M dan Raqadda tahun 877 M. Sebuah universitas juga dibangun.
Tunisia menjadi matahari peradaban ke dua di dunia Barat mengiringi Cordoba, sebagaimana Cairo menjadi pengiring Baghdad di dunia timur. Para ilmuwan besar pun muncul atau berdatangan untuk penelitian di Tunisia. Namun dari seluruh ilmuwan yang dibesarkan atau berkarier di Tunisia, tidak diragukan bahwa yang paling dikenang adalah Ibnu Khaldun, sampai-sampai pemerintah sekuler membuatkan patungnya di Tunis.
Abū Zayd ‘Abdur-Rahman bin Muhammad bin Khaldūn Al-Hadrami (1332 – 1406 M) dari Tunisia adalah seorang polymath yang menguasai banyak keahlian sekaligus; beliau adalah hafiz (penghafal puluhan ribu hadits), faqih (pernah menjabat qadhi utama untuk madzhab Maliki di Mesir), astronom, geografer, matematikawan, sosiolog, ekonom, politolog dan sejarahwan. Riwayat Ibnu Khaldun terdokumentasi dengan amat bagus, karena sebagai sejarahwan, dia juga menulis autobiografi: At-Taʻrīf bi Ibn-Khaldūn wa Riħlatuhu Gharbān wa Syarqān. Namun tentu saja bukunya yang paling terkenal adalah “Muqaddimah” (diterjemahkan ke bahasa Latin menjadi “Prolegomenon”), yaitu juz pertama dari tujuh juz buku sejarah dunia universalnya “Kitab al-Ibar”.
Sejarahwan terkenal Inggris Arnold J. Toynbee menyebut Muqaddimah adalah karya terbesar dalam filsafat sejarah yang pernah dibuat pikiran manusia sepanjang masa. Bahkan ahli Inggris lainnya, Robert Flint menulis bahwa Plato maupun Aristoteles belum mencapai jenjang intelektual setaraf Ibnu Khaldun.
Di antara pemikiran jenius Ibnu Khaldun adalah ketika mendefinisikan pemerintahan sebagai “institusi pencegah kezaliman“. Negaralah yang harus berdiri di pihak para korban ketika menghadapi kekeliruan atau kelalaian yang dilakukan orang-orang kaya. Negara juga yang harus memperjuangkan hak-hak kaum dhuafa ketika pasar tidak berfungsi sepenuhnya. Ini adalah teori terbaik dalam ilmu politik. Sedang konsep Ibnu Khaldun dalam meramalkan kegagalan ekonomi pasar dinilai sebagai dasar-dasar sosionomi (sosiologi-ekonomi). Teori Ibnu Khaldun ini ternyata masih cocok untuk menganalisis akar krisis finansial global yang melanda Amerika tahun 2008.
Teori pasang surut peradaban dari Ibnu Khaldun juga berlaku untuk negerinya sendiri. Zaman keemasan Tunisia ternyata memiliki sisi gelap yang dimulai dari mengendurnya dakwah tauhid, yakni dakwah yang menolak semangat ashabiyah (kesukuan / tribal). Ketika pemerintah pusat Khilafah sedang direpotkan oleh separatisme dinasti Fatimiyah di Mesir, Afrika Utara nyaris terabaikan. Akibatnya muncullah instabilitas politik karena perebutan kekuasaan antar kabilah. Kondisi ini berakibat mundurnya pertanian dan perdagangan. Ibnu Khaldun sendiri pada masanya menulis bahwa banyak tanah pertanian yang kemudian berubah kembali menjadi gurun pasir, karena irigasi tidak lagi berfungsi. Salah satunya adalah tanah-tanah yang diduduki oleh Banu Hilal.
Peradaban memang naik turun seperti gelombang. Kemunduran Tunisia akhirnya menjadikan daerah ini diduduki oleh orang-orang Kristen Norman dari Sizilia pada awal abad-12. Kaum muslim Arab kemudian merebutnya kembali, memaksa orang-orang yang murtad untuk kembali ke Islam, atau mengusirnya. Pada 1159 wilayah ini berada di bawah kekuasaan kekhalifahan Almohad dari Andalusia, yang merupakan pecahan khilafah Umayyah di Cordoba. Kemudian dari 1230 – 1574 M, Tunisia berada di bawah kekuasaan dinasti Berber Hafsid, yang dapat kembali memakmurkan Tunisia. Ini adalah kurun ketika Ibnu Khaldun hidup. Namun pada akhir abad-16, jauh setelah wafatnya Ibnu Khaldun, terjadilah apa yang diprediksikan: dinasti ini bangkrut, dan pantai Tunisia berubah menjadi sarang bajak laut di Laut Tengah. Sejak itulah muncul istilah “Negara Barbar” – untuk mencerminkan negara yang buas.
Sebenarnya “Berber” sebagai nama suku, dalam huruf Arab tentu saja ditulis “Barbar”. Namun karena “Barbar” kemudian menjadi sinonim dari kejahatan, maka dewasa ini untuk nama suku lalu ditulis dan dilafalkan “Berber”.
Dr. Fahmi Amhar
Oleh orang Barat, Islam sering difitnah sebagai penindas wanita. Hal ini karena wanita dikekang di dalam rumah, setiap keluar harus memakai jilbab, setiap bepergian jauh harus disertai mahram, kesaksiannya dinilai separuh laki-laki, dan bagian warisannya juga separuh laki-laki.
Namun tahukah anda, sesungguhnya tanpa wanita-wanita muslimah, peradaban Islam tidak akan mencapai derajat seperti yang pernah dicapainya.
Kontribusi wanita-wanita dalam peradaban Islam ada dua jenis: pertama adalah secara tidak langsung, yakni dalam peran mereka sebagai ibu atau istri. Di balik setiap ulama atau ilmuwan besar, ada seorang ibu yang luar biasa dan atau seorang istri yang luar biasa. Andaikata Imam Syafii tidak memilik ibu yang tangguh, barangkali si anak yatim ini akan tumbuh di jalanan, jadi pengemis atau pengamen, dan tidak menjadi seorang pembelajar yang memenuhi setiap rongga tubuhnya dengan ilmu, sekalipun mereka didera oleh kemiskinan. Demikian juga andaikata istri-istri al-Bukhari, al-Biruni atau Ibnu Khaldun tidak sering mengambil alih tugas-tugas dan tanggung jawab rumah tangga, tentu para ulama atau ilmuwan besar itu akan cukup sering direpotkan oleh anak-anak mereka, apalagi ketika mereka sering harus keluar kota atau bahkan keluar negeri untuk melakukan survei, mengumpulkan data atau menghadiri majelis-majelis ilmu. Namun tentu saja, dalam kondisi pertama ini, nama-nama wanita luar biasa itu kurang tercatat dalam sejarah. Mereka seperti gula dalam “teh manis”. Dalam menu minuman, tentu saja “gula” tidak ditulis, tetapi semua orang seharusnya tahu, bahwa di balik “teh manis” ada gula.
Kontribusi kedua para wanita adalah secara langsung, yaitu tatkala mereka sendiri adalah aktor peradaban. Dan ini ternyata sudah dimulai sejak zaman Nabi masih hidup. Tidak ada yang meragukan kontribusi beberapa istri Nabi atau shahabiah yang meriwayatkan banyak hadits atau memberikan kritik kepada para penguasa. Suasananya kondusif. Pemerintah mendengarkan nasehat, sekalipun diluncurkan oleh seorang wanita dan dilakukan di muka umum. Dan karena ini terjadi saat para shahabat masih hidup, dan mereka semua mendiamkan, maka menjadi ijma’ shahabat yang mengikat seperti Qur’an atau Sunnah.
Karena itulah, Muhammad Akram Nadwi menulis buku Al-Muhaddithat: The Women Scholars in Islam. Buku ini terbitkan di London oleh Oxford Interface Publications; 2007. Buku itu menunjukkan bukti yang gamblang tentang partisipasi tingkat tinggi para muslimah dalam menciptakan warisan kebudayaan Islam.
Buku itu dipenuhi kisah-kisah tentang para wanita yang di antaranya sampai harus bepergian secara terrencana ribuan mil hanya untuk mendengarkan hadits dari para narator yang merangkai sanad sampai ke Nabi. Mereka juga duduk dalam suatu majelis ilmu bersama dengan para lelaki ulama atau ilmuwan untuk berdiskusi, berargumentasi, menguji, atau bahkan membantah, sampai mereka mendapatkan apa yang diyakini memang berasal dari Rasulullah.
Kondisi yang memungkinkan itu semua terjadi memang mungkin sangat unik, sebuah kondisi yang hanya terjadi ketika keamanan dan kehormatan para wanita terjaga di dalam masyarakat Islam, baik secara kultural oleh masyarakat, maupun secara hukum oleh aparat Daulah Khilafah. Syariat Islam yang dituduhkan Barat sebagai menindas kaum wanita itu ternyata tidak menghalangi sedikitpun peran wanita dalam memajukan peradaban.
Sementara itu, di bidang sains dan teknologi, meski diyakini ada juga banyak wanita muslimah yang terlibat, namun biografi mereka agak lebih sulit dikumpulkan. Hal ini agak berbeda dengan bidang ilmu hadits, di mana setiap mata rantai hadits harus dilengkapi dengan biografi yang rinci. Namun cukuplah untuk menyebut nama Maryam Ijliya al-Asturlabi, seorang wanita astronom yang dijuluki “al-Asturlabi” karena memiliki kontribusi luar biasa dalam pengembangan Astrolab (sebuah alat penting dalam navigasi astronomis).
Astrolab
.
Kalaupun suatu negara ditawari untuk dibangunkan PLTN, maka biasanya negara tersebut hanya mendapatkan bahan jadi, dan lalu timbul ketergantungan, entah pada perawatan atau penyediaan bahan nuklir. Mereka yang berusaha membangun PLTN sendiri, dicurigai sedang membuat senjata nuklir
SETELAH pantai Jepara di Jawa Tengah, kini wilayah Pulau Bangka telah disurvei oleh Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) sebagai kandidat tapak Pusat Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) mendatang. Alasannya wilayah ini bebas gempa, sehingga membangun PLTN di sana akan relatif aman, ada potensi bahan thorium yang dapat dimanfaatkan untuk bahan bakar PLTN dan krisis listrik, karena BBM untuk PLTD kadang-kadang terlambat dikirim akibat cuaca buruk.
Namun alasan-alasan positif ini belum dapat meyakinkan masyarakat agar menerima PLTN. Ini karena informasi yang diberikan dirasakan kurang berimbang. Lebih-lebih bila yang menyampaikan disinyalir memiliki kepentingan. Akibatnya informasi seperti prasyarat yang dibutuhkan, atau dampak yang mungkin terjadi tidak pernah diberikan dengan jelas dan tuntas.
Teknologi nuklir dan teknologi ruang angkasa adalah teknologi paling strategis sejak abad-20. Kalau umat Islam terdahulu sampai berjalan jauh ke Cina untuk belajar membuat kembang api uamh kemudian dikembangkannya menjadi mesiu hingga meriam raksasa (supergun) saat penaklukan Konstantinopel pada abad 15 masehi maka semestinya, teknologi nuklir ini juga dikuasai umat Islam. Hanya saja negara-negara maju tak akan rela keunggulan mereka disaingi negara lain, sehingga banyak aspek dari teknologi ini dirahasiakan atau dibatasi penyebarannya.
Kalaupun suatu negara ditawari untuk dibangunkan PLTN, maka biasanya negara tersebut hanya mendapatkan bahan jadi, dan lalu timbul ketergantungan, entah pada perawatan atau penyediaan bahan nuklir. Mereka yang berusaha membangun PLTN sendiri, dicurigai sedang membuat senjata nuklir. Contohnya adalah Iran atau Korea Utara.
Memang benar, bahwa barangsiapa mampu membangun PLTN sendiri, maka dia juga akan mampu membuat senjata nuklir. Dalam sejarahnya, Amerika Serikat telah lebih dulu berhasil meledakkan bom atomnya, sebelum dapat mengendalikan proses reaksi berantai nuklir itu dalam sebuah PLTN.
Alternatif Energi Bersih
Energi nuklir adalah salah satu energi bersih masa depan, karena tidak menghasilkan emisi (CO2, SOx, NOx) seperti halnya PLTD atau PLTU. Tentu saja sebuah PLTN juga menghasilkan limbah, baik itu berupa air hangat (yang tidak radioaktif) maupun sedikit limbah radioaktif yang harus disimpan dengan aman di ruang anti radiasi untuk ribuan tahun ke depan.
Namun untuk Indonesia, alternatif sumber energi bersih bahkan terbarukan ini masih banyak. Kita memiliki potensi panas bumi, angin, surya dan laut yang berlimpah. Sekali lagi ini soal teknologi yang akan menentukan apakah kita dapat segera memanfaatkan semua potensi ini sendiri, atau harus menunggu uluran tangan (dan jerat hutang) dari bangsa lain.
Teknologi PLTN adalah teknologi tinggi. Hal ini karena kebocoran atau kecelakaan dapat berakibat fatal. Bahan radioaktif yang keluar akan memancarkan radiasi sinar Gamma selama ribuan tahun. Bila terkena mahluk hidup, radiasi ini akan merusak sel, menyebabkan kanker atau kemandulan. Pada kasus kecelakaan PLTN di Chernobyl tahun 1986, sebuah kota harus dievakuasi, dan kota itu hingga kini masih menjadi kota mati. Untuk itu sebuah PLTN modern harus dibangun dengan keamanan berlapis. Sistem kontrol otomatis disiapkan agar bila ada sesuatu yang tak wajar, reaktor otomatis dimatikan. Masalahnya adalah bila kelalaian dan korupsi membuat sistem kontrol itu tak lagi berfungsi. Bangsa kita ini terkenal pintar membangun, tetapi malas memelihara. Walhasil, selain kecelakaan saat pemboran minyak di Lapindo Sidoarjo yang berakibat keluarnya lumpur panas tak tertangani dari 2006 hingga kini, hampir setiap hari kita mendengar kecelakaan kereta api, kapal hingga pesawat.
Kita juga wajib menyiapkan agar PLTN tersebut bila jadi dibangun tidak makin menjerat kita pada ketergantungan kepada asing, baik dalam bentuk utang, maupun dalam pengadaan bahan bakar nuklir. Memang Indonesia punya uranium, tetapi kadarnya rendah, sedang alat untuk memperkaya uranium termasuk yang dibatasi, untuk mencegah suatu negara membangun senjata nuklir. Sedang thorium yang konon berlimpahpun, mungkin belum bisa dimanfaatkan, karena hingga kini di dunia belum ada satupun PLTN dengan bahan bakar thorium.
Program komputer yang dipakai di PLTN juga harus open-source, agar dapat dirawat dan update sendiri, juga dapat diaudit dulu, agar tidak disusupi baik oleh spy-ware maupun bom-waktu.
Menyiapkan PLTN
Kalau syariat Islam diterapkan untuk menyiapkan PLTN, insya Allah kita akan mendapatkan SDM yang andal, baik dari ketakwaan, profesionalisme maupun semangat juang. Ini untuk mengantisipasi agar mereka tidak lalai dan tidak korupsi dalam menjalankan pekerjaannya, dan agar mereka senantiasa bekerja keras menguasai teknologi dengan motivasi spiritual. Pekerjaan nuklir hanya sedikit mentolerir kecerobohan (zero-tolerance).
Kemudian syariat pula yang akan menuntun agar sejak dari tender, pembebasan tanah, perjanjian dengan luar negeri terkait dengan pembiayaan, alih teknologi dan pengadaan bahan bakar, hingga pengurusan limbah radioaktif dapat berjalan dengan transparan, adil, aman, dan berkelanjutan. Hanya dengan syariah, sebuah proyek PLTN akan aman, mensejahterakan dan melindungi kedaulatan. Tanpa syariah, PLTN adalah arena mafia, lahan korupsi dan sebuah risiko serius. (*)