Beyond the Scientific Way

Fahmi Amhar Official Blog

Archive for the ‘Islam’ Category

Lima Fungsi Mulia Seorang Pemimpin

Friday, January 27th, 2012

Setiap orang adalah pemimpin.  Setidaknya bagi dirinya sendiri.  Lebih besar lagi bagi keluarganya.

Tapi seorang pejabat di suatu organisasi apapun, tidak diragukan lagi – harusnya menyadari – bahwa dia seorang pemimpin, setingkat apapun levelnya.  Hanya realitasnya banyak yang tidak  menyadari apa saja tugas seorang pemimpin.

Ternyata setidaknya ada lima fungsi mulia di pundak seorang pemimpin itu.

1. Memberi arah (Visi)

Seorang pemimpin mestinya adalah orang yang paling menginternalisasi tujuan dan mimpi-mimpi organisasi.  Tetapi aneh, banyak pejabat negeri ini, soal visi-missi-strategi organisasi saja, minta tolong ke consultan untuk membuatkan …  Kalau sekedar mengemas dalam kalimat yang sexy, boleh saja, tetapi kalau all-in, terima beres, itu yang aneh … Tetapi gak apa-apa sih, bisa jadi rejeki bagi consultan itu.  Sayang consultannya bukan milik saya … 🙂  Yang jelas, sebagai yang paling tercerahkan dengan mimpi, pemimpin harus bisa terus menginspirasi anak buahnya.  Kalau di birokrasi yang setiap Senin atau setiap tanggal 17 ada upacara, mestinya para pemimpin itu bisa men-charge anak buahnya dengan inspirasi hebat, sehingga mereka justru akan selalu menunggu-nunggu, kapan upacara lagi … 🙂

2. Memasarkan arah (Share)

Seorang pemimpin mesti mengkomunikasikan apa yang menjadi arah dan kemampuan – atau bahkan keunggulan – organisasinya baik ke dalam maupun ke luar.  Ke dalam, agar mendapatkan dukungan maksimal dari stakeholdernya (yaitu karyawan, pemodal/penyandang dana, supplier maupun para tetangga).  Mereka akan semakin termotivasi dengan setiap langkah maju ke depan mendekati sasaran.  Ke luar, agar produknya laku, setidaknya dipakai oleh konsumen dan berdampak kontributif di masyarakat.  Pemimpin boleh saja mendelegasikan soal marketing dan promosi ini ke Juru bicara, Chief Marketing Officer atau Kepala Biro Humas, tetapi dalam pertemuan apapun, seorang pemimpin akan menjadi icon yang paling penting yang mewakili keseluruhan organisasi.

3. Mengoptimasi sumberdaya (Ressources Optimizer)

Seorang pemimpin adalah penentu dalam koordinasi sumberdaya (SDM, finansial, ruang, waktu) organisasi, yang pasti tidak akan sepi dari friksi, kesenjangan, konflik kepentingan, dan sejenisnya, tetapi tetap harus dioptimasi.  Kalau SDM bertalenta di bagian teknik dipromosikan ke bagian keuangan, karena orang itu selain cerdas juga integritasnya luar biasa, maka tentu saja bagian teknik akan menjerit, dan bagian keuangan belum tentu berterima kasih mendapat orang “dari luar”.  Pokoknya koordinasi atau conflict-solver soal sumberdaya itu puncaknya di pimpinan.  Kalau bawahan disuruh “atur-atur sendiri”, atau “tolong saling koordinasi ya”, ya pasti jalannya sempoyongan lah.  Dan kalau pimpinan salah memilih anak buahnya yang langsung di bawahnya, salah mengalokasi pembagian kue, menunjuk ruang yang salah untuk orang-orang tertentu, atau mengajak lembur di saat liburan anak sekolah, pasti dia hanya akan menciptakan lebih banyak musuh di organisasinya.  Pemimpin harus ada, ketika resources ini terasa menipis.  Jangan sampai, ketika anak buahnya berjuang seakan-akan air serasa sampai di leher, sang pemimpin malah sedang pesta pora di pantai dikelilingi dayang-dayang menawan.

4. Memberi bentuk (Shape)

Setelah tujuan, bentuk sebuah organisasi ditentukan oleh proses bisnis yang dipilihnya. Proses bisnis ini tentunya perlu disistemkan dalam bentuk rangkaian Standard Operating Procedure.  Apalagi kalau itu menyangkut berbagai hal yang perlu inovasi.  Tanpa inovasi suatu organisasi akan tergilas oleh perkembangan zaman.  Tentu saja, rincian SOP bisa diserahkan ke profesional.  Tetapi beberapa bagian-bagian kritis dari SOP perlu diputuskan sendiri oleh pemimpin.  Misalnya, apakah orang yang selalu telat hadir di kantor kumulatif 8 jam dalam 1 minggu perlu diberi sanksi?  Kalau ya sanksi apa?  Atau apakah staf yang meraih 200% dari target perlu diberi reward khusus?  Tentu saja, tugas seorang pemimpin tidak hanya membuat SOP, tetapi dia harus menjadi figur yang pertama-tama mentaati SOP.  Anak buah paling sebal melihat pemimpin yang tidak mentaati SOP yang dia buat sendiri.

5.  Menjamin hasil (QCD Assurance)

Orang luar pada umumnya tidak akan peduli dengan sesulit apa proses bisnis sebuah organisasi.  Mereka hanya peduli bahwa output organisasi itu pada kualitas yang bermanfaat untuk mereka, harganya terjangkau, dan dapat diakses tepat waktu.  Quality-Cost-Delivery ini harus bisa dijamin.  Oleh siapa?  Bukan oleh QC-manajer, tetapi oleh pemimpin! Pemimpin mempertaruhkan jabatan dan reputasinya untuk itu.  Kalau dia tidak percaya pada QC-manajer, ya tidak perlu memblame.  Masyarakat tidak ambil pusing siapa QC-manajernya.  Itu urusan pemimpin.  Jadi kalau QC-manajer-nya jelek, ya ganti saja, gitu saja koq repot.

Dalam birokrasi:
tugas no 1 sering didelegasikan ke Widyaiswara (Diklat),
tugas no 2 sering didelegasikan ke Promosi & Pranata Humas (Biro Humas),
tugas no 3 sering didelegasikan ke Perencana (Biro Perencanaan),
tugas no 4 sering didelegasikan ke Peneliti (Litbang),
tugas no 5 sering didelegasikan ke Auditor (Inspektorat).
Karena pentingnya, tugas-tugas ini semestinya dilakukan oleh mereka yang berpengalaman pada core-business organisasi.  Artinya, kalau organisasi itu bergerak di bidang teknis, maka widyaiswaranya harus punya pengalaman cukup di bidang teknis (kalau tidak, nanti dia ngajar apa?), humasnya juga mantan orang teknis (agar ngerti benar yang dipasarkan), perencananya juga begitu (otherwise, nanti hanya sekedar kompilator proposal), penelitinya apalagi (kalau nggak, nanti risetnya gak konek) dan last but not least, auditornya juga, bukan sekedar ngerti akuntansi keuangan.

Tapi paling top lagi, kalau pemimpin utama empati dan mau belajar minimal 5 hal-hal ini, agar dia benar-benar dirasakan memimpin, dan anak-buahnya tidak merasa organisasi itu dijalankan oleh “autopilot” 🙂

Dalam dunia swasta, ternyata mirip-mirip juga.

Kalau mau bisnis sukses, ternyata yang paling pertama itu harus ada mimpi dulu, lalu menciptakan jejaring (baik untuk pasar maupun yang lain), lalu bisa mengoptimasi sumberdaya (terutama SDM dan cash-flow!), kemudian selalu ada inovasi, dan terakhir, kontrol – agar produk tidak mengalami penurunan mutu, dan juga agar tidak ada benih-benih perusak dari manapun.

Demikian juga di dunia nirlaba, baik itu organisasi sosial maupun politik.

Intinya, fungsi pemimpin ini di mana-mana mirip ya …

Atau anda ada ide/pendapat yang lain?

Perkara Syar’i Tapi Mis-Context

Sunday, January 15th, 2012

Ada perkara-perkara mubah yang diizinkan oleh syariat Islam, tetapi hanya pasti barokahnya bila sistem Islam diterapkan di atasnya. Sedang bila dipaksakan pada context sistem “turbo-capitalisme” saat ini, tantangan dan resiko kegagalannya terlalu besar. Misalnya:

– menikah di usia dini

Karena pendidikan yang diberikan saat ini tidak menyiapkan orang sehingga sebelum baligh sudah tahu segala kewajiban syar’inya.  Walhasil setelah menikah terus didera banyak sekali masalah, tidak sedikit yang justru menjadi kontra produktif untuk dakwah.

– menikah sirri

Karena pemerintah hanya punya komitmen untuk melindungi pernikahan yang secara administratif tercatat resmi. Sebaliknya, banyak orang sengaja menikah sirri untuk menghindari konsekuensi hukum dari pernikahannya, misalnya pegawai korporasi tertentu dilarang menikah dengan sesama pegawai, padahal mereka kenalnya ya itu, jadi terpaksa menikah sirri, daripada salah satu dipecat!

– menikahi wanita ahli kitab

Karena tidak ada jaminan akan melengkapi “melihat Islam” yang sebelumnya hanya ditemukan di ruang publik menjadi juga di ruang privat.  Dalam negara Islam, seorang wanita ahli kitab melihat syariat Islam yang penuh berkah dilaksanakan di ruang publik.  Di sekolah dia melihat Islam.  Di tempat kerja dia melihat Islam.  Tetapi seperti apa Islam di dalam rumah tangga, sementara dia lahir dan dibesarkan bukan di keluarga muslim?  Untuk itulah, Islam memberikan kesempatan dia melihat Islam dipraktekkan di dalam keluarga, dengan menjadi istri seorang lelaki muslim yang shaleh. Kalau sekarang kebalikannya!  Di luar rumah yang ada hanya kapitalisme, sekulerisme, liberalisme.  Apakah seorang lelaki muslim justru akan menambah masalah dengan memasukkan wanita yang belum mengenal Islam ke dalam keluarganya?

– menikahi lebih dari 1 istri

Karena negara tidak akan pro-aktif campur tangan bila ada istri-istri yang ditelantarkan.  Negara ini hanya datang ketika “dipanggil” oleh istri yang menggugat cerai.  Padahal ada istri yang “tahu diri”, bahwa dia kalah cantik, kalah muda, kalah cerdas, tidak akan “laku” lagi bila cerai, sehingga akhirnya pasrah didholimi demikian.  Hanya negara Islam yang akan proaktif menjaga agar tidak ada satupun warganya yang terdholimi oleh warga lainnya, hatta itu suaminya sendiri.

– memiliki banyak anak

Karena bisa jadi justru akan menjadi mangsa pola konsumsi dan sistem pendidikan kapitalis.  Dalam negara Islam, setiap jiwa dijamin oleh negara.  Jadi banyak anak memang banyak rejeki, karena nantinya pendidikannya dijamin negara. Kalau sakit juga ada jaminan kesehatan dari negara.  Sekarang?  Banyak anak, berarti orang tua makin kewalahan mengurusnya.  Akhirnya anak diserahkan “dididik” oleh TV yang acaranya tidak islami.  Masuk sekolah kalau yang murah ya konten Islamnya minimal.  Jadilah banyak anak hanya memberikan lebih banyak korban untuk kapitalsme.

Jadi marilah, kita lebih proporsional dan kontekstual dalam mengatakan “syariat Islam”, termasuk ketika setengah menganjurkan untuk “menikah dini – daripada pacaran”, membela “menikah sirri – daripada berzina”, mensunnahkan “berpoligami – untuk membuat lebih banyak wanita bahagia”, mendorong “banyak anak – karena Nabi akan berbangga dengan jumlah ummatnya”, ataupun sebaliknya, menggugat kehalalan “menikahi ahli kitab”.  Semua ada konteksnya !Konteksnya adalah: ADA NEGARA YANG BERKOMITMEN MENERAPKAN SISTEM ISLAM DI ATASNYA.

Pribadi Triple Helix

Tuesday, January 10th, 2012

Akhir-akhir ini publik diramaikan dengan isu mobil nasional, hasil karya perusahaan keluarga Kiat Motors dengan anak-anak sebuah SMK di Solo, sehingga dinamai “Kiat Esemka”. Mampukah mobil nasional benar-benar akan menjadi tuan di negeri yang sudah di-“kunci” secara regulasi oleh WTO (perdagangan bebas), secara faktual oleh agen-agen tunggal pemegang merek dari Jepang, Korea dan Eropa, dan secara kultural oleh mindset “inlander”? Sepertinya jalan panjang masih harus ditempuh.  Untuk benar-benar sampai menjadi produk nasional yang membanggakan dan menjadi tuan di negeri sendiri, hasil karya akademis itu harus bersinergi dengan dunia pengusaha dan dunia penguasa.

Adalah Dr. Kusmayanto Kadiman, mantan rektor ITB yang pernah menjadi Menristek, yang mempopulerkan istilah “triple helix” untuk menggambarkan konstruksi ideal sinergi antara kalangan akademisi (yang memproduksi riset dan SDM dalam bidang sains & teknologi), kalangan bisnis (yang menggunakan hasil riset dan SDM tersebut), dan kalangan government / pemerintah (yang membuat regulasi agar semua berjalan lancar, sinergis, konstruktif dan bermartabat).  Pak KK suka menyingkat triple helix ini menjadi “ABG”.  Pada saat dia menjabat, kemanapun beliau pergi, beliau selalu promosi agar semua entitas ABG ini berpikir triple helix.  Kalau disederhanakan, kira-kira bahasanya akan begini:”Percuma saja jadi peneliti senior, kalau risetnya tidak dipakai di dunia bisnis atau tidak dipedulikan birokrasi”.”Percuma saja jadi profesor, kalau anak didiknya gagal di dunia bisnis atau di birokrasi malah korupsi”.”Percuma saja jadi boss perusahaan besar, kalau tidak bisa memanfaatkan hasil riset dalam negeri”.”Percuma saja jadi birokrat, kalau tidak bisa memberi iklim yang kondusif untuk tumbuhnya riset ataupun bisnis berbasis riset dalam negeri”.

Kalau melihat sejarah bangsa lain, ternyata triple helix ini mencapai titik optimal kalau ketiganya melebur pada satu orang.  Contohnya: Thomas Alva Edison, sang penemu lebih dari 1000 paten terkait penggunaan listrik, ternyata juga seorang pebisnis ulung (pendiri General Electric), dan terkenal lobby-lobby-nya dengan penguasa birokrasi di AS saat itu.  Penemu lain di masanya, tapi kurang memiliki kemampuan triple helix ini – misal Nikola Tesla – cenderung kurang memiliki dampak seperti Edison.  Hal yang sama juga terjadi pada Henry Ford, Seichiro Honda, Steve Jobs dan Bill Gates.  Perkecualian mungkin pada Albert Einstein, karena beliau dikenal hanya memiliki “dual-helix”, yaitu sebagai saintis top peraih hadiah Nobel Fisika (akademisi) dan politisi (government) karena surat-suratnya ke Presiden AS saat itu agar mengembangkan bom atom.  Oleh karena itu, secara umum dapat dikatakan, salah satu hal yang menarik di dunia teknologi abad 20-21 adalah “pribadi triple helix”.  Merekalah yang membuat dunia memiliki bentuk seperti saat ini.

Pada masa Islam memiliki peradaban emas di masa khilafah, pribadi triple helix ini sangat banyak.  Dimensinya juga tidak hanya di bidang sains dan bisnis, tetapi juga bisa ke arah seni, siyasah (politik) ataupun petualangan.

Coba lihat beberapa contoh:

Umar Khayyam adalah mujtahid, tetapi juga matematikawan dan sastrawan.  Triple helixnya dapat disingkat “3S” : Syariah – Sains – Seni.  Hebatnya, di helix sains, Umar Khayyam menghasilkan penemuan di berbagai disiplin ilmu.

Muhammad al-Fatih adalah pemimpin pembebasan Konstantinopel (yang diramalkan Rasulullah sebagai sebaik-baik panglima), tetapi ternyata beliau juga seorang teknokrat ulung yang memahami dengan detil berbagai sains teknologi peperangan (beliau merancang konstruksi super-gun, dan juga memberikan metode memindahkan kapal melewati perbukitan) dan seorang eksekutif yang sangat paham hukum syariah.  Triple helixnya adalah juga “3S” : Siyasah (strategi) – Sains – Syariah.

Ibnu Batutah adalah traveller yang berkelana lebih dari 75000 Km (sebuah jarak hampir 2x mengelilingi bumi), di beberapa tempat ditunjuk sebagai hakim, dan kemudian menuliskan seluruh pengalamannya secara sistematik dalam beberapa buku yang menjadi rujukan ilmiah geografi, politik, antropologi dll selama berabad-abad.  Triple Helix Ibnu Batutah adalah “3S” juga: Spatialist (traveller) – Syariah – Sains.

Muhammad ibn Musa al-Khwarizmi adalah faqih, matematikawan top (penemu aljabar), dan juga pedagang (dia mengenal angka India – yang kemudian diadopsi dalam bukunya dan menjadi “angka Arab” – karena interaksinya dengan para pedagang).  Kitab Aljabar wal Muqobalah menjadi populer salah satunya karena dipakai dalam akuntansi perdagangan!

Triple Helix al-Khwarizmi adalah “3S” juga: Syariah – Sains – bisniS.  🙂

Ternyata, helix yang sangat dominan di sejarah Islam dan selalu ada adalah: Syariah!
Sekarang kembali kepada kita: akan mengambil triple helix yang mana?