Ini adalah sebuah pertanyaan klasik yang ditujukan kepada aktivis gerakan dakwah yang dalam setiap kesempatan selalu bicara yang terkait politik: Mengapa tidak bergabung dengan parpol saja, lalu masuk parlemen?
Untuk menjawab pertanyaan ini, ada 5 hal yang harus diluruskan:
1. Tentang POLITIK.
Bagi sebagian besar orang, politik adalah permainan kekuasaan. Oleh karena itu, tempatnya adalah di Parpol, Parlemen, atau di Pemerintah, bukan di masjid! apalagi di jalanan!
Sayangnya mereka keliru!
Sholat memang sebuah ibadah. Masjid juga tempat ibadah. Tetapi melakukan upaya agar semua muslim bisa sholat pada waktunya, agar masjid juga tersedia dalam jumlah, kapasitas dan kualitas yang cukup di tempat-tempat publik (terminal, mall, kantor pemerintah), maka itu adalah aktivitas politik! Aktivitas politik adalah fardhu kifayah. Dan jumlah fardhu kifayah itu bila dihitung-hitung, sesungguhnya melebihi jumlah fardhu ain. Termasuk fardhu kifayah adalah mengupayakan adanya air bersih, ada listrik, ada jalan, ada sekolah, ada fasilitas kesehatan, ada pengelolaan sampah, ada sarana transportasi publik, ada petugas keamanan, ada layanan informasi kesempatan kerja, dsb. Dan mengupayakan itu semua adalah aktivitas politik!
2. Tentang ORGANISASI POLITIK.
Bagi sebagian besar orang, partai politik adalah satu-satunya kendaraan untuk aktivitas politik. Itu benar manakala yang dimaksud adalah untuk mendudukkan orang-orang di Parlemen atau Kekuasaan secara legitimate (LEGITIMASI politik). Tetapi fungsi dari parpol menurut teori seharusnya tidak cuma itu, tetapi juga EDUKASI politik, ADVOKASI politik, AGREGASI politik, dan REPRESENTASI politik. Rakyat perlu diedukasi agar tahu hak-hak dan kewajiban mereka dalam bermasyarakat dan bernegara. Bila mereka dizalimi, atau dalam posisi lemah berhadapan dengan pihak yang lebih kuat ataupun penguasa, maka harus ada advokasi bagi mereka. Oleh karena itu mereka harus dapat dikumpulkan (diagregasi) dengan suatu platform dan tujuan yang sama. Dan karena itulah, mereka dapat menunjuk seorang atau beberapa wakil yang representatif untuk mewakili mereka. Ini adalah fungsi-fungsi organisasi politik. Kalau melihat fungsi-fungsi ini, maka aktivitas politik ternyata juga bisa dilakukan dalam skala kecil oleh sebuah LSM, atau dalam skala yang lebih besar oleh Ormas. Ormas itu bisa berbasis profesi (seperti Ikatan Dokter Indonesia), berbasis kepemudaan (seperti KNPI), ataupun berbasis agama (seperti HTI). Anehnya, justru parpol-parpol di Indonesia saat ini hanya eksis menjelang agenda legitimasi politik (yaitu pemilu), dan mereka nyaris abai terhadap 4 aktivitas yang lain (edukasi, advokasi, agregasi dan representasi). Akibatnya, mereka jadi bahan banyolan dari rakyat di bawah.
3. Tentang DEMOKRASI
Bagi sebagian besar orang, demokrasi hanyalah pemilihan umum yang bebas, jujur dan adil. Ini sebenarnya hanya demokrasi prosedural. Hakekat demokrasi bukan itu, tetapi “kedaulatan bersumber dari [keinginan] rakyat”. Kalau rakyatnya senang minum bir seperti di Jerman, keluarlah UU yang melegalkan produksi dan peredaran miras. Kalau rakyatnya mentolerir narkoba seperti di Belanda, keluarlah UU yang melegalkan narkoba secara terbatas. Kalau rakyatnya menganggap pernikahan sejenis itu bukan masalah seperti di Swedia, keluarlah UU yang melegalkan pernikahan sejenis. Dan kalau rakyatnya setuju untuk menyerbu negara lain seperti di AS (dengan agresinya ke Irak dan Afghanistan), maka keluarlah UU-APBN yang membiayai serbuan itu, serta terpilihnya kembali presiden yang menginginkan agresi. Jadi, demokrasi tidak bisa mencegah malapetaka seperti ini. Kalau persoalannya bersumber dari tingkat kesadaran masyarakat, dan orang diminta optimis, bahwa bila masyarakatnya terdidik secara islami, maka mustahil demokrasi akan menghasilkan keputusan UU yang fatal seperti itu, maka berarti lebih tepat kita berjuang untuk memberi penyadaran masyarakat, bukan berjuang untuk bertarung di pentas demokrasi! Tanpa didahului dengan upaya penyadaran masyarakat, maka proses demokrasi di negeri-negeri Islam tidak akan menjadikan Islam sebagai pemenang. Bahkan di negeri yang Islam menang pun, kalau militernya belum sadar, militer masih bisa mengintervensi demokrasi. Partai FIS di Aljazair, meraih 88% kursi dalam pemilu 1992, tapi lantas militer membatalkan pemilu. Partai Refah di Turki, meraih mayoritas suara dan ketuanya (Erbakan) menjadi Perdana Menteri, tapi tak lama kemudian militer mengkudetanya dengan tuduhan membahayakan konstitusi sekuler, sekalipun Erbakan ketika dilantik sudah bersumpah akan membela konstitusi Turki yang sekuler. Dan Partai Hamas di Palestina yang menang pemilu, juga akhirnya hanya dapat berkuasa di sebagian kecil wilayah Palestina yang merupakan basis massa pendukungnya. Jadi terus jalan apa yang bisa dilakukan untuk melakukan perubahan?
4. Tentang PERUBAHAN
Bagi sebagian besar orang, perubahan otomatis akan terjadi ketika seseorang yang shaleh terpilih menjadi penguasa. Mereka menyangka, masyarakat hanyalah kumpulan dari individu-individu. Jadi ketika individu-individu itu sholeh, otomatis masyarakatnya akan sholeh. Mereka keliru!
Sebuah gedung terdiri dari batu, besi, semen, kayu dan kaca. Tetapi kumpulan itu semua tidak otomatis menjadi gedung. Bahan bangunan itu perlu ditata atau diatur dengan suatu pola sedemikian rupa agar menjadi gedung.
Demikian juga masyarakat. Kumpulan orang sholeh itu perlu ditata dan diatur agar menjadi sebuah masyarakat yang sholeh. Mereka ditata dengan suatu pemikiran dan perasaan kolektif (atau kita sebut opini umum atau KULTUR), dan diatur dengan suatu peraturan yang disepakati (atau kita sebut STRUKTUR). Kultur dan Struktur ini bersama-sama disebut SISTEM. Perubahan kultural dilakukan melalui aksi-aksi pembentukan opini, sedang perubahan struktural dilakukan melalui kontak-kontak kepada tokoh-tokoh kunci masyarakat. Kalau kedua hal ini bisa berjalan seiring, maka perubahan itu pasti akan terjadi. Tapi kongkritnya bagaimana?
5. Tentang CONTOH KONKRIT
Tidak usah jauh-jauh menyebut contoh dari Eropa Timur (jatuhnya Komunisme) atau Afrika Selatan (tumbangnya rezim Apartheid), di Indonesia tahun 1998 Soeharto amat sangat berkuasa. Pemilu pun menghasilkan “konsensus nasional” di MPR yang melanggengkan kekuasaan Soeharto. Tapi dua bulan kemudian, opini publik di akar rumput berbalik mendesak Soeharto turun. Sementara itu para tokoh kunci kekuasaan (Pimpinan DPR/MPR, Pimpinan TNI, Para Menteri) pun akhirnya mengamini desakan itu, atau netral, atau menolak bekerjasama dengan Soeharto lagi. Jadilah Soeharto lengser. Hanya saja, people-power seperti ini terbukti kemudian tidak solid, karena common-enemy mereka hanya person Soeharto. Selanjutnya dalam agenda reformasi, ternyata mereka tidak fokus, pijakannya tidak sama, serta kepentingan lain-lain.
Tetapi bisa kita bayangkan, bahwa suatu hari nanti, setelah kondisi ekonomi makin buruk, sementara panutan pemerintah ini yaitu AS & Eropa juga makin hancur terkena krisis ekonomi global yang akhirnya juga menyeret Jepang, Cina dan India, maka suatu hari Presiden meminta para tokoh nasional untuk berkumpul. Mereka terdiri dari para Pimpinan TNI, para Pimpinan Lembaga Tinggi Negara (MA, MK, DPR, DPD), para Menteri strategis, Gubernur BI, Jaksa Agung, Ketua KPK, para pimpinan Parpol, Tokoh Intelektual, Tokoh Agama, Tokoh Pengusaha, Tokoh Media dll.
Presiden lalu curhat, “Saya kemarin saat kunjungan ke Amerika bertemu seorang pengusaha kelas dunia. Kami berdiskusi, dan saya terkejut ketika dia bilang bahwa ekonomi Amerika ini tak lama lagi akan tenggelam. Dia menyarankan agar kita menengok pada jalan alternatif. Dan tadi malam, saya bermimpi bertemu almarhum eyang saya, seorang Kyai Kharismatis di masa Perjuangan Kemerdekaan dulu. Dia menasehati saya agar menegakkan syariat Islam di negeri ini, karena itu adalah amanat perjuangan kemerdekaan, ini kalau kita tidak ingin kapal Indonesia ini ikut tenggelam, sementara saya sekarang nakhodanya. Bagaimana pendapat Saudara-saudara?”
Maka tokoh paling senior di forum itu, yang kebetulan menjabat Ketua MPR mengatakan, “Saudara Presiden, akhir-akhir ini saya melihat bahwa yang disuarakan oleh gerakan-gerakan syariah dan khilafah sejak tahun 2000 itu barangkali benar. Persoalannya, kita selama ini terlalu angkuh dengan kedudukan kita. Dan perlu Saudara Presiden ketahui, di akar rumput partai saya, yang meskipun sebuah partai nasionalis dan demokratis, semakin hari saya rasakan semakin banyak yang mendesak agar elit partai mendukung penerapan syariah & khilafah. Saya jadi memberanikan diri untuk bertanya kepada Ketua MUI, Ketua Muhammadiyah, Ketua NU dan Rektor UIN Syarif Hidayatullah, apa benar kalau kita terapkan syariah dan khilafah itu nilai-nilai luhur Pancasila akan lebih mudah terwujud?”
Ternyata 4 orang yang ditanya itu semua menganggunk-angguk tanda setuju.
Seorang tokoh media yang paling berpengaruh bicara, “Sebenarnya selama ini memang aktivitas gerakan syariah dan khilafah makin luas mendapat dukungan. Mereka bergerak di tataran akademis maupun di tengah masyarakat. Jumlah pendukung aksi pro syariah di jalan-jalan mencapai puluhan ribu orang di hampir 500 kota di Indonesia. Tetapi kami kalangan media memang selama ini kurang menayangkan karena jarang ada insiden di aksi-aksi itu. Tidak ada news”.
Gubernur BI menambahi, “Saya kemarin diskusi panjang dengan ajudan saya yang ternyata sangat cerdas, dan saya kini semakin yakin bahwa dengan sistem moneter syariah kita tidak perlu repot lagi menjaga nilai tukar mata uang ataupun menghitung nilai suku bunga yang tepat”.
Ketua KPK menimpali, “Saya juga berapa waktu yang lalu diyakinkan dalam diskusi terbatas bidang hukum bahwa dengan sistem syariah yang komprehensif maka pencegahan dan penindakan korupsi akan jauh lebih efektif”.
Tiba-tiba Panglima TNI angkat bicara, dengan suaranya yang khas, berat dan berwibawa, “Saudara Presiden, saya yakin, kalau Saudara, dengan sepersetujuan MPR, sepakat agar kita mengubah tata negara kita menjadi Negara Khilafah dan menerapkan syariat Islam di dalam dan di luar negeri, saya yakin, kemampuan kita dalam menjaga kedaulatan NKRI akan makin meningkat, bahkan mungkin, beberapa wilayah kita yang telah lepas seperti Timor-Leste, atau selama ini terancam separatis seperti Aceh dan Papua, akan justru menjadi yang pertama mendukung Negara Khilafah itu. Oleh karena itu, kami pimpinan TNI – dan saya yakin juga Saudara Kapolri – akan siap berbaiat kepada Saudara sebagai Khalifah, dan kami siap membela Anda dalam menerapkan syariat Islam, lebih dari membela anak dan istri kami sendiri”.
Semua terkesiap. Tetapi seorang tokoh PGI (Persatuan Gereja Indonesia) yang hadir menimpali, “Kami warga Kristen, termasuk yang di Indonesia Timur, sebenarnya selama ini banyak berinteraksi dengan gerakan pro syariah khilafah itu, dan sudah hilang keraguan kami, bahwa penerapan syariah itu justru akan melindungi kami dari aksi-aksi anarkis seperti selama ini”.
Seorang tokoh pengusaha nasional nyeletuk, “Kami para pengusaha nasional, juga yakin, bahwa kekuatan industri kita, sumberdaya alam kita, dan pasar dalam negeri kita, cukup kuat bila sewaktu-waktu karena keputusan ini ada embargo atau sanksi internasional” .
Menteri Ristek menambahkan, “Pengalaman Iran dengan embargo yang dijatuhkan Amerika sejak revolusi Islam dulu justru positif. Embargo justru meningkatkan kemandirian dan kreatifitas anak bangsa. Kata Presiden Ahmadinejad, embargo justru berkah terbesar bagi Iran. Karena embargo, Iran justru mampu membangun sendiri PLTN-nya serta wahana ruang angkasa tanpa bantuan asing”.
Akhirnya wajah Presiden menjadi cerah. Dia lalu mengatakan, “Kalau demikian halnya, saya minta blocking space kepada seluruh pimpinan media, besok jam 10 pagi, kita akan akan proklamasikan berubahnya negeri ini menjadi Daulah Khilafah di depan Sidang Istimewa MPR. Mohon pimpinan MPR mempersiapkan segala sesuatunya. Nanti saya minta Menteri Hukum beserta Mensesneg untuk segera merumuskan apa saja yang dianggap perlu dalam proses konversi dan transisi dengan cara saksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya”. Apakah masih ada yang tidak setuju?” Ternyata tidak ada satupun yang berani tunjuk tangan. “Apakah semua setuju?” tanya Presiden kembali meyakinkan. Semua tunjuk tangan.
Begitulah, akhirnya di negeri antah berantah itu Khilafahpun berdiri tegak, dibela oleh rakyatnya di bumi, dan didoakan oleh mereka yang ada di langit.
** proses perubahan revolusioner mirip seperti ini terjadi di negara-negara Blok Timur pada tahun 1991, dan di Afrika Selatan tahun 1994. Pemilu yang dilakukan sesudahnya di sana hanya melegitimasi keinginan kuat untuk merubah sistem yang sudah terjadi sebelumnya.
Semula, UN diadakan untuk memetakan kualitas sekolah. Sekolah yang hasil UN-nya masih rendah, perlu lebih diperhatikan kelengkapan sarananya, mungkin gurunya perlu diberikan diklat penyegaran, bahkan ekonomi orang tua siswa perlu ditingkatkan. Namun ketika UN dijadikan alat ukur kelulusan siswa dan alat ukur keberhasilan daerah, maka penguasa daerah menghalalkan segala cara agar daerahnya tampak kinclong, minimal pada nilai UN.
Padahal sekalipun UN didapatkan dengan jujur dan bermartabat, tetap saja UN baru mengukur sedikit dari kompetensi anak didik. Terlalu banyak hal yang masih belum terukur dengan UN, misalnya kreativitas, integritas, kemampuan menaklukkan tantangan dan sebagainya.
Jika pendidikan terus dengan sistem yang membiarkan terjadinya “kedodolan” ini, maka tak perlu heran bahwa 25 tahun mendatang, boleh jadi tingkat butu huruf sekunder di Indonesia mencapai 30-40%. Seperti apa negara seperti itu? Seperti Eropa!
Eropa abad 9 – 12 M memiliki tingkat buta huruf 95%! Bahkan Kaisar Karl dari Aachen di usia tuanya konon masih berusaha mempelajari “keterampilan yang sulit dan langka” itu! Di biara-biara hanya sedikit pendeta yang mampu membaca. Di biara St Gallen Swiss pada 1291 bahkan tak ada seorangpun dapat membaca dan menulis. Pada saat yang sama, jutaan anak-anak di desa dan kota Daulah Khilafah duduk di atas karpet dan mengeja huruf-huruf Qur’an, menulisnya, hingga menghafal surat-surat itu, lalu memulai mempelajari dasar-dasar gramatika bahasa Arab (nahwu dan shorof).
Keinginan seorang muslim untuk menjadi muslim yang baik, adalah awal semua ini. Karena setiap muslim mesti mampu membaca Qur’an. Di sinilah jurang antara Timur dan Barat. Untuk kitab suci Nasrani, hanya pendeta yang memiliki akses, membaca dan mengerti bahasa kitab suci. Namun sejak 800 M, para pengkhutbah dalam bahasa Latin sudah susah dimengerti orang kebanyakan, sampai-sampai sinode gereja memerintahkan menggunakan idiom awam, karena yang menikmati sekolah (berbahasa Latin) hanya selapis tipis rohaniwan.
Ini berbeda dengan Daulah Khilafah yang sangat berkepentingan agar rakyatnya cerdas. Pendidikan benar-benar menjadi urusannya. Anak-anak semua kelas sosial mengunjungi pendidikan dasar, dengan biaya yang terjangkau semua orang. Karena negara membayar para gurunya, orang-orang miskin mendapat tempat cuma-cuma. Di banyak tempat malah sekolah sama sekali gratis, misalnya di Spanyol. Selain 80 sekolah umum Cordoba yang didirikan al-Hakam-II pada 965 M, masih ada 27 sekolah khusus untuk anak-anak miskin. Di Kairo, al-Mansur Qalawun mendirikan sekolah untuk anak yatim, dan menganggarkan setiap hari ransum makanan yang cukup dan satu stel baju untuk musim dingin dan satu stel baju untuk musim panas. Bahkan untuk orang-orang Badui yang berpindah-pindah, dikirim guru yang juga siap berpindah-pindah mengikuti tempat tinggal muridnya. Tak ada lagi celah dalam jejaring sekolah seperti ini.
Namun pendidikan di Daulah Khilafah tidak terbatas pada pendidikan dasar. Yang “salah” adalah politik. Kompetisi antara oposisi dan pemerintah dalam melayani rakyat menyebabkan tingkat pendidikan cepat terangkat. Pada abad-10 M, oposisi meluncurkan konsep berbagai program pendidikan untuk lebih menarik dukungan masyarakat dalam mengkritisi pemerintah. Para oposisi ini merencanakan membangun universitas, tentunya juga bebas biaya. Maka segera pemerintah mengambil ide ini, agar oposisi batal mendapat dukungan. Hasilnya rakyat di seluruh kota besar menikmati pendidikan tinggi!
Para mahasiswa tinggal di kamar-kamar lantai atas gedung kampus. Mereka juga mendapat makanan lengkap cuma-cuma, bahkan uang saku. Di bawah tanah terdapat dapur, gudang dan tempat mandi. Di lantai dasar ada ruang-ruang belajar dan perpustakaan. Di situlah dipelajari Quran, Hadits, Bahasa Arab, Sejarah, Sosiologi, Geografi, Logika, Matematika dan Astronomi. Melalui pertanyaan dan debat, mahasiswa dilibatkan dalam proses pembelajaran. Para mahasiswa tingkat lanjut dan alumni membantu mereka belajar. Mereka seperti “lebah yang sedang meracik madu ilmu dari ribuan bunga pengetahuan”, tulis Sigrid Hunke, sejarawan Jerman dalam Allah Sonne ueber dem Abendland.
Sebagian petani dari desa menitipkan anak mereka ke seorang guru di kota, bersama uang atau hasil bumi untuk biaya hidupnya. Mereka berharap anaknya akan tumbuh menjadi seorang faqih yang kelak diterima sebagai qadhi atau bahkan syukur-syukur menjadi mujtahid Khalifah. Anak-anak titipan ini akan menjadi “ajudan” dari sang guru. Sebagai balas jasa, sang guru akan merawatnya jika si anak sakit, bahkan siap menjual keledai satu-satunya jika dia perlu membeli obat.
Namun jalan umum untuk belajar adalah di masjid-masjid. Siapa saja boleh datang dan pergi, laki ataupun perempuan. Dan siapa saja boleh menginterupsi para guru untuk bertanya atau membantah. Ini memaksa para guru untuk mempersiapkan materinya dengan seksama. Sebenarnya, siapapun yang merasa mampu boleh mengajar. Namun audiensnya yang selalu siap mengkritik, mencegah orang-orang yang belum matang atau baru setengah matang dalam ilmu untuk memimpin kalimat.
Di masjid-masjid juga biasa didengarkan kalimat dari para ulama yang sedang dalam perjalanan yang singgah di kota itu, terutama ketika musim haji. Dengan demikian para mahasiswa selalu mendapatkan masukan. Bahkan juga cepat tahu bila ada karya yang “dicuri” mentah-mentah (plagiarism). Untuk mengungkap karya orang lain, sanad atau rawi wajib disebutkan. Dan untuk itu perlu ada ijazah (lisensi) tertulis dari gurunya, bahwa dia layak untuk menjadi sanad dari pengetahuan tersebut. Inilah mengapa gelar sarjana di timur tengah adalah Lc. dari kata Licentiate – berlisensi untuk menyampaikan.
Dunia Islam memberi inspirasi seluruh manusia untuk belajar, karena belajar adalah satu-satunya jalan untuk mengenal Tuhan dan mendapatkan hikmah kehidupan.
oleh Fahmi Amhar
Science (from Latin scientia, meaning “knowledge”) is a systematic enterprise that builds and organizes knowledge in the form of testable explanations and predictions about the universe.
Sains didefinisikan sebagai sebuah usaha yang sistematis untuk membangun dan mengorganisasikan pengetahuan dalam sebuah bentuk penjelasan atau prediksi yang bisa diuji tentang alam semesta.
Sebagian sains sudah ada sejak sebelum Islam datang. Sains tentang panjang sisi miring sebuah segi tiga siku-siku sudah ditemukan Phytagoras, matematikawan Yunani (wafat 495 SM). Sains tentang hidrolika sudah ditemukan Archimedes (wafat 212 SM). Sains tentang Astronomi sudah ditulis oleh Ptolemeus (wafat 168 SM). Sains tentang banyak hal dicoba dirumuskan oleh Aristoteles (wafat 322 SM).
Beberapa jenis sains ini masih dicampuri berbagai mitos, filsafat, kecenderungan spiritual tertentu, aksioma yang tidak berdasar, atau harapan-harapan palsu. Astronomi masih dicampuri dengan ramalan nasib, dan ilmu kimia masih dicampuri dengan pembuatan ramuan sihir.
Ketika Islam datang, Islam memberikan sejumlah hal, yang kemudian generasi selanjutnya mereview hubungan antara iman-Islam dengan sains. Dalam perkembangannya, teramati ada lima macam paradigma hubungan Islam & Sains.
1. SAINS – ISLAM
Adalah Rasulullah sendiri yang ditunjukkan dalam hadits tentang kasus penyerbukan kurma, yang menunjukkan bahwa urusan sains & teknologi adalah “urusan kalian”. Nabi datang dengan membawa wahyu adalah untuk mengatur pandangan, sikap atau perilaku manusia yang tidak bisa ditemukannya sendiri dengan sains. Qur’an bicara hal-hal ghaib tentang masa lalu yang sangat jauh saat penciptaan bumi & langit, saat penciptaan manusia, atau masa depan yang juga sangat jauh, saat bumi & langit digulung lalu semuanya dibangkitkan kembali untuk menghadapi pengadilan. Ini adalah hal-hal yang tidak mungkin diuji dengan sains, tetapi hanya dapat diketahui dari kabar di dalam Qur’an. “When the science end, begin the faith”. Islam memberikan kepada manusia berberapa norma perilaku yang halal dan haram, bukan atas dasar pembuktian sains, tetapi atas dasar kepatuhan kepada Tuhan selaku pencipta manusia. Bahwa di balik halal – haram itu bakal ada hikmah pada jangka panjang, bisa saja, tetapi itu bukan dasar diberlakukannya norma tersebut. Seorang muslim mematuhi norma itu karena keimanannya, bahwa Allah yang Maha Tahu, pasti tidak akan memberikan perintah yang tidak memberikan manfaat pada jangka panjang, sekalipun kita belum tahu secara saintifik.
Karena itu, para ilmuwan generasi salaf, menjadikan Islam sebagai motivator mereka mencari ilmu – bahkan sampai ke Cina, atau inspirator dalam menggali objek-objek yang hanya disinggung selintas di dalam Qur’an. Mereka mendalami astronomi berawal dari buku Almagest karya Ptolemeus, lalu dikembangkannya sendiri dengan membangun banyak observatorium, karena dorongan ayat surat Al-Ghasiyah “Apakah mereka tidak memperhatikan, bagaimana langit ditinggikan?”. Mereka menjadikan syariat Islam sebagai pagar tentang apa yang boleh dan apa yang tidak boleh selama mencari ilmu itu. Maka mereka yakin bahwa ilmu sihir tidak boleh dipelajari, meski ada rasa ingin tahu yang besar, karena ilmu itu menuntut dipelajari dengan praktikum yang melanggar syariat dan penuh kesyirikan. Dan mereka juga menjadikan Islam sebagai arah bagaimana ilmu itu diamalkan. Para ilmuwan muslim selalu berusaha keras agar setiap rumus hukum alam yang mereka temukan, atau setiap senyawa kimia yang berhasil direkayasa, dapat menjadi berkah dan investasi pahala yang mengalir terus meski ditinggal mati. Sains dan teknologi tidak dikembangkan untuk menjajah manusia, tetapi untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam. Inilah hubungan model SAINS – ISLAM ala Ibnu Sina, Al-Biruni, Ibnu al-Haitsam, Muhammad al-Khawarizmi, Ibnu Khaldun, dan sebagainya.
2. ISLAMISASI SAINS
Pola islamisasi sains sebenarnya baru muncul abad 20, ketika dunia Islam sudah tidak lagi memiliki ilmuwan-ilmuwan atau saintis-saintis handal kelas dunia. Islamisasi Sains berusaha menjadikan penemuan-penemuan sains besar abad-20 yang mayoritas terjadi di Barat, dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan keimanan umat Islam. Misalnya, penemuan ultrasonografi yang dapat melihat proses terbentuknya janin di dalam perut, atau penemuan kecepatan cahaya, diklaim sebagai telah disebutkan di dalam Qur’an, sehingga diharapkan makin mempertebal iman seorang muslim bahwa Qur’an telah mendahului sains, karena diturunkan oleh Allah Yang Maha Tahu. Inilah hubungan yang dikembangkan banyak muslim saat ini, dan yang menonjol adalah Harun Yahya. Hubungan ini mendapat banyak kritik, bahwa hubungan ini hanya sekedar menghubung-hubungkan hal-hal yang semula tidak berhubungan (othak-athik-gathuk), karena para ilmuwan muslim masa lalu pun tidak berpikir ke sana, dan hubungan ini belum berhasil mendorong kreatifitas muslim dalam meneliti atau mendapatkan fakta sains baru. Hubungan ini juga bisa berdampak negatif, ketika fakta sains yang dimaksud ternyata di masa depan harus dikoreksi secara signifikan, karena ada data atau model analisis yang baru.
Di luar paradigma ini ada usaha-usaha untuk “menggantikan” asumsi-asumsi dasar yang ada pada “sains-sekuler” saat ini dengan Islam. Misalnya mengganti “teori-kekekalan-massa-energi” di fisika, dengan alasan yang kekal hanya Allah. Tetapi sebenarnya penggantian asumsi ini tidak relevan dengan sains itu sendiri, karena yang dimaksud “kekekalan massa-energi” dalam fisika adalah “kekekalan pada skala laboratorium”. Fisika tidak membahas dunia di saat penciptaan ataupun di saat kiamat nanti, karena tidak bisa diuji. Kita memang mengasumsikan bahwa hukum-hukum fisika yang kita kenal itu berlaku di seluruh jagad raya dan kapanpun. Mengapa? Karena kita tidak bisa mendapatkan hukum-hukum fisika lain di sesuatu yang tidak bisa kita hadirkan untuk diuji. Jadi asumsi dasar apakah dunia diciptakan Allah (sebagaimana keimanan seorang muslim) atau muncul dengan sendirinya (seperti keyakinan seorang atheis), tidak akan berpengeraruh pada rumusan hubungan antar fenomena alam semesta di dalam sains itu sendiri.
3. SAINTIFIKASI ISLAM
Saintifikasi Islam juga baru muncul abad-20. Idenya adalah bagaimana agar perintah-perintah Islam dapat dipahami secara ilmiah. Misalnya bahwa tata cara sholat memang akan menghasilkan dampak positif secara fisiologis/psikologis, atau bahwa penerapan mata uang tunggal berupa dinar-emas/dirham-perak akan menghasilkan kondisi ekonomi yang terbaik. Contoh ilmuwan yang beberapa kali menggunakan paradigma hubungan ini adalah Prof. Dadang Hawari. Beliau melakukan riset yang mendalam dengan alat-alat pencatat denyut jantung (EKG) atau sinyal otak (EEG), juga mengambil sampel darah dan menganalisisnya, pada orang-orang yang rajin melakukan sholat (khususnya tahajud) dan puasa. Secara umum sebagai upaya memuaskan rasa ingin tahu, hal ini sah-sah saja, dan juga diakui sebagai aktivitas saintifik. Hanya saja, hasil riset seperti ini tidak akan menambah atau mengurangi norma perintah/larangan yang diberikan oleh Islam. Aktivitas saintiifikasi Islam juga tidak produktif pada aspek-aspek yang didiamkan (tidak diatur secara tegas) oleh agama.
4. SAINS TA’WILI
Sains Ta’wili juga baru mengalami “kebangkitan” di abad-20. Bentuknya adalah menggali ayat-ayat Qur’an atau hadits Nabi, lalu mencoba membuat postulat yang dianggap ilmiah, dengan mengabaikan uji teori secara empiris atau eksperimen. Contohnya adalah, ketika ada ayat tentang “Matahari beredar …” lalu “Bulan dan Bintang beredar …”, sedang tidak ada ayat yang berbunyi bahwa “Bumi beredar …”, maka mereka berkesimpulan bahwa pastilah Bumi ini pusat alam semesta. Kesimpulan ini jelas bertentangan dengan fakta-fakta keras yang menjadi dasar teknologi ruang angkasa saat ini. Tetapi para penganut sains ta’wili bersikukuh bahwa “Qur’an lah yang benar”. Mereka mengabaikan kenyataan bahwa pendapat mereka itu hanyalah ta’wil, bukan Qur’an itu sendiri. Banyak hal yang tidak disebutkan di dalam Qur’an, dan itu tidak berarti tidak ada atau tidak akan pernah ada. Existensi es di kutub-kutub bumi tidak disebutkan di dalam Qur’an, tetapi faktanya kan ada. Demikian juga bahwa suatu ketika mahluk hidup bisa dikembangbiakkan dengan teknik “cloning”, itu tidak berarti melawan ayat suci, karena sebenarnya Qur’an tidak pernah membicarakan hal itu. Sementara itu, di sisi sains juga banyak juga teori yang sebenarnya juga hanya ta’wil, bukan sains itu sendiri. Charles Darwin sebenarnya hanya mendapatkan fosil-fosil yang berbeda-beda dengan usia berbeda-beda, sehingga dia menyimpulkan adanya evolusi. Tetapi bahwa evolusi itu akan mengantarkan monyet menjadi manusia, tentu itu adalah ta’wil, karena tidak mungkin ada uji experimen untuk evolusi manusia. Waktu yang dibutuhkan akan sangat lama (ratusan ribu tahun). Di dunia Kristen, sains ta’wili atas Bibel mengantarkan mereka untuk menghukum para ilmuwan seperti Galileo atau Copernicus karena dianggap melawan ajaran gereja. Di dunia Islam, hal yang sama terulang sejak abad-20, ketika beberapa tokoh ulama di Saudi menggunakan sains ta’wili untuk menganggap kafir ilmuwan yang tidak percaya pada “teori Geosentris ala Islam”.
Contoh lain sains ta’wili banyak ditemui di dunia kesehatan. Ketika ada hadits shahih “Habatussaudah itu obat segala penyakit selain maut”, maka pendukung sains ta’wili dengan serta merta yakin bahwa habatussaudah itu dapat mengobati penyakit yang sekarang belum ketemu obatnya, seperti HIV/AIDS, dan ketika penderita tersebut akhirnya mati juga (karena tidak sembuh), mereka berkilah, “ya itu karena maut memang tidak bisa diobati”. Kalau seperti ini halnya, tentunya penyakit apapun bisa diklaim begitu saja. Yang jelas, perjalanan sejarah ilmuwan kedokteran salaf justru tidak seperti itu. Ibnu Sina, Abu Qasim az-Zahrawi atau Ibnu an-Nafs tidak berhenti dengan obat segala penyakit seperti habatussaudah. Mereka mengembangkan banyak hal, sampai ke pembedahan dsb, untuk menemukan metode pengobatan yang paling efektif, dan tidak membiarkan maut menjemput pasien, kecuali seluruh ikhtiar yang ilmiah sudah dikerjakan.
5. SAINS SEKULER
Sains sekuler adalah sains yang mendominasi dunia saat ini, ketika sains sama sekali menolak untuk menerima keberadaan Tuhan. Akibatnya, Tuhan tidak boleh dibawa-bawa ketika menggeluti sains, dalam bentuk apapun, baik itu sekedar sebagai inspirator, pagar yang mengatur metode ilmiahnya, hingga aplikasi penemuannya. Ilmuwan yang masih melibatkan Tuhan dalam kajian ilmiahnya dianggap sebagai saintis yang tidak serius. Tuhan biarlah berada di tempat terhomat, yang tidak diganggu oleh rumus dan falsifikasi. Tuhan biarlah tetap di ujung lorong sana di tempat-tempat yang tidak bisa dikunjungi sains. Yang menyedihkan, sains sekuler ini diajarkan pada anak-anak kita di semua mata pelajaran, termasuk di pelajaran agama, dan termasuk di sekolah-sekolah Islam.
Sebagian orang mengalami kesulitan membedakan paradigma-1 (SAINS ISLAM) dengan paradigma-5 (SAINS SEKULER). Sebagian penganut paradigma-4 (SAINS TA’WILI) bahkan menuduh praktisi paradigma-1 telah terjebak dalam sekulerisme, karena dianggap menolak dalil wahyu yang pasti benar, padahal yang disangka dalil itu masih mutasyabihat. SAINS ISLAM sangat berbeda dengan SAINS SEKULER di tiga hal, yaitu (1) inspirasi/motivasi mengembangkan sains, (2) metode mengembangkan sains, (3) pembatasan dalam aplikasi sains, yaitu teknologi/inovasi. Hasilnya: SAINS ISLAM akan jauh lebih berkah, karena didorong oleh semangat mensyukuri kebesaran Allah dan semangat menjadikan umat Islam umat terbaik bagi manusia, bukan semangat exploitasi manusia atas manusia lain; dikembangkan dengan mematuhi hukum syara’, bukan mengabaikannya; dan diterapkan untuk merahmati seluruh alam, bukan untuk menjajah.
(tentang hal ini lihat http://www.hidayatullah.com/read/21275/21/02/2012/antara-ilmuwan-islam-dan-sekuler.html)
Lantas kita akan memilih paradigma yang mana?