Beyond the Scientific Way

Fahmi Amhar Official Blog

Archive for the ‘Islam’ Category

Belajar Marah ketika Nabi dihina

Monday, September 17th, 2012

September 1987.  Saya belum ada 2 bulan di Innsbruck, sebuah kota kecil di Austria bagian barat.  Prof. Rode mengajak saya dan kawan-kawan mahasiswa baru di sini untuk makan malam, sambil menikmati matahari sore akhir musim panas, bersama Dr. Laschan, seorang diplomat Austria yang lagi mampir ke Innsbruck.  Kebetulan Dr. Laschan pernah pula bertugas ke Indonesia.

Prof. Rode adalah penghubung pemerintah Indonesia dengan pihak Austria untuk mengurus studi kami.  Dia sangat ramah, banyak membantu kami beradaptasi, serta di waktu senggang sering mengajak kami melihat-lihat alam pegunungan Alpen yang indah di provinsi Tyrol, tempat kota Innsbruck berada.  Prof. Rode adalah seorang jenius, menjadi profesor kimia anorganik pada usia 30 tahun, menguasai 10 bahasa asing, dan hobby main piano serta olahraga menembak.  Rode bahkan bisa menjawab dua telepon yang menggunakan bahasa berbeda, satu dalam bahasa Thailand, dan satunya dalam bahasa Perancis, sementara dia sedang berbincang dengan kami dalam bahasa Inggris.  Bahasa ibunya adalah bahasa Jerman.

Kami masuk sebuah restoran taman yang indah.  Pelayan membagikan daftar menu yang sebagian belum kami pahami.  Saya bertanya ke pelayan komposisi menu-menu tadi.  Ada menu sea-food.  Ada yang pakai kentang, telor dan susu.  Ada juga yang khas: Tyroler Knoedel, semacam bakso ala Austria.  Sangat istimewa, kata Rode.  Tetapi kata pelayan, itu dibuat dari adonan tepung, daging sapi cacah dan speck.  Speck adalah lemak babi !  Saya tentu saja menolak memilih Tyroler Knoedel.  Sayang sekali kata Rode.  Dia dan yang lain memilih Tyroler Knoedel sebagai makanan spesial restoran itu.

Makanan pun dihidangkan.  Rode dan Laschan berbincang tentang banyak hal.  Bahasa Jerman mereka sangat jelas.  Jadi mudah bagi saya yang bahasa Jermannya masih terbatas untuk memahami apa yang mereka perbincangkan.  Mereka membicarakan orang-orang Indonesia yang konon fanatik pada agamanya, tetapi kalau sudah ke luar negeri sering munafik, tidak lagi ingat agamanya.  Saya terusik, tapi mencoba menahan diri.

Akhirnya makan selesai.  Sambil mengusap mulutnya, Rode mengatakan, “Andaikata Mohammed hidup di sini di zaman ini, pasti dia akan suka Tyroler Knoedel”.  Hati saya mencelos.  Rode menyindir Nabi Muhammad, seakan-akan, pengharaman babi itu hanya karena pengalaman Nabi yang terbatas.  Akhirnya, setelah itu hampir satu jam, saya berdebat keras dengan Rode.  Dengan segala keterbatasan bahasa Jerman saya, saya mencoba mempertahankan argumentasi mengapa saya bertahan dalam keyakinan saya.  Saya sampaikan isi buku Maurice Bucaille “Bible, Islam and Modern Science”.  Rode mengesampingkannya, “He is not scientist!”, katanya.   Rode bahkan berkata, bahwa dia dapat pesan dari pemerintah Indonesia, agar jangan sampai mahasiswa Indonesia bertemu dengan kelompok-kelompok Islam garis keras di Austria.

Setelah sore itu, hubungan saya dengan Rode menjadi sangat berbeda. Dia seperti punya keinginan agar saya berubah.  Kalau main ke ruangannya, kami ditawari aneka minuman keras special.  “Minum apa ini, whiskey, cognac, vodka?”.    Teman-teman saya banyak dibantu olehnya.  Saya sengaja membuat jarak.  Saya semakin jarang hadir kalau dia mengundang kami.  Mungkin dia akan senang, kalau saya gagal, karena saya “tidak bisa beradaptasi” dengan kehidupan di Austria.  Tetapi itu justru menjadi cambuk bagi saya, saya akan buktikan, bahwa saya bisa berhasil tanpa bantuannya lagi.  Cukuplah Allah menjadi penolong saya.

Alhamdulillah, akhirnya dari kawan-kawan mahasiswa seangkatan, saya berhasil menjadi yang pertama kali naik haji, yang termuda meraih gelar Doktor, dan termuda pula meraih gelar Profesor.  Saya belajar menata kemarahan saya ketika Nabi saya dihina, sehingga menjadi energi yang positif.

Teknologi Ramadhan

Saturday, August 4th, 2012

Prof. Dr.-Ing. H. Fahmi Amhar

Setiap tahun di negeri ini hampir selalu terjadi kontroversi tentang awal Ramadhan, Iedul Fitri atau Iedul Adha.  Di satu sisi ini menjengkelkan, karena kadang-kadang perbedaan ini bahkan dalam satu rumah, karena yang satu pakai hisab, yang lain pakai rukyat versi pemerintah, dan yang lain lagi pakai rukyat versi luar negeri.  Tetapi ini sering juga bisa dijadikan alasan untuk mendiskusikan astronomi (ilmu falak) Islam.  Astronomi Islam dianggap “Teknologi Ramadhan”.

Namun sebenarnyalah, untuk sekedar mengetahui awal/akhir Ramadhan dengan metode rukyatul hilal sama sekali belum diperlukan ilmu astronomi!  Di masa Nabi, umat Islam nyaris belum ada yang belajar astronomi.  Tentu Nabi tidak akan membebani umatnya dengan sesuatu yang tidak mereka kuasai.  Sekedar melihat kapan matahari terbenam atau kapan bulan sabit pertama muncul, hanya diperlukan mata yang sehat, akal yang jernih, hati yang tulus dan sedikit pengetahuan tentang ciri-ciri objek langit yang dimaksud.  Itulah makanya, orang Badui padang pasir pun mampu melakukannya, dan kesaksian hilal mereka langsung diterima Nabi.

Namun perkembangan selanjutnya menunjukkan bahwa peradaban Islam telah melahirkan ratusan astronom besar, yang menciptakan ratusan teknik pengamatan berikut alat-alatnya, ratusan rumus dan metode perhitungan, ratusan tabel almanak dan kepada dunia mewariskan ribuan bintang-bintang yang hingga kini masih dinamai dengan nama-nama Arab – bahasa yang pernah sangat dominan dalam dunia astronomi.

Astronomi berkembang oleh kebutuhan penjelajahan kaum muslim baik dalam rangka perburuan ilmu ke negeri-negeri yang jauh (seperti Tiongkok) maupun untuk menjawab tantangan jihad.  Pada saat itu, rival utama di dunia adalah Romawi dengan angkatan laut yang kuat di Laut Tengah.  Untuk melawan angkatan laut diperlukan angkatan laut pula.  Untuk menentukan posisi dan arah di tengah lautan diperlukan navigasi dengan astronomi.  Makin teliti seorang navigator mampu menentukan posisinya di tengah laut dengan pengamatan benda langit, makin akurat mereka dapat menghitung waktu yang diperlukan untuk menuju sasaran, dan berapa logistik yang harus dibawa tanpa membebani kapal.

Dalam astronomi, karya astronom Mesir/Yunani kuno Ptolomeus, terutama dalam kitab Almagest, dan karya astronom India kuno Brahmagupta, telah dikaji dan direvisi secara signifikan oleh astronom muslim.

Ibn al Haytsam yang menemukan ilmu optika, prinsip kamera dan membuat lensa teleskop menunjukkan fenomena perjalanan planet Venus dan Mars yang tidak mungkin dijelaskan dengan model geosentris.  Tokoh-tokoh seperti al-Biruni, al-Battani, Ibnu Rusyd, al-Balkhi, al-Sijzi, al-Qazwini dan al-Shirazi telah mendiskusikan model Non-Ptolomeus yang heliosentris dengan orbit elliptis, yang belakangan diadopsi oleh Copernicus dan Keppler.  Argumentasi Copernicus tentang rotasi bumi sama persis dengan Nasir-ud-Din al Tusi dan Ali-al-Qusyji beberapa abad sebelumnya.  Karena mereka beraktivitas di Maragha, maka pendapat ini sempat disebut “Revolusi Maragha pra-Rennaisance”.

Yang terpenting dari kontribusi umat Islam adalah metodologi.  Astronomi telah dipisahkan dari filsafat, yang meski tampak logis namun berawal dari aksioma atau postulat yang boleh jadi tidak didasarkan realitas empiris yang lengkap.  Astronomi juga dipisahkan dari astrologi berbasis klenik yang diharamkan.  Astronom muslim menggunakan metode empiris serta analisis matematis untuk menghasilkan rumusan umum yang dapat dipakai untuk prediksi yang sangat akurat.  Suatu prediksi astronomi yang dibangun dari data pengamatan yang akurat dan lama, misalnya prediksi gerhana matahari, hampir tidak mungkin meleset.  Prediksi ini hanya bisa dikoreksi oleh pengamatan yang lebih akurat lagi.

Di zaman modern, seluruh pengetahuan astronomi yang dikembangkan dunia Islam ini diteruskan oleh dunia Barat.  Ketika umat Islam menjadi mundur karena negara Khilafah melemah dan akhirnya hilang, Barat terus membangun berbagai observatorium optis maupun radio, bahkan observatorium satelit (seperti teleskop Hubble).  Mereka juga mengeluarkan tabel-tabel astronomis modern seperti Ephemeris, Nautical Almanach, Astronomical Almanach dan sebagainya.  Data dan perhitungan yang akurat ini mutlak perluk untuk meluncurkan pesawat ruang angkasa, mengoperasikan satelit – termasuk satelit navigasi GPS, yang telah memandu jutaan pergerakan kendaraan dan manusia dewasa ini.  Andaikata rumus-rumus astronomi modern itu keliru secara fatal, tentu jutaan pengguna GPS akan tersesat, dan ini akan menjadi kehebohan besar.

Anehnya, di abad-21, umat Islam seperti terhempas kembali ke zaman pra Islam.  Sebagian praktisi rukyat menafikan tabel astronomis modern (seperrti ephemeris) dengan alasan itu dibuat oleh orang kafir.

Sebaliknya, rumus-rumus pendekatan (hisab taqiribi) dari kitab-kitab tua karangan ulama Islam terdahulu yang dibuat untuk menyederhanakan perhitungan karena belum adanya komputer, justru terus dipakai, bahkan seolah-olah sakral, padahal untuk menghitung posisi matahari yang terang benderang saja bisa meleset cukup jauh.  Dari berbagai hisab yang kurang akurat inilah timbul kesan bahwa astronomi belumlah menjadi ilmu pasti (qath’i), melainkan baru dzanny, sementara rukyatul hilal dianggap sesuatu yang lebih pasti, jadi lebih kuat.

Sementara itu, tanpa disadari mayoritas muslim yang hidup saat ini sebenarnya sudah kurang “mengenal langit” dalam kehidupan sehari-hari, karena telah tersedia jam, radio atau bahkan GPS.  Mereka tidak lagi seperti Badui padang pasir yang datang ke Rasulullah kala itu.  Ketika muslim saat ini mencoba melihat hilal, ditambah dengan keyakinan pada prediksi hisab taqribi, atau prediksi dengan kriteria yang memang tidak memiliki dasar sains maupun syar’i, maka muncullah berbagai klaim hilal yang kontroversial dengan data astronomi modern.

Sebenarnya, jika rukyat yang kontroversial itu didukung foto atau rekaman video, mungkin akan mengoreksi rumus-rumus astronomi yang sudah dianggap valid.  Koreksi yang bahkan akan sangat besar.  Tetapi apa lacur, sebagian praktisi rukyat ini juga menolak menggunakan teleskop atau kamera, dengan alasan Nabi tidak menggunakannya, seolah-olah ini adalah ibadah tauqifi.

Memang rukyatul hilal agar valid secara syar’i tidak memerlukan konfirmasi astronomi.  Tetapi bila fenomena ini terus berlanjut, maka seolah-olah umat Islam mengingkari sendiri prestasi-prestasi astronomi yang pernah diraih dalam peradaban keemasannya.

Beyond 5-Stars-preneur

Saturday, July 28th, 2012

Prof. Dr. Fahmi Amhar

Bagaimana menjadi pengusaha sukses, itu sebenarnya sangat sulit ditularkan melalui pendidikan ataupun training.  Kata orang-orang “sakti”, ilmu pengusaha itu adalah salah satu dari ilmu-ilmu yang tidak bisa diajarkan, tetapi harus diraih sendiri dengan sebuah “laku prihatin” di “rimba- ekonomi”.  Konon hanya dua dari sepuluh orang yang melintasi rimba tersebut yang selamat dan hanya satu di antara seratus mereka yang benar-benar menjadi “sakti”.

Karena itu, setelah seseorang akhirnya berhasil mengatasi berbagai kesulitan seperti marketing, memperoleh pemasok, mendapat SDM yang amanah dan kafaah, menjaga cash-flow, membuat sistem dan lika-liku administrasi lainnya, akhirnya berhak diberi bintang.  Mereka yang akhirnya usahanya bisa running sendiri, menghasilkan passive-income yang cukup untuk menghidupi diri dan keluarganya, tanpa dia habis waktu di dalamnya, itu kecerdasan finansialnya (FQ) sudah di atas 2.  Dia telah terangkat dari sekedar posisi “kemandirian finansial” (FQ=1) menjadi “kebebasan finansial” (FQ >= 2).  Tetapi bintang yang pantas diberikan baru satu!  Dia baru menjadi “1-Star-preneur” – berapapun omzet atau laba yang diterimanya!

Kenapa?  Karena dengan perjalanan waktu, perkembangan teknologi dan perubahan sosial-politik, apa yang semula tampak bisnis yang menguntungkan, suatu saat bisa berubah drastis.  Karena itu, seorang pengusaha harus mampu terus menghasilkan inovasi.  Inovasi ini bisa pada jenis produknya, kualitasnya, kemasannya, bisa pula pada teknik pemasarannya, sasaran konsumennya, model bisnisnya, dan sebagainya.  Inovasi harus menjadi budaya usaha.  Hanya dengan inovasi ini, perusahaan akan terus berlayar di “samudra biru”, dan terhindar memasuki arena “samudra merah” yang berdarah-darah.  Hanya pengusaha yang inovatiflah yang pantas mendapat 2 bintang, “2-Stars-preneur”.

Namun inovator manapun suatu saat akan tua dan mati.  Di negeri ini, masih sedikit usaha yang mampu bertahan hingga generasi ketiga.  Anak-anak pengusaha biasanya tidak memiliki semangat juang dan passion seperti orang tua mereka.  Demikian juga para tokoh-tokoh kunci di usaha itu.  Karena itu merupakan kehebatan tersendiri bagi pengusaha yang terus menginspirasi orang lain, mulai dari keluarganya, anak-buahnya, stakeholdernya, sampai orang-orang yang tidak mengenalnya secara langsung.  Mereka semua terus terinspirasi, bahkan melahirkan pengusaha baru.  Inilah pengusaha yang pantas mendapat 3 bintang, “3-Stars-preneur”.

Tadi dikatakan bahwa terkadang landscape sosial-politik di masa depan bisa berubah drastis, dan itu mau tak mau akan berpengaruh di dunia usaha.  Tak ada yang bisa meramal masa depan, tapi kita bisa berusaha agar masa depan ada dalam pengaruh kendali kita – setidaknya sebagiannya.  Caranya adalah dengan mengintegrasikan berbagai aspek dalam dunia bisnis kita.  Kita terlibat dalam aktivitas kenegarawanan.  Bisnis memang suatu aktivitas ekonomi, tetapi ikut terlibat dalam upaya agar iklim bisnis di negeri ini ke depan makin kondusif, itu adalah aktivitas politik.  Karena itu seorang pengusaha harus melek berbagai isu nasional, seperti isu-isu green-business, isu-isu good-corporate governance, hingga isu-isu shariah-business.  Kalau dia lalu melakukan pengembangan usaha yang mengintegrasikan ini semua, apalagi aktivitasnya memang berskala nasional, maka tiba saatnya dia mendapat 4 bintang, “4-Stars-preneur”.

Tapi, yang namanya dunia kini sudah menjadi desa global.  Krisis finansial di Amerika dan Eropa, ancaman perang di Teluk Persia, hingga memanasnya semenanjung Korea, cepat atau lambat akan berpengaruh pada dunia bisnis di tanah air.  Memahami konteks politik internasional kini, dan mengambil sikap sebagai warga negara yang semestinya independen, akan menjadikan kita pengusaha yang pantas diperhitungkan di kancah internasional, apalagi bila bisnis kita memang tidak lagi disekat-sekat oleh batas-batas negara.  Untuk pengusaha seperti ini kita pantas memberikannya 5 bintang, “5-Stars-preneur”.

Apakah masih ada yang lebih tinggi lagi?  Ternyata ada!

Seorang yang telah mendapatkan 5 bintang pun, sedikit banyak masih menjadikan profit atau pertumbuhan asset sebagai indikator kemajuan usahanya.  Fakta juga menunjukkan bahwa baik di Timur maupun Barat, banyak 5-Stars-preneur yang tidak tergantung pada jenis usaha, lokasi usaha, agama maupun orientasi politiknya.

Tetapi ada memang pengusaha yang sedari awal memiliki agenda tertentu.  Dia tidak sekedar ingin menjadi pengusaha sukses dengan keuntungan berlimpah, tetapi dia ingin membawa agenda perubahan yang mendasar pada masyarakat.  Misalnya, dia ingin melihat masyarakat yang bebas atau demokratis, yang menjadikan selera publik sebagai acuan tanpa harus “terbelenggu” agama tertentu.  Pengusaha yang seperti ini dikatakan pengusaha yang ideologis – lepas dari soal kita setuju atau tidak dengan ideologi yang diyakininya.  Mereka ini adalah pengusaha dengan 6 bintang.  Pengusaha kelas dunia seperti John-Rockefeller adalah contoh legendaris seorang 6-Stars-preneur.

Tetapi di atas itu masih ada satu tingkatan lagi.  Seorang pengusaha yang tidak hanya menatap dunia yang dapat terlihat dengan matanya, tetapi juga dunia yang tidak kasat mata.  Mereka meyakini apa-apa yang berasal dari sebuah sumber yang hanya terjangkau dengan iman.  Itulah pengusaha muslim sejati.  Iman seorang pengusaha muslim mewajibkannya untuk berpikir rasional dan menjauhi segala syirik dan mitos.  Sebagai muslim, dia tidak akan menggunakan cara-cara irrasional, seperti mengenakan jimat atau percaya kepada hari-hari baik/sial.  Dia semata-mata menggunakan cara-cara yang ilmiah, sebelum menyerahkan hasilnya kepada Allah swt.  Dia tahu bahwa Allah akan memberikan yang terbaik baginya, mungkin tidak sekarang, mungkin tidak berujud manfaat material, tetapi juga intelektual, emosional, sosial, dan spiritual.  Pada saat yang sama, dia akan memotivasi diri dengan ajaran-ajaran Islam untuk memberi manfaat kepada orang ramai, juga terinspirasi oleh berbagai ayat yang akan membuatnya inovatif.  Ajaran Islam tentang “amal yang tak terputus ketika mati” akan mendorongnya untuk memaksimalkan wakaf berbagai fasilitas umum, berbagi ilmu ke orang banyak, juga menginspirasi sebanyak mungkin manusia agar mengikuti langkah suksesnya.  Dia juga terlibat dalam aktivitas politik agar syariah Islam bisa tegak di negeri ini, agar tak cuma iklim bisnis semakin kondusif, tetapi juga konsumen makin cerdas, terlindungi serta meraih berbagai kemuliaan.  Pandangannya juga tak hanya berhenti di batas negara, tetapi mendunia.  Islam sedari awal adalah sebuah ajaran global untuk rahmat seluruh alam.  Dan untuk itulah, dia terlibat dalam sebuah perjuangan yang ideologis untuk menegakkan Khilafah.  Inilah pengusaha muslim yang pantas mendapat 7 bintang “7-Stars-preneur”.  Semoga Anda salah satu di antara merreka!