Dr.-Ing. H. Fahmi Amhar,
Kadang-kadang ada seseorang bertanya kepada saya, “Prof, apakah saya bisa menjadi peneliti?”.
Dan kadang-kadang saya gemes dan ingin menjawab, “Biasanya kalau berbakat jadi peneliti, tidak akan pernah bertanya seperti itu”. 🙂
Peneliti itu ada dua macam: peneliti formal dan peneliti informal. Sama dengan dunia usaha, ada sektor formal yang diakui negara (karena bayar pajak) dan ada sektor informal, yang meskipun dirasakan nyata, tetapi sering tidak dihitung.
Di Indonesia, peneliti formal ada di dunia perguruan tinggi, lembaga penelitian, divisi R&D BUMN dan perusahaan swasta besar bahkan lembaga konsultan yang melakukan riset. Mereka tentu saja wajib membawa sejumlah syarat formal, misalnya minimal ijazah S1. Kalau mau jadi peneliti senior, profesor misalnya, tentu bahkan harus S3 (doktor). Selain itu, mereka wajib rajin membuat karya tulis ilmiah. Kalau tidak produktif, pasti dicopot-lah status penelitinya. Tetapi ada juga peneliti informal. Mereka adalah yang meneliti karena hobby, karena penasaran pada sesuatu, atau memang karena kebutuhan urusan/bisnis pribadinya. Mereka tidak peduli dengan status formal. Ada peneliti yang bahkan bukan sarjana. Tetapi karyanya jelas dirasakan banyak orang. Di tingkat dunia, banyak penemu teknologi yang sejatinya hanya peneliti informal. Thomas Alva Edison atau Bill Gates adalah para penemu yang gigih meneliti bertahun-tahun, sebelum karya mereka akhirnya mengubah dunia. Mereka tentu saja tidak akan lolos syarat peneliti formal, karena keduanya bukan sarjana. Mereka juga membuat tulisan yang sangat informatif, inovatif dan inspiratif bagi jutaan orang, tetapi mungkin tulisan itu juga tidak lolos standard jurnal ilmiah.
Saya saat ini menyandang predikat peneliti formal. Jabatan peneliti itu saya mulai sejak tahun 1998. Pada tahun 2010 saya bahkan sudah dikukuhkan sebagai Professor. Banyak orang melihat ini terlalu cepat. Tetapi sesungguhnya, saya sudah menjadi peneliti informal sejak tahun 1981 !!!
Benar, saya sudah menggeluti dunia penelitian sejak saya masih kelas 1 SMP !!! Apa ya buktinya? Buktinya, sejak kelas 1 SMP saya sudah gemar melakukan aktivitas yang ternyata terhitung aktivitas paling mendasar dalam penelitian, yakni membaca secara sistematis & kritis. Membaca sistematis artinya kita membaca dengan tujuan yang jelas, apa yang dicari, lalu dibuatkan summary atau dibuat klipping tema tertentu. Sedang kritis artinya, kita mendiskusikan topik itu, mencari kelebihan dan kelemahannya, bahkan membandingkan dengan tulisan lain. Kita tidak menganggap tulisan itu satu-satunya yang paling benar atau hebat. Waktu itu saya melakukan untuk tema elektronika. Saya membuat klipping rangkaian elektronika dari koran. Memang belum jurnal ilmiah. Tetapi saya sangat heran, kalau ada peneliti formal yang belum pernah melakukan seperti itu. Sekarang untuk membuat klipping semacam ini jauh lebih mudah, ada software free seperti MENDELEY yang bisa dipakai untuk mengklipping dan melakukan citasi berbagai versi dengan sangat cepat.
Aktivitas kedua adalah pengamatan. Sejak SMP, saya gemar membawa notes kecil setiap pergi ke mana-mana. Apa-apa yang menarik segera saya catat. Saya menghitung berapa langkah yang dibutuhkan dalam berjalan dari rumah ke masjid atau ke pasar. Beberapa hari saya mencatat jam berangkat dari rumah dan jam tiba di sekolah ketika saya bersepeda ke sekolah. Bahkan saya mencoba beberapa rute yang berbeda untuk membandingkan waktu perjalanannya. Saya bahkan iseng banget: menghitung jumlah pengemis yang ada sepanjang pertokoan pecinan, dari hari ke hari, sampai menjelang hari raya! Beberapa pengemis bahkan saya ajak ngobrol, saya tanya-tanya mereka dari mana, berapa uang yang didapat perhari, apakah mereka sendirian atau berkelompok, dan sebagainya. Dengan dikawani seorang teman, saya juga pernah melakukan survei menelusuri sebuah saluran irigasi yang cukup besar di Magelang (Kali Manggis) sampai ke hulunya di Kali Progo di Temanggung, sejauh kurang lebih 26 Km. Di beberapa lokasi, saya melempar botol plastik kecil untuk mengukur kecepatan airnya. Saya juga mengukur kedalaman air dan menaksir lebar sungai. Jadi saya dapat angka perkiraan debit air per detik. Kadang-kadang, sekarang saya mikir, apa kalau anak saya nekad melakukan seperti ini, bakal saya ijinkan ya? Tapi dulu Ibu saya tidak begitu tahu, bahwa saya senekad itu. 🙂
Tapi beberapa hal tidak bisa diamati begitu saja. Harus ada pengamatan yang dirancang. Bentuknya bisa eksperimen, atau untuk fenomena sosial bisa kuesioner. Saya banyak melakukan eksperimen dengan alat-alat listrik, kadang bahkan dengan tegangan tinggi. Saya membuat aquarium, di mana ikan saya masukkan, lalu saya aliri arus listrik PLN. Aman sih, karena kabelnya saya hubungkan seri dengan lampu. Tentu saja begitu elektroda dimasukkan, ikan-ikan pada pingsan. Begitu arus diputus, mereka bangun lagi … Kadang kalau saya pikir, nekad banget ya, kalau saya kesetrum gimana … Saya juga bikin kompor listrik dari batu tahu yang saya lubangi, lalu ke dalamnya dimasukkan elemen pemanas 300 Watt. Saya mencoba menghitung, berapa Rupiah yang dibutuhkan untuk mendidihkan seliter air. Ini saya kerjakan ketika saya kelas 1 SMA. Kemudian saya juga menyebarkan kuesioner ke teman-teman. Kuesioner pertama saya buat untuk tahu pendapat siswa atas tradisi memakai baju tradisional saat Hari Kartini. Ada guru-guru yang berkomentar miring, “ngapain sih bikin kuesioner segala ?” Padahal saya tidak minta bantuan apapun.
Aktivitas ketiga adalah menulis. Menulis yang tidak sekedar menulis, tetapi menuliskan hasil pengamatan, eksperimen atau hasil kuesioner kita langsung. It is very amazing! Hasilnya sering tidak terduga. Apakah Anda bisa menebak, berapa jumlah pengemis di hari biasa dan di hari Jum’at ? Benarkah tebakan Anda? Ini saya tulis. Saya mengikuti lomba karya tulis ilmiah sejak kelas 1 SMP (tahun 1981). Waktu itu LKIPR Dikbud (sekarang namanya LPIR Dikbud). Tetapi tulisan saya itu cuma dari bacaan dan ditambah opini (persisnya khayalan) :-). Tentu saja tidak lolos final. Tahun 1983 (kelas 3 SMP) saya ikut Lomba Karya Ilmiah yang diadakan Cerebrovit. Ini meskipun mayoritas masih dari bacaan, tapi ada sedikit pengamatan. Topiknya tentang Hobby. Alhamdulillah juara 1. Tahun 1983 (tapi sudah kelas 1 SMA) ikut Lomba Karya Ilmiah Perminyakan dari HMTM ITB. Ini nyaris hanya dari bacaan semua. Pas final, hanya dapat juara 2, soalnya yang juara 1 pakai kuesioner. Padahal kuesionernya sederhana, tanya ke sejumlah orang seperti ibu rumah tangga, pemilik warung dsb persepsi mereka tentang BBM dan alternatifnya. Tahun 1984 (kelas 1 SMA), saya menuliskan beberapa hasil survei pedesaan saya ke LKIR LIPI. Dipanggil final. Wah pesaingnya hebat-hebat. Banon Gede Umbaran dari Semarang melaporkan penelitiannya di kampung-kampung nelayan di Pantura. Sergius Sutanto penelitian tentang pengemis di Jakarta. Tetapi pas final, yang disidang oleh para Professor (Prof. Astrid Susanto, Prof. Conny Semiawan, Prof. Doddy Tisna Amidjaya), jawaban polos saya rupayanya memukau. Mungkin mereka melihat, ini beneran meneliti, dan tingkatannya memang masih anak SMA, tidak disetir oleh gurunya. Jadi saya dikasih juara 2 bersama dengan Sergius Sutanto. Yang juara 1 tidak ada.
Sampai detik itu, memang praktis tidak ada guru yang secara khusus membimbing. Di SMP saya ketemu Pak Bambang Supriyo, guru bahasa Indonesia yang mengajari membuat klipping dan majalah dinding. Juga Pak Darodji yang mengajari survei (sinau wisata). Tapi itu diberikan ke semua siswa. Anehnya, tidak banyak siswa yang lalu tertarik meneliti. Karena tidak punya “gen” meneliti ?
Karena memang tidak ada guru yang khusus membimbing, di SMA saya nekad mendirikan sendiri Kelompok Ilmiah Remaja (KIR). Ya di situ secara formalitas ada juga guru yang didudukkan sebagai pembimbing. Tetapi kami lebiih sering jalan sendiri. Lha bingung, kalau mengajak guru, ternyata mereka selalu mikir SPPD-nya. Padahal kami sering jalan sendiri tanpa SPPD … he he …
Memang hidup tidak selalu linier. Ada teman-teman yang waktu SMA sama sekali tidak tertarik ikut KIR, tapi ternyata setelah mahasiswa sangat cemerlang, lalu terus sekolah di luar negeri sampai S3, dan terus jadi peneliti kelas dunia. Sebaliknya, ada juga yang dulu ikut KIR, bahkan pernah menjuarai LKIR LIPI, tapi ternyata sekarang tidak terlalu terdengar kiprahnya dalam penelitian. Meskipun yang namanya peneliti informal, itu bisa saja profesinya jadi wartawan, aktivis LSM, atau bahkan wirausaha sejati, yang menjalankan roda bisnis tidak sekedar dengan intuisi, tetapi juga research-based, meskipun produknya tidak harus berbau teknologi.
Tetapi yang saya paling sedih adalah jika ada peneliti formal yang sebenarnya tidak paham-paham juga aktivitas penelitian itu apa. Ada yang menyangka, penelitian itu cuma membaca lalu menulis. Ada yang menyangka survei itu sudah penelitian. Padahal kan tergantung yang disurvei apa, bakal ada sesuatu yang “Wow” atau tidak. Tetapi saya paling “eneg” dengan peneliti yang hanya pelarian karena tidak laku di tempat lain, dan karena itu hanya menjadi pemburu “kum” – angka kredit peneliti – yang kadang bahkan menghalalkan segala cara, seperti nitip nama, niitip judul doang (tapi idenya seperti apa tidak jelas, boro-boro menunjukkan metode penelitiannya, boro-boro ikut menulis), bahkan plagiarisme. Yah sekilas, itulah dunia peneliti, yang saya sudah mulai sejak 32 tahun yang lalu.
Setiap Anda melakukan sebuah perbuatan, pernahkah Anda bertanya pada diri sendiri: “Apa bahayanya bagi dunia, bila Anda tidak melakukan itu?”
Silakan Anda uji sendiri:
– Bila Anda nonton piala dunia sepak di TV: “Apa bahayanya bagi dunia, bila Anda tidak menonton siaran tersebut?” – apakah kira-kira Anda ditakdirkan menjadi komentator terkenal, yang mampu memindahkan ketegangan antar negara dari kancah militer ke lapangan bola saja ?
– Bila Anda sedang kuliah: “Apa bahayanya bagi dunia, bila Anda tidak kuliah?” – apakah kira-kira Anda ditakdirkan menjadi seorang profesional kelas dunia, dan ketidakhadiran Anda pada kuliah itu, menyebabkan Anda gagal menjadi sarjana, dan tertutup pula jalan menjadi profesional tersebut ?
– Bila Anda sedang kontak dakwah: “Apa bahayanya bagi dunia, bila Anda tidak kontak?” – jangan-jangan orang yang Anda kontak itu ditakdirkan menjadi pencerah bagi seorang jenderal sangat berpengaruh yang akan mengusir penjajahan dan menopang keadilan berdasarkan syariah ?
Hidup ini tidak linier. Kita tidak pernah tahu peran apa yang sesungguhnya Allah gariskan untuk kita. Tetapi kita bisa menimbang-nimbang berdasarkan pengetahuan dan pengalaman, seberapa urgen perbuatan kita. Tinggal seberapa jauh kita dapat menghayati, “jangan-jangan” kita ditakdirkan memiliki peran yang signifikan di dunia ini, tetapi hanya efektif bila kita memilih pilihan yang tepat dalam garis hidup kita.
Masyarakat yang paling rendah mutunya adalah DOING-NOTHING-SOCIETY. Mereka menghabiskan sebagian besar waktunya untuk ngerumpi, ngomongin orang, atau ngomongin sesuatu yang tidak terkait dengan solusi atas masalah real yang dihadapi.
Agak naik sedikit adalah WATCHING-SOCIETY. Mereka menghabiskan sebagian besar waktunya untuk menonton, bisa menonton TV, menonton kecelakaan, menonton kemungkaran, tanpa berbuat apa-apa. Kemungkaran atau kesusahan hidup orang lain hanya menjadi objek tontonan.
Lebih tinggi lagi adalah LISTENING-SOCIETY. Mereka mulai mau mendengarkan. Bagi orang-orang yang sedang pepat hatinya karena kesulitan hidup yang terlalu besar, adanya orang yang mau mendengarkan memang bisa sedikit meringankan beban pikiran, meski belum merupakan solusi tuntas.
Naik lagi adalah READING-SOCIETY. Mereka mulai mau membaca, baik membaca buku, kitab suci, media elektronik atau membaca alam. Mereka mulai mengambil ilmu di luar ruang lingkup hidupnya sehari-hari, bahkan dari masa yang berbeda. Menurut Islam, ini adalah standard minimal dari bentuk masyarakat. Wahyu pertama kepada Nabi Muhammad adalah perintah untuk membaca.
Lebih afdhol lagi adalah WRITING-SOCIETY. Masyarakat yang mulai maju ditandai dengan produk tulisan yang semakin banyak, yang mendokumentasikan akumulasi pengetahuan yang dimilikinya, sehingga berguna menembus ruang dan waktu.
Dan puncaknya adalah LEARNING-SOCIETY. Ini adalah masyarakat yang menjadikan ilmu pengetahuan sebagai dasar sikap dan perbuatannya. Mereka telah membaca pengalaman dari siapapun, dan terus memperbaiki diri. Inilah masyarakat yang memiliki banyak mujtahid.
Nah, sudahkah kita menempatkan diri menjadi LEARNING-PERSON – pribadi yang terus belajar, terus memperbaiki diri ? Kata Nabi, belajar adalah kewajiban setiap muslim sejak dari buaian hingga liang lahat. Dan kita terus belajar memahami urgensitas setiap perbuatan kita. Dengan itu kita akan mendapatkan kualitas amal yang makin baik. Bukanlah Allah menciptakan hidup dan mati itu hanya untuk menilai siapa dari kita yang lebih baik amalnya? Amal yang baik adalah amal yang benar (menurut syariah) dan ihlas (ditujukan untuk meraih keridhaan Allah). Dan kata Nabi, orang yang terbaik adalah orang yang paling mendatangkan manfaat bagi manusia lain.
Kalau ini kita gabungkan, maka perbuatan yang paling urgen adalah perbuatan yang syar’i, yang hanya ditujukan untuk meraih keridhaan Allah, dan paling besar mendatangkan manfaat bagi manusia.
Oleh: Dr. Fahmi Amhar
Masalah transportasi seputar ritual mudik lebaran yang terjadi setiap tahun, semakin hari semakin kronis. Kalau sepuluh tahun yang lalu, perjalanan Jakarta-Cirebon selama arus mudik dapat ditempuh dalam 16 jam, kini sudah hampir 24 jam. Mulai tahun ini, pihak kereta api tidak lagi menyediakan tiket tanpa kursi. Sementara angkutan bus, kapal maupun pesawat juga tidak meningkat signifikan. Akibatnya, makin banyak orang mudik dengan mengendarai sepeda motor, meski moda ini sebenarnya sama sekali tidak layak untuk jarak di atas 2 jam. Namun penggunaan motor juga dipicu oleh kenyataan bahwa di kota tujuan, banyak angkutan umum yang sudah tidak berfungsi, seiring dengan makin mudahnya orang mendapatkan sepeda motor dengan cara kredit. Akibatnya dapat ditebak: angka kecelakaan sepeda motor selama mudik meroket!
Bagaimana dulu negara khilafah mengatur arus mudik? Adakah teknologi mudik saat itu?
Persoalan transportasi sepertinya lebih banyak persoalan teknis, dan di zaman dulu teknologinya masih amat berbeda. Jumlah penduduk saat itu juga masih relatif sedikit, sehingga problema kemacetan yang parah seperti saat ini mungkin belum pernah ada.
Tetapi, bagi seorang Muslim pejuang syariah, pertanyaan apapun justru melecutnya untuk lebih mendalami syariat Islam beserta realitas empiris yang ada. Maka dalam persoalan infrastruktur mudik (transportasi), kita akan mendapati setidaknya tiga prinsip:
Pertama, prinsip bahwa pembangunan infrastruktur adalah tanggung jawab negara, bukan cuma karena sifatnya yang menjadi tempat lalu lalang manusia, tetapi juga terlalu mahal dan rumit untuk diserahkan ke investor swasta. Di Jakarta, karena inginnya diserahkan ke swasta, pembangunan monorel jadi tidak pernah terlaksana.
Kedua, prinsip bahwa perencanaan wilayah yang baik akan mengurangi kebutuhan transportasi. Ketika Baghdad dibangun sebagai ibu kota, setiap bagian kota direncanakan hanya untuk jumlah penduduk tertentu, dan di situ dibangunkan masjid, sekolah, perpustakaan, taman, industri gandum, area komersial, tempat singgah bagi musafir, hingga pemandian umum yang terpisah antara laki-laki dan perempuan. Bahkan pemakaman umum dan tempat pengolahan sampah juga tidak ketinggalan. Sebagian besar warga tak perlu menempuh perjalanan jauh untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya serta untuk menuntut ilmu atau bekerja, karena semua dalam jangkauan perjalanan kaki yang wajar, dan semua memiliki kualitas yang standar.
Ketiga, negara membangun infrastruktur publik dengan standar teknologi terakhir yang dimiliki. Teknologi yang ada termasuk teknologi navigasi, telekomunikasi, fisik jalan hingga alat transportasinya itu sendiri.
Navigasi mutlak diperlukan agar perjalanan menjadi aman, tidak tersesat, dan bila ada masalah, dapat ditolong oleh patroli khilafah. Untuk itulah kaum Muslimin belajar astronomi dan teknik membuat kompas sampai ke Cina, dan mengembangkan ilmu pemetaan dari astronomi yang teliti. Ratusan geografer menjelajah seluruh penjuru dunia dan membuat reportase negeri-negeri yang unik. Hasilnya, perjalanan haji maupun dagang baik di darat maupun di lautan menjadi semakin aman.
Telekomunikasi dalam wujud yang sederhana juga makin berkembang. Pesan yang dikirim lewat merpati pos, atau sinyal cahaya atau asap dari pos-pos patroli semakin canggih. Para matematikawan bekerja keras membuat kode yang makin efisien dan aman dari penyadapan.
Teknologi & manajemen fisik jalan juga tidak ketinggalan. Sejak tahun 950, jalan-jalan di Cordoba sudah diperkeras, secara teratur dibersihkan dari kotoran, dan malamnya diterangi lampu minyak. Baru dua ratus tahun kemudian, yakni 1185, baru Paris yang memutuskan sebagai kota pertama Eropa yang meniru Cordoba.
Sedang untuk kendaraannya sendiri, sesuai teknologi saat itu, kaum Muslimin telah memuliakan jenis kuda dan unta yang makin kuat menempuh perjalanan. Untuk di laut mereka juga banyak mengembangkan teknologi kapal. Tipe kapal yang ada mulai dari perahu cadik kecil hingga kapal dagang berkapasitas di atas 1.000 ton dan kapal perang untuk 1.500 orang. Pada abad 10 M, al-Muqaddasi mendaftar nama beberapa lusin kapal, ditambah dengan jenis-jenis yang digunakan pada abad-abad sesudahnya.
Bahkan untuk transportasi udarapun ilmuwan Muslim sudah memikirkan. Abbas Ibnu Firnas (810-887 M) dari Spanyol melakukan serangkaian percobaan untuk terbang, seribu tahun lebih awal dari Wright bersaudara, sampai Sejarawan Phillip K. Hitti menulis dalam History of the Arabs, “Ibn Firnas was the first man in history to make a scientific attempt at flying.”
Yang menarik, hingga abad 19 Khilafah Utsmaniyah masih konsisten mengembangkan infrastruktur transportasi ini. Saat kereta api ditemukan di Jerman, segera ada keputusan Khalifah untuk membangun jalur kereta api dengan tujuan utama memperlancar perjalanan haji. Musim haji adalah musim ritual terbesar pergerakan manusia, baik yang untuk pergi haji ke Makkah maupun mudik ke kampung halaman. Di negeri-negeri timur tengah, libur saat lebaran haji lebih lama dan lebih meriah dari Idul Fitri (karena ada hari Tasyrik). Karena itu situasi mudik terjadi pada musim ini.
Tahun 1900 M Sultan Abdul Hamid II mencanangkan proyek “Hejaz Railway”. Jalur kereta ini terbentang dari Istanbul ibu kota khilafah hingga Makkah, melewati Damaskus, Jerusalem dan Madinah. Di Damaskus jalur ini terhubung dengan “Baghdad Railway”, yang rencananya akan terus ke timur menghubungkan seluruh negeri Islam lainnya. Proyek ini diumumkan ke seluruh dunia Islam, dan umat berduyun-duyun berwakaf. Kalau ini selesai, pergerakan pasukan khilafah untuk mempertahankan berbagai negeri Islam yang terancam penjajah juga sangat menghemat waktu. Dari Istanbul ke Makkah yang semula 40 hari perjalanan tinggal menjadi 5 hari!
Rel kereta ini mencapai Madinah pada 1 September 1908. Pada 1913, stasiun “Hejaz Train” di Damaskus telah dibuka dengan perjalanan perdana ke Madinah sepanjang 1300 Km. Namun penguasa Arab yang saat itu sudah memberontak terhadap khilafah karena provokasi Inggris melihat keberadaan jalur kereta ini sebagai ancaman. Maka jalur ini sering disabotase, dan pasukan Khilafah tidak benar-benar sanggup menjaga keamanannya.
Perang Dunia I mengakhiri semuanya. Tak cuma khilafah yang bubar, jalur kereta itupun juga berakhir. Kini KA itu tinggal beroperasi sampai perbatasan Jordania – Saudi.
Untuk mengatasi arus mudik, Daulah Khilafah sudah memberi contoh lebih dari seabad yang lalu. Apakah kita memang malas belajar?[]