oleh: Fahmi Amhar
Belum lama ini, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara (MenPAN) Faisal Tamin mengatakan bahwa 60 persen dari pegawai negeri sipil (PNS) tidak produktif dan tak profesional. Banyak diantara mereka di kantor sekadar membaca koran, bahkan ada yang tidak masuk kerja setahun tanpa diketahui atasannya. Untuk mengatasi hal itu, menurutnya, perlu dilakukan penataan lembaga, struktur organisasi dan komposisi mengenai sumber daya manusia (SDM) secara baik dan proporsional. Saat ini jumlah PNS yang tersebar di seluruh Indonesia tercatat lima juta orang. Satu juta diantaranya ada di BUMN dan hanya 40 persen yang memiliki kecakapan kerja sesuai dengan bidang mereka masing-masing. Dalam penilaian Feisal Tamin, kebiasaan rangkap jabatan yang dilakukan PNS juga menjadi salah satu faktor penyebab rendahnya profesionalisme kerja PNS.
Sayang MenPAN tidak memberi gambaran rinci tentang komposisi distribusi PNS saat ini. Karena sesungguhnya, PNS itu ada lima macam, dan apa yang disinggung MenPAN tersebut hanya salah satunya.
Kelima macam PNS itu adalah:
Pertama, tipe birokrat. Ini adalah para PNS yang memegang suatu jabatan struktural. Jumlah mereka sebenarnya tidak banyak, namun pengaruhnya signifikan. Tanda-tangan mereka ‘sakti’, karena semua pintu regulasi ada dalam genggamannya. Pada mereka jugalah sebenarnya stereotip “PNS koruptor” teralamatkan.
Kedua, tipe suporter. Ini adalah PNS yang bertugas mendukung tugas para birokrat. PNS ini ada yang bertugas sebagai sopir, juru ketik, tukang antar surat dan sebagainya, yang sebenarnya tidak begitu perlu tingkat keahlian tinggi, bahkan sebagian bisa digantikan dengan mesin, namun perannya dalam rantai birokrasi bisa menjadi penting. Mereka bisa saja memungut pungli agar suatu surat lebih cepat sampai ke meja pejabat. (more…)
oleh: Fahmi Amhar
Sejak krisis moneter terjadi, angka kemiskinan melonjak tajam. Meningkatnya angka kriminalitas, baik dari pidana langsung (pencurian, penodongan) maupun tak langsung (bisnis VCD porno, narkoba, pelacuran, minuman keras) adalah efek dari kemiskinan tersebut. Jika tidak segera diatasi, kemiskinan akan menyebabkan satu generasi ‘hilang’, akibat malnutrisi, derajat kesehatan yang rendah, pendidikan yang kacau, termasuk kurangnya sentuhan agama.
Berbicara sentuhan agama, apakah kontribusi Islam dalam mengatasi kemiskinan? Apakah Islam juga sama dengan agama-agama lain, yang dituduh Karl Marx hanya sebagai candu kehidupan, karena hanya menyuruh orang untuk berangan-angan akan surga, tanpa mampu menjawab secara kongkrit problem kemiskinan di depan matanya?
Islam dalam teori dan realita empiris di masa khilafah, bukanlah agama candu seperti dituduhkan Karl Marx. Justru Islam pernah menjadi ajaran pembebasan. Islam berisi konsep (fikrah) dan metode implementasi (thariqah). Islam memandang kemiskinan sebagai masalah manusia, bukan hanya masalah ekonomi, apalagi masalah ekonomi mikro si miskin itu. Artinya, seluruh aturan syariat Islam memiliki kaitan dengan upaya pengentasan kemiskinan secara sistematis.
Hal ini karena kemiskinan bisa disebabkan oleh tiga faktor non teknis. Pertama, faktor individu. Orang bisa miskin karena lemah, baik secara fisik (misalnya cacat fisik), mental (misalnya kurang akal), ilmu (kurang berpendidikan), kepribadian (pemalas) ataupun kapital (tidak punya modal). (more…)
Sesungguhnya tidak ada orang maupun kaum, yang mengalami perubahan nasib tanpa mereka mengubah dulu cara mereka konsisten dalam hidupnya.
Konsistensi itu setidaknya ada tujuh macam:
Pertama, konsistensi internal. Yakni konsistensi pada diri sendiri. Konsisten antara fikiran dengan ucapan, antara ucapan dengan perbuatan. Dengan ini kita pasti akan menjadi sosok pribadi yang memiliki reputasi tinggi, karena apa yang diucapkan benar-benar sesuai dengan yang dipikirkan dan benar-benar dilakukan. Bukan seperti politisi jaim, yang hanya menjaga citranya dengan retorika atau keramahan jelang pemilu, tetapi apa yang dipikirkan dan diperbuatnya sama sekali berbeda.
Kedua, konsistensi temporal. Yakni konsistensi sepanjang waktu. Kesalehannya tidak cuma di bulan Ramadhan. Setelah dilatih selama bulan Ramadhan, maka di bulan-bulan lain dia semakin meningkatkan amalnya. Dia tidak cuma sholat, menutup aurat, menahan diri, qiyamul lail dan tadarrus di bulan Ramadhan, tetapi pasca Ramadhan dia tetap juga sholat, menutup aurat, menahan diri, qiyamul lail dan tadarrus – walaupun untuk yang terakhir ini, sebagai amalan sunnah mungkin tidak seintensif di bulan Ramadhan.
Ketiga, konsistensi spasial. Yakni konsistensi di semua tempat. Kesalehannya tidak cuma ketika dia berada di masjid, tetapi juga ketika dia tempat kerja, di pasar, di jalan raya, dan sebagainya. (more…)