Pertanyaan:
Ada yang tanya tentang “dosa investasi” terkait prosentase 90% fardhu kifayah (syariat dimensi-3) dan 10% fardhu ain. Tokoh tersebut tanya rincian atau perhitungannya? agar beliau juga bisa menjelaskan ke masyarakat/umatnya.
Jawaban:
Ajak aja exercise begini:
Sholat – fardhu ain kan?
— bagaimana ttg menyediakan tempat sholat (masjid/mushola)?
— bagaimana ttg mengetahui arah kiblat?
— bagaimana ttg membuat alat pencari arah kiblat (kompas)?
— bagaimana ttg mengetahui waktu sholat?
— bagaimana ttg membuat alat penunjuk waktu (jam)?
— bagaimana ttg menyediakan air wudhu?
— bagaimana ttg menyediakan sumur / instalasi PAM?
— bagaimana ttg melantunkan adzan?
— bagaimana ttg menyediakan pengeras suara utk adzan?
— bagaimana ttg menyediakan aliran listrik?
— bagaimana ttg membangun pembangkit listrik ?
— dsb.
Cobalah untuk beberapa fardhu ain yang lain:
puasa – zakat – haji – menuntut ilmu – makan yang halal – tutup aurat, dst.
Dr. Fahmi Amhar
Ada obrolan di warung kopi yang mengatakan bahwa dunia pertanian di Indonesia itu penuh “kutukan”. Ada kampus pertanian terkenal yang menghasilkan sarjana yang ahli dalam banyak hal, kecuali pertanian. Alumni kampus itu banyak yang menjadi wartawan terkenal, ekonom terkenal, politisi terkenal, bahkan ustadz terkenal, tetapi tidak ada karya pertanian mereka yang fenomenal seperti halnya inovasi pertanian dari Thailand.
Dan dalam beberapa tahun terakhir ini, Kementerian Pertanian ternyata memang belum mampu menjadikan negeri ini berswasembada pangan. Tahun lalu harga kedelai meroket, sampai tahu-tempe yang merupakan makanan rakyat kecil ikut jadi mahal. Kemudian harga daging sapi ikut meroket, konon karena permainan kuota impor sapi, yang bahkan lalu menyeret beberapa tokoh sebagai tersangka KPK. Dan hari-hari ini, harga bawang pun demikian. Niatan mendorong produksi lokal dengan pembatasan impor ternyata malah menjadi masalah baru, karena akar masalah seperti akurasi data kebutuhan, problem skala produksi dan rantai distribusi (transportasi, gudang, pasar) tidak teratasi. Yang terjadi malah harga naik karena pasokan berkurang, dan importir yang sudah kolusi dengan otoritas pengatur kuota justru menikmati untung besar karena kenaikan harga.
Antara penguasaan teknologi dan swasembada pangan memang terkait erat. Andaikata umat Islam memiliki ahli-ahli pertanian yang andal, maka kita akan relatif lebih mudah untuk mewujudkan sistem swasembada pangan, yang akan menjaga kita dari pusaran impor pangan yang penuh dengan “kutukan”.
Sayangnya, saat ini bila kita bicara pertanian Islam, orang cenderung hanya terpikir soal kurma. Padahal Nabi datang ke dunia tidak untuk mengajarkan ilmu pertanian. Semua ini masuk dalam teknologi yang menurut Nabi “kalian lebih tahu urusan dunia kalian”. Hanya saja, masih banyak kaum Muslimin yang belum memahami perbedaan antara “sistem” dan “ilmu”. Dunia kapitalisme memang telah mencampuradukkan antara sistem yang dipengaruhi pandangan hidup (“hadharah”) dan cara-cara teknis hasil eksperimen ilmiah (“madaniyah”). (more…)
Dalam pandangan Islam, legalisasi hukum itu ada dua macamnya:
Pertama dinamakan “Qanun Ijra’i”, yaitu hanya soal administrasi isinya,
Hukum lalu lintas, atau administrasi kependudukan misalnya,
Dia tidak menyentuh soal halal dan haram menurut Sang Pencipta,
Kalaupun seperti ada, itu hanya pembatasan apa yang mubah asalnya,
Sebagai solusi berbagai problematika teknis di tengah kita.
Kedua dinamakan “Qanun Tasyri’i”, yaitu soal yang syari’at mengaturnya,
Hukum penikahan, perdata, pidana, dan banyak lagi yang lainnya.
Qanun Ijra’i dapat dibuat semata dengan pertimbangan akal manusia,
Boleh juga dia diimpor seperti dulu Umar meniru sistem Diwan Persia.
Tetapi Qanun Tasyri’i, mutlak harus berdasarkan Qur’an & Sunnah belaka,
dengan metode istinbat dan ijtihad yang masyhur di kalangan ulama.
Qanun Ijra’i boleh dibuat dengan pendapat ahli atau kehendak massa,
Atau yang orang sekarang menyangka itu “proses demokrasi” namanya.
Tetapi Qanun Tasyri’i, tidak bisa dibuat dengan cara yang sama,
Karena halal dan haram tidak bisa diserahkan pada hawa nafsu manusia,
Sekalipun jumlah mereka mayoritas dan pemilu melegitimasinya.
Cara yang benar adalah syura’ dari orang-orang dengan kapasitasnya,
Kemudian kepala negara memilih yang hujjahnya paling meyakinkannya.
Sayang, dalam sistem demokrasi saat ini, tidak ada pemisahan keduanya,
DPR mencampur-aduk qanun ijra’i dan qanun tasyri’i tak jelas takarannya,
Sehingga umatpun bingung, lalu menggeneralisasi semuanya,
Sehingga muncul dua sikap extrim di sini dan di sana,
Di sini mencaci, bahkan sekalipun itu hanya peraturan lalu lintas isinya,
Di sana memuja, bahkan jika KUHP itu tidak memandang zina itu pidana.
Mari kita belajar bersama, dengan sabar dan lapang dada,
Sambil mendo’akan agar kita sama-sama mendapatkan hidayah-Nya.