Salah satu cara untuk menilai penetrasi kebudayaan adalah dengan melihat dapur suatu rumah tangga di sebuah negeri. Bagaimana Anda menilai dapur Anda saat ini? Type masakan apa yang dominan Anda siapkan? Masakan Jawa? Masakan Padang? Masakan Cina? Masakan Barat? Atau masakan Timur Tengah?
Kalau Anda suka nasi rames, atau gudeg, itu sangat Jawa. Kalau Anda suka rendang atau sambal goreng, itu Padang. Kalau Anda suka mie, itu Cina. Kalau Anda suka roti dengan selai, itu Barat. Dan kalau Anda suka kebab atau nasi kebuli, itu Timur Tengah.
Baiklah, tapi mungkin ada pertanyaan: apa hubungannya semua ini dengan Islam? Bukankah itu semua mubah-mubah saja? Bukankah suka dapur Arab tidak berarti mencerminkan keterikatan dengan Islam – karena dulupun Abu Lahab dan Abu Jahal juga punya dapur Arab.
Benar. Yang akan kita bahas kali ini memang bukan jenis masakannya, tetapi apa yang dibawa peradaban Islam sampai ke dapur? Islam membawa setidaknya empat hal sampai ke dapur:
Pertama adalah norma, yaitu bahwa yang dipersiapkan di dapur harus bahan yang halal dan thoyyib, serta diolah dengan cara yang halal pula. Dengan demikian dapat dipastikan bahwa teknologi pembuatan minuman keras atau pengolahan darah untuk makanan tidak akan berkembang dalam dapur Islam.
Kedua adalah bahan-bahan “baru”, yakni bahan makanan yang baru berkembang setelah sejumlah ilmuwan Muslim menekuni teknik pembuatannya secara praktis, sejak dari pembudidayaan pertaniannya hingga pengolahannya. (more…)
Bagaimana suasana Ujian Nasional (UN) tahun ini di daerah Anda? Semoga baik-baik saja. Tetapi diketahui luas bahwa tahun ini, pelaksanaan UN secara nasional sangat buruk. Soal ujian datang terlambat, tertukar, lembar jawaban terlalu tipis dan sobek bila dihapus, dan di atas itu semua kecurangan masih terjadi, sebagian bahkan sistemik, yakni justru didalangi oleh pejabat setempat. Oleh panitia pusat sudah diatur bahwa setiap ruang mendapat 20 soal yang berbeda, sehingga semakin sulit untuk mencontek, dan semakin lama bila guru pengawas ikut membuatkan jawaban buat peserta. Namun realita, kunci jawaban untuk ke-20 soal itu tertayang di internet. Entah apa motivasi yang mengunggahnya, mungkin dia kesal dengan UN secara keseluruhan.
Ketika tahun 1984 dulu EBTANAS SMA dimulai, idenya memang sekadar untuk pemetaan standar pendidikan. Nilai EBTANAS Murni (NEM) tidak untuk standar kelulusan, tetapi hanya berpengaruh 33 persen hingga maksimum 60 persen. Saat itu sangat jarang siswa yang mendapat NEM rata-rata di atas 7. Ketika EBTANAS berganti nama menjadi UN, dan hasilnya dijadikan standar kelulusan, maka dimulailah kecurangan sistemik itu. Para kepala sekolah atau kepala dinas pendidikan takut kehilangan jabatannya bila nilai UN siswa di bawah tanggung jawabnya jelek. Mereka lalu melakukan segala cara.
Sekarang ini, kalau anak kita mendapat angka 8 sebagai nilai rata-rata UN, boleh jadi dia akan sulit mendapatkan sekolah lanjutan, karena yang angkanya 9 banyak sekali. Tetapi tetaplah bersyukur bila itu didapat dengan jujur. Prof Dr Indra Djati Sidi (mantan Dirjen Dikdasmen) mengatakan, hasil UN yang jujur hanya 20 persen.
Tak heran bahwa banyak dugaan UN ini bukanlah usaha serius memetakan dan meningkatkan kualitas pendidikan di tanah air, tetapi lebih pada proyek bernilai trilyunan rupiah yang sayang jika dihapuskan. Salah satu buktinya, sekolah dengan hasil UN bagus justru dikembangkan menjadi RSBI dan mendapat dukungan finansial lebih besar. Sementara sekolah di daerah terpencil dengan guru terbatas dan murid yang setiap hari harus berjibaku mempertaruhkan nyawa untuk sampai ke sekolah, hanya mendapat perhatian ala kadarnya. (more…)
Dr. Fahmi Amhar
Lion Air kembali kehilangan satu pesawatnya ketika tercebur di laut 50 meter sebelum landasan di bandara Ngurah Rai Denpasar. Padahal ini pesawat terbaru, baru beroperasi sebulan! Pilotnya juga senior, sudah mengantongi lebih dari 10.000 jam terbang. Apakah pilotnya kelelahan karena tekanan manajemen? Sehebat apapun pilot dan pesawat, tetapi kalau dipaksa kejar setoran karena tuntutan pasar yang sangat tinggi – sementara kelangkaan pilot di Indonesia belum teratasi, maka bisa saja berakibat kecelakaan yang fatal. Tetapi bisa juga ada faktor kesalahan instrumentasi di darat atau gejolak cuaca lokal, misalnya tekanan angin tiba-tiba yang membuat pesawat gagal mencapai landas pacu (istilahnya “undershoot”).
Tetapi bicara dunia penerbangan, orang sering salah menjawab bila ditanya siapa manusia pertama yang mengudara. Mayoritas menjawab Oliver & Wilber Wright dari Amerika Serikat yang terbang pada tahun 1900. Padahal mereka hanya menyempurnakan bentuk sayap dan menambahkan mesin pada bangun pesawat yang sudah lama dikenal. Leonardo da Vinci (1452-1519) dari Italia dan Otto Lilienthal (1848-1896) dari Jerman telah mendahuluinya.
Tetapi ternyata jauh sebelumnya semua sudah didahului oleh seorang Muslim, Abbas ibn Firnas (810-887) dari Andalusia. Sejarawan Phillip K. Hitti menulis dalam History of the Arabs, “Ibn Firnas was the first man in history to make a scientific attempt at flying.”
Sebagaimana banyak ilmuwan Muslim di zamannya, Ibnu Firnas adalah seorang polymath, yaitu menekuni berbagai ilmu sekaligus: kimia, fisika, kedokteran, astronomi, dan dia juga sastra. Dia menemukan berbagai teknologi seperti jam air (jam yang dikendalikan oleh aliran air yang stabil), gelas tak berwarna, lensa baca, alat pemotong batu kristal hingga peralatan simulasi cuaca yang konon juga mampu menghasilkan petir buatan, meski masih teka-teki bagaimana Ibnu Firnas menghasilkan listriknya. Namun di antara semua penemuannya, yang paling spektakuler dan dianggap salah satu tonggak sejarah adalah alat terbang buatannya.
Alat terbang Ibnu Firnas adalah sejenis ornithopter, yakni alat terbang yang menggunakan prinsip kepakan sayap seperti pada burung, kelelawar atau serangga. Dia mencoba alatnya ini dari pertama-tama dari sebuah menara masjid di Cordoba pada tahun 852 M. Dia terbang dengan dua sayap. Ibnu Firnas sempat terjatuh. Untung dia melengkapi diri dengan baju khusus yang dapat menahan laju jatuhnya. Baju khusus ini adalah cikal bakal parasut. (more…)