Sesungguhnya tidak ada orang maupun kaum, yang mengalami perubahan nasib tanpa mereka mengubah dulu cara mereka berrekreasi.
Manusia itu bukan robot, yang bisa melakukan suatu pekerjaan terus menerus tanpa istirahat. Kalaupun fisik badannya memungkinkan, tetapi jiwanya akan kelelahan, dan itu bisa lebih berbahaya. Karena itu Rasulullah pun mengajarkan, agar kita memberi hak istirahat pada tubuh kita. Istirahat dalam arti kita meninggalkan sejenak aktivitas utama kita, agar tubuh kita segar kembali, mampu berkreasi kembali. Itulah makna “rekreasi”.
Persoalannya, rekreasi yang seperti apa yang seharusnya kita lakukan?
Kalau bicara rekreasi, pikiran kita sering lari ke “tempat rekreasi” alias tempat wisata, atau bahkan tempat hiburan. Kalau pas liburan panjang seperti lebaran, tempat rekreasi yang paling ramai – karena murah-meriah – adalah pantai, kebon binatang, atau alun-alun kota lengkap dengan kulinernya. Kadang-kadang, jalan menuju ke tempat-tempat rekreasi itu bahkan sampai macet panjang, mencari tempat parkir juga susah. Tetapi anehnya, orang tetap mau bersusah-payah ke sana. Kenapa? Karena justru itulah rekreasinya, selingan dari rutinitas. Mungkin bagi mereka yang sehari-harinya biasa jalanan lancar, kemacetan adalah rekreasi. Bisa menjadi bahan cerita!
Ada juga rekreasi yang lebih murah, yaitu cukup di rumah, baca buku, lihat TV, atau chatting via internet. Ada juga yang berkebun, membereskan rumah, atau berkemah di halaman belakang (bagi orang yang rumahnya punya halaman).
Kalau yang punya uang, mereka berrekreasi ke tempat yang istimewa. Mungkin ke Dufan di Ancol, mungkin juga ikut outbound-training sekaligus main golf di kawasan Puncak, melihat taman laut di Raja Ampat, atau bahkan belanja ke Singapur, atau Umrah. Jangan dikira yang pergi Umrah itu semua bermotif ibadah. Banyak juga yang sekedar rekreasi … (more…)
Sesungguhnya tidak ada orang maupun kaum, yang mengalami perubahan nasib tanpa mereka mengubah dulu tradisi yang mereka jalani.
Suatu aktivitas yang dijalankan rutin dalam periode tertentu, lama-lama akan membentuk kebiasaan (habbit). Habbit ini bila kemudian diikuti orang banyak, akan membentuk sebuah tradisi. Mereka yang telah memiliki tradisi seperti itu, akan membentuk alam bawah sadar bagi orang-orang baru, agar juga mengikuti habbit tersebut.
Yang menjadi persoalan adalah apakah tradisi itu sesuatu yang positif atau negatif? Sesuatu yang ada dasar rasional atau ilmiahnya, atau tidak?
Banyak tradisi di sekitar kita yang tidak jelas manfaatnya. Kita sebut saja, tradisi memakai jas di acara resmi. Kalau itu dilakukan di negeri yang beriklim sejuk, mungkin positif. Tetapi di negeri tropis seperti Indonesia, memakai jas sebenarnya tidak masuk akal. Karena kegerahan, akhirnya acara resmi seperti itu harus dilakukan di ruangan berpendingin udara. Tidak ramah lingkungan. Sebuah tradisi yang salah akan diikuti oleh keputusan yang salah.
Kenapa bisa demikian, karena kita mengikuti tradisi para penjajah Belanda. Sebelum zaman kolonial, pakaian adat nenek moyang kita relatif lebih sesuai dengan kondisi lingkungan. Ini suatu bentuk kearifan lokal. Meskipun ada juga kearifan lokal yang boleh jadi juga tidak rasional. Meski demikian, tradisi yang tidak rasional itu tidak selalu negatif. Ada juga yang dampaknya positif. Tradisi berbau mistik di kalangan suku Badui Dalam di Banten misalnya, telah melestarikan hutan di sana, sekalipun alasannya tidak rasional. (more…)
Sesungguhnya tidak ada orang maupun kaum, yang mengalami perubahan nasib tanpa mereka mengubah dulu transaksi-transaksi mereka.
Selama manusia tidak hidup sendirian, maka dia akan terus menerus melakukan transaksi. Transaksi ini ada yang sangat sederhana seperti anak-anak saling menolong menyeberang jalan hingga sangat serius seperti ketika sebuah negara memberikan konsesi tambang migas kepada perusahaan asing untuk jangka waktu 30 tahun.
Transaksi adalah suatu bentuk peralihan hak. Ada jual-beli, waris, hibah, tolong-menolong, pinjam-meminjam, sewa-menyewa, bekerja, bekerjasama, menikah, menjalin perdamaian dan sebagainya. Transaksi dimaksudkan untuk saling menutupi kekurangan. Seharusnya sifatnya win-win.
Namun dalam kenyataannya, kadang kala apa yang di awal diduga akan memberikan keuntungan bagi semua, ternyata tidaklah demikian. Satu pihak mendapatkan keuntungan lebih besar, atau pihak lain justru lambat laun merasakan kerugian, atau bahkan semuanya rugi, karena yang diuntungkan justru pihak lain yang berada di luar mereka. Kalau demikian, maka transaksi itu adalah win-lose, atau bahkan lose-lose.
Karena itu, kalau kondisi seseorang atau suatu kaum itu dalam keterpurukan, kemungkinan itu disebabkan oleh transaksi-transaksi mereka di masa lalu. Mungkin karena ada hubungan kerja yang tidak adil. Mungkin ada utang-piutang yang menjerat mereka dalam bunga-berbunga yang tidak akan berkesudahan. Mungkin pula ada transaksi yang dulu sebenarnya sudah benar dan adil, tetapi kondisi eksternal (politik, ekonomi, sosial-budaya atau teknologi) yang telah berubah, sehingga memang sudah saatnya transaksi itu disesuaikan. (more…)