Beyond the Scientific Way

Fahmi Amhar Official Blog

Archive for the ‘Goresan’ Category

Ust. Dr. Ing. Fahmi Amhar: Dakwah, Sebuah Panggilan

Thursday, November 12th, 2009

Ust. Dr. Ing. Fahmi Amhar (Professor)

Pertama kali saya berdiskusi dengan HT, saya cenderung menolak, karena saya mendapat kesan, “ini orang kok ngomong Negara Islam seperti semudah membalik tangan,…

Saya Fahmi Amhar. Lahir tahun 1968 di Magelang. Berasal dari keluarga besar Nahdliyyin.  Pakdhe saya itu murid KH Hasyim Asy’ari, pendiri NU, dan sempat 6 tahun mengajar di Tebu Ireng. Ayah saya secara politis Masyumi. Namun beberapa kakak saya ikut Muhammadiyah. Di SMP saya dapat mentor seorang aktivis HMI (Himpunan Mahasiswa Islam). Waktu SMA saya ikut bergabung dengan PII, Pelajar Islam Indonesia, hingga menamatkan sekolah tersebut pada 1986.  Saya kemudian melanjutkan di Jurusan Fisika Institut Teknologi Bandung.  Saya suka ikut kajian-kajian di Masjid Salman ITB. Namun hanya berjalan satu semester karena saya mendapat beasiswa dari Overseas Fellowship Program (OFP) Ristek yang dikenal dengan “Program Habibie” untuk menempuh studi di Austria.

Pertama Kontak

Di Eropa saya tetap perhatian terhadap permasalahan Islam dan umatnya. Saat itu, saya suka dengan khutbah Jum’at yang khatibnya orang Ikhwanul Muslimin. Saya pernah mengagumi banyak pemikiran dari al-Maududi sampai Yusuf Qardhawi.  Saya juga pernah tertarik ikut khuruj bersama teman-teman Jama’ah Tabligh. Di sana pulalah pertama kali saya kontak dengan orang-orang HT, tepatnya di Kota Wina, Austria tahun 1990.

Tentu saja saat itu saya belum tahu bahwa mereka aktivis HT. Yang jelas mereka membicarakan topik-topik Negara Islam atau Khilafah. Pada saat pertama kali saya berdiskusi dengan HT, saya cenderung menolak, karena mendapat kesan, “ini orang kok ngomong Negara Islam seperti semudah membalik tangan? Padahal kan prosesnya pasti panjang, rumit dan berliku”.

Namun mereka tetap sabar melayani dan mengajak saya mengikuti kajian umum tentang berbagai hal, seperti bagaimana memahami dan menyikapi perbedaan mazhab, tentang fiqih perempuan, lalu tentang kasus Bosnia yang tahun 1991 itu sedang marak, dan isu hangat lainnya. Para peserta diberikan kebebasan bertanya dan bahkan mendebat. Lama-lama saya tertarik ketika mereka menjelaskan bagaimana umat Islam itu kini bisa terpuruk, padahal dulu pernah menjadi mercusuar peradaban dunia. Sepertinya penjelasan HT dalam masalah ini adalah yang paling logis, komprehensif, runtut dan mendalam yang pernah saya temui.  Tidak sekadar simplifikasi seperti “Umat terpuruk karena meninggalkan Alquran dan Sunnah” atau “Umat terpuruk akibat penjajahan”. Jawaban-jawaban mereka bisa memuaskan seperti pertanyaan “Bagaimana ya umat yang dulu dibangkitkan oleh Rasulullah itu bisa berangsur-angsur meninggalkan apa yang membuat mereka bangkit?  Mengapa mereka jadi bisa dijajah?”.

Saya juga sangat terkesan dengan  tingkat kecerdasan politis-spiritual yang tinggi para aktivis HT. Tentu saja aktivis HT juga ada bermacam-macam sebagaimana di semua komunitas.  Namun saya pikir, tingkat kecerdasan politis-spiritual aktivis HT memang ada di atas rata-rata. Yang dimaksud dengan tingkat kecerdasan politis-spiritual adalah bahwa mereka memiliki sikap kritis yang tinggi atas segala fenomena sosial, baik di tingkat lokal maupun di dunia internasional, dan itu selalu dihubungkan dengan apa yang diajarkan oleh Rasulullah SAW dan  para Shahabat ra (hubungan spiritual). Masalah shalat misalnya, pada awalnya adalah masalah ibadah, bukan politik.  Tapi bagaimana mengupayakan agar orang-orang bisa shalat, baik di pabrik maupun di mall, itu pasti memerlukan upaya-upaya politik.  Demikian juga untuk kewajiban Islam yang lain.

Terpanggil

Saya pernah dua tahun terpaksa sekamar dengan orang Nasrani, bahkan juga dengan orang komunis. Mau tak mau pernah bergulat dengan pemikiran: mengapa saya harus percaya dengan Islam.

Di sinilah saya kemudian melihat kajian thariqul Iman yang diberikan HT sangat memuaskan secara rasional dan menenangkan jiwa. Di samping itu, yang semakin membuat terkesan, mereka berdakwah sebagai panggilan, bukan sebagai profesi untuk mencari penghidupan. Jadi aktivis HT biasanya memiliki profesi yang dengan itu mereka menghidupi dakwahnya.

Mereka pun begitu  unik. Karena hanya dapat dikenali dari pemikiran atau sikapnya, bukan dari wujud fisik seperti bentuk pakaian atau tempat pertemuan yang eksklusif.  Saya kemudian berfikir, inilah wadah yang pas untuk berjuang.  Akhirnya pada 1995 saya pun memutuskan untuk bergabung dengan HT Austria.

SEPULUH IDE SEGAR UNTUK MENRISTEK BARU

Thursday, October 29th, 2009

SEPULUH IDE SEGAR UNTUK MENRISTEK BARU

Meski program 100 hari telah masuk ke Menko Perekonomian, program itu saya yakin masih dapat diperkaya. Lagipula, secara faktual Program 100 hari pasti akan terkendala oleh sistem anggaran kita (DIPA), yang tak selalu fleksibel, juga dengan sistem birokrasi kita, yang harus mentuntaskan tupoksi masing-masing yang telah ada.

Sementara itu ada kontrak politik antara presiden dengan para menteri — artinya untuk kementerian itu presiden akan ingat masalah itu. Misalnya tentang pemetaan kawasan perbatasan (bukan penegasan batas yang harus melibatkan pihak-pihak luar negeri), yang sebenarnya selama masih skala meso (1:50.000-1:100.000) bisa diselesaikan dalam 100 hari, misalnya dengan data SRTM dan citra ALOS-PALSAR/AVNIR. Baru kemudian tempat-tempat yang terindikasi perlu dipetakan lebih detil (misalnya jalur keluar masuk illegal logging) akan kita petakan selama tahun-tahun mendatang.

Namun ide-ide berikut ini insya Allah memang baru:
1. Free access hasil-hasil riset (format PDF) dari LPND Ristek, termasuk peta-peta Bakosurtanal.
2. Instalasi infrastruktur IT di gedung DPR dan Sekretariat Negara, termasuk dengan free internet-wifi-hotspot, sehingga wartawan yang meliput juga dapat dengan cepat mendapatkan bahan-bahan terkait RUU atau UU yang sudah disahkan,.
3. Inisiasi open access Database Paten Indonesia (join dengan ditjen HAKI). Contoh: uspto.gov.
4. Penelusuran paten-paten berguna di dunia yang telah habis masa perlindungannya (biasanya 20 tahun), untuk dimanfaatkan secara maksimal di Indonesia.
5. Inisiasi interkoneksi riset LPD (Litbang Departemen), LPND (termasuk yang di luar ristek seperti BMKG, dll) dan LPND Ristek, yang selama ini diperankan FKK karena ristek kurang mengurusi.
6. Interkoneksi database skripsi+tesis (s2/s3) semua perguruan tinggi – bisa pakai wordpress (Romi Satria Wahono tahu howto). Ini jadi nilai untuk akreditasi BAN. Join dengan diknas.
7. Tracking asset SDM riset nasional, tidak cuma yang masih pns: tapi juga semua ex OFP, ex juara-juara LKIR LIPI / LPIR Diknas / LKIP mahasiswa / Olympiade Sains dsb. Juga mereka yang di LN. Join dg I4 – Ikatan Ilmuwan Indonesia Internasional.
8. Inisiasi film2 edukasi bertema iptek – ajak sineas-sineas muda alumni LKIR
9. Memulai audit teknologi pada berbagai proyek-proyek pemerintah sejak fase perencanaan untuk memverifikasi bahwa teknologi yang akan digunakan memang “economic-compliant”, “eco-friendly” dan “pro-kemandirian”.
10. Perlu ada pemetaan riset Indonesia “Who is working Where for What with Howmuch budget”.

Kalau yang sifatnya birokrasi:
1. Penyegaran pejabat-pejabat birokrasi di bawah Menristek (eselon-1), diganti dengan yang masih muda namun beprestasi (tampak dari trackrecord riset) dan diberi kesempatan menyampaikan visi-missi dan kontrak kinerja bila menjabat.
2. Reorganisasi beberapa LPND Riset (bisa pemekaran atau penggabungan) agar didapat kinerja yang maksimal.

Insya Allah kalau ada lagi disambung lagi …

Hak Konsumen dan Hak Diperlakukan Adil

Thursday, June 4th, 2009

Dr. Fahmi Amhar

Hari-hari ini kita disibukkan dengan kasus Prita Mulyasari, seorang ibu berusia 32 tahun, yang semula dirawat inap di sebuah rumah sakit swasta bertaraf internasional, namun pelayananannya tidak memuaskannya, karena hasil lab yang memaksanya rawat inap itu tidak dapat dia peroleh.  Maka dia curhat ke teman-temannya melalui email, sayang email ini kemudian bocor ke publik melalui milis, dan si ibu Prita ini lalu dituntut oleh Rumah Sakit itu dengan tuduhan pencemaran nama baik, melanggar pasal 310 dan 311 KUHP, dan pasal 27 UU 11/2008 ttg Informasi dan Transaksi Elektronik (“Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemarannama baik) yang dalam pasal 45 UU tersebut diancam dengan penjara 6 tahun dan/atau denda 1 Milyar Rupiah.  Karena ancaman hukumannya lebih dari 5 tahun ini maka si ibu yang malang ini langsung ditahan hingga 3 minggu, dan baru dilepas setelah kasusnya menjadi perhatian publik, bahkan perhatian para capres yang sedang kampanye.

Si ibu yang malang ini semula hanya ingin mengadukan nasibnya sebagai pasien, konsumen layanan medis.  Jutaan pasien di negeri ini dalam posisi lemah terhadap dokter dan rumah sakit yang jarang proaktif memberikan informasi yang lengkap kepada pasien, apalagi pilihan tentang jenis obat atau tindakan yang diperlukan pasien.  Pasien hanya sekedar menjadi objek, bukan subjek yang memiliki kehendak dan bisa diajak kerjasama memulihkan kesehatannya.  Perlakuan dokter atau rumah sakit ini makin menggila jika pasien ditanggung oleh asuransi swasta.  Dengan alasan memberi layanan terbaik, maka obat yang termahal pun diberikan, sekalipun mungkin tidak dibutuhkan oleh fisik pasien, atau bahkan dalam jangka panjang bisa merusak organ vital pasien.

Ketika pasien diperlakukan semacam ini, kepada siapa dia akan mengadu?  Meski ada UU no 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen, dan telah dibentuk Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) di Departemen Perdagangan, namun faktanya tidak banyak masyarakat yang tahu keberadaannya.  Akibatnya orang lebih suka mengeluh ke mana saja pihak yang dia percaya: ke LSM seperti Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), ke Komnas HAM, ke DPR, atau menulis surat pembaca ke media massa atau email ke dunia maya.  Ini terjadi karena BPKN hanya bertindak setelah ada pengaduan langsung kepadanya.  BPKN tidak diwajibkan bertindak proaktif dengan memonitor dunia perdagangan, sekalipun hanya dari surat pembaca di media massa.

Masalahnya, begitu menjadi konsumsi publik, keluhan konsumen ini dapat dengan mudah dibalikkan oleh yang merasa lebih kuat (yaitu produsen) dengan tuduhan pencemaran nama baik.  Polisi, Jaksa ataupun Hakim yang menangani pun bisa bertindak tidak profesional, baik karena alasan keyakinan tertentu (yang mungkin mitos), alasan politis maupun alasan kepentingan lain yang terkait dengan pihak yang lebih kuat itu.  Maka sang konsumen yang malang tadi tertimpa tangga dua kali: diperlakukan tidak adil dalam transaksi muamalahnya, lalu didzalimi oleh alat negara ketika mencari keadilan.

Solusi Islam

Islam memberikan solusi preventif yang luar biasa, tidak cuma sekedar secara individual dengan ketaqwaan dan ahlaq, namun juga secara kultural dan struktural, karena mustahil mengharapkan semua orang bertaqwa dan berahlaq mulia, sebagaimana di zaman Nabi pun tetap ada orang-orang fasik dan munafik.

Solusi pertama adalah Mahkamah Hisbah (Muhtasib), yang berfungsi menjaga kepentingan umum.  Mahkamah ini dalam menegakkan hukum bertindak proaktif, tidak menunggu adanya pengaduan, karena realitasnya orang yang terganggu sering malas mengadu karena tidak cuma dia yang terganggu.  Dalam sistem sekuler, pengaduan orang banyak harus melalui class action.  Namun Rasulullah pernah memberi contoh yang lebih simpatik: mensidak pasar dan mengecek apakah kualitas gandum yang di bawah sama dengan yang dipajang di atas.  Di zaman modern ini, sebagian fungsi mahkamah muhtasib ada yang dijalankan oleh polisi (misalnya merazia SIM di jalanan, agar umum tidak dirugikan pengemudi yang tidak berhak), oleh metrologi (yang menera takaran di SPBU), oleh Badan POM (merazia makanan illegal, berracun atau kedaluarsa) atau oleh pemda yang merazia bangunan tidak ber-IMB yang bisa membahayakan atau merugikan kepentingan umum.  Namun masih banyak yang dapat dijadikan kewenangan Mahkamah Hisbah.  Mahkamah ini bisa merazia sekolah-sekolah palsu yang hanya menjual ijazah, layanan medis yang tidak menghargai hak pasien maupun pengobatan alternatif yang tidak syar’i, bisnis investasi atau MLM yang hanya bersifat money-game dan masih banyak lagi.  Rasulullah telah memberi teladan tentang sikap proaktif dalam melindungi rakyat.  Kita memerlukan birokrat-birokrat proaktif, inilah birokrat syariah yang sesungguhnya, bukan syariah yang hanya mempersoalkan pakaian atau ibadah semata.

Solusi kedua adalah Mahkamah Madzalim yang berfungsi menghilangkan kedzaliman dari alat negara, termasuk kedzaliman polisi, jaksa, hakim dan bahkan kedzaliman dari Undang-undang yang telah disahkan pemerintah.  Mahkamah ini berwenang memecat semua pejabat negara, bahkan memakzulkan Khalifah (Kepala Negara) bila mereka terbukti melakukan kedzaliman.  Bentuk-bentuk kedzaliman ini seperti mengambil harta rakyat tanpa landasan hukum, tidak tabayyun mendengarkan kedua pihak yang berperkara, tidak menerapkan hukum yang sesuai (semisal hukuman zina diterapkan pada orang yang nikah siri) hingga menerapkan hukum kufur seperti menghalalkan riba atau judi atau peredaran minuman keras pada masyarakat muslim.

Tentu saja, berjalannya struktur atau sistem ini sangat tergantung kepada kualitas budaya kritik sosial di masyarakat.  Imam Ghazali dalam kitab “Ihya Ulumudin” mengatakan, “Rusaknya rakyat adalah akibat rusaknya para pemimpin; Rusaknya para pemimpin adalah akibat rusaknya para ulama; dan Rusaknya para ulama adalah karena mereka cinta dunia (haus harta dan tahta)”.

Para ulama dan para ilmuwan harus menjadi mudzakkir (pemberi peringatan) baik pada para pemimpin, pebisnis maupun masyarakat umum.  Rasulullah menyatakan bahwa “Jihad terbaik itu adalah memberi peringatan di depan orang kuat / penguasa yang ja’ir (dzalim)”.