Apakah Anda ingin jadi orang kaya?
Apakah Anda sudah mempersiapkan diri jadi orang kaya?
Sungguh?
Coba buktikan, hitung soal berikut ini:
Seberapa tebal uang 1 Trilyun Rupiah bila terdiri dari uang pecahan Rp. 100.000, Rp. 10.000 dan Rp. 1.000 ?
Seberapa luas area yang dapat ditutupi dengan uang 1 Trilyun Rupiah?
Seberapa berat uang sebanyak 1 Trilyun Rupiah?
Dengan berapa truk kira-kira uang 1 Trilyun Rupiah harus diangkut?
Kalau Anda belum bisa menghitungnya, berarti Anda belum serius persiapan jadi orang kaya ! 🙂
Uang 100 lembar akan memiliki tebal kira-kira 1 cm.
Jadi, pada pecahan Rp. 100.000 -> 1 cm akan = Rp. 10 juta,
kalau 1 m atau 100 cm = Rp. 1 Milyar. sehingga 1 km atau 1000 m = Rp. 1 Trilyun.
Kalau pecahan Rp. 10.000, Rp. 1 Trilyun akan setebal 10 km.
— Lebih tinggi dari gunung tertinggi di dunia Mount Everest!
Kalau pecahan Rp. 1.000, Rp. 1 Trilyun akan setebal 100 km.
— Bisa-bisa ada satelit kesangkut … 🙂
Selembar uang kertas akan memiliki luas sekitar 151 mm x 65 mm = 0,009815 m2
Jadi Rp 1 Trilyun pada pecahan Rp 100.000 = 10.000.000 lembar
akan menutupi area seluas 98.150 m2 atau 9,8 hektar !
Kalau pecahan Rp. 10.000*, Rp. 1 Trilyun akan seluas 98 hektar.
Kalau pecahan Rp. 1.000*, Rp. 1 Trilyun akan seluas 980 hektar.
— Hampir menutupi seluruh Kota Sibolga di Sumatra Utara yang luasnya cuma 1077 hektar.
* ini sekedar kira-kira, karena uang 10.000 dan 1.000 memiliki ukuran sedikit lebih kecil.
Berapa berat segepok uang (100 lembar) ?
Bawa ke timbangan kue, lalu hitunglah dengan cara di atas.
Berapa berat uang Rp. 1 Trilyun?
Berapa volume uang Rp. 1 Trilyun (di atas sudah dihitung tebalnya).
Selamat mengamalkan matematika untuk persiapan jadi orang kaya 🙂
Jangan lupa juga belajar ilmu syariah yang terkait finansial.
Islam mendorong Anda untuk jadi kaya raya, selama menggunakan cara-cara yang halal, dan membelanjakan uang yang Anda miliki itu di jalan Allah. Terlalu banyak amal shaleh yang hanya bisa dilakukan oleh orang kaya. Jadilah Anda kawan Abdurrahman bin Auf di surga sana!
September 1987. Saya belum ada 2 bulan di Innsbruck, sebuah kota kecil di Austria bagian barat. Prof. Rode mengajak saya dan kawan-kawan mahasiswa baru di sini untuk makan malam, sambil menikmati matahari sore akhir musim panas, bersama Dr. Laschan, seorang diplomat Austria yang lagi mampir ke Innsbruck. Kebetulan Dr. Laschan pernah pula bertugas ke Indonesia.
Prof. Rode adalah penghubung pemerintah Indonesia dengan pihak Austria untuk mengurus studi kami. Dia sangat ramah, banyak membantu kami beradaptasi, serta di waktu senggang sering mengajak kami melihat-lihat alam pegunungan Alpen yang indah di provinsi Tyrol, tempat kota Innsbruck berada. Prof. Rode adalah seorang jenius, menjadi profesor kimia anorganik pada usia 30 tahun, menguasai 10 bahasa asing, dan hobby main piano serta olahraga menembak. Rode bahkan bisa menjawab dua telepon yang menggunakan bahasa berbeda, satu dalam bahasa Thailand, dan satunya dalam bahasa Perancis, sementara dia sedang berbincang dengan kami dalam bahasa Inggris. Bahasa ibunya adalah bahasa Jerman.
Kami masuk sebuah restoran taman yang indah. Pelayan membagikan daftar menu yang sebagian belum kami pahami. Saya bertanya ke pelayan komposisi menu-menu tadi. Ada menu sea-food. Ada yang pakai kentang, telor dan susu. Ada juga yang khas: Tyroler Knoedel, semacam bakso ala Austria. Sangat istimewa, kata Rode. Tetapi kata pelayan, itu dibuat dari adonan tepung, daging sapi cacah dan speck. Speck adalah lemak babi ! Saya tentu saja menolak memilih Tyroler Knoedel. Sayang sekali kata Rode. Dia dan yang lain memilih Tyroler Knoedel sebagai makanan spesial restoran itu.
Makanan pun dihidangkan. Rode dan Laschan berbincang tentang banyak hal. Bahasa Jerman mereka sangat jelas. Jadi mudah bagi saya yang bahasa Jermannya masih terbatas untuk memahami apa yang mereka perbincangkan. Mereka membicarakan orang-orang Indonesia yang konon fanatik pada agamanya, tetapi kalau sudah ke luar negeri sering munafik, tidak lagi ingat agamanya. Saya terusik, tapi mencoba menahan diri.
Akhirnya makan selesai. Sambil mengusap mulutnya, Rode mengatakan, “Andaikata Mohammed hidup di sini di zaman ini, pasti dia akan suka Tyroler Knoedel”. Hati saya mencelos. Rode menyindir Nabi Muhammad, seakan-akan, pengharaman babi itu hanya karena pengalaman Nabi yang terbatas. Akhirnya, setelah itu hampir satu jam, saya berdebat keras dengan Rode. Dengan segala keterbatasan bahasa Jerman saya, saya mencoba mempertahankan argumentasi mengapa saya bertahan dalam keyakinan saya. Saya sampaikan isi buku Maurice Bucaille “Bible, Islam and Modern Science”. Rode mengesampingkannya, “He is not scientist!”, katanya. Rode bahkan berkata, bahwa dia dapat pesan dari pemerintah Indonesia, agar jangan sampai mahasiswa Indonesia bertemu dengan kelompok-kelompok Islam garis keras di Austria.
Setelah sore itu, hubungan saya dengan Rode menjadi sangat berbeda. Dia seperti punya keinginan agar saya berubah. Kalau main ke ruangannya, kami ditawari aneka minuman keras special. “Minum apa ini, whiskey, cognac, vodka?”. Teman-teman saya banyak dibantu olehnya. Saya sengaja membuat jarak. Saya semakin jarang hadir kalau dia mengundang kami. Mungkin dia akan senang, kalau saya gagal, karena saya “tidak bisa beradaptasi” dengan kehidupan di Austria. Tetapi itu justru menjadi cambuk bagi saya, saya akan buktikan, bahwa saya bisa berhasil tanpa bantuannya lagi. Cukuplah Allah menjadi penolong saya.
Alhamdulillah, akhirnya dari kawan-kawan mahasiswa seangkatan, saya berhasil menjadi yang pertama kali naik haji, yang termuda meraih gelar Doktor, dan termuda pula meraih gelar Profesor. Saya belajar menata kemarahan saya ketika Nabi saya dihina, sehingga menjadi energi yang positif.
2 SEONGGOK BATU KARANG
Sepuluh hari sudah Ali Hoffmann pergi ke Bosnia. Dan telah sepuluh sore seusai mengaji, Umar dan terkadang Fatimah bercengkerama dengannya lewat frequensi radio.
Kemarin Ali mengabarkan expedisinya sudah selesai, dan kini dalam perjalanan kembali ke Wina. Sore inipun Umar telah siap kembali.
“Hallo di sini Umar, Oscar Echo Dua Alfa Zulu, apa Mister Abah ada di udara?”.
Sepi, tak ada jawaban. Umar mengulanginya lagi. Namun di radio selain suara cuit-cuit tak ada jawaban. Saat lima belas menit sudah berlalu Umar mulai gelisah.
“Onkel Yusuf, kenapa radionya nggak kayak kemarin?”,tanyanya.
Aku mendekat. Kulihat beberapa alat penunjuk bekerja beres. Ketika frequensi kupindah, kudengar di situ ada suara-suara lain.
Kucoba, “Hallo, here is Oscar Echo Two Alfa Zulu, can you hear me?”.
“Yes, you are welcome”, jawab suatu suara.
“Thank you”, kataku seraya kembali ke frequensi yang biasa kami pakai.
Namun kembali sepi. Frequensi ini memang khusus, lebar bandnya sempit karena alat yang kubikin sendiri ini menggunakan kristal yang canggih. Dengan demikian kami selama ini hampir tak pernah terganggu oleh suara-suara lain.
Akhirnya setelah setengah jam tak ada kontak, aku terpaksa bilang ke Umar, “Barangkali di sana alatnya mengalami gangguan”.
Umar menangis, “Onkel, jangan-jangan truck Abah ditembak?”.
“Tidak, belum tentu”, aku mencoba menenangkan.
“Kita tidak tahu apa yang terjadi. Yang jelas, tak ada sinyal dari mereka”, kataku menambahkan. Akhirnya Umar kami antar pulang.
Esok sorenya, sepulang dari Universitas, kujumpai istriku sudah duduk menungguku. Mukanya serius. Biasanya dia akan menjemputku di taman, tempat dia dan Fatimah menunggui putra-putra kami bermain. Makanan di meja makan memang telah siap.
“Sebaiknya kita makan dulu ya, aku udah lapar nih!”, kataku memecahkan keheningan. Ulfah mengangguk.
“Mana Salman, Salmaan!”, panggilku.
“Dia ada di Umar”, kata Ulfah.
“Sudah makan dia?”, tanyaku.
“Dia lagi nggak doyan makan”.
“Kenapa?”
“Dia solider dengan Umar. Umar juga nggak mau makan”
Aku terhenyak.
Ulfah bangkit dari tempat duduknya dan berjalan ke meja makan.
“Sebaiknya Abi makan dulu”, katanya sambil menyedukkan nasi. Kamipun makan bersama.
“Tadi aku ke Fatimah. Dia murung mendengar kontak radio ke suaminya terputus”, Ulfah mulai cerita.
“Yach, bisa jadi cuma alasan teknis. Di Bosnia banyak gunung-gunung yang mempengaruhi gelombang radio”
Sejenak kami terdiam.
“Fatimah cemas bahwa terjadi apa-apa pada suaminya”
“Emangnya cuma dia saja yang begitu, apakah kau juga tak pernah cemas jika aku pergi?”, tanyaku menggoda.
Ulfah tersipu-sipu. Tapi kemudian katanya, “Tapi tentunya kau mengerti, posisinya lain denganku”
Aku terdiam. Fatimah memang tak sama dengan Ulfah. Aku teringat ketika enam tahun yang silam aku pulang ke Indonesia. Saat itu Robert – nama Ali sebelum masuk Islam – menyatakan keinginannya melihat keindahan Nusantara. Dia memang teman baikku di Wina. Sebenarnya aku mengenal Robert tanpa sengaja. Saat itu aku mengisi liburanku dengan bekerja di sebuah supermarket. Tugasku gampang, namun perlu otot: menurunkan barang-barang dari truck ke gudang. Dan Robert adalah sopir truck yang sering memasok supermarket tersebut. Mula-mula dia tanya, apa yang kukerjakan kalau aku lagi tak ada tugas. Yach, di rumah saja jawabku. Maka Robert lalu mengajakku jalan-jalan. Ya, dia memang ingin menunjukkan keindahan negerinya kepadaku, yang kala itu memang masih terhitung orang baru. Kami memang sama-sama muda.
Ketika kami sudah agak lama bersahabat, suatu hari dia berkata kepadaku,
“Aku kagum kepadamu, belum pernah sekalipun kulihat kau minum bir, bagaimana kau bisa?”
Semula aku ragu mengatakan bahwa aku seorang muslim, takut kalau tiba-tiba dia jadi antipati terhadapku.
“Kalau aku tak minum bir di jalan, kau jelas tahu, aku harus selalu pegang kemudi. Tapi kau?”, tambahnya.
Akhirnya kuberanikan, “Ya, aku lakukan itu, karena Tuhanku melarangku minum apa saja yang memabukkan”.
“Apa sih agamamu, Budha atau Taoisme?”
Aku tersenyum, “Agamaku adalah agama yang dianut oleh semua orang yang menyerahkan diri kepada satu Tuhan.”
Robert tampak bingung. Alisnya bertemu. “Ya, agamaku juga cuma percaya pada satu Tuhan, tapi kami boleh minum bir. Emangnya ada agama yang Tuhannya banyak?”
“Ada. Barangkali kau masih ingat pada mitos Yunani. Tapi yang kumaksud satu Tuhan adalah keteguhan untuk tidak mengambil sumber peraturan selain dari-Nya”
“Peraturan apa? Yang kutahu, aku sih memang bukan seorang Katholik yang baik. Aku tak pernah ke gereja, dan bibelpun aku juga tak punya. Bagiku trinitas itu membingungkan. Yang penting aku percaya, kalau Tuhan itu ada. Oo kalau tidak ada, pada siapa aku mau berdoa tiap kali aku harus berangkat membawa truckku?”
“Oh, kalau dipikir sebenarnya kau sudah cocok dengan konsep agamaku”
“Ya tapi agamamu itu apa?”
“Kau akan marah, kalau aku sebutkan?”
Dia menggeleng.
“Islam!”
“Apa? Kamu seorang Islam? Bagaimana bisa, kau seorang yang baik, ramah dan suka menolong. Selama ini kupikir Mohammedaner suka membunuh orang kayak aku, aku kan
orang kafir?”, tanyanya sambil matanya membelalak.
Aku tertawa, “Ah Robert, itu sekedar propaganda media massa kalian di sini. Memang ada kejadian-kejadian di mana seakan-akan seseorang atau suatu kaum diserang oleh orang-orang Muslim, maaf bukan Mohammedaner, karena ke-non-muslimannya. Itu salah. Mereka diserang karena kejahatannya, ketidakadilannya, keserakahannya. Kami orang-orang yang cinta damai, dan kami tak boleh memaksa orang lain memeluk agama kami”.
Robert termangu.
Sejak itu, setiap hari libur, kami lebih sering duduk-duduk di kamar asramaku. Robert mulai tertarik membaca buku-buku kecil tentang Islam, serta terjemahan Qur’an berbahasa Jerman yang kupunya.
Akhirnya suatu hari dia tanya, “Kapan kau ke Indonesia?”.
“Musim panas depan”, kataku.
“Aku ikut ya?”, tanyanya tiba-tiba.
“Okey”, aku mengiyakan.
Aku tahu, meski sekedar sopir truck, penghasilan Robert lebih dari lumayan sekedar untuk jalan-jalan ke luar negeri.
Jadilah, kami berdua sama-sama ke Indonesia. Dan sejak hari pertama, dia sudah “schock”. Pertama adzan Shubuh yang tepat dari samping rumah ibuku. Tapi dia tidak protes. Keheranan kedua, dia selalu melihat ibu dan adik perempuanku memakai kerudung, setiap hari selama dia ada di sana. Lalu alunan suara Qur’an yang merdu dari anak-anak kecil di Mesjid setiap habis Maghrib.
Namun yang paling menggetarkan hatinya adalah tatkala dia menyaksikan sembayang Jum’at.
Dia cerita begini, “Yusuf, aku seperti tak percaya melihatnya. Tadi ada seseorang datang agak terlambat, dan ia sembahyang di dekat pintu. Namun ketika banyak orang yang sudah selesai keluar mesjid, tak satupun dari ratusan orang itu yang berani melintas terlalu dekat di depan orang yang terlambat tadi. Dia seperti seonggok batu karang yang membelah lautan manusia. Betapa kulihat kalian sangat menghargai ibadah satu orangpun, tak seperti jika kami berdesak-desak di depan gereja St. Peter di Vatikan.”
Aku sendiri kaget mendengar pernyataannya itu. Sebagai orang yang lahir dari orang tua muslim, terhadap hal semacam tadi aku malah tak begitu jeli.
Beberapa hari kemudian, Robert berkata, “Yusuf, maukah kau mengajariku sembahyang seperti di agama kalian?”
Aku begitu terharu waktu itu. Aku segera membawanya ke guru ngajiku, dan sejak hari itulah Robert menjadi saudaraku seiman. Oleh ustadz dia diberi nama “Ali”, meski di paspornya tetap tertulis nama aslinya.
Selama tiga bulan liburan di Indonesia itu Robert eh Ali banyak belajar. Kepada ibuku dia sudah berani memuji masakannya dalam bahasa Indonesia. Dia rajin membuat catatan sendiri untuk pelajaran agama Islam maupun bahasa Indonesia.
Suatu hari katanya, “Yusuf, aku suka sekali tinggal di sini. Namun bagaimanapun juga aku harus kembali ke pekerjaanku…”.
“Ya, dan juga ke ibumu”, tambahku.
“Ah, aku tak tahu apa sikap mereka kini setelah aku menjadi Muslim”, katanya sedih.
“Ali, bagaimanapun juga, mereka adalah orang tuamu, yang membesarkanmu!”
“Kau benar. Aku akan berusaha tetap baik pada mereka, meskipun aku tahu, ketika dulu aku ceritakan bahwa sahabatku seorang Muslim, bukan main marah mereka”.
Aku jadi tercenung.
“Yusuf”, sapa Ali lagi. Aku menengok.
“Tidak mungkinkah kau membantuku … “, dia agak malu.
“Membantu apa?”
Ali diam sebentar, berpikir, tapi kemudian katanya, “Membantuku mencarikan seorang istri buatku?”
“Hah?” Aku kaget.
“Ya, aku memang pernah gonta ganti pacar. Tapi biarlah itu masa laluku yang gelap. Di Eropa jelas susah mendapatkan wanita yang mengerti akan kemuslimanku. Mereka sudah terlanjur mendapat gambaran klise: Islam merendahkan wanita”.
Aku benar-benar bingung. Aku sendiri belum menikah, eh kini diminta orang mencarikan isteri. Siapa ya? Adikku masih kecil. Apa sanggup anak berusia 13 tahun menjadi isteri, di Luar Negeri lagi. Ah tidak. Akhirnya aku menghubungi ustadz. Dan entah dari mana, ustadz mendapat ilham untuk menawarkan Fatimah, gadis yatim piatu yang ada di bawah tanggungannya.
“Bagaimana dengan Fatimah?”, tanyaku ke Ali.
“Ya kenapa tidak?”, jawab Ali gembira.
“Tak apa, dia tak cantik, tak menarik seperti pacar-pacarmu dulu, dia juga tak berpendidikan tinggi”, aku coba meyakinkan.
Ali tertawa, “Yusuf, bukankah kau sendiri yang dulu mengajariku, seorang budak yang hitam legam, tapi mukmin, jauh lebih berharga dari wanita yang cantik berkulit kuning langsat, tapi berhati bangsat”
“Jadi kau ambil Fatimah?”
“Segera!”, katanya.
Kami berpelukan.
Ya, benar-benar sebuah proses singkat. Tanpa pacaran, tanpa apa-apa. Ali yakin pada kesaksian ustadz akan ahlaq baik Fatimah. Setelah ijab qobul, berlangsung pesta sederhana di rumah ustadz. Benar-benar sederhana meski pengantin pria seorang Eropa. Sama sekali tak ada keinginan Ali mencoba perkawinan adat Solo atau Yogya yang penuh mistik itu. Dan seminggu kemudian, jadilah kami kembali ke Austria. Ya, liburan yang tiga bulan itu telah merubah hidup Robert Hoffmann.
“Kriiiing” suara telepon menyadarkanku dari lamunan.
“Yusuf”. “Assalaamu ‘alaikum, Ali Hoffmann di sini, Alhamdulillah saya baik-baik saja, maaf kendaraan kami mengalami kerusakan di jalan sehingga radionya tak bisa mengudara. Sekarang kami sudah di Kroasia, sudah aman, Insya Allah, dua hari lagi kami sampai di Wina”
“Alhamdulillah. Kami sudah cemas saja. Sudah telepon istrimu belum?”
“Tentu. Maaf ya, ini koinku habis. Assalamu’alaikum!”
Pintu diketuk. Ketika Ulfah membukanya, Fatimah langsung menubruknya dan menangis gembira.