Beyond the Scientific Way

Fahmi Amhar Official Blog

Archive for the ‘Goresan’ Category

Belajar Memasak Seperti Tukang Sihir

Monday, November 19th, 2012
Kupat tahu Magelang, sehat & mak nyus

Kupat tahu Magelang, sehat & mak nyus

Sepandai apa Anda bisa memasak?  Sebatas bikin nasi dengan rice-cooker, mie instant dan telor ceplok?  Mau sepuluh tahun hidup nyaris hanya dengan nasi, mie instant dan telor ceplok?

Jelek-jelek begini, saya bisa memasak lebih dari 20 macam resep (di luar yang instant-instant), meskipun tentu saja tidak sejago master chef William Wongso atau Farah Quinn 🙂

Saya belajar memasak pertama kali itu tahun 1976 (kelas 3 SD), karena di sekolah ada acara masak-memasak. Kelompok saya wajib membuat bakwan. Waktu itu, karena pertama kali, saya minta tolong ibu saya menyiapkan bumbu-bumbunya di rumah, terus resep (urutan) yang harus dilakukan.  Wah repot sekali, membawa ke sekolah penggorengan, minyak goreng, bahan-bahan bakwan berikut tungku (anglo) dan arang (karena waktu itu kami belum ada yang punya kompor gas, apalagi elpiji 3 kg).

Tapi memang saat itu, sebagai anak laki-laki, saya jarang diajak belajar memasak.  Terakhir waktu camping pramuka SMA, saya terpaksa belajar menyiapkan makan satu regu.  Sempat sih bikin nasi goreng dan telor dadar, meskipun rasanya nggak rata.  Habis itu, teman-teman dan saya sendiri lebih suka jajan di warung terdekat saja.  Dengar-dengar anak pramuka jaman sekarang lebih “enak” lagi.  Di arena jambore nasional pun sekarang ada banyak restoran cepat saji seperti McDonald, KFC, Pizza Hut, dsb.

Tapi ketika akhirnya tahun 1987 saya harus kuliah di Austria, saya tiba-tiba harus belajar memasak.  Otodidak !!!   Ceritanya begini:

Hari pertama makan, saya langsung schock dengan harga makanan di sana.  Tahun 1987, makan kenyang di kantin Goethe Institut Jakarta itu cuma Rp. 1000,-  Nah di kantin Universitaet Innsbruck, itu menu termurah 40 [Austrian] Schilling, yang dengan kurs saat itu sekitar Rp. 7000,-  Jadi tujuh kali lipat.  Beasiswa saya di Austria memang juga sekitar 7-8 kali lipat penghasilan saya di Jakarta (dari gaji dan tunjangan kursus).  Akhirnya, biar tidak terlalu mikirin, saya menganggap kurs 1 Schilling bukan Rp. 175, tapi seolah-olah cuma Rp. 25.  Jadi 40 Schilling ya kira-kira sama dengan Rp. 1000,- 🙂  Beasiswa saya saat itu 7000 Schilling. Kalau saya tiap kali makan habis 40 Schilling, kalau sehari 3 kali, itu 120 Schilling, sebulan sudah 3600 Schilling.  Padahal untuk sewa kamar sudah 3000 Schilling.  Untuk abonemen bus kota sebulan 500 Schilling.  Untuk beli buku ?  Untuk beli baju winter ?  wow, bangkrut … 🙁

Persoalan kedua, saya sering tidak mengerti komposisi menu di kantin.  Pernah makan sudah enak-enak gitu (karena lapar), tiba-tiba ada teman basa-basi tanya ke pelayan, “Mbak, ini koq enak resepnya apa?” – Terus si Mbak bilang, “itu pakai speck Mas”.  Speck itu apa sih?  Lemak Babi !  Waduh.  Saya cari di ensiklopedi, benar, speck hanya bisa dibuat dari lemak babi atau lemak ikan paus.  Tapi Austria tidak punya laut.  Wah jadi pasti dari lemak babi.  Repot memang kalau makan di tempat orang, sekalipun enak.

Akhirnya saya mulai coba-coba masak.  Repotnya, di kota Innsbruck, yang tidak punya banyak komunitas Asia, nyaris tidak ada yang jual mie instant.  Pernah di sebuah toko yang saya mendapatkan sebungkus “nasi goreng instant”, tentu saja nasinya harus ditanak dulu, sedang bumbu sudah siap.  Tapi harganya sangat mahal (hampir 75 Schilling untuk seporsi nasi goreng).  Akhirnya malah saya terlalu sayang untuk memasaknya.  Apalagi kemudian saya mulai belajar masak nasi goreng tanpa bumbu instant.

Pada awalnya, bumbu masak saya untuk bermacam-macam hal nyaris sama.  Ada irisan bawang bombay, ada garam, ada bubuk merica dikit, semua dimasukkan ke sedikit minyak goreng, baru kemudian ditambah macam-macam.  Kalau bikin nasi goreng, di atas bumbu tadi dimasukkan telor, diaduk-aduk sebentar, lalu dimasukkan nasi, lalu saus tomat.  Kecap di Innsbruck tidak ada, jadi saus tomat saja yang selalu ada.  Kalau masak dengan daging, maka di atas bumbu tadi dimasukkan rebusan daging ayam atau daging sapi, lalu dituang saus tomat juga.  Kadang semuanya dicampur, jadi nasi goreng ayam, atau nasi goreng daging … Pokoknya lezat dech …

Kemudian saya mulai belajar bikin yang lain.  Paru sapi di Austria sangat murah.  Saya beli, diiris tipis-tipis, dikeringkan di oven, terus dimasukkan ke adukan tepung beras yang telah dicampur garam dan bubuk bawang (knoblauch), digoreng, jadilah peyek paru.  Wah, ternyata orang bule juga suka.

Lalu bikin mie.  Karena tidak ada mie instant, saya bikin mie dari spagheti.  Setelah direbus sampai lunak, saya olah spagheti tadi seperti bikin nasi goreng.  Jadi yang dimasukkan bukan nasi tetapi spaghetti.  Kalau dibuat mie kuah, ya tinggal dicampuri air atau susu.  Biasanya juga ditambah potongan daging.  Kalau tetap dibuat spaghetti, ya tinggal dikasih daging cacah goreng dalam saus tomat terus dikasih parutan keju.

Yang paling heboh adalah bikin soup.  Awalnya sama, irisan bawang bombay, garam, merica, terus masuk rebusan daging, kaldu ayam Maggie, sayuran (buncis, wortel, kubis, erbsen, terong, tauge), kadang juga sarden tuna, saus tomat, dll.  Teman-teman saya kadang bilang, “Fahmi, kamu bikin ramuan tukang sihir ya?  Tapi sepertinya lezat.  Nanti kalau saya cicipin, lalu saya berubah jadi kodok, semua tahu lho ya, siapa penyebabnya …. ” :-D.

Pas bulan puasa, saya juga bisa bikin kolak roti atau kolak pisang.  Tetapi karena tidak ada gula merah (gula jawa), saya pakai coklat untuk memasak !!! Sedang santan kelapa diganti dengan susu !!!  Pisangnya juga pakai pisang ambon.  Tetapi tetap enak dan khusyu’ lah.

Beberapa bahan memang bikin sendiri. Taoge ya bikin sendiri, di pasar Innsbruck tidak ada yang jual.  Telor asin juga bikin sendiri. Tapi mau mencoba bikin telor asin madu belum kesempatan.  Yang jelas, hampir tiap hari saya memasak.  Kalau hari-hari kuliah, pukul 6 pagi saya sudah memasak.  Lama-lama saya bisa masak cepat, sekalipun tidak instan.  Alokasi waktunya maksimum 30 menit.  Sering cukup 10-15 menit saja.  Nanti masakan itu dibagi 3: 1 buat sarapan, 1 buat bekal ke campus, 1 disimpan buat makan malam.  Akibatnya, bibi cleaning service-nya nyeletuk, “Fahmi, kamu ini tiap hari makan kayak raja ya?”  — soalnya, orang-orang bule kalau ke dapur paling hanya bikin teh atau paling jauh telor dadar.  Ah bibi nggak tahu saja, ini kan demi penghematan dan pencarian yang halal.  Dengan masak sendiri begini, pengeluaran saya untuk makanan bisa ditekan hingga di bawah 800 Schilling sebulan.  Itupun kadang-kadang saya masing menraktir teman makan di tempat saya.

Akhirnya inilah yang saya bisa masak:

1. Nasi goreng (berikut variannya: nasi goreng ayam, nasi goreng daging)
2. Mie goreng (berikut variannya: mie goreng ayam, mie goreng daging)
3. Spaghetti (hampir mirip mie, cuma ada daging cacahnya & parutan keju)
4. Soup (soup ayam, soup daging)
5. Daging berbumbu (kalau di Austria disebut “Gulasch”, kadang dari hati sapi atau ikan)
6. Daging goreng atau ikan goreng (digoreng doang, goreng tepung)
7. Sate (tapi dibakar di atas kompor listrik)
8. Pizza (tepi adonan tepungnya kadang kurang mantap)
9. Sandwich (roti isi daging, sayuran, kadang juga sarden tuna dll).
10. Burger atau Kebab (mirip juga, roti disisipi sosis panggang)
11. Peyek (peyek paru, peyek kacang)
12. Aneka telor (telor dadar, telor ceplok, telor orak-arik)
13. Gado-gado (sayuran dikasih larutan bubuk kacang)
14. Aneka salad (sayuran dikasih mayonaise)
15. Aneka sambal (dari cabe kering italia, diblender, dicampur tomat, atau ikan, dsb …)
16. Kolak (kolak roti, kolak pisang)

Ketika tahun 1989 pindah ke Vienna, di sana ada banyak toko Asia.  Soal bumbu tidak perlu improvisasi lagi.  Jadi dech, dunia kuliner diperluas.  Kita coba bikin lumpia, karena kulit lumpianya dijual. Lalu juga semur ayam (atau ayam kecap, wah gak terlalu tahu bedanya).  Terus makaroni panggang.  Kupat tahu Magelang (tapi tahu di Austria lebih mahal dari daging !!!).  Aneka bakso. (mau bakso ikan, bakso ayam, bakso sapi, sudah ada, walaupun bikin sendiri juga bisa, tapi males).  Terus gule atau karee (tapi ini mulai pakai bumbu jadi he he … :-).   Intinya petualangan kuliner ternyata cukup mengasyikkan.  Apalagi ketika kita mencoba resep penemuan kita sendiri.  Yang penting halal, murah, sehat, lezat dan cepat.  Walaupun sekilas seperti tukang sihir bikin ramuan ajaib.  Tetapi ketika saya kemudian menikah, istri saya yang meneruskannya.

Gara-gara lebih sering masak sendiri begini, hingga 10 tahun saya di Austria, saya tetap saja tidak familier dengan kantin campus, baik dari segi menunya maupun harganya.  Kalau ada tamu dari Indonesia, saya dan kawan-kawan lebih percaya diri masak sendiri dan menjamu mereka.  Ada kawan, dosen dari Makassar yang ternyata pintar bikin Coto Makassar.  Sedang teman dosen dari Jogja lebih suka bikin rawon.  Kami memasak bersama-sama, jadilah kombinasi menu yang istimewa, yang pasti halal, murah, tidak pakai ngantri, bahkan saking semangatnya, di sela-sela makanan sempat kita kasih bendera merah putih kecil. Kayaknya boleh-boleh saja pakai nasionalisme kalau cuma urusan selera kuliner 🙂

Belajar Mencintai Puisi Sejak Dini

Monday, November 5th, 2012

Apakah ada bedanya, jika anak mencintai sastra sejak dini, khususnya puisi ?

Punya pengalaman pribadi, mungkin adik Anda, anak Anda atau Anda sendiri ?

Saya mendengar pendapat di atas tahun 1982, di sebuah seminar di kampus Universitas Tidar Magelang.  Kami anak-anak SMP dilibatkan untuk meramaikan.

Tapi sesungguhnya, saya mulai belajar membaca puisi sejak tahun 1977.  Ketika itu saya baru kelas 4 SD, oleh sekolah ditunjuk untuk ikut latihan buat lomba baca puisi bersama-sama beberapa anak kelas 5 dan kelas 6.   Ada seorang ibu guru yang melatih di rumahnya.  Saya yang paling kecil, berusaha memenuhi tugas itu, sekalipun sering berangkat ke rumah bu guru sambil naik sepeda hujan-hujanan.  Saya masih ingat judul puisi pertama yang saya pelajari itu.  Judulnya PAHLAWAN TAK DIKENAL, karya Toto Sudarto Bachtiar.

Sepuluh tahun yang lalu dia terbaring

Tetapi bukan tidur, sayang

Sebuah lubang peluru bundar di dadanya

Senyum bekunya mau berkata, kita sedang perang

Ternyata,  sayalah akhirnya yang dikirim ke lomba antar sekolah.  Di sana ya lucu-lucu.  Ada yang mimik mukanya tanpa ekspresi.  Ada yang ketika mengucapkan “peluru bundar”, tangannya melingkar seperti anak menyanyi “topi saya bundar”.  Ada yang belum-belum sudah menangis …

Alhamdulillah, saya seharian di arena lomba.  Disuruh baca lagi dan lagi.  Sampai bosan.  Ujung-ujungnya ternyata saya juara 3 se kotamadya.  Yang juara 1 dan 2 dikirim ke tingkat di atasnya, entah karesidenan atau provinsi.  Meski stop di situ (dan cuma disebutkan juara 3, tidak ada piagam, piala atau hadiah lainnya), tetapi sejak itu saya jadi mencintai puisi.  Apalagi kalau dapat kumpulan puisi yang bagus-bagus, semacam karya Taufik Ismail atau WS Rendra.

Saya bahkan lalu mulai menulis puisi.  Cuma karena saya bukan Abdurrahman Faiz yang dibesarkan oleh sastrawati Bunda Helvy Tiana Rosa, puisi-puisi saya berceceran tidak rapi.  Setelah 35 tahun sebagian kecil berhasil saya kumpulkan lagi, ada yang masih tertulis pada buku jaman SD yang belum sempat dibuang.  Ada yang di kartu ucapan yang biasanya selalu saya tulisi puisi.  Entah kenapa kartu ucapan itu masih ada rumah, mungkin tidak jadi dikirim.

Ide puisi kadang muncul begitu saja.  Kalau orang lain menyalurkan energi kekesalan atau kemarahan mereka dengan teriak-teriak, saya menyalurkannya dengan menulis puisi …  Contohnya puisi berikut ini, ketika saya kesal melihat tingkah jama’ah pengajian yang menurut saya kurang proporsional.

 

Di dalam Khotbah

 

Orang-orang bersimpuh

Ada yang mendengar dengan patuh

Ada yang kisruh

 

Kalau yang pernah mondok bersua

Tanpa komentar mereka datang bersama, berlama

Mereka taqlid tak sanggup angkat muka

 

Kalau dari luar yang bicara

Berjubel massa

Ingin menimba, mendegar atau memirsa

Atau mengamin doa saja

Ada pula cuma mengintip lewat kamera

 

Kalau orang kantoran yang bersorah

Mereka bosan, ngantuk ingin pulang saja

Rasanya nan belajar matematika

 

Teredam segala karya dan karsa

Terbenam di bawah hawa selera

 

Deru kobar semangat dari rakyat yang tahu adat

Dari hati yang mengaku ilmu-ilmu sehitam bulu

Tapi hadapi ini mereka tak mau mampu

Tapi hadapi itu mereka enggan bersatu

 

(Masjid Jami’ Magelang, Februari 1983)

 

Ketika saya SMP, saya juga mulai mengirimkan puisi saya ke media massa.  Ini puisi saya paling pertama yang dimuat:

 

Doa Husni

 

Dan mushola ini sudah berbercak

Acak

Langit bergayut sawang

Lantai pecah retak

Dinding mangkak

Sudut-sudut kuning Bacin

 

Dan mushola ini penuh manusia

bukan sholat bukan berdoa

Tapi arak, judi dan zina

Saat berebut hasil jasa

 

Dan mushola ini semakin jauh

Hati-hati yang rapuh

Akan luruh

Dicengkam rusuh

 

Dan mushola ini semakin sepi

Tak ada umat tak ada kiai

Malu dan tabu menyelimuti

Tinggallah doa Husni

Mengalun sepi

Menyendiri di malam sunyi

 

(Magelang, 21 Maret 1983)

(dimuat di majalah Zaman, 4 Juni 1983)

Ketika saya SMA, puisi itu saya coba pasang di majalah dinding.  Oleh guru Bahasa Indonesia diminta dilepas, takut ada unsur SARA.  Guru tersebut kebetulan non muslim.  Padahal puisi itu sudah dimuat di media nasional.  Sebenarnyalah, kejadian yang dilukiskan dalam puisi itu adalah kisah nyata.  Ada mushola yang mengalami nasib mengenaskan seperti itu.  Dan iman saya yang paling lemah hanya bisa menuliskannya menjadi sebuah puisi.

Saya juga lalu gemar membaca tafsir-tarjamah Qur’an gaya puitisasi dari HB Yassin.  Meskipun ada orang yang keberatan Qur’an dibaca secara puitis, tapi kalau itu justru mendekatkan pendengarnya pada Qur’an, pada Allah, pada keindahan Islam, terus di mana salahnya?

Cinta puisi ini berjalan terus hingga sekarang.  Tapi puisi tidak bisa direkayasa atau dibuat mengejar tayang atau mengejar “Tahun Anggaran”.  Puisi bisa keluar kalau ada mood, bisa getar sejarah di sebuah lokasi, bisa ketegangan peristiwa, bisa energi-energi lain yang sulit tersalurkan.  Misalnya ini, puisi ketika saya berada di Masjid Nabawi, Madinah, tahun 1994.

Dari relung-relung Masjid Nabawi

Aku bayangkan

Aku bersujud di tempat dulu Abu Bakar bersujud

di antara rumah Nabi dan mimbarnya

yang konon adalah secuil dari taman-taman surga

 

Aku bayangkan

Aku berdiri di tempat dulu ‘Umar berdiri

Tegar menghadang pasukan kufar di medan Badar

Tegar membedakan yang ma’ruf dari yang munkar

 

Aku bayangkan

Aku belanja di tempat dulu ‘Utsman berniaga

Ketika musim paceklik panjang melanda

Lalu tiba-tiba dagangannya dia sedekahkan semua

Karena katanya Allah telah membelinya

 

Aku bayangkan

Aku mengaji di tempat dulu ‘Ali mengaji

Memahat ayat-ayat suci

Ke dasar hati ke lubuk nurani

Untuk bekal hari ini dan sesudah mati

 

Aku bayangkan

Aku menjadi sahabat setia nabi

meski tak pernah kujumpa bahkan dalam mimpi

tapi aku rasakan kehadirannya tak cuma di masjid ini

(Masjid Nabawi, 1994)

 

 

Meskipun puisi itu saya tulis sendiri, tetapi setiap saya baca kembali, saya merasakan kembali getaran Masjid Nabawi atau Kota Madinah, yang bisa membuat saya merinding dan menangis.  Apakah Anda merasakannya juga?

Kemudian ketika suasana dalam sebuah diskusi Islam begitu memanas, ketika kalangan sekuler-liberal yang merasa di atas angin kelihatan sangat bernapsu menghajar kalangan pro-syariah, saya akhirnya memutuskan mengangkat tangan, tidak untuk bertanya atau menyanggah, tetapi untuk membacakan puisi ini:

Kalau ide khilafah dianggap mengotori

 

kalau ide khilafah dianggap ide kotor dan mengotori,

maka mau dibawa kemana kenangan manis ummat ini,

pada Khulafaur Rasyidin dari Abu Bakar hingga Ali,

pada zaman keemasan Bagdad dan Cordova di Andalusi,

juga Khilafah Utsmani saat membantu Aceh di ujung sini,

ketika menghadapi Portugis yang ingin menjajah negeri ini.

 

Kalau ide khilafah itu ide kotor yang harus dibuang,

mau dibawa ke mana hadits-hadits yang cemerlang,

menyebutkan, bahwa Rasulullah berterus terang,  

— “Bani Israel diperintah oleh para nabi.   

—  Setiap satu nabi wafat, akan diangkat nabi yang lain.   

—  Namun setelahku tidak ada lagi nabi,   

—  Namun akan ada banyak khalifah silih berganti”.

—  “Lalu apa kewajiban kami?” tanya sahabat menantang. 

—   “Penuhi bai’at yang pertama”, kata nabi dengan tenang.

Bila khalifah mempersatukan, maka mereka akan menang.

 

Dan kalau ide khilafah itu ide sesat dan menyesatkan,

terus dengan ide apa umat ini akan dibangkitkan?

terus dengan apa agama ini akan dipertahankan?

terus dengan apa missi merahmati alam ini akan disebarkan?

Apakah sekulerisme dan demokrasi yang dianggap kawan?

Siapa sekulerist dan demokrat yang pantas dijadikan teladan?

Siapakah yang sukses dunianya dan di surga bertemu Tuhan?

Kami ingin pencerahan ..

 

Demikian juga dalam sebuah aksi tolak kekerasan atas nama agama, di mana berbagai pihak lebih suka berhadap-hadapan dan melupakan substansi persoalannya, saya mencoba mengetuk pintu hati orang-orang dengan cara yang berbeda:

Kalau saja hati kita seperti kaca

Kalau HIV adalah wabah yang menyerbu kampung kita,

Tentu cerdas bila sang Ustadz menyentil dalam khutbahnya,

Namun lebih cerdas lagi, bila ia tempatkan dalam konteksnya,

karena HIV bukanlah fenomena lokal semata,

maka menangkalnya perlu sinergi dari ketaqwaan manusia,

kontrol sosial lingkungannya, dan kepedulian negara,

bahkan lintas negara karena global cakupannya.

 

Kalau pelacuran adalah malapetaka kota kita,

Tentu syar’ie mengupasnya di majlis-majlis dzikir di sana,

Namun lebih syar’ie untuk membahasnya tak sekedar dari dosa dan pahala,

Karena bisnis tertua itu adalah limbah dari sistem ekonomi yang berkuasa,

Yang menindas hak-hak kaum dhuafa dan mencampakkan peran keluarga,

Maka harus dari segala mata angin penangkalnya,

Mulai dari diri sendiri, termasuk dari diri para penguasa.

 

Kalau Imam Samudra sudah mengakui dialah pelakunya,

Tentu cerdas bila sang Ustadz mencegah pelaku berikutnya,

Karena aksi-aksi teror mereka bukanlah jihad yang sejatinya,

Mungkin radikalitas mereka hanya diperalat agen-agen maya,

Yang tak pernah dapat kita bongkar jati dirinya,

Sebab kita selalu menghindar berpikir ke sana.

 

Kalau Al-Faruq & Hambali dibawa ke depan kita buat bicara,

Siapa sesungguhnya mereka dan majikan yang menyuruhnya,

Tentu akan jelas semua duduk perkaranya,

Mungkin pada Israel dan Amerika tak perlu kita curiga,

Namun ada apa di balik semua kabut dan rahasia,

Yang mungkin tak kan terkuak berabad lamanya.

 

Kalau saja Islam cukup didakwahkan tanpa negara,

Tentu tak perlu Allah menurunkan beberapa ayatnya,

Yang ayat itu tak mungkin tanpa negara akan terlaksana,

Tentu tak perlu Rasul mencari Nushroh ke beberapa kabilah yang berkuasa,

Yang dengan itu sebuah sistem baru akan dikawalnya,

Namun sebuah negara tentu bukan  sekedar jargon sederhana,

Di dalamnya diperlukan kelengkapan maha rumit dan tertata,

Di dalamnya diperlukan manusia-manusia yang tak hanya bisa bicara,

Namun juga ihlas berkorban dan cerdas bekerja.

 

Kalau saja kita punya cukup waktu untuk duduk bersama,

Serta hati yang jernih untuk menyelami persoalan rumit agar jadi sederhana,

Tentu kita tidak perlu berkepala panas dan mulut hingga berbusa-busa,

Tentu kita tidak perlu kepada saudara kita berburuk sangka,

Karena kita masing-masing punya masa lalu yang berbeda,

Dengan endapan pengetahuan dan pengalaman aneka rupa,

Karena mungkin yang kita tahu tak lebih seujung kuku saja,

Atau boleh jadi apa yang kita sangka lawan kita perlu baca,

justru santapan kesukaannya di kala muda,

Karena boleh jadi apa yang kita yakini bermasa lamanya,

Besok berubah drastis karena secercah cahaya di dalam sukma,

Sebagaimana Umar bin Khattab yang memusuhi Nabi hingga ubun-ubunnya,

Tiba-tiba menjadi pembela Islam yang paling terpercaya.

 

Kalau saja kita masih diberi usia senafas lamanya,

Tentu kita ingin nafas kita itu berjuta maknanya,

Bermanfaat bagi manusia tanpa pandang siapa Tuhan mereka,

Karena Baginda Rasul mencontohi begitu rupa,

Karena para Sahabat adalah generasi terkemuka,

Yang Allah ridha pada mereka, dan penghuni langit mendoakannya,

Tentu kita harus kaji mendalam segala reniknya,

Dengan hati bening untuk menerima kebenarannya,

Sekalipun jerit nafsu kita ingin menolaknya.

 

(mus-lim@isnet.org 2004-10-05).

 

Ya, rupanya memang mencintai puisi sejak dini telah membuat saya menjadi sosok yang berbeda.

Alhamdulillah.

Belajar Mengenali Hobby untuk dimiliki

Friday, October 19th, 2012

Apa hobby Anda?

Apa pekerjaan Anda?

Apa pendidikan Anda ?

Apa cita-cita Anda ?

Apakah hobby Anda relevan dengan pekerjaan Anda?  Sejauh apa?

Kadang orang sengaja mencari hobby yang sama sekali berbeda dengan pekerjaan.  Katanya biar bisa punya dunia yang berbeda.  Biar ada keseimbangan.  Pekerjaannya dosen matematika, hobbynya menciptakan puisi.  Pekerjaannya dokter spesialis kandungan, hobbynya karate.  Pekerjaannya peneliti kimia anorganik, hobbynya main piano, bahasa asing, dan olahraga menembak.

Sebaliknya ada yang sengaja mencari hobby yang dekat dengan pekerjaan.  Alasannya, sebenarnya dia tidak ingin merasa bekerja, dia ingin punya hobby yang menghasilkan.  Pekerjaannya survey, hobbynya fotografi.  Dia bisa mencari objek fotografi di manapun dia ditugaskan survey.  Pekerjaannya kolumnis media, hobbynya travelling.  Jadilah dia pengembara sambil membuat tulisan travelling.  Pekerjaannya pedagang, hobbynya berdakwah.  Jadilah setiap orang yang melihat-lihat barang dagangannya diajak ngobrol-ngobrol untuk menyebarkan pemahaman keagamaannya.

Hobby anak-anak

Hobby anak-anak

Asal muasal seseorang memiliki hobby memang beraneka ragam.  Dan hobby pun berubah-ubah tergantung peluang dan tuntutan keadaan, juga bacaan, teman-teman dan lingkungan.  Apa hobby pertama Anda, adik Anda atau anak Anda ?  Anak kecil kalau ditanya hobby biasanya menjawab “bernyanyi”, “menggambar”, atau “bermain bola”.  Agak besar sedikit akan menjawab “membaca”, “nonton kartun”, atau “main computer-games”.  Mungkin tidak banyak yang menjawab hobby “memasak”, “main sepatu roda akrobatik” atau “astronomi”.

Hobby adalah aktivitas “mengisi waktu senggang” yang ditekuni untuk beberapa lama, sehingga dalam beberapa hal menjadi habbit juga.   Batasan menekuninya adalah tiga tahun terus menerus.  Kalau aktivitas senggang itu dilakukan 1 jam per hari, maka tiga tahun kira-kira sudah 1000 jam.  Memang belum bisa melahirkan seorang expert (yang ini perlu 10000 jam! dan biasanya tak lagi kelas “hobby”, tapi “profi”), tetapi jelas hobbyist sudah lebih mahir dari orang yang mencoba sekali-sekali.  Hobbyist sepatu roda tidak hanya main sepatu roda ketika teman-temannya lagi musim main sepatu roda.  Dia akan mengembangkan kemampuannya sampai bisa melakukan banyak sekali hal dengan sepatu rodanya itu.  Ada hobby astronomi yang benar-benar memiliki reputasi tinggi di dunia astronomi, lebih dari orang yang memang profesinya astronom.  Pekerjaan tetapnya sendiri malah jualan di toko atau sopir.  Demikian juga ada hobby hacker (penjebol jaringan komputer), yang pendidikan dan profesinya malah astronom, bukan IT.  Dunia sudah campur aduk.

Ketika saya SD, saya memulai hobby koleksi perangko (filateli).  Dan ternyata hobby ini saya bawa sampai saya kuiliah di Luar Negeri.  Sekarang hobby ini sudah sangat jarang saya sentuh lagi, apalagi teknologi sekarang sudah berganti dengan sms dan email.  Tapi ada tahun-tahun ketika banyak orang yang saya kenal saya tanya apakah mereka memiliki perangko bekas?  Sebagian ternyata bahkan juga kolektor, sehingga kami barter koleksi.  Saya pernah memiliki sampai 20 album perangko dari seluruh dunia.  Hebatnya, nyaris tidak ada perangko yang beli.  Semua didapatkan dari tukar menukar dan dari hadiah.  Teman, saudara, atau temannya saudara yang tahu saya punya hobby filateli sering membawa oleh-oleh perangko bekas ketika mereka ke luar negeri.  Setiap melihat koleksi itu, saya teringat dengan sosok baik hati yang menjadi jalannya.  Saya belajar melepas perangko itu dari amplopnya dengan merendamnya di air lalu mengeringkannya di tempat teduh, merawatnya dengan memberi tepung, memasukkannya dalam album, atau membuatnya hiasan yang menarik, misalnya dalam sebuah pigura atau vas bunga.  Saya juga belajar banyak negara di dunia dari perangko.  Bahkan, ketika saya masih SD, saya sudah tahu bahwa OSTERREICH adalah Austria, HELVETICA adalah Swiss, CCCP adalah Soviet.  Dan perangko yang tidak ada nama negaranya hanyalah perangko Inggris!

Filateli

Filateli

Selain perangko, saya pernah juga mengumpulkan kartu telepon (phonecard), uang coin, uang kertas yang sudah tidak laku, dan kertas surat.  Tetapi ternyata yang ini tidak berkembang seperti halnya perangko.  Mungkin karena ilmu yang didapat berbeda.   Waktu itu saya tidak berpikir bahwa boleh jadi, semua koleksi ini suatu saat akan menjadi investasi yang sangat mahal.  Saya melakukannya karena mengasyikkan saja.

Setelah itu, saya pernah punya hobby elektronika.  Ini sejak kelas 1 SMP.  Di sekolah memang ada pelajaran ketrampilan elektronika, tetapi yang membuat elektronika menjadi hobby adalah seorang teman saya.  Ternyata dia sejak SD sudah memiliki hobby itu.  Asyik sekali melihat seorang anak SMP sudah bisa membuat  alarm maling sendiri, handy talky sendiri, bahkan pemancar radio sendiri.  Pemancarnya bahkan saat itu begitu kuat, sehingga kalau mau, radio lain bisa di-jam di area satu desa.  Dan itu tahun 1980!  Saya meminjam buku-bukunya untuk disalin (karena saat itu fotocopy masih relatif mahal), lalu sejak itu tertarik mengklipping rubrik elektronika dari suatu surat kabar.  Kemudian mencoba sendiri.  Dengan sembunyi-sembunyi, saya membeli AVO-meter sendiri dengan tabungan saya seharga Rp. 10.000.  Kalau Ibu saya tahu uang sebanyak itu untuk beli AVO-meter, saya mungkin akan sangat dimarahinya.  Uang itu seharga emas 1 gram saat itu.  Kalau tak salah, saat itu gaji guru anyar masih Rp. 25.000 !

 

Elektronika

Elektronika

Rupanya hobby elektronika itu memupuk bakat saya sebagai peneliti.  Sepulang sekolah, saya betah asyik duduk berjam-jam merangkai berbagai komponen, menyoldernya, lalu mencobanya sambil ukur sana-sini.  Dan ini bisa saya lakukan sambil menjaga warung sembako ibu saya.  Saya terinspirasi kisah Thomas Alva Edison yang membuat “lab” di gerbong kereta api yang berjalan, tempat dia berdagang asongan.

Saya mencoba mengembangkan amplifier model baru, radio mini yang dimasukkan tempat sabun, lampu “peramal” (karena setelah dibacain “mantra” lalu bisa kelap-kelip), juga mencoba membuat kompor listrik efisiensi tinggi, alat stimulator ikan (dengan memasukkan strom aneka tegangan dan frekuensi ke akuarium), dan sebagainya.  Kendalanya saat itu, banyak komponen elektronik yang tidak bisa didapat di kota kecil Magelang.  Lebih dari itu, di Magelang sangat sulit mencari mahasiswa teknik elektro yang bisa ditanya-tanya …  Namun hobby itu bertahan cukup lama.  Sewaktu di Austria, saya sangat menyadari kalau tenaga service di sana sangat mahal.  Ketika komputer saya rusak, saya merasa lebih menguntungkan membeli buku dan perlengkapan service komputer, lalu perbaiki sendiri!  Sampai sekarangpun, meski akhirnya saya menjadi profesor sistem informasi spasial, saya masih terobsesi untuk kembali menciptakan alat-alat elektronik unik yang siapa tahu bisa dipatenkan dan lalu diproduksi massal oleh perusahaan elektronik kelas dunia milik umat … 🙂

Di SMP pula, saya mendapat motivasi seorang guru Bahasa Indonesia yang inspiratif.  Guru itu menyuruh anak-anak bikin Majalah Dinding.  Isinya diharapkan orisinil, bukan klipping, bukan nyalin … Dan saya mulai merasakan asyiknya menulis sebuah “kisah-kisah lucu di kelas” atau “fantasi anak SMP”.  Saat di kelas 3 SMP, tulisan saya yang paling pertama, sebuah Cerpen Petualangan, muncul di Majalah Remaja Zaman (anak majalah Tempo).  Saya dapat honor Rp. 25.000.  Saya sujud syukur.  Kalau anak sekarang mungkin akan koprol sambil bilang Wow !  🙂   Uang itu hampir sama dengan gaji sebulan guru saya !   Saya jadi semakin punya keyakinan, bahwa menulis adalah sebuah hobby yang harus saya kuasai dengan baik, karena bisa untuk gantungan hidup saya kelak.  Saya menulis puisi, novel, features, reportase kegiatan sekolah, juga mengikuti puluhan lomba mengarang / menulis ilmiah.  Apalagi saat itu saya sudah lancar mengetik.  Lomba Karya Tulis Ilmiah yang pertama kali saya menangkan adalah Lomba tingkat Nasional yang disponsori Cerebrovit.  Hadiahnya Rp. 250.000 !   Itu tahun 1983, saya masih kelas 3 SMP.  Judul KTI saya “Pengaruh Hobby pada Kesehatan Mental Remaja”.  Sumber literaturnya: majalah-majalah “Dunia Hobby” yang dibeli di tukang loak.  Heran ya, kenapa majalah sebagus itu sekarang sudah tidak terbit lagi …

Tahun 1992, cerita bersambung saya muncul di Majalah Sabili.  Judulnya “Expedisi ke Bosnia”.  Waktu itu Perang Bosnia lagi ramai-ramainya.   Tetapi tokoh cerita saya belum syahid, majalah itu “syahid” duluan.  Tiarap, dan baru bangun lagi setelah Reformasi 1998.   Tetapi menurut Pemrednya, cerbung saya sempat mengangkat tiras Sabili cukup signifikan.  Itu salah satu jejak kesusasteraan saya … he he …  Sayang hingga 20 tahun setelahnya, ternyata masih banyak obsesi tulisan yang belum juga terwujud.  Banyak plot cerita yang telah saya susun sejak 30 tahun yang lalu yang ternyata belum jadi buku.  Pada kurun waktu yang sama, Hilman sudah membuat seratus atau lebih novel dan film LUPUS.  Andrea Hirata sudah menyalip dengan meluncurkan tetralogi Laskar Pelangi yang national best seller.  Dan J.K. Rowling sudah menjadi orang terkaya di Inggris setelah menyelesaikan 7 epics world bestseller Harry Potter.  Hidup memang tidak linear …

Di SMA saya mendapat mencoba mainan baru: sebuah kamera.  Ini berani beli karena saya sudah punya tabungan hasil mengarang.  Kamera saya pertama hanyalah Fujica M-1, kamera dengan lensa fokus fix 1 meter sampai tak terhingga, diafragma konstan pada angka 8 dan speed konstan pada angka 1/100 detik.  Artinya ya hasilnya tidak bisa tajam-cemerlang.  Harganya waktu itu Rp. 15.000.  Lumayanlah untuk main-main.  Walaupun mahal juga, karena mesti beli film, lalu cuci cetak foto.  Saya membaca buku-buku fotografi.  Bahkan sempat bikin kamar gelap untuk mengolah sendiri film dan mencetak foto.  Kadang bermain dengan film hitam putih atau film positif (slide).  Ternyata, meski kamera sederhana, kalau digunakan dengan cara-cara istimewa, hasilnya bisa istimewa pula.  Tetapi memang kamera ini ada keterbatasannya.  Akhirnya, dua tahun kemudian, saya membeli Ricoh RX-1 yang fokus, speeed dan diafragmanya bisa diatur, cuma lensanya belum bisa diganti.  Di sekolah dan di kampung, saya sering didapuk menjadi tukang foto acara atau seksi dokumentasi.  Banyak teman yang kakaknya menikah, mengundang saya menjadi fotografernya.  Jadi walaupun kameranya belum SLR, hasilnya sering bisa menjadi “alternatif”.  Pada berbagai acara di pesta di dalam ruangan, saya sering bereksperimen dengan pemotretan tanpa lampu blitz.  Hasilnya, lebih indah dari semua kamera yang lain.  Di sekolah, saya membuat kartu ucapan dengan latar belakang foto-foto unik bidikan saya.

Fotografi

Fotografi

Ketika saya ikut seleksi beasiswa ke Luar Negeri, semula saya berminat pada jurusan Fisika Nuklir atau Teknik Elektro.  Tetapi kemudian saya dipindah ke Teknik Geodesi.  Hal yang semula tidak begitu saya tahu.  Tetapi ketika saya temukan bahwa salah satu yang dipelajari di geodesi adalah ilmu fotogrametri, maka saya jadi tertarik.  Hobby fotografi saya akan tersalurkan!  Dan benarlah.  Fotogrametri adalah fotografi yang diolah secara matematis yang dieksekusi dengan programming komputer tingkat tinggi.   Saya lalu membeli kamera Yashica SLR dengan 2 lensa tele dan banyak varian filter.  Mantap.  Benar-benar seperti profi lah.  Kalau pergi-pergi survei ke atas gunung, meski sudah berat membawa instrumen survei (teodolit, statif), masih ditambah kamera SLR satu tas!  Ketika zaman beralih ke digital, rasa-rasanya hobby ini mau meledak.  Terlalu banyak yang sekarang bisa difoto tanpa keluar biaya lagi !!!  Tapi membawa SLR kemana-mana memang kurang praktis.  Akhirnya saya membawa kamera pocket yang cukup bagus (sekarang Canon, sebelumnya Nikon) yang hampir selalu ada di ikat pinggang atau di ransel saya.  Saya membuat koleksi foto tempat-tempat unik yang pernah saya kunjungi, juga flora, wajah anak-anak yang lucu, kuliner, bahkan ujud teknologi atau poster di pinggir jalan yang jarang kita lihat. Kalau saya ada urusan ke suatu kantor, lalu ada dokumen yang menarik, saya dengan cepat akan memutuskan memotretnya.  Walaupun itu 100 halaman!  Jauh lebih cepat daripada pergi ke tukang foto copy, dan belum tentu dokumen itu boleh dibawa keluar kantor.  Bahkan, kalau saya sedang didaulat untuk jadi pembicara seminar, sambil mendengarkan peserta bertanya, saya sering iseng memotret wajah audiens.  Orang-orang sering heran melihat seorang penceramah memotret audiensnya … 🙂  Ingin saya menyeleksi isi gudang foto jepretan saya itu untuk mendapatkan foto-foto terunik buat diikutikan kontes fotografi.  Tetapi rupanya aktiivitas saya yang lain masih banyak menyita perhatian.

Terus sejak kapan saya hobby “ngomong” ?  Hobby saya berbicara di depan publik, saat ini sangat membantu saya dalam berdakwah maupun mengajar.  Dan ini ternyata juga bermula di masa SMP.  Sesungguhnya ketika saya masih duduk di SD, saya cenderung pemalu dan penakut.  Teman-teman suka “mem-bully” saya, dan saya kadang mengadu kepada guru sambil menangis.  Tetapi di masa SMP, di masjid kampung, saya bertemu seorang mahasiswa yang inspiratif.  Dia yang aktivis HMI ini memprovokasi anak-anak ababil (anak baru labil) ini untuk jadi lebih militan, dengan dasar Islam, “awas, Islam sedang dipinggirkan”.  Mungkin mahasiswa ini kalau sekarang bisa dianggap “provokator Rohis & pintu masuk Teroris” … Waktu itu Orde Baru sedang perkasa-perkasanya, dan Ali Murtopo adalah intel yang menjadi Menteri Penerangan “Yang Maha Kuasa” … :-).

Di masjid itu bersama sejumlah anak-anak sebaya, saya ditantang untuk berani pidato di mimbar.  Apa yang saya dapat di luar sekolah itu seakan berresonansi dengan aktivitas di sekolah.  Saya didaulat untuk mengikuti latihan Patroli Keamanan Sekolah (PKS) di Polres, lalu menularkan ke sejumlah adik kelas di sekolah.  Jadi, masih di kelas 3 SMP, saya sudah “mengajar”.  Akhirnya sikat aja  …  Di SMA ini berlanjut.  Yang namanya hobby tidak bisa dibendung.  Terus sampai kuliah bahkan sampai kerja.  Meyakinkan orang atau berbicara di muka umum dengan ide yang lebih segar sudah menjadi panggilan.  Kalau tak ada yang berani maju mengisi kultum, ya saya maju saja!  Kalau yang khutbah mendadak absen, ya saya menyediakan diri jadi “Khatib tembak” …  Pokoknya kita terus mengupgrade diri dan mempersiapkan diri.  Lama-lama, bagaimana mengartikulasikan pikiran dengan runtut, tertata, sistematis, menjadi habbit.  Akhirnya kalau mengajar juga rapi.  Seminar juga rapi.  Training juga rapi.  Tema boleh gonta-ganti apa saja, isi semua rapi.  Kecuali kalau pesanannya salah atau miskomunikasi.  Pesan nasi uduk, eh yang dihidangkan malah bubur ayam.  Heran juga itu, nasi sudah menjadi bubur, koq malah dijual  … he he … 🙂

Jadi, hidup yang memang yang ideal itu memang harus menggabungkan antara HOBBY, PROFESI, dan OBSESI menjadi satu rangkaian.  Semua saling mendukung.  Apalagi kalau ditambah MENGHASILKAN … he he … Kalau sekedar profesi tanpa obsesi, monoton, tidak ada strongwhy untuk bersabar meraih kemajuan.  Sedang tanpa hobby, profesi apapun lama-lama benar-benar bikin bete.  Apalagi tidak menghasilkan, wah apes bener … 🙂