Beyond the Scientific Way

Fahmi Amhar Official Blog

Archive for the ‘Goresan’ Category

Belajar Membuat Undang-Undang

Wednesday, January 9th, 2013

Ini termasuk Note yang sudah lama sekali ingin saya tulis, bahkan mungkin menjadi sebuah buku yang perlu dipelajari oleh mahasiswa FH, FISIPOL, FT dan FG. Juga pelajaran buat generasi muda geospasial.  Mungkin saya tidak selesai menulis sekali, akan terus saya sempurnakan.

Tahun 2007, saya diminta masuk dalam sebuah tim beranggotakan 4 orang (“Tim 4 pendekar”) untuk membuatkan naskah akademis (NA) sebuah RUU.  Karena RUU itu kini sudah jadi UU, maka saya sebut saja, itu UU Informasi Geospasial (UU 4/2011).  Waktu itu, RUU itu sudah berusia 17 tahun (pertama kali digagas tahun 1990). Namanya masih RUU Tata Informasi Geografi Nasional (TIGNAS).   Tapi “gagal maning-gagal maning”.  🙂  Konon salah satu penyebabnya adalah naskah akademisnya kurang mantap.  Padahal konon naskah akademis itu sudah digarap oleh beberapa perguruan tinggi terkemuka, dibantu para senior di dunia survei dan pemetaan.  Memang ini UU yang sangat teknis, mungkin lebih mirip UU lalu lintas lah … Kalau bahasa fiqihnya, ini bukan “Qanun Tasyri’i” tetapi “Qanun Ijra’i” – yakni peraturan yang dibuat cukup dengan kesepakatan, yang hukum syar’i asalnya bersifat mubah.  Karena sifatnya teknis, maka saya tidak keberatan menggarap naskah akademisnya.  Nanti saya ceritakan mengapa kalau non teknis koq saya mungkin keberatan.

Ya, dari Tim 4 Pendekar ini, semua lulusan teknik geodesi.  Jadi semua insinyur!  Tiga orang sudah Doktor!  Semua masih di bawah 40 tahun.  Dan semua lulusan luar negeri, saya dari Austria, teman-teman lain dari Belanda, Amerika Serikat, Australia, ada juga yang ditambah sekolah di Jepang.  Tentu saja ada pendamping dari Biro Hukum yang SH, tapi perannya di Naskah Akademis tidak besar.  Belakangan saya minta ditambah 2 orang doktor geografi, keduanya juga alumni luar negeri (Jepang dan Jerman). Meski demikian, dalam perjalanannya, beberapa dari kami sempat diikutkan dalam training dan workshop legal drafting dari Kemenkumham.

LEGAL DRAFTING

Ketika kami mulai bekerja, tentu saja kami diberi bahan RUU yang sudah ada beserta NA yang pernah dibuat selama 17 tahun itu.  Tetapi sejujurnya, ketika kami melihat RUU-nya, rasanya kalau makanan seperti “tanpa garam, tanpa sambal, tanpa lauk, dan tanpa nasi”.  Lho memang makanan apa ya ? 🙂  Gak enak untuk ngomong “gak jelas”.  Akhirnya Tim-4 ini memutuskan untuk melupakan RUU & NA lama itu, dan kami menuliskan semuanya baru.  Metodenya, pertama-tama kami brainstorming, apa saja yang mau dimasukkan atau mau diatur.  Persoalan apa di negeri ini yang mau dibantu dengan sebuah UU TIGNAS.  Banyaklah.  Misalnya tentang batas daerah yang samar-samar, peta antar instansi yang tidak sinkron dan tumpang tindih, peta mutakhir dan akurat yang sulit diperoleh, penanggulangan bencana tanpa bekal peta, penataan ruang yang carut-marut – termasuk petanya juga tidak karuan, dan sebagainya.

Setelah ada kumpulan masalah, kami mulai mencoba mengelaborasi, sebenarnya di dunia selama ini, masalah teknis tersebut diselesaikan dengan cara apa?  Kami searching di internet, berbagai UU dan Peraturan lainnya dari Amerika Serikat, Canada, Belanda, Jerman, Austria, Australia, Malaysia, India, China, dan Jepang.   Untung semua dari kami pernah sekolah di Luar Negeri.  Dan untung sekarang ada Google beserta Google.Translates-nya 🙂  Mungkin ini studi banding yang paling murah dan komprehensif.  Kami juga membaca banyak sekali UU dan RUU yang ada hingga saat itu.  Kami mempelajari  UU Nuklir (10/1997), UU UU Statistik (16/1997), UU Sipteknas (18/2002), UU Perencanaan (25/2004), UU Pemerintah Daerah (32/2004),  UU Penanggulangan Bencana (24/2007), UU Penataan Ruang (26/2007), UU Wilayah Pesisir (27/2007), juga RUU Meteorologi & Geofisika, RUU Wilayah Negara, dan masih banyak yang lain.  Saya kadang berharap, para Anggota DPR atau para Penegak Hukum itu pernah membaca UU lebih banyak dari kami.  :-).  Kemudian pokok-pokok pikiran itu dituliskanlah dalam sebuah RUU yang sama sekali baru.  Kami sebut ini RUU #0.1.  Kami juga membuat Naskah Akademisnya (NA #0.1).  Pada awalnya, semua hal ini ditulis dalam sebuah matriks yang sangat besar.  Setiap masalah, dihubungkan dengan sebuah pasal/ayat di RUU, lalu ada Keterangan sebagai naskah akademis, dan ada referensi yang menunjuk kepada suatu dokumen ilmiah atau UU/Peraturan di negara lain.  Sebagai peneliti, kami bahkan membayangkan ada suatu Perangkat Lunak yang dapat mendukung pekerjaan legal drafting yang rumit ini sampai selesai.  Mungkin namanya LDSS – Legal Drafting Support System.  Tentu saja, akhirnya yang jadi produk akhir adalah dokumen RUU & Naskah Akademis.

Kedua dokumen ini kemudian di-floor.  Pertama-tama tentu saja di internal Bakosurtanal sendiri.  Kami meminta ada 3 jenis sesi.  Sesi pertama adalah dengan para pejabat teras (eselon-1 dan eselon-2).  Tentu saja, mereka biasa bicara pada level makro, tetapi umumnya hanya sensitif yang menyangkut unit kerjanya sendiri.  Sesi kedua adalah dengan mid-management.  Mereka umumnya lebih fokus pada hal-hal yang sifatnya teknis di lapangan, tetapi juga hanya fokus pada unit kerjanya.  Maka perlu sesi ketiga, yaitu dengan anak-anak baru, para PNS yang belum 5 tahun bekerja, masih fresh-graduate, tetapi umumnya memiliki idealisme dan passion dalam bekerja, juga belum terlalu fanatik pada unit kerjanya.

Kemudian keluar.  Pertama adalah ke kalangan birokrasi.  Kami mengundang semua Kementerian/Lembaga yang terkait dengan geografi.  Yang paling sering adalah BPN, Kehutanan, ESDM dan PU.  Kementerian Keuangan memiliki Direktorat Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), tetapi seingat saya mereka tidak pernah hadir memenuhi undangan bedah RUU.  Kedua adalah kalangan akademisi (Perguruan tinggi).  Tim-4 beserta staf biro Hukum kemudian muter ke berbagai perguruan tinggi, terutama yang ada prodi yang terkait informasi geografis, seperti teknik geodesi, geologi, sipil, planologi, geografi, pertanian, kehutanan, kelautan dan sebagainya.  Kadang mereka diundang ke Bakosurtanal.  Ketiga adalah ke kalangan bisnis/praktisi yaitu kalangan profesional dan perusahaan-perusahaan yang terkait dunia geografi.  Bisa perusahaan jasa pemetaan, bisa pula pengguna jasa survei pemetaan, seperti dari real estate, perkebunan dan sebagainya.  Dan keempat adalah masyarakat umum, kami undang berbagai asosiasi profesi (ISI, IGI, MAPIN, IAGI, dll ) dan LSM (WALHI, JKPP, navigation.net, dsb).  Materi RUU & NA juga kami share melalui berbagai blog dan milis.

Hasilnya, muncul ratusan kritik, masukan, usulan dan pertanyaan.  Ini sebuah proses iterasi.   Sampai hampir dua tahun kami bekerja menyempurnakan draft RUU & NA itu.  Sampai akhirnya, draft itu dirasa matang (draft versi #1.0) untuk diserahkan ke Kemenkumham untuk harmonisasi.

HARMONISASI

Semua RUU di Republik ini wajib diharmonisasi, supaya tidak berbenturan dengan Konstitusi dan UU lain yang telah ada. Dan itu tugas Kemenkumham beserta Sekretariat Negara.  Maka digelarlah sidang Harmonisasi di Kemenkumham.  Mereka mengundang biro hukum dari semua Kementerian dan Lembaga yang terkait.  Sebenarnya K/L terkait ini semua pernah kami undang, tetapi waktu itu orang teknisnya, bukan biro hukum.  Nah, karena yang datang biro hukum, jadinya banyak hal yang harus dijelaskan dari awal lagi.  Kaidahnya adalah: setiap UU harus bisa dipahami oleh orang yang awam teknis, tetapi melek hukum.  Ternyata RUU #1.0 ini masih banyak cacatnya.  Padahal sudah digodog hampir 2 tahun lho!  Rapat harmonisasi memerintahkan dibentuk tim kecil, yaitu dari instansi pengusul (Bakosurtanal) ditambah pakar legal drafter dari Kemenkumham dan Setneg.

Oleh dua pakar legal drafter ini, seluruh RUU ini nyaris diformat ulang.  Mereka adalah orang-orang yang berpengalaman membuat banyak UU yang bersifat teknis.  Salah satu pakar ini konon juga ikut membidani UU Migas – karena Migas juga urusan Komisi 7 di DPR, sedang ristek (Bakosurtanal adalah lembaga di bawah Kemenristek) juga urusan Komisi 7.  Secara substansi kami sudah pasrah.  Para legal drafter itu yang menulis menurut struktur yang lazim.  Tentu saja lazim menurut dia, karena kami melihat, style dari puluhan UU yang pernah kami baca itu memang lain-lain.

Tetapi ada juga substansi yang minta dipertegas.  Ada beberapa pasal yang dinilai ambigu karena faktanya ada beberapa lembaga saat ini yang mengurusinya.  Pakar dari Setneg ini minta “Sudah, semua diurus 1 Badan saja, kalau ada Lembaga lain yang terpaksa hilang 1 kedeputian, biarin saja, kan tupoksi mereka bukan itu”.  Kami jadi terkejut dan perasaan campur baur.  Belum sempat kami tenang kembali, beliau melanjutkan, “Namun nanti kalau dengan itu masalah pemetaan belum beres juga, semua tahu, siapa yang harus dicekik lehernya”.  Jadilah pimpinan kami terkejut-kejut lagi … 😀

Selama harmonisasi ini kami juga berdebat panjang soal sanksi.  Hanya UU yang ada sanksi yang akan dihormati.  Maka kami diminta memikirkan, apa saja hal-hal yang masuk pidana yang dapat diancam dengan pidana penjara atau denda?   Apa ya?  Akhirnya kami temukan juga.  Misalnya, “secara tanpa hak memindahkan atau merusak atau membuat tidak berfungsi suatu tanda fisik jaring kontrol geodesi” — kalau yang paling gampang bentuknya adalah seperti pilar batas.  Mau dihukum berapa juta Rupiah, atau berapa tahun?  Wah berapa ya?  Pakar yang kami undang dari Kejaksaan Agung mengusulkan 5 tahun!  Alasannya, kalau 5 tahun atau lebih, itu bisa ditahan.  Waduh, kasihan amat.  Seorang pakar hukum pidana dari Ombudsman bertanya, apakah perbuatan itu jahat ya?  Di dunia hukum sekarang ini, ada istilah “kejahatan” dan ada istilah “pelanggaran”.  Menerabas lampu merah, itu bukan kejahatan, tetapi pelanggaran.  Tetapi sebuah pelanggaran bisa menjadi kejahatan, kalau itu berakibat korban jiwa atau kerugian material orang lain.  Tapi bagaimana menilainya ya?  Kami diminta membuat simulasi, berapa sih kerugian bila ada pelanggaran bla-bla-bla …  Pelanggaran yang berakibat lebih serius harus dihukum lebih berat.

Setelah setahun lebih, tinggal satu masalah: benturan dengan BPN.  BPN kan melakukan pemetaan juga?  Kami dipertemukan dalam rapat khusus dengan para pejabat BPN.  Kami mempelajari semua UU dan peraturan yang ada di BPN.  Ternyata tidak ada satupun yang menunjukkan bahwa tugas utama BPN itu adalah membuat peta.  Yang ada, mereka adalah mengurusi pertanahan.  Jadi tidak masalah.  Akhirnya dalam suatu rapat pleno di Kemenkumham, RUU ini dianggap Bulat dan Harmonis. Namanya diganti menjadi RUU Informasi Geospasial.  Inilah RUU #2.0.  RUU ini sah untuk dikirim Presiden (sebagai Pemerintah) ke DPR. Presiden menunjuk Menristek dan Menkumham, didampingi Kepala Bakosurtanal untuk menemui DPR.

PEMBAHASAN DI DPR

Gedung DPR

Gedung DPR

Jadilah, pertengahan 2010, RUU IG masuk Prolegnas.  DPR, khususnya Komisi-7 mulai membuat Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU).  Filosofinya: UU itu kan mengatur rakyat.  Sedangkan Pemerintah kemarin dianggap baru bicara-bicara dengan sesama birokrat.  Memang harmonisasi itu hanya melibatkan birokrasi – jadi dianggap bukan rakyat.  Sedang DPR itu wakil rakyat.  Maka DPR mengundang rakyat.  Tapi siapa ya?  Meski DPR itu wakil rakyat, tetapi rakyat yang mana?  Akhirnya, tim sekretariat DPR yang minta tolong kami untuk menunjukkan, rakyat yang terkait dengan RUU itu yang mana?  Ya kami keluarkan saja daftar nama atau organisasi yang sebenarnya dulu pernah kami temui saat masih draft #0.1.  Jadi ya orang-orang dari Perguruan tinggi, Kalangan praktisi dan LSM atau Organisasi Profesi itu diundang lagi.  Tapi kini ke DPR.

Di RDPU, kami yang notabene dari birokrasi ini tidak diundang, tetapi kami boleh hadir di balkon.  Tentu saja kami tidak boleh ikut bertanya, apalagi ikut menjelaskan atau menjawab pertanyaan dari manapun. Para anggota dewan yang terhormat itu ingin bertanya ke rakyatnya, apakah RUU ini diperlukan tidak sih?  Kalau diperlukan, substansi mana yang belum sreg?  Ternyata, yang datang mewakili itu kadang tidak sama dengan yang dulu.  Jadi masih muncul lagi ide-ide baru yang cukup bagus.  Ada juga ide-ide yang disampaikan ke kami di luar sidang.  Bahkan bahasanya sampai sambil ngancam, “Silakan, RUU ini disahkan, tetapi besoknya sudah saya bawa ke MK”.  Sebenarnya, kami ingin mengadopsi ide-ide bagus itu ke RUU.  Tapi itu tidak boleh begitu saja.  Sekarang bolanya di DPR.  Kalau RUU mau diedit lagi, ya Presiden harus menarik RUU itu dulu dari DPR, lalu Kemenkumham harus melakukan harmonisasi lagi.  Wah ribet ya?

Tapi ada jalan keluar yang elegan.  Para anggota dewan ini urusannya banyak.  Mereka tidak cuma bertugas membuat UU yang seabreg, tetapi juga mengawasi pemerintah, mengontrol APBN, mendengarkan aspirasi konstituen dsb.  Jadi, soal RUU IG ini mereka hanya punya waktu sangat sedikit. Oleh karena itu, mereka minta kepada staf ahli DPR untuk membuatkan Daftar Inventaris Masalah (DIM).  Tentu saja, karena staf ahli DPR itu juga sangat sedikit, merasa kurang kompeten, sementara pekerjaannya bejibun, maka mereka minta bantuan kami, untuk membuat DIM.  DIM ini nanti yang akan ditanyakan oleh anggota DPR ke Pemerintah.  Di depan DPR, itu yang boleh menjawab adalah Menteri, dan paling rendah pejabat Eselon-1.  Dan eloknya, karena kami ini notabene juga staf pemerintah, maka kami juga diminta oleh boss kami itu, untuk membuatkan jawaban atas DIM itu.  Jadi kami ini yang sudah membuatkan RUU & NA, diminta juga membuatkan soal-soal DIM beserta jawabannya sekaligus.  Sedang aktornya adalah DPR dan pemerintah.  🙂

Tapi itu cara yang dapat memberi peluang kami untuk terus memperbaiki RUU.  Jadi pura-puranya DPR akan tanya, “Kenapa pasal anu koq bunyinya begitu, bagaimana kalau begini saja (modifikasi)”.  Dan pemerintah nanti akan merespon, “Itu saya kira masukan yang sangat bagus dari Dewan, dan kami Pemerintah setuju”.  Nah, jadinya RUU yang jadi nanti akan lebih bermutu.

Tapi taqdir ternyata berkata lain.  Ada 3 hal yang di luar perhitungan kami:

Pertama, oleh DPR, ternyata DIM itu dipecah-pecah sampai setiap ayat. Jadi, satu pasal yang mengandung 5 ayat, bisa di-“mutilasi” menjadi 6 DIM, yaitu satu untuk judul dan total 5 dari tiap ayatnya.  Terus Komisi 7, dalam suatu rapat marathon yang sangat cepat, membagi-bagi tiap nomor DIM itu apakah “tetap”, atau “dibahas di Panja”, atau cukup “dirumuskan ulang di TimMus-TimSin”.  Panja adalah Panitia Kerja, yaitu separuh dari anggota Komisi-7 yang sekitar 50 orang itu.  Sedang TimMus adalah Tim Perumus, yaitu separuh dari Panja.  Dan TimSin adalah Tim Sinkronisasi, yaitu separuh dari TimMus.  Karena “mutilasi” ini dibahas sangat cepat, kadang-kadang jadi lucu: ada pasal yang judulnya diminta dibahas di Panja (jadi ada kemungkinan berubah), tetapi salah satu ayatnya dibilang tetap, atau sebaliknya.  Ini baru dalam pasal yang sama, belum kalau beberapa pasal pada bagian atau bab yang sama.

Kedua,  oleh staf DPR, setiap item DIM tadi yang sudah kami siapkan soal-jawabnya, “dibagi rata” ke semua fraksi.  Ada 9 fraksi di DPR.  Akibatnya, ada satu pasal yang DIM untuk ayat 1 dan 2 – misalnya – untuk Partai Demokrat, tetapi ayat 3 dan 4 untuk PDIP, dan ayat selanjutnya untuk Gerindra.  Kesatuan di dalam pasal jadi kacau.  Lebih ruwet lagi, pada saat sidang, fraksi-fraksi kecil seperti Gerindra atau Hanura jarang hadir!  Mereka hanya punya sedikit wakil di DPR.  Giliran yang ngomong Demokrat, wakil dari PDIP komentar, “Lho, ini koq Partai Demokrat (PD), yang notabene partai pemerintah malah mengkritik RUU dari pemerintah sendiri?”.  Yang dari PD tadi jadi kurang PD (percaya diri).  Jadinya dia malah berkata, “Ya ini bukan kritik, tetapi apresiasi dan hanya sedikit masukan”.  Jadilah, beberapa item yang bagus untuk perbaikan RUU itu, yang kebetulan ada di kantong Gerindra dan Demokrat, urung disampaikan.

Ketiga, pada masa pembahasan RUU ini, jajaran eselon-1 di Bakosurtanal berganti total.  Orang-orang baru ini yang akhirnya berhadapan dengan Panja di pembahasan.  Kami dari tim sudah menyiapkan suatu teknologi agar mereka yang duduk di depan dan berhak menjawab, dapat dengan mudah kami beri contekan.  Teknologi ini berbasis laptop dan jaringan wifi terbatas.  Tapi dalam perjalanannya, rupanya antara grogi atau terlalu percaya diri (tapi keliru) bercampur aduk, sehingga kadang-kadang hasilnya tidak optimal.  Ya mohon maaf, sekali lagi, dalam pembahasan dengan DPR ini, tim penyusun RUU & NA (“Tim 4 pendekar” yang sudah menjadi “Tim 6 pendekar”) tidak boleh ngomong, kecuali diminta oleh ketua sidang.

Jadilah ada beberapa item yang semula sangat “reformatif”, tiba-tiba “orde baru” lagi.  Misalnya, hingga versi #2.0, masih ditulis bahwa “informasi geospasial dasar, bersifat terbuka, dan dalam format elektronik dapat diakses masyarakat dengan 0 Rupiah (=gratis)”.  Tetapi kalimat ini kemudian direlatifkan lagi oleh DPR dengan kalimat “DAPAT dikenakan biaya tertentu yang besarnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”.  Sekarang ini masyarakat yang akan mendapatkan peta memang dikenai tarif yang diatur dengan suatu Peraturan Pemerintah tentang Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP).  Jadi bahasa kasarnya, DPR ini mau bilang begini, “PNBP ini kan bisa menghasilkan uang – kenapa malah mau kalian hapuskan, nanti kalian minta uang lagi ke DPR?”.

Pembahasan dengan DPR kadang dilakukan di gedung DPR. Acara ini terbuka, boleh diliput wartawan.  Saya amati, pas di DPR, persidangan hanya memiliki speed kira-kira 1 ayat per jam.  Artinya sangat alot.  Setiap anggota panja ingin ngomong, dan harus diakomodir ketua sidang.  Anggota dewan itu ada yang mengaku sudah dua puluh tahun dipercaya mewakili rakyat, dan sudah membuat 50 Undang-undang, jadi jangan sampai merasa diremehkan.  Artinya, dalam sehari kadang hanya selesai 1 pasal.  Padahal ada puluhan pasal.  Tetapi kalau – dengan alasan perlu sidang yang lebih intensif – kemudian sidang dilanjutkan di hotel, walaupun judulnya terbuka, tetapi tidak ada wartawan, sidang bisa memiliki speed 10 pasal per jam !!!

Ini realita.  Tetapi setelah semua pasal dibahas, RUU ini tidak bisa begitu saja diketok.  Rupanya ada satu syarat menurut Tata Tertib DPR yang belum terpenuhi, yaitu: STUDI BANDING.  Ya, dan studi banding yang dimaksud adalah ke luar negeri!  Yang sudah studi banding via internet dan pengalaman semasa studi kan kami (Tim 6 Pendekar), sedangkan mereka anggota Dewan kan belum.  Jadilah, mereka minta studi banding, dan negaranya juga mereka yang menentukan: USA dan Jerman!

Sebenarnya kalau dari segi kemiripan dengan Indonesia, maka yang paling mirip secara geografis itu Jepang (sama-sama negara kepulauan dengan banyak gunung api dan kota-kota yang padat penduduk).  Sedang secara demografis itu China atau India (sama-sama negara berkembang dengan penduduk yang sangat banyak).  Tetapi kalau anggota Dewan pingin ke USA atau Jerman, ya harus nurut … kecuali kita tidak ingin RUU ini selesai.

Rencana Studi Banding ini sempat tertunda dua kali.  Pertama gara-gara gunung Merapi meletus.  Jadi tidak elok, lagi ada bencana koq DPR malah “plesiran”. Yang repot para pendamping ini.  Karena ingin tiket murah, jadinya ketika di-reschedule, kena fee yang cukup besar, jadi malah mahal.  Penundaan kedua gara-gara ada sidang Paripurna membahas hasil Pansus Century & Pansus Pajak.  Semua anggota wajib hadir!  Jadinya, jadwal yang sudah dirancang baik-baik, termasuk ketemu Parlemen Jerman atau US-Congress, gagal total.  Padahal sangat sulit membuat jadwal dengan mereka, karena sebentar lagi mereka juga reses.

Tetapi akhirnya jadilah kami merencanakan tour ke Jerman dan USA, walaupun versi minimalis.  Saya diminta mengawal yang ke Jerman.  Mereka rencana jalan 5 hari, berangkat Minggu, efektif di Jerman mulai Senin sampai Jum’at, lalu pulang Sabtu pagi.  Mungkin kami memang serius ya, jadi lima hari itu benar-benar padat.  Sampai di Berlin sudah Senin siang, setelah makan siang kami langsung diterima di KBRI, diteruskan dengan dinner. Karena jetlag, setelah itu sudah ngantuk sekali.  Selasa pagi, kami diterima Kementerian Ekonomi & Teknologi; lalu sorenya ke Geoforschung Potsdam (ini seperti Badan Geologi Jerman).  Rabu pagi naik kereta api ke Frankfurt.  Sampai Frankfurt sudah siang, setelah lunch, langsung ke Bundesamt fuer Kartografie & Geodaesie (semacam Bakosurtanal-Jerman).   Kamis pagi naik kereta api lagi ke Muenchen. Sampai juga sudah siang.  Setelah lunch, baru ke Deutsche Luft & Raumforschung (semacam LAPAN-Jerman).  Baru hari Jum’at ada sedikit waktu untuk jalan-jalan.  Ternyata terlalu banyak keinginan.  Ada yang ingin ke stadion Bayern-Munich, ada yang ingin menyeberang ke Innsbruck (Austria), ada yang ingin ke Switzerland (yang semua tidak terlalu jauh dari Muenchen).  Eh, busnya malah mesinnya rusak.  Baru jam 10.30 beres, lalu ke Innsbruck, di sana cuma 2 jam, balik lagi.  Sampai Muenchen sudah malam. Habis dinner, tinggal ada waktu 30 menit untuk belanja oleh-oleh sebelum tokonya tutup.  😀

Selama perjalanan kami sempat menyaksikan tingkah laku anggota Dewan yang ikut dalam tour.  Ada yang serius memperhatikan penjelasan dari mitra kita di Jerman.  Ada yang sibuk telponan terus dengan konstituennya di Indonesia.  Sepertinya, kadernya baru mau maju pilkada di suatu daerah.  Ada juga istri anggota Dewan (jadi bukan anggotanya) yang sibuk memarahi kader partainya yang jadi bupati di beberapa daerah.  Saya dengar dari staf ahli, ternyata beliau inilah penyandang dana terbesar partai itu.  Ada anggota Dewan dari suatu partai berbasis masa agama yang rajin ngebanyol.  Sepertinya di rapat dia tidak pernah ngomong, tetapi setiap kali acara makan isinya ngebanyol melulu.  Tetapi ada juga anggota Dewan yang rajin bertanya ke saya, “Ada gak ya pasal yang bisa kita titipin?”.  Saya tanya, “Maksudnya?”.  “Ya kita buat ada semacam pemberian konsesi begitu, nanti yang masuk ya kita juga … “.  Maklum, Komisi-7 yang mengurus migas ini juga diisi beberapa pengusaha yang mendapat konsesi minyak.  Jangan meremehkan seorang anggota dewan yang kesana kemari cuma pakai sarung dan peci, karena diam-diam dia bisa punya konsesi beberapa sumur minyak.  Alamak ….

Setelah itu draft digodok terakhir di TimMus dan TimSin.  Idealnya di sini tidak boleh lagi ada substansi yang berubah.  Ada ahli bahasa yang bertugas memastikan bahwa pilihan kata yang dipakai benar.  Dan ada pakar UU yang memastikan bahwa UU itu sinkron dengan semua UU lain yang telah ada.  Namun dalam perjalanan sidang, ketemu lagi beberapa hal yang kalau diubah, ya berpengaruh pada substansi.  Walah …  Tapi ya sudahlah, diselesaikan “secara adat”.  Toh anggota TimMus / TimSin juga anggota Panja.  Pada jam-jam terakhir – sudah larut malam – salah satu wakil fraksi yang juga seorang Kyai berkata begini, “Tuhan saja, perlu menurunkan 25 nabi hingga peraturannya sempurna.  Jadi kalau kita baru sekali ini koq belum sempurna, ya tidak usah terlalu kecewa”.  Mungkin ini guyonan Kyai yang bertugas di DPR.  Inilah RUU versi #3.0.

Beberapa hari sebelum masa sidang habis (untuk setiap RUU hanya ada jatah 3 kali masa sidang), seorang anggota DPR minta kami menghadirkan unsur Kemenhan & TNI, karena dikhawatirkan nantinya militer ini tidak mau nurut sama UU yang dibuat sipil.  Ada interupsi dari anggota lain yang mengatakan, siapapun warga negara ini wajib mentaati semua produk UU, apakah itu sipil atau militer.  Tetapi kami tetap berusaha menghadirkan unsur militer terkait.  Sampai malam kami melobby para jenderal dari Dinas Topografi Angkatan Darat (Dittopad), Dinas Hidrooseanografi Angkatan Laut (Dishidros-AL) dan Dinas Survei dan Pemotretan Udara Angkatan Udara (Dissurpotrud-AU) agar mereka mau hadir sendiri (tidak mewakilkan) di DPR saat RUU itu diketok.  Alhamdulillah, ketiga jenderal itu semua mau hadir.  Menjelang hari draft RUU diketok di Pleno Komisi-7, malamnya saya dan satu anggota Tim-6 ditelepon untuk datang ke DPR pukul 6 pagi.  Ada beberapa item lagi yang ingin dimasukkan oleh anggota Dewan.  Ada yang di teks, dan ada yang di penjelasan.  Kami benar-benar tegang.  Sampai akhirnya RUU itu diketok, dan beberapa hari kemudian di Paripurna diketok juga, jadi UU no 4/2011 tentang Informasi Geospasial.

Tapi pekerjaan kami belum selesai.  Ada 7 Peraturan Pemerintah (PP) dan 1 Peraturan Presiden (Perpres) yang harus dibuat  sebagai turunan UU itu.  Ada waktu 2 tahun sampai April 2013 ini.  Tapi membuat PP dan Perpres tidak seheboh bikin UU.  Dan yang jelas tidak perlu pakai Studi Banding segala.  😛

Belajar dari Negeri Para Mullah

Wednesday, January 2nd, 2013

Prof. Dr. Fahmi Amhar

“Pergi ke Iran mau ngapain?  Mau jadi syi’ah?”, tanya seseorang.  Pertanyaan tak serius ini tentu saja saya jawab dengan canda, “Lho saya kan sudah Ayatollah!”.

Ada juga canda yang lain, “Kalau belum menikah memang seharusnya ke Iran dulu, biar tidak menyesal …”.  Konon sejak revolusi Islam, wanita Iran tidak boleh ikut seleksi wanita cantik sejagad seperti Miss Universe.  Hal ini karena di Iran tidak ditemukan satupun wanita cantik.  Adanya wanita amat cantik dan wanita cantik sekali …

Pertengahan tahun 2011, saya ke Iran diundang presentasi oleh International Conference on Sensors & Models of Photogrammetry & Remote Sensing di College of Engineering University of Teheran.  Keputusan jadi berangkat diambil dua hari sebelumnya, setelah dipastikan kita bebas visa untuk seminggu.  Meski jarang turis “nyasar” ke Iran karena berbagai travel warning dan citra Iran yang dibuat buruk media Barat, namun menurut saya ada dua hal yang perlu dipelajari dari negeri para Mullah ini.  Pertama, tentang dunia sains di Iran yang tetap maju ditengah-tengah kesulitan akibat embargo yang dijatuhkan dunia. Kedua, realitas kehidupan sehari-hari di sebuah Republik Islam.

 

Tentang dunia sains di Iran:

Iran beruntung memiliki warisan kejayaan Islam masa lalu, bahkan juga dari masa pra Islam.  Ingat, Salman al Farisi RA adalah sudah insinyur ketika dia masuk Islam.  Nama-nama intelektual besar Islam seperti al-Khawarizmi, Ibnu Sina dan Umar Khayam, “hadir” dalam kehidupan sehari-hari.  Banyak jalan atau lapangan dinamai dengan tokoh-tokoh itu.  Iran bahkan memberi penghargaan tahunan “Al-Khawarizmi Award” bagi ilmuwan muslim dunia yang dianggap berprestasi dalam inovasi teknologi.  Setiap tahun mereka juga mengundang seluruh negeri Islam dalam sebuah pameran internasional sains dan teknologi.

Dalam conference ini, saya melihat bahwa kualitasnya masih di atas rata-rata conference sejenis yang diadakan di Indonesia.  Tidak cuma bahwa sebuah konferensi ilmiah internasional diawali dengan pembacaan al-Qur’an, tetapi presentasi para peneliti Iran, termasuk yang masih mahasiswa benar-benar mengambil thema yang tidak mudah, meski banyak batasan yang mereka alami.  Sebagai contoh, ada ilmuwan Iran yang membuat sebuah alat yang dicangkokkan pada sebuah alat yang lebih besar buatan perusahaan Austria, Vexcel, untuk dipasarkan ke seluruh dunia.  Tiba-tiba Vexcel dibeli Microsoft.  Maka kerjasama dengan Vexcel otomatis batal, karena bila diteruskan, Microsoft akan kena UU Embargo.  Dalam UU itu, semua perusahaan Amerika yang berhubungan dengan Iran akan dihukum.  Kini Iran mencoba bekerja sama dengan China untuk alat yang serupa.

Namun kesulitan itu makin membuat Iran tertantang.  Kata beberapa teknisi PTDI yang diperbantukan di industri pesawat Iran, mereka benar-benar “diperas ilmunya” selama di Iran.  Ini sikap yang sangat berbeda dengan kita di Indonesia terhadap expatriat.  Tak heran, nyaris tanpa pertolongan negara lain, tahun 2009 mereka sudah berhasil membuat roket yang dapat membawa satelit komunikasi ke orbit.  Kalau Iran berhasil membuat bom atom, maka dengan roket tersebut Iran pasti akan dapat menjatuhkan bom ke mana pun di seluruh dunia.  Oleh karena itulah, Amerika dan sekutunya makin kencang dalam membatasi gerak gerik Iran.  Hal yang sejenis barangkali akan terjadi ketika Khilafah, yang mungkin jauh lebih “berbahaya” bagi Barat daripada Iran, diproklamasikan di sebuah negeri Islam.

Tentang realitas Republik Islam:

Di negeri ini internet disensor.  Semua link berbau pornografi akan otomatis dialihkan ke situs yang menyediakan informasi ajaran Islam.  Namun pasca keributan seputar pemilu 2009, situs seperti facebook, twitter, youtube dan banyak lainnya juga diblokir.

Di jalan-jalan tidak ada baliho iklan dengan gambar wanita.  Di televisi juga tidak ada film Hollywood ataupun konser dengan biduanita yang tidak menutup aurat.

Di jalanan, berlaku aturan berpakaian Islam.  Bahkan wanita peserta conference dari Russia pun begitu masuk imigrasi di bandara sudah harus berpakaian tertutup.  Minimal bercelana panjang, blazer dan kerudung menutup rambut dan leher.  Kadang sedikit rambut depan masih terlihat, namun ini tak masalah dalam fiqih syiah, karena dianggap bagian wajah yang biasa terlihat.  Namun ada juga yang menambah dengan chador, kerudung besar (setengah lingkaran dengan radius setinggi badan) warna hitam yang diselimutkan dari kepala dan menjuntai ke tanah.  Agar tak lepas, chador ini harus selalu dipegang.  Kalau wanita itu mencangklong tas, tas itu akan tertutup chadornya.  Konon, hanya di kota suci Qom yang nyaris seluruh wanitanya memakai chador.

Di bus tempat penumpang wanita di depan, laki-laki di belakang.  Untuk kereta ada gerbong khusus wanita.  Transportasi umum di Iran sangat murah.  Tiket bus 1000 Riyals (sekitarr Rp. 800) dan Metro hanya 2000 Riyals.  Bensin hampir sama dengan di Indonesia, 4500 Riyals, tetapi ada quota.  Setiap kendaraan dijatah sehari 2 liter, angkutan umum/usaha 10 liter.  Di SPBU ada card-reader.  Kalau jatah habis maka berlaku harga 7000 Riyals.  GDP perkapita US$ 10.800, lebih dari 3x Indonesia.

Di Teheran tak ada jaringan toko atau restoran cepat saji internasional.  Jadi jangan mencari KFC atau McDonald.  Pepsi atau CocaCola saja amat terbatas, apalagi khamr.  Mungkin ada satu dua di pasar gelap, tapi yang jelas tidak ada di toko resmi.  Demikian juga Hotel seperti Hilton.  Sejak embargo ekonomi pasca revolusi Islam, Iran bisa hidup tanpa simbol-simbol modernitas seperti itu.  Banyak pengusaha Barat hengkang karena mengkhawatirkan perang atau pertumbuhan negatif.  Apalagi, sejak revolusi Islam, terbit Undang-undang perbankan bebas riba.  Walhasil, kartu kredit seperti Visa atau Mastercard juga tidak bisa dipakai.  Namun pasar-pasar Iran tetap ramai.  Satu jalan panjang penuh dengan penjual spareparts kendaraan.  Di tempat lain penuh dengan penjual baju atau barang-barang hobby.  Banyak merek yang hanya ada di Iran.  Usaha Kecil dan Menengah booming.  Konon perdagangan dengan negara yang netral terhadap politik Iran amat deras, misalnya dengan Jepang, Perancis atau China.  Cash dibayar dengan devisa dari expor, terutama migas.  Iran mungkin negara tanpa utang luar negeri.

Jalan-jalan di Teheran juga relatif bersih, memberi tempat yang cukup untuk pejalan kaki, pokoknya lebih nyaman dari Jakarta, walaupun masih jauh dari Singapura.  Tetapi air PAM dapat langsung diminum.  Di dekat masjid Imam Khomeini bahkan ada zona pejalan kaki yang sangat luas dan nyaman karena dinaungi pohon-pohon rindang.

Namun memang bagi turis pemburu hiburan, di Iran nyaris tak ada hiburan.  Ini yang juga dikeluhkan generasi muda Iran yang lahir pasca revolusi tapi pernah keluar negeri.  Mereka menginginkan kebebasan.  Mereka belum pernah merasakan, bagaimana Iran sangat menderita di masa Syah Reza Pahlevi.  Raja zalim itu ingin membuat Iran negara paling sekuler dan liberal, namun pada saat yang sama dia sangat koruptif dan menjalankan politik negara intel.  Hingga awal 1979, jarang orang percaya bahwa Raja yang amat berkuasa itu dapat digulingkan oleh ulama sepuh yang telah diasingkan 15 tahun.

Tak ada setahun pasca jatuhnya Syah Iran, dilakukan referendum, dan 90% rakyat Iran setuju dengan sebuah konstitusi baru yang dibuat Ayatullah Khomeini.  Dalam konstitusi itu, pemimpin tertinggi Iran (Imam) dipilih dari dan oleh Dewan Ulama (Wilayatul Faqih).  Imam ini yang menjadi panglima tertinggi angkatan perang, mengangkat para hakim serta setengah anggota Dewan Penjaga Revolusi yang mirip Mahkamah Konstitusi.  Sementara itu Presiden dipilih rakyat untuk menjalankan pemerintahan. Parlemen membuat UU, namun dapat dicabut oleh Imam atas saran Dewan Penjaga Revolusi, bila dianggap bertentangan dengan Islam.  Bila Presiden hanya berkuasa 4 tahun dan boleh dipilih sekali lagi, maka Imam mengabdi seumur hidup.  Dalam ajaran syi’ah, masalah Imamat adalah bagian dari rukun iman.  Dalam ajaran sunni, masalah kepemimpinan atau Khilafah adalah “min ma’luman bid dharurah”, tetapi bukan bagian rukun iman.  Jadi kira-kira Imam adalah Khalifah, dan Presiden adalah Muawin Tafwidh, meski masih banyak bedanya.

Tetapi memang banyak kejutan dengan syi’ah ini.  Begitu mendengar adzan, ada beberapa sisipan yang tidak lazim kita dengar, misalnya “Asyhadu an Ali Waliyullah! Asyhadu an Ali Hujatullah” dan “Hayya alal khoiru amal”.  Di masjid jadi kikuk.  Pernah orang KBRI sholat di masjid, karena mungkin “aneh” bagi orang sana, dia sampai difoto oleh intel masjid.  Mungkin jaga-jaga, “ada penyusup sunni”.

Khutbah Jum’at juga lebih mirip orasi politik.  Kadang ada yel-yel yang diteriakkan, “Hancurkan Amerika!”.  Ini yang kadang ditakutkan oleh negeri-negeri Islam lainnya  Maka undangan beasiswa ke Iran sering ditanggapi dingin oleh pemerintah kita.  Namun demikian, dari Indonesia saja, kini ada 300 mahasiswa yang belajar agama di kota Qom.  Apakah mereka akan dicuci otak dan jadi agen syiah di Indonesia?  Atau mereka justru tertarik dengan wanita Iran yang menurut seorang mahasiswa yang terpental dari Qom (mungkin gagal dicuci otaknya): “memang cantik sekali, tapi kalau tidak matre , ya sangat syi’ah ” :-).

** ini re-published ** sepertinya pernah saya tulis di Notes, tapi koq tidak ketemu lagi ya ?

Belajar Beberapa Bahasa Asing

Monday, December 31st, 2012

Berapa bahasa asing yang Anda kuasai?

Berapa tahun Anda belajar bahasa tersebut?

Apakah Anda percaya diri berkomunikasi dengan bahasa itu?

Beberapa Bahasa Dunia

Beberapa Bahasa Dunia

Sekarang ini, banyak orang menawarkan training untuk menguasai bahasa asing.  Ada yang dengan jargon “Enam minggu percaya diri berbahasa Inggris”.  Ada juga bahkan “Enam jam percaya diri berbahasa Inggris” …  Anda percaya, dan mau keluar uang untuk ikut kursus itu?

Saya tidak menampik bahwa ada orang-orang yang memang dikarunia kecerdasan linguistik yang luar biasa.  Sewaktu di Austria, saya mengenal seorang Profesor kimia yang memiliki hobby bahasa.  Beliau menguasai secara aktif 10 bahasa asing, yaitu (kalau tak salah 🙂 Jerman (bahasa ibu) – Inggris – Perancis – Spanyol – Italia – Turki – Arab – Jepang – China – Thai.  Dan dia waktu itu ingin belajar bahasa Indonesia dengan kami – mahasiswanya.

Tetapi mayoritas atau rata-rata orang, memerlukan waktu bertahun-tahun untuk menguasai satu bahasa asing saja.  Di sekolah, anak-anak kita sejak kecil diberi pelajaran bahasa Inggris, bahkan di SDIT juga bahasa Arab.  Kalau mereka lulus SMA, mereka telah menelan 12 tahun pelajaran bahasa Inggris dan 12 tahun bahasa Arab?  Apakah mereka sudah bisa kita ajak ngobrol atau surat menyurat dengan bahasa itu?  Jawabnya pasti: tergantung !  Tetapi saya mengamati: mayoritas tetap tidak percaya diri.

Sebagai orang yang lahir di Jawa Tengah, bahasa pertama saya adalah bahasa Jawa.  Kemudian, di kelas 1 SD, pelan-pelan saya mulai belajar bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional.  Hanya dua bahasa itu yang diajarkan di SD saya saat itu.

Di rumah, karena ayah saya mahir bahasa Arab, saya dilatih small-talk bahasa Arab.  Kalau ada tamu yang juga ustadz atau kyai, ayah saya suka memamerkan “kebolehan” saya bercakap-cakap ringan dalam bahasa Arab.  Namun pelajaran bahasa Arab ini kemudian terhenti ketika ayah saya sakit, bahkan lalu meninggal dunia.

Di SMP-SMA kita semua belajar bahasa Inggris.  Tetapi saya kira, guru-guru kita sendiri masih baru “teaching as usual”.  Di SMA bahkan salah satu guru bahasa Inggris saya hanya menekankan grammar.  “Conversation itu tidak akan keluar di EBTANAS ataupun Sipenmaru”, katanya.  Wow … bener juga sih.

Pada saat kelas 2 SMA, saya pernah ikut test seleksi peserta American Friendship Service (AFS).  Ujiannya 3x.  Ujian pertama: pengetahuan umum dan mengarang dalam bahasa Inggris.  Yang lulus, ikut ujian ke-2: Wawancara dalam bahasa Indonesia (tentang motivasi ikut AFS) dan Wawancara dalam bahasa Inggris.  Yang lulus, ikut ujian ke-3: diskusi kelompok (dalam bahasa Indonesia).  Sewaktu ujian pertama mengarang dalam bahasa Inggris, saya menulis seluruh karangan saya terlebih dulu dalam bahasa Indonesia, baru menerjemahkannya dalam bahasa Inggris.  Saya kira karangan saya jelek sekali.  Tetapi saya lolos ke ujian ke-2.  Wawancara dilakukan oleh anak AFS dari Amerika yang sekolah di Indonesia.  Sepertinya sedikit nyambungnya … he he … tetapi saya beruntung lolos ke ujian ke-3.  Diskusi kelompoknya membahas isu-isu kontroversial.  Tapi dari sekian belas orang yang sampai ujian ke-3 ini hanya dipilih 1-2 orang saja.  Dan saya alhamdulillah tidak terpilih !!!  Kalau saya terpilih, mungkin jalan hidup saya akan sangat berbeda.

Ketika baru duduk 1 semester di ITB, saya lolos tes beasiswa LN OFP-Ristek, sehingga saya dipanggil untuk kursus bahasa Jerman di Goethe Institut Jakarta.  Seperti diketahui, bahasa yang dipakai di Austria adalah bahasa Jerman, sama seperti di Republik Federasi Jerman dan Swiss.  Hanya di Swiss, bahasa resminya ada 4, selain Jerman juga Perancis, Italia dan Ratoroman.

Di Goethe Institut kami belajar 5 jam sehari x 5 hari/minggu.  Bahasa Jerman diajarkan dengan pengantar bahasa Jerman juga.  Kami cuma dikasih Glosarry, seperti kamus tetapi tidak urut abjad, melainkan urut kata-kata yang keluar selama pelajaran.  Gurunya separo orang Indonesia dan separo orang Jerman.  Tidak semua orang Jerman bisa jadi guru di Goethe Institut lho, mereka harus lulus sekolah mengajar bahasa Jerman untuk orang asing.

Setelah dua minggu kursus, kami kedatangan seorang Profesor dari Austria yang akan mewawancarai kami.  Tahu kami baru kursus dua minggu, dia coba menanyai kami dalam bahasa Inggris.  Tetapi ternyata, dengan kursus dua minggu itu, bahasa Inggris yang telah saya pelajari enam tahun, seperti terhapus oleh bahasa Jerman.

Setelah kursus sekitar lima bulan, kami menghadapi ujian Zertifikat Deutsch als Fremdsprache (ZDaF).  Mungkin mirip TOEFL.  Bentuk ujiannya ada 5: LV (Leseverstehen – Membaca & Memahami), HV (Hoerverstehen – Mendengar & Memahami), SA (Schriftliche Ausdruck – Mengarang), SW (Strukturen & Wortschatz – Tatabahasa & Kosakata) dan MA (Mundliche Ausdruck – Berbicara).  Saya mendapat nilai 96,5 (dari max 120).  Wah jadi sangat percaya diri.

Sampai di Austria, kami dikursuskan bahasa Jerman level Universitas, karena agar diterima di Universitas, setiap mahasiswa asing harus lulus Universitaet SprachPruefung (ujian bahasa universitas).  ZDaF saja tidak cukup.  Alhamdulillah, setelah dua bulan, saya mengantongi ijazah USP ini.

Kuliah pun dimulai.  Dari 70-an mahasiswa, yang orang asing cuma 2 orang, termasuk saya.  Stress-pun dimulai.  Waktu itu, proyektor LCD + Powerpoint belum ada.  Dosen paling hanya memakai OHP, tetapi lebih banyak yang menulis mind-map-nya di papan tulis.  Saya yang jadi bingung, apa yang mau ditulis, apalagi ternyata banyak dosen yang ngomongnya secepat kereta api.  Akhirnya saya selalu duduk di samping mahasiswa bule.  Kalau dia nulis, saya ngelihat apa yang dia tulis, kalau perlu tanya, lalu saya tulis juga.  Saya tidak akan fotocopy.  Memang mungkin terlihat kekanak-kanakan buat saya, dan agak mengganggu bagi si bule, tapi ya itulah yang harus saya jalani beberapa bulan.  Lebih repot lagi, ada mata kuliah Pengantar Hukum Konstitusi dan Administrasi (Verfassung & Verwaltungsrecht) yang dosennya tidak pernah menulis.  Dia datang, duduk di meja, lalu cerita.  Akhirnya saya menghadapnya, tanya buku apa yang paling praktis untuk saya baca agar saya mengerti apa yang dia ajarkan.  Buku itu lalu saya cari di perpustakaan, kemudian saya membaca semua bab sebelum dia ajarkan.  Hasilnya, di akhir semester, saya malah mendapat nilai tertinggi untuk mata kuliah itu.

Sejak di Austria, Bahasa Jerman saya tumbuh lumayan pesat.  Bangun tidur, wecker radio langsung menyapa dalam bahasa Jerman full.  Dan saya tinggal di asrama yang isinya tidak ada orang Indonesia lain.  Dan waktu itu internet juga belum ada, sehingga kita benar-benar dipaksa berkomunikasi hanya dengan bahasa Jerman.  Bahkan saya mencoba menulis buku harian dalam bahasa Jerman.  Hasilnya, setelah dua tahun, saya bahkan bisa mimpi dalam bahasa Jerman !!!

Di tahun kedua saya memiliki tetangga yang mahasiswa doktorat dari Mesir dan Thailand, yang selalu berkomunikasi di antara mereka dalam bahasa Inggris.  Akhirnya saya mulai belajar lagi berkomunikasi dalam bahasa Inggris.  Saya usahakan setiap jadwal masak & makan bersamaan dengan mereka, supaya bisa ngobrol dalam bahasa Inggris.  Tetapi lucunya, kalau saya ragu-ragu, reflek saya adalah mencarinya kembali ke bahasa Jerman.  Kamus yang saya pakai adalah kamus Jerman-Inggris.  Belakangan, saya menulis thesis S2 saya dalam bahasa Jerman, tetapi disertasi S3 saya putuskan dalam bahasa Inggris – lebih agar mudah diakses orang dari seluruh dunia.  Bahasa Jerman cuma digunakan oleh kurang lebih 120 juta orang; sedang bahasa Inggris oleh 750 juta orang.  Di PBB, bahasa resmi dunia ada 6: Inggris – Perancis – Spanyol – Rusia – Arab – China.

Setelah bahasa Jerman saya mantap, serta terinspirasi oleh profesor kimia yang hobby bahasa tadi, saya mencoba belajar beberapa bahasa lainnya.  Kebetulan di masjid khutbah disampaikan dalam bahasa Turki.  Maka saya lalu belajar bahasa Turki.  Wow, ternyata bahasa Turki lebih rumit dari bahasa Jerman.  Kemudian saya sempat punya teman pena orang Belanda.  Karena ada kedekatan bahasa Jerman dengan bahasa Belanda, saya sempat beberapa lama berkorespondensi dalam bahasa Belanda.  Kemudian ketika tahun 1988 saya berkeliling Eropa, saya membawa kamus-kamus kecil untuk mempelajari bahasa-bahasa negeri yang saya lewati : Perancis – Italia – Spanyol –  Yunani.  Kalau cuma untuk little talk (sekedar bilang selamat pagi, mana arah ke …….. , berapa harganya, dll) ternyata memang tidak membutuhkan waktu yang lama.  Tetapi belajar seperti ini ya cepat lupa lagi.

Di tahun ke-4 di Austria, saya iseng-iseng ikut kuliah bahasa Arab di Universitas Wina.  Cuma 2 x 2 jam/minggu.  Di sini ikut kuliah apa saja bebas, dan waktu itu tidak perlu bayar.  Semula saya merasa paling hebat, karena dari seluruh mahasiswa, mungkin saya yang sudah hafal huruf Arab duluan.  🙂  Tetapi ternyata mind-set ini kurang baik.  Ternyata pelajaran berjalan cepat.  Dari awal, bahasa Arab diajarkan tanpa tanda harakat (syakal).  Dari awal: arab gundul.  Ujian Semester adalah potongan koran berbahasa Arab lalu pertanyaan-pertanyaan, yang juga dalam Arab gundul.  Wow … nyerah dech …  Sepertinya memang harus seserius atau bahkan lebih serius dari ketika saya belajar bahasa Jerman dulu.

Bahasa Arab adalah bahasa persatuan Islam dan konon akan menjadi bahasa di Surga.  Tetapi saya yakin, orang yang dimasukkan Allah ke surga, pasti otomatis akan bisa berbahasa Arab, sekalipun di dunia satu hurufpun tak kenal, karena di surga itu segala keinginan akan terkabul.  Sedang sebagai bahasa persatuan, bahasa Arab tidak perlu diperdebatkan lagi, karena sumber-sumber ilmu dan sejarah Islam semua dalam bahasa Arab.  Tetapi memang tidak otomatis bisa bahasa Arab akan mengantarkan orang ke pemahaman Islam yang benar.  Andaikata begitu, niscaya semua orang di Timur Tengah yang dari kecil lancar berbahasa Arab akan ber-Islam dengan benar.  Faktanya kan tidak begitu.  Oleh sebab itu, belajar bahasa Arab dan belajar Islam keduanya harus dilakukan.  Belajar bahasa Arab agak sulit dengan “sambil lalu” – “sambil baca kitab di halaqah”, apalagi dengan musyrif yang bahasa Arabnya juga masih belum kokoh.  Kalau seperti ini, hasilnya malah kemampuan bahasa Arab tidak dapat, dan materi halaqah juga tidak tertransfer dengan sempurna.

Kursus-kursus singkat yang ditawarkan (dari yang 6 minggu sampai 6 jam) tidak lain hanya memberi motivasi saja.  Buat beberapa orang, motivasi ini dapat menjadi cambuk mereka belajar selanjutnya, baik mandiri atau dengan komunitasnya.  Percaya diri berbahasa asing itu tidak perlu menunggu fasih berbahasa asing.  Tetapi walau baru little-talk (lebih rendah dari small-talk), percaya diri ini sangat perlu.  Kalau sudah tidak percaya diri, maka bahasa yang telah dipelajari tidak akan pernah dipraktekkan, padahal kemampuan bahasa itu tumbuh seiring dengan praktek.

Hal ini ternyata tidak cuma untuk bahasa manusia.  Bahasa komputerpun demikian.  Setelah saya percaya diri dengan bahasa Pascal, saya lalu mulai lagi mempelajari bahasa Basic, Fortran, C, Lisp, Prolog, SQL, APL, dll.  Intinya: belajar bahasa itu mesti serius sampai mencapai ambang kritis, pertama ambang “percaya diri bicara bahasa itu” – dan setelah itu jangan berhenti, teruslah belajar sampai “ambang bisa mimpi dalam bahasa itu” 🙂