Dulu mereka adalah orang-orang yang menjaga diri,
saat mereka belum berkuasa atau jadi petinggi negeri.
Dulu mereka teriakkan ma’rifatullah dan syari’at rabbani,
saat mereka merasa lemah, miskin dan tanpa legitimasi.
Namun kini, zaman telah jauh berganti,
Kini adalah era keterbukaan, demokrasi dan reformasi.
Kini katanya, kita harus menikmati demokrasi,
Dengan demokrasi, dakwah makin semarak di negeri ini.
Kini katanya, kita tak perlu lagi teriak syariat Islam tanpa henti,
Bukankah sudah banyak ustadz di parlemen atau jadi menteri.
Dulu mereka anti Amerika yang bantu Israel dan jajah sana sini,
Kini mereka adakan acara mewah di hotel paling bergengsi,
Pembesar kedutaan Amerika tak lupa diundang untuk hadiri,
Dan di sana, Uncle Sam itu pun dipeluk dan cipika-cipiki.
Dulu dengan 3F (Food-Fun-Fashion) mereka sangat anti,
Karena itu jurus kapitalis menjajah seantero bumi,
Kini mereka pro bila kontes Miss World diadakan di sini,
Bahkan Hollywood pun dipersilakan ikut menari-nari.
Oh itulah makna menikmati demokrasi yang hakiki,
Dan mereka sepertinya adalah teladan sejati.
Untung saja, masih ada hamba-hamba Allah yang bernurani,
Mereka memahami bahwa dalam demokrasi yang substansi,
tidak hanya ada kebebasan dari represi rezim otokrasi,
tetapi juga hawa nafsu yang dilegalkan melawan kehendak Ilahi.
Karena itu saksikanlah, wahai para penikmat demokrasi,
Kalau kami masih bekerja dan berdakwah di negeri ini,
Itu karena bumi ini masih bagian jagadraya milik Tuhan kami,
Dan terhadap umat kami merasa bertanggungjawab dan peduli.
Andai setelah berkuasa kalian terapkan syariah sepenuh hati,
Sambil terus bersuara agar Islam kaffah jadi cita-cita negeri,
Tentu kalian akan didukung, dido’akan dan makin dicintai,
Tapi itu harapan palsu, sebab kalian adalah penikmat demokrasi.
Saya ada potongan jadi pemain film nggak ya? Kalau bikin film? Kalau menulis skenario? He he …
Tapi sejatinya saya pernah bergabung dalam suatu kelompok teater. Dulu, sewaktu masih SMP. Oleh pelatih, kami diajari berbagai elemen dasar seni peran. Main teater itu jauh lebih sulit daripada main film. Kalau adegan dalam film kan bisa diulang-ulang. Suaranya bisa didubbing. Tetapi kalau teater semuanya life. Jadi harus hafal betul dialognya. Kalau lupa, ya harus improvisasi. Makanya cerita besarnya harus hafal, dan karakter yang diperankan harus menjiwai.
Elemen dasar seni peran itu misalnya, tentang karakter: bagaimana memerankan orang yang lagi sedih, senang, marah, gembira, apatis, buang muka, dsb. Juga tentang bagaimana menjadikan suatu drama mencapai klimax. Juga soal bagaimana mengkombinasikan setting panggung, posisi pemain, rias, kostum, iringan musik, tata lampu, dsb. Ternyata memang tidak mudah. Untuk suatu pertunjukan kecil yang hanya berdurasi 15 menit dalam acara sekolah, persiapannya bisa berbulan-bulan.
Tetapi saya jadi banyak belajar, bahwa manusia bisa disiapkan untuk main sandiwara. Pemain sandiwara kawakan itu bisa menyembunyikan emosi aslinya. Meski dia sebenarnya sedang gundah karena ibunya sakit, demi tuntutan skenario di panggung, dia harus bisa tampil riang gembira. Demikian juga sebaliknya, meski lawan dialognya itu seorang yang sangat ramah dan rupawan, dia harus bisa membuang muka, bahkan kalau perlu sambil meludah, karena skenarionya menyuruhnya begitu.
Kemampuan seperti ini diperlukan ketika kita memiliki aktivitas dengan komunikasi antar manusia yang menonjol. Baik guru, trainer, marketter maupun pengemban dakwah dan politisi, tidak akan rugi belajar seni peran. Bahkan ilmu peran ini ternyata ada perguruan tingginya. Namanya jurusan “dramaturgy”. Mereka yang sangat serius ingin jadi aktor, ya rela kuliah bertahun-tahun di sana. Kadang saya heran. Bukankah ada juga anak yang masih kecil juga sukses main film. Tapi ya beda.
Saya pernah ikut suatu car-sharing (yang lazim di Eropa) untuk perjalanan dari Wina ke Gottingen. Ternyata sopirnya itu seorang aktor Austria. Orangnya ramah. Saya tanya, apa sih peran dia di film-film. Dia bilang, paling sering jadi tokoh antagonis. Misalnya jadi serdadu Nazi … weleh … Terus saya tanya, apa itu ada sekolahnya? Dia bilang, ya, dia sekolah 4 tahun untuk dapat diploma seni peran. Saya makin penasaran, saya tanya, kalau yang tidak sekolah saja bisa jadi aktor terkenal, bagaimana kalau yang sekolah seperti dia. Dia menjawab begini, “Untuk jadi aktor terkenal, Anda harus ketemu produser atau sutradara yang tepat, di tempat yang tepat, di saat yang tepat, agar Anda mendapat peran yang tepat, dalam cerita yang tepat, dan bermain bersama orang-orang yang tepat”. Wow ! (more…)
Apakah Anda puas dengan sekolah Anda atau sekolah anak-anak Anda?
Apakah sekolah-sekolah itu lebih baik atau tidak sebaik RSBI/SBI yang baru saja dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi?
Saya “beruntung” lahir di tahun 1968 dan besar ketika di Indonesia RSBI/SBI belum dikenal. Rumah masa kecil saya ada di samping sebuah Madrasah Ibtidaiyah swasta. Karenanya, ketika mau masuk SD saya sempat minta ke ibu saya agar masuk MI itu saja, biar dekat … Tetapi ibu saya akhirnya memasukkan saya ke sebuah SD Negeri yang lebih jauh, padahal beliau sendiri dulu sekolah di MI yang dinaungi oleh yayasan yang sama dengan MI samping rumah itu. Kakak-kakak saya juga semuanya sekolah di SD Negeri. Katanya MI sebelah rumah itu kurang bagus, muridnya nakal-nakal dan yayasannya mengalami kesulitan keuangan untuk membayar guru maupun merawat fisik sekolahnya.
SDN saya itu terletak di kampung. Kalau hujan, jalannya sangat becek dan berlumpur. Biasanya kalau hujan, kami memilih ke sekolah tidak pakai sepatu, daripada sepatunya cepat rusak. Waktu itu SD saya itu tidak punya toilet, tidak punya sambungan listrik, dan areanya tidak berpagar. Kalau anak-anak mau kencing, ya kencing saja di kebun, sedang anak perempuan suka minta ijin kencing di rumah terdekat yang memiliki sumur. Kalau hari mendung, maka di dalam kelas gelap sekali, karena tidak ada lampu. Kalau hujan maka bocor di sana sini, dan suara guru jadi tidak kedengaran, kalah sama suara hujan. Dan kalau sekolah sudah selesai, maka anak-anak kampung banyak yang menjadikan area sekolah jadi arena petak umpet atau perang-perangan. Ayam juga kadang-kadang ikut belajar di kelas, dan tak lupa berak di sana 🙂
Di sekolah ada lapangan upacara yang disemen, tetapi sudah berlubang di sana-sini. Lapangan ini nyaris hanya buat upacara tiap Senin, yang amanat dari Inspektur Upacara selalu saja soal kebersihan. Kalau buat olahraga, kaki jadi sakit. Akhirnya, kami lebih suka olahraga di lapangan rumput yang agak jauh. Untuk ke lapangan rumput itu, kami bisa memilih dua jalan: pertama lewat samping kandang sapi, kedua lewat kuburan. Kalau lewat kandang sapi, kami harus melewati jembatan dari sebatang pohon kelapa yang licin. Beberapa anak kadang terpeleset, lalu tubuhnya jatuh ke selokan yang penuh kotoran sapi. Sedang kalau lewat kuburan, kami kadang bertemu dengan kalajengking atau bahkan ular. (more…)