Setiap orang adalah pemimpin. Setidaknya bagi dirinya sendiri. Lebih besar lagi bagi keluarganya.
Tapi seorang pejabat di suatu organisasi apapun, tidak diragukan lagi – harusnya menyadari – bahwa dia seorang pemimpin, setingkat apapun levelnya. Hanya realitasnya banyak yang tidak menyadari apa saja tugas seorang pemimpin.
Ternyata setidaknya ada lima fungsi mulia di pundak seorang pemimpin itu.
1. Memberi arah (Visi)
Seorang pemimpin mestinya adalah orang yang paling menginternalisasi tujuan dan mimpi-mimpi organisasi. Tetapi aneh, banyak pejabat negeri ini, soal visi-missi-strategi organisasi saja, minta tolong ke consultan untuk membuatkan … Kalau sekedar mengemas dalam kalimat yang sexy, boleh saja, tetapi kalau all-in, terima beres, itu yang aneh … Tetapi gak apa-apa sih, bisa jadi rejeki bagi consultan itu. Sayang consultannya bukan milik saya … 🙂 Yang jelas, sebagai yang paling tercerahkan dengan mimpi, pemimpin harus bisa terus menginspirasi anak buahnya. Kalau di birokrasi yang setiap Senin atau setiap tanggal 17 ada upacara, mestinya para pemimpin itu bisa men-charge anak buahnya dengan inspirasi hebat, sehingga mereka justru akan selalu menunggu-nunggu, kapan upacara lagi … 🙂
2. Memasarkan arah (Share)
Seorang pemimpin mesti mengkomunikasikan apa yang menjadi arah dan kemampuan – atau bahkan keunggulan – organisasinya baik ke dalam maupun ke luar. Ke dalam, agar mendapatkan dukungan maksimal dari stakeholdernya (yaitu karyawan, pemodal/penyandang dana, supplier maupun para tetangga). Mereka akan semakin termotivasi dengan setiap langkah maju ke depan mendekati sasaran. Ke luar, agar produknya laku, setidaknya dipakai oleh konsumen dan berdampak kontributif di masyarakat. Pemimpin boleh saja mendelegasikan soal marketing dan promosi ini ke Juru bicara, Chief Marketing Officer atau Kepala Biro Humas, tetapi dalam pertemuan apapun, seorang pemimpin akan menjadi icon yang paling penting yang mewakili keseluruhan organisasi.
3. Mengoptimasi sumberdaya (Ressources Optimizer)
Seorang pemimpin adalah penentu dalam koordinasi sumberdaya (SDM, finansial, ruang, waktu) organisasi, yang pasti tidak akan sepi dari friksi, kesenjangan, konflik kepentingan, dan sejenisnya, tetapi tetap harus dioptimasi. Kalau SDM bertalenta di bagian teknik dipromosikan ke bagian keuangan, karena orang itu selain cerdas juga integritasnya luar biasa, maka tentu saja bagian teknik akan menjerit, dan bagian keuangan belum tentu berterima kasih mendapat orang “dari luar”. Pokoknya koordinasi atau conflict-solver soal sumberdaya itu puncaknya di pimpinan. Kalau bawahan disuruh “atur-atur sendiri”, atau “tolong saling koordinasi ya”, ya pasti jalannya sempoyongan lah. Dan kalau pimpinan salah memilih anak buahnya yang langsung di bawahnya, salah mengalokasi pembagian kue, menunjuk ruang yang salah untuk orang-orang tertentu, atau mengajak lembur di saat liburan anak sekolah, pasti dia hanya akan menciptakan lebih banyak musuh di organisasinya. Pemimpin harus ada, ketika resources ini terasa menipis. Jangan sampai, ketika anak buahnya berjuang seakan-akan air serasa sampai di leher, sang pemimpin malah sedang pesta pora di pantai dikelilingi dayang-dayang menawan.
4. Memberi bentuk (Shape)
Setelah tujuan, bentuk sebuah organisasi ditentukan oleh proses bisnis yang dipilihnya. Proses bisnis ini tentunya perlu disistemkan dalam bentuk rangkaian Standard Operating Procedure. Apalagi kalau itu menyangkut berbagai hal yang perlu inovasi. Tanpa inovasi suatu organisasi akan tergilas oleh perkembangan zaman. Tentu saja, rincian SOP bisa diserahkan ke profesional. Tetapi beberapa bagian-bagian kritis dari SOP perlu diputuskan sendiri oleh pemimpin. Misalnya, apakah orang yang selalu telat hadir di kantor kumulatif 8 jam dalam 1 minggu perlu diberi sanksi? Kalau ya sanksi apa? Atau apakah staf yang meraih 200% dari target perlu diberi reward khusus? Tentu saja, tugas seorang pemimpin tidak hanya membuat SOP, tetapi dia harus menjadi figur yang pertama-tama mentaati SOP. Anak buah paling sebal melihat pemimpin yang tidak mentaati SOP yang dia buat sendiri.
5. Menjamin hasil (QCD Assurance)
Orang luar pada umumnya tidak akan peduli dengan sesulit apa proses bisnis sebuah organisasi. Mereka hanya peduli bahwa output organisasi itu pada kualitas yang bermanfaat untuk mereka, harganya terjangkau, dan dapat diakses tepat waktu. Quality-Cost-Delivery ini harus bisa dijamin. Oleh siapa? Bukan oleh QC-manajer, tetapi oleh pemimpin! Pemimpin mempertaruhkan jabatan dan reputasinya untuk itu. Kalau dia tidak percaya pada QC-manajer, ya tidak perlu memblame. Masyarakat tidak ambil pusing siapa QC-manajernya. Itu urusan pemimpin. Jadi kalau QC-manajer-nya jelek, ya ganti saja, gitu saja koq repot.
Dalam birokrasi:
tugas no 1 sering didelegasikan ke Widyaiswara (Diklat),
tugas no 2 sering didelegasikan ke Promosi & Pranata Humas (Biro Humas),
tugas no 3 sering didelegasikan ke Perencana (Biro Perencanaan),
tugas no 4 sering didelegasikan ke Peneliti (Litbang),
tugas no 5 sering didelegasikan ke Auditor (Inspektorat).
Karena pentingnya, tugas-tugas ini semestinya dilakukan oleh mereka yang berpengalaman pada core-business organisasi. Artinya, kalau organisasi itu bergerak di bidang teknis, maka widyaiswaranya harus punya pengalaman cukup di bidang teknis (kalau tidak, nanti dia ngajar apa?), humasnya juga mantan orang teknis (agar ngerti benar yang dipasarkan), perencananya juga begitu (otherwise, nanti hanya sekedar kompilator proposal), penelitinya apalagi (kalau nggak, nanti risetnya gak konek) dan last but not least, auditornya juga, bukan sekedar ngerti akuntansi keuangan.
Tapi paling top lagi, kalau pemimpin utama empati dan mau belajar minimal 5 hal-hal ini, agar dia benar-benar dirasakan memimpin, dan anak-buahnya tidak merasa organisasi itu dijalankan oleh “autopilot” 🙂
Dalam dunia swasta, ternyata mirip-mirip juga.
Kalau mau bisnis sukses, ternyata yang paling pertama itu harus ada mimpi dulu, lalu menciptakan jejaring (baik untuk pasar maupun yang lain), lalu bisa mengoptimasi sumberdaya (terutama SDM dan cash-flow!), kemudian selalu ada inovasi, dan terakhir, kontrol – agar produk tidak mengalami penurunan mutu, dan juga agar tidak ada benih-benih perusak dari manapun.
Demikian juga di dunia nirlaba, baik itu organisasi sosial maupun politik.
Intinya, fungsi pemimpin ini di mana-mana mirip ya …
Atau anda ada ide/pendapat yang lain?
Sebuah tulisan, agar dia menjadi produktif, bermanfaat bagi kehidupan, tidak harus ilmiah!
Mungkin tidak semua ilmuwan setuju pernyataan ini. Bahkan anak-anak yang baru lulus sarjana, ketika membaca buku saya tentang “Kisah Penelitian dan Pengembangan Sains dan Teknologi di Masa Peradaban Islam (TSQ-Stories)” memprotes, bahwa buku itu tidak memuat catatan kaki maupun daftar pustaka sebagai lazimnya karya ilmiah. Padahal di Sekapur Sirih (Pendahuluan) buku itu memang ditegaskan bahwa buku itu tidak dimaksudkan sebagai karya ilmiah!
Namun sebaliknya, ada beberapa mahasiswa S2 dan S3 yang ghirah Islamnya sangat tinggi, justru meminta judul tesis atau disertasi terkait syariah atau Studi Islam, bahkan beberapa terang-terangan meminta saya kalau bisa menjadi salah satu pembimbing mereka. Ada yang temanya terkait “Pembangunan Infrastruktur dalam Daulah Islam”, “Penataan Kota di masa Khilafah”, “Geostrategi Perspektif Islam”, “Islamic-Economics”, “APBN Syari’ah”, “Audit Syariah”, “Pajak dalam Islam”, “Fisika Qur’ani” dan sebagainya. Mereka berasal dari fakultas yang berbeda-beda, ada yang Magister Studi Islam, Magister Ekonomi, Fisipol, bahkan FMIPA dan Fakultas Teknik.
Tentu saja, dunia ilmiah modern – yang diawali oleh kaum muslimin – memiliki tradisinya sendiri. Anda sama sekali tidak layak menjadi pembimbing skripsi, tesis apalagi disertasi, kalau anda belum menunjukkan prestasi ilmiah di bidang itu. Dan prestasi ilmiah diukur dari pendidikan atau penelitian yang dibuktikan dari publikasi ilmiah. Sekali lagi publikasi ilmiah!
Publikasi ilmiah tampak dari dua hal:
1. Tulisan itu dibuat dalam style ilmiah, yakni setiap pernyataan dilengkapi dengan kutipan yang bisa ditelusuri dari buku apa karangan siapa terbitan mana tahun kapan dan halaman berapa, atau didapat sendiri dari data yang diolah sendiri. Boleh saja itu merupakan topik tentang agama, tetapi dari awal langsung kelihatan bahwa itu tulisan ilmiah, ketika setiap pernyataan disebutkan bahwa itu misalnya dari Qur’an ayat berapa, atau Hadits Riwayat Bukhari nomor berapa, atau ijtihad Imam Syafi’i di kitab apa halaman berapa.
2. Tulisan itu dimuat di sebuah jurnal ilmiah atau prosiding konferensi ilmiah yang spesifik, tidak terlalu lebar. Jadi kalau menyangkut pendapat di bidang ekonomi syariah, tentunya harus di konferensi ilmiah para ahli ekonomi syariah, bukan di konferensi para ahli hukum, atau di rembug nasional yang audiensnya nano-nano.
Dari sini jelas, bahwa meski di sebuah publikasi ilmiah bisa menyitir sebuah dalil dari al-Qur’an, tetapi al-Qur’an sendiri bukan buku ilmiah ! Ingat itu ! Bukan berarti al-Qur’an isinya tidak ilmiah yang berkonotasi banyak salahnya, tetapi al-Qur’an tidak ditulis dalam style publikasi ilmiah.
Jadi kebenaran sebuah bacaan tidak tergantung dengan apakah ia ditulis dalam style ilmiah atau bukan. Hanya saja, bacaan yang ditulis dalam style ilmiah lebih mudah ditelusuri tingkat kebenarannya. Sebaliknya, kebenaran al-Qur’an hanya dapat didekati ketika orang sudah beriman. Orang bisa beriman, ketika melihat bahwa al-Qur’an memiliki kualitas bahasa yang supranatural, yang tidak mungkin manusia bisa membuatnya. Orang yang tidak beriman dan mengingkari kemukjizatan al-Qur’an, tidak akan mendapatkan sedikitpun manfaat dari al-Qur’an.
Kalau al-Qur’an saja bukan buku ilmiah, maka demikian pula dengan sederet buku yang inspiratif. Baik itu buku-buku motivasional, buku-buku yang mendorong kita menjadi enterpreneur sukses ataupun buku-buku perjuangan. Tulisan Bill Gates (Microsoft) tentang masa depan IT di News Week tahun 1991 ataupun orasi Steve Jobs (Apple) di Stanford University bukanlah tulisan ilmiah, sekalipun super-inspiratif, dan faktanya telah membentuk IT menjadi seperti sekarang ini.
Demikian juga tulisan perjuangan ideologis di manapun, entah itu karya Abraham Lincoln, Nelson Mandela, Bung Hatta, Hasan al-Bana, Taqiyyuddin an-Nabhani dll, bukanlah buku ilmiah, dan mereka memang tidak ingin tulisannya hanya sekedar berakhir di suatu perpustakaan ilmiah. Mereka ingin tulisan-tulisan mereka menggerakkan sebuah masyarakat untuk bertransformasi sesuai dengan cita-cita yang mereka perjuangkan.
Karena itu, kalau Anda ingin menselaraskan perjuangan ideologis dengan kehidupan akademis, dan Anda serius ingin meng-ilmiah-kan pendapat yang sudah Anda yakini dari buku-buku yang inspiratif tadi, maka Anda harus berjuang lebih keras. Anda tidak cukup hanya mengutip satu dua buku inspiratif yang sudah “taken-for-granted” itu, kecuali kalau riset Anda sekedar studi komparasi pendapat antara beberapa tokoh inspiratif.
Tetapi kalau Anda serius ingin menunjukkan sisi-sisi ilmiah dari -misalnya- ekonomi Islam, maka Anda harus mencari banyak kutipan dari publikasi ilmiah terkait, serta data berbagai hal dari sumber yang otoritatif.
Kalau Anda beruntung, mungkin cukup membuka scholar.google.com Anda akan ketemu banyak jurnal yang tersedia online yang membahas salah satu aspek dalam ekonomi Islam. Namun mungkin mayoritas berbahasa asing. Mungkin bahkan kata kunci yang harus Anda masukkan harus dalam bahasa Arab, Urdu, Persia atau Turki. Untung sekarang juga sudah ada translate.google.com.
Demikian juga, kalau bicara angka statistik misalnya perbandingan jumlah pria : wanita, maka Anda harus mengacu kepada data Statistik Nasional yang resmi, sekalipun mungkin Anda menuduh bahwa mereka sudah berkonspirasi memalsukan angka-angka itu untuk sebuah kepentingan politik tertentu. Boleh saja Anda menuduh, kalau Anda juga memiliki angka lain dari sumber lain yang kurang lebih sama atau lebih baik reputasinya di bidang statistik.
Tetapi kalau ternyata Anda memang tak sanggup untuk menghadirkan karya ilmiah, tidak usah berkecil hati. Mungkin bakat Anda memang tidak di situ. Mungkin Anda lebih berbakat menjadi pejuang atau motivator kelas dunia yang menginspirasi jutaan orang. Banyak di antara mereka itu yang bahkan tidak pernah kuliah atau bahkan hanya punya ijazah SD. Tetapi kalau mau seperti mereka, Anda harus membuktikan punya prestasi di bidang itu, misalnya:
– meski cuma lulusan SD, terbukti mampu membuat perusahaan dengan laba Rp 1 juta/jam, atau
– meski bukan anak orang kaya, terbukti mampu menjadi multi-milyarder pada usia 24 tahun, atau
– meski bukan Ustadz, terbukti berhasil merekrut 1000 kader dakwah dalam tempo 1 tahun, dsb.
Jadi memang tidak ada yang mudah di dunia ini …Selamat Bekerja!
Simulasi Hitungan Subsidi BBM
Prof. Dr. Fahmi Amhar
Percayakah anda dengan pernyataan Pemerintah bahwa subsidi BBM sudah sangat besar, sehingga sudah saatnya membatasi BBM bersubsidi yaitu Premium hanya ke mobil pelat nomor kuning dan sepeda motor? Sudahkah rasa ingin tahu anda begitu besar sehingga mendorong untuk menghitung ulang sendiri besaran subsidi BBM saat ini? Tulisan ini hanya salah satu usaha seorang intelektual (meskipun boleh saja dianggap awam di bidang ekonomi perminyakan) yang ingin rasa tahunya terpuaskan.
Untuk memenuhi rasa ingin tahu itu, tentu saja kita harus berangkat dari pengetahuan dasar dan data ekonomi perminyakan terakhir.
Sebagai pengetahuan dasar, kita harus paham satuan-satuan energi. Untuk minyak mentah kadang dihitung dengan barrel, sedang minyak siap pakai (BBM) kadang dihitung dengan liter. 1 Barrel adalah sekitar 1 drum, dan untuk minyak mentah itu adalah 158,9873 liter, dan sebaliknya 1 kiloliter = 6,2893 barrel. Untuk gas alam (LNG) kadang diukur dengan kaki kubic (cubic feet), atau trilyun standar kaki kubic (TSCF). Satu CF adalah 28,3168 liter atau 0,1781 barrel. Tapi karena kandungan energi gas berbeda dari minyak, maka untuk mudahnya digunakan satuan “Setara Barrel Minyak” (SBM) atau Barrel Oil Equivalent (BOE). Ada juga satuan energi yang dihitung dengan Peta Joule, ini biasanya lazim di dunia fisika listrik. 1 Peta Joule = 10^15 Joule atau kira-kira sama dengan yang dihasilkan oleh 175074 SBM.
Pengetahuan dasar kedua adalah, dari minyak mentah itu setelah diolah akan menjadi banyak sekali produk, mulai gas (Liquid Petroleum Gas / LPG / elpiji), avtur, minyak tanah, gasoline atau bensin (premium, pertamax), minyak diesel (solar), minyak bakar, lilin hingga asphalt. Dari 1 barrel minyak mentah akan didapat 74,7 liter bensin atau cuma 47% (http://en.wikipedia.org/wiki/Barrel). Jadi premium maupun pertamax hanya berbeda di pengolahan di kilangnya, yang menyebabkan nilai oktannya berbeda.
Pengetahuan dasar berikutnya adalah angka lifting, yaitu minyak yang diambil setiap hari. Minyak diproduksi tiap hari, tetapi jumlahnya bisa bervariasi. Kadang suatu sumur harus dirawat sehingga berhenti beroperasi. Jadi angka lifting adalah angka rata-rata. Kemudian harga minyak mentah juga bervariasi, baik di tingkat produksi maupun di pasar. Di tingkat produksi, biaya instalasi sumur dan biaya operasi sehari-hari sangat bervariasi, tergantung tingkat kesulitan medan (hutan, pantai, laut), jarak dari kilang atau dermaga, dan jumlah cadangan yang ada. Di pasar dunia juga harga bervariasi mengikuti musim. Ketika musim dingin orang butuh lebih banyak bahan bakar sehingga harga minyak akan melambung. Dan karena minyak diperdagangkan di bursa barang berjangka dunia, maka harga minyak untuk pengiriman sekian bulan ke depan sudah menjadi objek spekulasi.
Karena itulah pemerintah lalu mengambil asumsi-asumsi untuk APBN. Ini karena di APBN kita, penghasilan dari minyak harus dimasukkan dahulu. Jadi bagi Pertamina harga minyak mentah bukan Rp 0,-, tetapi sesuai asumsi APBN. Yang Rp 0,- adalah minyak mentah yang masih di dalam tanah. Untuk mengangkatnya perlu biaya juga. Minyak bumi adalah komponen pendapatan negara yang signifikan selain dari Sumberdaya alam lainnya, Pajak dan PNBP seperti bea cukai, retribusi dsb.
Contoh asumsi itu adalah, untuk APBN 2011:
Lifting : 970.000 barrel/hari
Harga minyak :US$ 80 / barrel
Nilai tukar 1 US$ = Rp. 9300,-
Dari ketiga asumsi ini, didapat angka sebagai berikut:
Produksi tahunan minyak mentah adalah 970.000 x 365 = 354,1 juta barrrel / tahun dan pendapatan negara dari minyak mentah adalah 354,1 juta barrel x US$ 80 x Rp. 9300 = Rp. 263,4 Trilyun. Angka inilah yang harus dibayarkan oleh siapapun yang akan membeli minyak mentah tersebut, baik Pertamina maupun dari Luar Negeri.
Tetapi di APBN 2011, pendapatan dari minyak bumi hanya ditulis 104,8 Trilyun (40% dari harga lifting).
Mungkin penjelasannya, angka US$ 80 / barrel atau total Rp. 263,4 Trilyun/tahun itu masih brutto, sementara ada “biaya produksi” untuk mengangkat minyak itu dari dalam tanah, sehingga netto jatuh Rp. 104,8 Trilyun. Tetapi, untuk sebuah “ongkos”, Rp. 158,6 Trilyun (60%) memang sangat besar. Mungkin ini termasuk cost-recovery di hulu (selain cost-recovery di hilir), biaya bagi hasil dengan kontraktor minyak asing, dan keuntungan pertamina hulu.
Lalu dengan produksi minyak mentah 354,1 juta barrel / tahun dan asumsi yang menjadi bensin hanya 47%, maka ini akan menjadi 26,4 juta kiloliter.
Tetapi data di harian Kompas 10 Februari 2011, volume BBM bersubsidi pada APBN 2011 adalah 38,2 juta kiloliter. Ini pasti mencakup seluruh BBM, termasuk solar dan minyak tanah, karena yang premium hanya 60% atau sekitar 23 juta kiloliter. Kalau ditambah pertamax yang selama ini pasarannya sangat kecil, tidak ada 5%, maka semestinya belum mencapai 26,4 juta kiloliter yang diproduksi di dalam negeri!.
Masalahnya data prosentase produk-produk kilang minyak di dalam negeri cukup sulit dijampai.
Yang ada adalah data dari Kementrian ESDM tentang Arus minyak nasional pada tahun 2007.
Dari sini bisa disimulasi sembilan hal (dalam juta barrel):
A. Minyak mentah sendiri yang diproduksi (348)
B. Minyak mentah sendiri yang diekspor (135)
C. Minyak mentah sendiri yang diolah (204)
D. Minyak mentah impor yang diolah (116)
E. BBM yang dihasilkan kilang dalam negeri (244)
F. Hasil non BBM (89)
G. BBM yang diimpor (150)
H. Total BBM yang dijual (392)
I. BBM bersubsidi untuk transportasi & rumah tangga (276)
Harga A dan C mengikuti asumsi APBN (US$ 80/barrel atau US$ 0,503/liter). Harga B, D, F, G mengikuti fluktuasi pasar dunia (misalnya saat ini US$ 100/barrel atau US$ 0,629/liter untuk minyak mentah dan Rp. 9000/liter atau US$ 0,968/liter untuk BBM). Harga E merupakan komposit asumsi APBN dan pasar dunia karena ada komponen minyak mentah impor, menjadi US$ 0,527/liter. Harga H karena merupakan totalitas, sebagian mengikuti harga eceran yang ditetapkan pemerintah dan sebagian mengikuti harga BBM pasar dunia karena dijual ke industri, sehingga dengan memperhatikan komposisinya menjadi US$ 0,790/liter. Hanya harga I yang mengikuti harga eceran pemerintah, yang disebut juga harga bersubsidi, yaitu Rp. 4500/liter atau US$ 0,715/liter. Dengan demikian kita sudah membawa seluruh arus minyak dalam satuan yang sama.
Yang diinginkan negara masuk ke APBN adalah harga besaran A, setelah dikalikan asumsi harga minyak mentah dengan efisiensi yang hanya 40% (=Rp. 102,99 T).
Yang didapatkan negara dari penjualan adalah B+F+H dengan asumsi harga minyak mentah dunia, harga pasar BBM dunia, dan komposisi produk bersubsidi dan non subsidi = Rp. 571,79 T.
Kemudian yang mesti dikeluarkan adalah penyisihan untuk APBN (A) Rp 258,9 T ditambah untuk impor minyak mentah dan impor BBM (E+G = Rp 322,5 T) menjadi Rp. 581,44 T.
Dari sini terbaca bahwa Pendapatan dikurangi Pengeluaran adalah defisit Rp 9,65 T. Defisit ini mungkin karena kebutuhan impor BBM yang sudah cukup tinggi akibat tingkat motorisasi yang semakin besar. Mungkin inilah subsidi yang sesungguhnya, pendapatan dikurangi pengeluaran (atau kita sebut biaya produksi), setelah ada kebutuhan memasukkan pendapatan minyak bumi ke APBN dengan asumsi harga tertentu. Yang mengejutkan, cukup hanya dengan menaikkan harga eceran BBM menjadi Rp. 4720/liter (hanya naik Rp. 220,-), defisit ini sudah nol Rupiah.
Meski arus minyak di atas adalah dari tahun 2007, tetapi volume BBM bersubsidi (huruf I) sudah diasumsikan 43,9 juta kiloliter, lebih tinggi dari data yang dimuat di Harian Kompas 10 Februari 2011. Namun tidak sulit juga memproyeksikan bila ada kenaikan kebutuhan BBM sebanyak 1 juta kiloliter (= 6,3 juta barrel) yang kita impor semua (G=156,3), dan yang dijual dengan harga eceran semua (H=398,2, I=282,3), maka defisitnya menjadi Rp. 14,15 T. Bila harga eceran dinaikkan menjadi Rp. 4815/liter, maka defisit sudah kembali 0. Kalau kebutuhan BBM naik lagi 1 juta Kiloliter, maka defisit dapat dijaga 0, kalau harga eceran kembali naik Rp. 95/liter.
Namun kalau subsidi ini dihitung dengan selisih harga eceran (Rp. 4500) dengan harga BBM pasar dunia (Rp. 9000) dikalikan angka huruf I yaitu jumlah BBM bersubsidi untuk transportasi & rumah tangga (276 juta barrel/tahun), muncul angka Rp (9000-4500) x 276 x 159 / 1000 = Rp. 197,5 T. Jadi pada model ini, subsidi baru 0 bila harga eceran BBM = harga BBM pasar dunia.
Hitung-hitungan ini boleh jadi kurang tepat, kurang akurat, bahkan keliru. Semoga bahkan data ongkos produksi minyak mentah salah, tidak setinggi itu. Maklum penulis relatif awam di bidang ekonomi perminyakan. Tetapi tolong, tunjukkan hitung-hitungan yang lebih akurat, cermat dan lengkap. Agar kami kaum intelektual tidak terus bertanya-tanya, meraba-raba dan berburuk sangka.
Prof. Dr.-Ing. Fahmi Amhar, adalah peneliti utama dan pengamat sumberdaya alam dari Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional.