Beyond the Scientific Way

Fahmi Amhar Official Blog

Archive for the ‘Analisis’ Category

Saat Hidup Menguji Siswa

Monday, June 4th, 2012
Dr. Fahmi AmharBerapakah angka kelulusan Ujian Nasional (UN) di daerah Anda?  Di atas 90%?  Percayakah Anda bahwa semuanya didapat dengan kejujuran?  Prof. Dr. Ir. Indra Djati Sidi, mantan Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah pernah di suatu acara di Direktorat Pembinaan SMP tahun 2009 menyampaikan bahwa indeks objektivitas UN SMA bidang Matematika IPA hanya 0,383 (dari maksimum 1), sedang untuk Bahasa Inggris cuma 0,411.  Jadi meski angka lulus nasional waktu itu mencapai 93,5%, dan dengan rerata nilai 7,31, tetapi sudah rahasia umum, bahwa itu hasil bohong-bohongan, yang sayangnya dilakukan sistemik oleh pemerintah daerah, dinas pendidikan setempat dan para guru !  Hasilnya adalah “lulusan dodol”, hasil didikan “guru dodol” yang diurus oleh “penguasa dodol”.

Semula, UN diadakan untuk memetakan kualitas sekolah.  Sekolah yang hasil UN-nya masih rendah, perlu lebih diperhatikan kelengkapan sarananya, mungkin gurunya perlu diberikan diklat penyegaran, bahkan ekonomi orang tua siswa perlu ditingkatkan.  Namun ketika UN dijadikan alat ukur kelulusan siswa dan alat ukur keberhasilan daerah, maka penguasa daerah menghalalkan segala cara agar daerahnya tampak kinclong, minimal pada nilai UN.

Padahal sekalipun UN didapatkan dengan jujur dan bermartabat, tetap saja UN baru mengukur sedikit dari kompetensi anak didik.  Terlalu banyak hal yang masih belum terukur dengan UN, misalnya kreativitas, integritas, kemampuan menaklukkan tantangan dan sebagainya.

Jika pendidikan terus dengan sistem yang membiarkan terjadinya “kedodolan” ini, maka tak perlu heran bahwa 25 tahun mendatang, boleh jadi tingkat butu huruf sekunder di Indonesia mencapai 30-40%.  Seperti apa negara seperti itu?  Seperti Eropa!

Eropa abad 9 – 12 M memiliki tingkat buta huruf 95%! Bahkan Kaisar Karl dari Aachen di usia tuanya konon masih berusaha mempelajari “keterampilan yang sulit dan langka” itu!  Di biara-biara hanya sedikit pendeta yang mampu membaca.  Di biara St Gallen Swiss pada 1291 bahkan tak ada seorangpun dapat membaca dan menulis.  Pada saat yang sama, jutaan anak-anak di desa dan kota Daulah Khilafah duduk di atas karpet dan mengeja huruf-huruf Qur’an, menulisnya, hingga menghafal surat-surat itu, lalu memulai mempelajari dasar-dasar gramatika bahasa Arab (nahwu dan shorof).

Keinginan seorang muslim untuk menjadi muslim yang baik, adalah awal semua ini.  Karena setiap muslim mesti mampu membaca Qur’an.  Di sinilah jurang antara Timur dan Barat.  Untuk kitab suci Nasrani, hanya pendeta yang memiliki akses, membaca dan mengerti bahasa kitab suci.  Namun sejak 800 M, para pengkhutbah dalam bahasa Latin sudah susah dimengerti orang kebanyakan, sampai-sampai sinode gereja memerintahkan menggunakan idiom awam, karena yang menikmati sekolah (berbahasa Latin) hanya selapis tipis rohaniwan.

Ini berbeda dengan Daulah Khilafah yang sangat berkepentingan agar rakyatnya cerdas.  Pendidikan benar-benar menjadi urusannya.  Anak-anak semua kelas sosial mengunjungi pendidikan dasar, dengan biaya yang terjangkau semua orang.  Karena negara membayar para gurunya, orang-orang miskin mendapat tempat cuma-cuma.  Di banyak tempat malah sekolah sama sekali gratis, misalnya di Spanyol.  Selain 80 sekolah umum Cordoba yang didirikan al-Hakam-II pada 965 M, masih ada 27 sekolah khusus untuk anak-anak miskin.  Di Kairo, al-Mansur Qalawun mendirikan sekolah untuk anak yatim, dan menganggarkan setiap hari ransum makanan yang cukup dan satu stel baju untuk musim dingin dan satu stel baju untuk musim panas.  Bahkan untuk orang-orang Badui yang berpindah-pindah, dikirim guru yang juga siap berpindah-pindah mengikuti tempat tinggal muridnya.  Tak ada lagi celah dalam jejaring sekolah seperti ini.

Namun pendidikan di Daulah Khilafah tidak terbatas pada pendidikan dasar.  Yang “salah” adalah politik. Kompetisi antara oposisi dan pemerintah dalam melayani rakyat menyebabkan tingkat pendidikan cepat terangkat.  Pada abad-10 M, oposisi meluncurkan konsep berbagai program pendidikan untuk lebih menarik dukungan masyarakat dalam mengkritisi pemerintah.  Para oposisi ini merencanakan membangun universitas, tentunya juga bebas biaya.  Maka segera pemerintah mengambil ide ini, agar oposisi batal mendapat dukungan.  Hasilnya rakyat di seluruh kota besar menikmati pendidikan tinggi!

Para mahasiswa tinggal di kamar-kamar lantai atas gedung kampus.  Mereka juga mendapat makanan lengkap cuma-cuma, bahkan uang saku.  Di bawah tanah terdapat dapur, gudang dan tempat mandi.  Di lantai dasar ada ruang-ruang belajar dan perpustakaan.  Di situlah dipelajari Quran, Hadits, Bahasa Arab, Sejarah, Sosiologi, Geografi, Logika, Matematika dan Astronomi.  Melalui pertanyaan dan debat, mahasiswa dilibatkan dalam proses pembelajaran.  Para mahasiswa tingkat lanjut dan alumni membantu mereka belajar.  Mereka seperti “lebah yang sedang meracik madu ilmu dari ribuan bunga pengetahuan”, tulis Sigrid Hunke, sejarawan Jerman dalam Allah Sonne ueber dem Abendland.

Sebagian petani dari desa menitipkan anak mereka ke seorang guru di kota, bersama uang atau hasil bumi untuk biaya hidupnya.  Mereka berharap anaknya akan tumbuh menjadi seorang faqih yang kelak diterima sebagai qadhi atau bahkan syukur-syukur menjadi mujtahid Khalifah.  Anak-anak titipan ini akan menjadi “ajudan” dari sang guru.  Sebagai balas jasa, sang guru akan merawatnya jika si anak sakit, bahkan siap menjual keledai satu-satunya jika dia perlu membeli obat.

Namun jalan umum untuk belajar adalah di masjid-masjid.  Siapa saja boleh datang dan pergi, laki ataupun perempuan.  Dan siapa saja boleh menginterupsi para guru untuk bertanya atau membantah.  Ini memaksa para guru untuk mempersiapkan materinya dengan seksama.  Sebenarnya, siapapun yang merasa mampu boleh mengajar.  Namun audiensnya yang selalu siap mengkritik, mencegah orang-orang yang belum matang atau baru setengah matang dalam ilmu untuk memimpin kalimat.

Di masjid-masjid juga biasa didengarkan kalimat dari para ulama yang sedang dalam perjalanan yang singgah di kota itu, terutama ketika musim haji.  Dengan demikian para mahasiswa selalu mendapatkan masukan.  Bahkan juga cepat tahu bila ada karya yang “dicuri” mentah-mentah (plagiarism).  Untuk mengungkap karya orang lain, sanad atau rawi wajib disebutkan.  Dan untuk itu perlu ada ijazah (lisensi) tertulis dari gurunya, bahwa dia layak untuk menjadi sanad dari pengetahuan tersebut.  Inilah mengapa gelar sarjana di timur tengah adalah Lc. dari kata Licentiate – berlisensi untuk menyampaikan.

Dunia Islam memberi inspirasi seluruh manusia untuk belajar, karena belajar adalah satu-satunya jalan untuk mengenal Tuhan dan mendapatkan hikmah kehidupan.

Kegagalan Kebangkitan ala Indonesia

Monday, May 21st, 2012

Definisi Kebangkitan

Kalau kita bicara tentang kebangkitan sebuah bangsa, maka kita harus menetapkan dulu apa definisi kebangkitan itu dan apa indikator sebuah bangsa dikatakan telah bangkit, maju, kuat dan mandiri, juga sebaliknya kapan bangsa itu itu disebut bangsa yang gagal, terbelakang, lemah dan pengekor.

Pertama-tama kita bisa menggunakan definisi yang relatif berlaku umum.

Bangkit berarti bangun dari suatu kondisi yang dianggap memiliki kemampuan lebih rendah, misalnya dari posisi berbaring ke duduk, dari duduk menjadi berdiri, dan dari berdiri menjadi berjalan atau berlari. Dalam konteks sosial-politik, bangkit adalah berubah dari posisi “mati” (statis) menjadi “hidup” (dinamis) secara sosial politik.

Dari sisi kualitas, bangkit menuju hidup ini ada tiga tingkatan (level), yaitu:
level-1: bergerak ke arah yang positif (self-build), tidak merusak diri sendiri (self-destroy);
level-2: melakukan sesuatu yang ada hasilnya (produktif) yang tidak habis sekali pakai;
level-3: memberikan sesuatu yang kontributif ke orang banyak atau di masa sesudahnya.

Untuk ukuran sebuah bangsa, bangsa yang statis adalah bangsa yang sepenuhnya tergantung kepada bangsa lain, baik dalam perkara mempertahankan hidupnya, menjaga martabatnya, maupun mewujudkan cita-citanya.  Kehidupan maupun keamanannya ada di tangan bangsa lain.  Mungkin bahkan untuk pangan, air dan energi harus disupply atau disubsidi bangsa lain.  Hukum yang berlaku dan siapa penguasa yang menjalankan hukum itu sepenuhnya juga ditentukan bangsa lain.  Dan tentu saja, apa saja yang dianggap baik yang perlu diperjuangkan sebagai cita-citanya juga diberikan oleh bangsa lain yang menguasainya tersebut.  Bangsa tersebut menjadi “bangsa robot”, meski mungkin memiliki kemajuan material yang tinggi seperti adanya konstruksi pencakar langit, pabrik-pabrik, perkebunan, pertambangan  besar, atau penggunaan teknologi transportasi atau informasi yang canggih.  Tetapi semua kemajuan material ini dirancang asing, dioperasikan di bawah supervisi asing dan keuntungannya juga paling banyak dinikmati oleh asing.

Sebuah bangsa dikatakan keluar dari kondisi statisnya ketika dia mulai merintis memiliki kemauan dan kemampuan sendiri untuk mempertahankan kehidupannya, menjaga martabatnya dan mewujudkan cita-citanya. Proses inilah yang sering disebut perjuangan kemerdekaan.  Persoalannya, sejauh mana kualitas “merdeka” setelah bangkit tersebut?

Sebuah bangsa dapat dikatakan telah bangkit level-1 ketika setelah merdeka dia benar-benar bergerak positif, kondisinya tidak sama atau makin buruk dengan sebelumnya.  Tetapi kalau setelah “merdeka” kemudian terjadi perang saudara, ekonomi memburuk, pendidikan tidak lagi berjalan, dan di jalanan berlaku hukum rimba, maka level-1 inipun tidak tercapai.  Baru setelah level-1 tercapai, bangsa itu dapat meraih level-2 atau -3.

Level-2 adalah ketika kebangkitannya itu memberinya kemampuan untuk produktif, menghasilkan sendiri SDM cerdas berkualitas, membuat sendiri fasilitas produksi yang mampu membuatnya mandiri, sekalipun belum lebih maju dari capaian material yang dimiliki negara lain.  Intinya bukan kualitas capaian materialnya, tetapi bahwa itu dirancang sendiri, dioperasikan sendiri dan keuntungannya lebih untuk mereka sendiri.

Pada level-3, mereka benar-benar dapat memberikan kontribusi ke luar, bahkan ke masa sesudahnya.  Kontribusi ini tergantung visi yang diembannya, bisa positif bisa negatif.  Mereka bisa membebaskan atau memajukan bangsa lain, bisa pula menjajah bangsa lain.

Peta Kebangkitan Dunia

Kalau kita proyeksikan ke dunia saat ini, ada bangsa-bangsa yang statis misalnya sejumlah negeri jajahan Inggris, Perancis, Rusia atau Amerika.  Irlandia Utara adalah jajahan Inggris dan Puerto Rico adalah negeri di Caribia jajahan Amerika Serikat. Sekalipun di sana ada kemajuan material, tetapi faktanya bangsa itu adalah bangsa “robot”.  Mereka tergantung total oleh politik negara penjajahnya.

Sebagian negara jajahan pernah bergolak menuju kemerdekaan, misalnya Chechnya di Rusia, atau Irlandia Utara di Inggris.  Meski negeri tersebut sudah dimasukkan sebagai provinsi penuh dari negara penjajahnya, dan rakyatnya dianggap memiliki hak yang sama dengan rakyat di provinsi lain, tetapi mereka tetap merasa tidak puas karena merasa memiliki martabat dan cita-cita yang berbeda.  Hal yang mirip pernah terjadi di Nusantara saat menjadi sebuah koloni Negeri Belanda, dengan adanya seorang gubernur jenderal yang memerintah Hindia-Belanda.

Lalu ada bangsa-bangsa merdeka level-1 yang sudah berangsur-angsur bergerak ke arah positif, seperti Vietnam atau Malaysia.  Walau mungkin belum semaju Malaysia, Indonesia dapat dikatakan juga sedang menuju level-1, dengan indikator bahwa sejak merdeka secara umum hampir tak ada lagi perang saudara yang berkepanjangan, walaupun masih ada bentrokan kecil-kecilan atau separatis di daerah rawan konflik seperti di Papua.  Ekonomi Indonesia juga secara umum tidak lagi memburuk dengan cepat, pangan atau energi masih relatif mudah diperoleh, walaupun cenderung makin mahal, dan utang negara semakin besar.  Pendidikan bisa berjalan walaupun masih ada jutaan rakyat yang kesulitan mengaksesnya.  Dan di jalanan juga hukum sedikit banyak bisa berjalan, walaupun ada mafia peradilan.

Tetapi kebangkitan di Indonesia dapat dikatakan gagal mencapai level-2.  Level-2 dapat dikatakan telah diraih oleh negara-negara maju seperti Skandinavia, Switzerland atau juga negara berkembang seperti China atau India, bahkan oleh negara yang lebih kecil seperti Iran atau Venezuela.  China dan India dalam tiga dekade terakhir dapat dikatakan berhasil mentransformasi masyarakatnya menjadi cerdas dan mandiri.  Mereka berhasil merancang sendiri banyak hal terkait teknologi dan industri, mengoperasikannya sendiri, dan mereguk keuntungannya sendiri.  Meski produk mereka belum sekaliber negara-negara adidaya, tetapi mereka sudah tidak akan melemah oleh suatu embargo, bahkan mereka mulai disegani di kancah global.

Karena Indonesia gagal meraih kebangkitan level-2, maka tentu saja gagal meraih level-3.  Level-3 saat ini dimiliki oleh negara-negara adidaya atau mantan adidaya seperti Amerika Serikat, Inggris, Perancis, Rusia, mungkin ditambah Jepang atau Jerman.  Umat Islam hanya memiliki negara level-3 di masa lalu, yakni Daulah Khilafah.

Pada masa Orde Lama, Soekarno ingin dengan cepat mentransformasi Indonesia yang baru saja merdeka menuju kebangkitan level-3.  Secara politik Indonesia di bawah pimpinan Soekarno berusaha tegak tidak mengekor politik negara adidaya saat itu.  Tetapi fakta di lapangan, jangankan level-3, level-1 pun saat itu belum tercapai.  Memang tentara penjajah tidak lagi bercokol di Indonesia, tetapi perang saudara saat itu masih berkecamuk di mana-mana.  Inflasi sangat tinggi, harga-harga meroket, dan rate-pendidikan sangat rendah.

Pada masa Orde Baru, Soeharto belajar dari pengalaman Soekarno, mencoba membangun Indonesia secara terrencana dan berkelanjutan.  Soeharto bahkan membangun berbagai industri strategis seperti PT IPTN, PT PAL, PT PINDAD dsb.  Sayangnya, mayoritas ekonom dan teknokrat yang direkrut Soeharto kurang mandiri, sehingga mengikuti arahan nyaris total dari asing.  Ini tampak pada kebijakan utang luar negeri, pembuatan berbagai instrumen hukum yang lebih pro kapitalis (kurang pro UKM), serta kebijakan politik yang lebih represif.  Semua ini ditambah lagi dengan korupsi, kolusi dan nepotisme yang justru ditunjukkan secara mencolok oleh keluarga presiden.  Akibatnya kebangkitan level-1 pun justru ditinggalkan lagi.  Di akhir kekuasaan Soeharto, ekonomi dengan cepat memburuk dimulai dari krisis moneter menjadi krisis ekonomi, dan krisis multi dimensi, termasuk perang saudara yang meluas di Aceh, Ambon, Poso dll,  Industri strategis yang telah disiapkan ditelantarkan kembali, dan ribuan SDM cerdas yang pernah dididik ramai-ramai hengkang ke luar negeri.

Orde Reformasi sempat memberikan harapan. Krisis ekonomi sementara dapat diatasi.  Perang Saudara dapat diredam.  Tetapi liberalisasi yang membonceng reformasi justru membuat kebangkitan level-1 saja semakin sulit didekati kembali.  Berbagai perundangan yang dibuat di era reformasi justru membuat negeri ini makin “ramah” (baca: “dikuasai“)  investor asing.  Akibatnya kesempatan kerja makin berkurang, semakin banyak rakyat yang kehilangan daya beli dan di sisi lain rakyat semakin tidak terurus oleh para petualang politik yang naik ke kekuasaan (legislatif dan eksekutif) melalui proses demokrasi yang sarat permainan uang.

Faktor Ideologi

Di dunia, ada bangsa dengan ideologi yang bermacam-macam berhasil bangkit hingga level-3.  Amerika bangkit dengan kapitalisme.  Soviet dulu bangkit dengan sosialisme.  Yang membedakan hanya pada level-3 ini kontribusi seperti apa yang dihasilkan oleh bangsa itu.

Faktanya, dua ideologi itu menebar kerusakan di luar negeri.  Penjajahan, exploitasi sumber daya alam, dan penggunaan tenaga kerja yang nyaris seperti budak menjadi menu sehari-hari.  Sosialisme bahkan dalam jangka panjang tidak berhasil mempertahankan keberlangsungan negara Soviet.  Dan sekarang kapitalisme sedang menjadikan Amerika diujung tanduk.

Indonesia mengklaim menjadikan Pancasila sebagai ideologi kebangkitannya.  Namun ada yang terlupa, bahwa Pancasila sebenarnya baru sekedar falsafah, belum berupa ideologi yang lengkap.  Karena itu, dalam prakteknya, Pancasila bisa ditarik-tarik ke arah sosialis seperti di masa Orde Lama, ke arah kapitalis seperti di masa Orde Baru, atau ke arah kapitalis-liberal seperti di era Reformasi.

Hanya ideologi intelektual yang sehat dan secara rinci menunjukkan tak cuma tentang cita-cita tetapi juga jalan yang terang untuk meraih cita-cita itu, yang akan mampu mengantar Indonesia kepada kebangkitannya, tak hanya level-1, tetapi hingga level-3.  Ideologi seperti itu ada dalam Islam. Dan  pengalaman empiris dari sejarah menunjukkan bahwa itu hanya akan terjadi bila kita meraih cita-cita itu melalui kendaraan berupa Daulah Khilafah yang akan menerapkan seluruh paket sistem syariah.

Dengan ideologi Islam, visi kebangkitan sangat jelas, yaitu sampai mampu mewujudkan umat terbaik yang mampu menyuruh yang ma’ruf, mencegah yang mungkar dan beriman kepada Allah (QS 3:110).  Tugas ini memerlukan type-type manusia muttaqin, mereka yang hanya takut kepada Allah saja dan taat kepada semua yang diperintahkan syari’ah.  Selanjutnya kebangkitan level-1, 2, 3 akan terwujud dengan sendirinya seiring dengan penerapan syariah yang kaffah dan istiqomah.

Untuk konteks Indonesia, faktor ideologi ini juga akan berpengaruh pada seberapa cepat kebangkitan akan diraih.  Karena 85% rakyat Indonesia adalah muslim dan berbagai survei menunjukkan mereka masih memiliki ikatan emosional dan spiritual Islam yang tinggi, maka sudah seharusnya ideologi yang dipakai untuk membangkitkan adalah ideologi Islam.

Inilah rahasia kenapa kebangkitan level-1 pun tidak sepenuhnya kita raih, karena kita lengah tidak menggunakan ideologi Islam sebagai ideologi kebangkitan.  Hanya dengan ideologi Islam, maka tak cuma kebangkitan level-1 yang akan kita raih, tetapi juga level-2 dan level-3.

Dalam konteks materialisme seperti pada bangsa Barat, kualitas suatu bangsa memang diukur dari produk peradaban (teknologi, industri, seni, arsitektur, dll).   Namun dalam konteks Islam, ukuran yang standard adalah kontribusi bangsa itu dalam amar ma’ruf nahi munkar kelas dunia.  Itulah kebangkitan yang kita dambakan.

Penyatuan Daerah Waktu Justru Merugikan

Tuesday, May 15th, 2012

Prof. Dr.-Ing. Fahmi Amhar
Peneliti Badan Informasi Geospasial

Kalau hari ini seseorang mentransfer uang lewat Bank pada pukul 14.30 dari Jakarta ke Jayapura, maka dapat dipastikan penerimanya baru dapat menggunakan uang itu keesokan harinya.  Dan kalau transfer itu dilakukan pada Jum’at siang, maka dapat dipastikan penerimanya baru dapat menggunakan uang itu Senin pagi.  Hal ini karena perbedaan daerah waktu.  Pada pukul 14:30 di Jakarta (WIB), maka di Jayapura (WIT) sudah pukul 16:30, dan Bank sudah tutup.  Sekalipun sekarang orang bisa menggunakan ATM atau internet-banking, tetapi tetap saja untuk transaksi dalam jumlah besar, kliring hanya dapat dilakukan pada jam buka Bank.

Inilah, dan juga hal-hal sejenis yang terjadi di bursa atau Pasar Modal, yang mendasari gagasan penyatuan daerah waktu.  Ketika WIB, WITA dan WIT disatukan menjadi Waktu Indonesia (WI), di mana yang dijadikan acuan adalah WITA, maka jam 8 di Sabang adalah juga jam 8 di Merauke.  Eloknya lagi – menurut penggagasnya – WI ini juga sama dengan waktu Malaysia dan Singapura yang saat ini sudah sama dengan WITA, yaitu GMT+8.  Saat ini, meski Singapura ada di sebelah barat Batam, tetapi Singapura menggunakan waktu sejam lebih awal dari Batam.  Jadi, bila kita menggunakan WI, kita tak akan lagi dirugikan secara finansial dari “ketertinggalan kita dari Singapura”.  Selama ini, “di Singapura orang sudah rajin berdagang, kita baru berangkat ke kantor, atau bahkan masih tidur…”

Kerugian karena keterlambatan mencairkan transfer atau mengikuti perdagangan di bursa itu konon bisa bernilai trilyunan Rupiah, sehingga gagasan penyatuan daerah waktu akan menguntungkan kita Trilyunan Rupiah.

Tetapi benarkah demikian?

Indonesia terbentang dari Sabang sampai Merauke sejauh 46 derajat Bujur, atau perbedaan waktu matahari sebesar rata-rata 184 menit.  Setiap perbedaan 1 derajat bujur setara dengan waktu 4 menit.  Ini artinya, jam astronomis (yaitu waktu terbit/terbenam matahari) di Sabang 3 jam 4 menit terlambat dibanding Merauke.

Jam astronomis ini langsung tampak dalam jadwal sholat dan puasa yang diikuti umat Muslim yang merupakan 85% rakyat Indonesia.  Dan jam astronomis ini secara tidak langsung akan berpengaruh pada ritme biologis (yaitu jam tidur dan jam makan) nyaris seluruh rakyat Indonesia, baik mereka sholat ataupun tidak.  Apa ini artinya?

Kalau Waktu Indonesia diberlakukan dan mengacu pada WITA, maka perbedaan waktu matahari bagi tempat di ujung barat adalah 92 menit terlalu akhir, dan bagi tempat di ujung timur adalah 92 menit terlalu awal.

Secara praktis, dibandingkan dengan zona waktu yang dipakai sekarang, maka di WIB segalanya menjadi 1 jam terlalu awal.  Kalau biasanya sekolah mulai pukul 7 WIB, dan anak-anak berangkat ke sekolah pukul 6.30 WIB, maka setelah WI diberlakukan dan jadwal sekolah tetap, mereka akan berangkat pukul 5.30 WIB.  Di wilayah Jabotabek, pukul 5.30 itu matahari belum terbit!  Di Aceh bahkan waktu Shubuh belum masuk!

Sebaliknya di Papua, sekolah jadi mulai pukul 8 WIT.  Demikian juga, kantor yang semula masuk pukul 8 WIT, menjadi pukul 9 WIT, sudah sangat siang.  Kebalikannya, jam pulang yang semula – misalnya pukul 17 WIT, menjadi pukul 18 WIT.  Sudah cukup gelap, dan mungkin menyulitkan bagi perjalanan di desa-desa pelosok.

Dan kalau saat ini perkantoran biasa istirahat pukul 12-13 untuk istirahat, sholat dan makan, dan nanti jam istirahat ini tetap, maka setelah waktu Indonesia diberlakukan, di bekas WIB, waktu sholat dhuhur baru akan masuk pukul 13 WI.  Kalau mereka menunggu sholat dhuhur, maka mereka akan terlambat bekerja lagi.  Pemborosan.  Sementara bila waktu istirahatnya yang digeser menjadi katakanlah pukul 13-14, sedang masuk bekerja pukul 8, tentu laparnya sudah sulit tertahankan.  Jelas ini masalah.

Sebenarnyalah, di Malaysia atau Singapura yang zona waktunya sama dengan WITA, jam kerja dimulai pukul 9, istirahat pukul 13-14, dan pulang kantor pukul 17.  Praktis tak ada bedanya dengan WIB.  Jadi ternyata tidak benar mitos bahwa mereka “sudah berdagang, kita baru berangkat ke kantor”.

Dilihat dari manfaatnya, yang akan menikmati penyatuan daerah waktu hanya sektor keuangan, yang di Indonesia jumlahnya hanya 1,5 juta jiwa.  Sedang lebih dari 100 juta orang yang bekerja di sektor lainnya, atau puluhan juta anak sekolah akan mengalami kesulitan.  Kalangan penerbangan konon sudah keberatan dengan rencana ini karena pasti akan mengalami transisi dengan sekian banyak persoalan.

 Jadi akan lebih bijaksana kalau tidak perlu ada penyatuan daerah waktu, tetapi cukup perubahan jam buka khusus sektor keuangan.

Zona waktu memang diperlukan ketika dunia sudah terhubung, terutama sejak ditemukannya telegrafi dan kereta api di akhir abad-19.  Tanpa zona waktu, maka setiap daerah akan memiliki jam sendiri-sendiri, sehingga pengaturan jadwal kereta api ataupun jam kirim telegrafi antar dua kota yang berjauhan jadi sangat sulit.  Dalam prakteknya, pengaturan zona waktu itu wajib mempertimbangkan aspek politis, ekonomi, budaya dan ritme hidup masyarakatnya, termasuk aspek ritual agama.