Dr. Fahmi Amhar
Bagaimana wajah APBN Indonesia kalau dibuat dengan paradigma syariah? Dari sisi penerimaan apakah pajak akan terus menjadi pilar APBN? Lalu dari sisi pengeluaran apakah pembayaran pokok dan cicilan hutang masih akan mendominasi di samping pos subsidi?
Untuk dapat menjawab persoalan ini ada tiga pendekatan yang harus dilakukan:
Pertama, yang dihitung dahulu adalah pengeluaran berdasarkan asumsi-asumsi kebutuhan dari yang menurut syariah paling vital dan urgen ke yang hanya bersifat pelengkap. Untuk menghitung pos pengeluaran digunakan rasio-rasio ideal berdasarkan data wilayah dan kependudukan, proyeksi siklus jangka panjang dan menengah, serta harga pasar rata-rata saat ini. Dalam kitab Nizhamul Iqtishady fil Islam dari Imam Taqiyyudin an-Nabhani, dinyatakan bahwa pengeluaran Kas Negara (Baitul Maal) ditetapkan berdasarkan enam kaidah:
(1) Harta yang menjadi kas tersendiri Baitul Maal, yaitu harta zakat. Harta ini hanya dibelanjakan ke delapan ashnaf kalau memang kasnya terisi. Bila di Baitul Maal harta zakat sudah habis, maka tidak ada seorangpun dari delapan ashnaf itu yang berhak mendapatkannya lagi, dan tidak akan dicarikan pinjaman untuk itu.
(2) Pembelanjaan yang sifatnya wajib, yaitu manakala terjadi kekurangan (fakir miskin atau ibnu sabil) atau untuk melaksanakan jihad. Ini bersifat pasti, bila tidak ada dan dikhawatirkan akan terjadi kerusakan maka negara dapat meminjam harta dan setelah itu dilunasi dan bila perlu dapat menarik pajak.
(3) Pembelanjaan yang sifatnya kompensasi yakni bagi orang-orang yang telah memberikan jasa, misalnya gaji para tentara, pegawai negeri, hakim, guru dan sebagainya. Ini juga bersifat pasti.
(4) Pembelanjaan karena unsur keterpaksaan, semisal ada bencana alam atau serangan musuh. Ini juga bersifat pasti.
(5) Pembelanjaan untuk suatu kemaslahatan, bukan untuk kompensasi, namun sifatnya vital, karena bila tidak ada, umat akan mengalami kesulitan, seperti pembangunan infrastruktur. Ini juga bersifat pasti.
(6) Pembelanjaan untuk suatu kemaslahatan hanya saja bila tidak ada umat tidak sampai menderita, misalnya pembangunan fasilitas hiburan, atau adanya fasilitas umum sekunder ketika fasilitas yang lama masih memadai.
Adapun data dasar wilayah dan kependudukan yang digunakan antara lain:
Jumlah penduduk | 230.000.000 |
Luas wilayah darat (Km2) | 1.900.000 |
Luas wilayah laut (Km2) | 5.800.000 |
Panjang garis batas (Km) | 15.000 |
Jumlah satuan administrasi level Provinsi | 33 |
Jumlah satuan administrasi level Kabupaten | 480 |
Jumlah satuan administrasi level Kecamatan | 6.000 |
Jumlah satuan administrasi level Desa/Kelurahan | 70.000 |
Sedang untuk rasio-rasio kebutuhan digunakan asumsi-asumsi yang cukup ideal sebagai berikut:
Pos Santunan Fakir Miskin
asumsi prosentase penduduk miskin (fakir miskin) | 50% |
asumsi kebutuhan nutrisi per orang per hari (gram) | 600 |
asumi harga pangan per-kg | Rp 10.000 |
Pos Pendidikan
Jumlah siswa sekolah (usia 5-19 th) | 60.000.000 |
rasio guru:siswa = 1: | 20 |
rasio sekolah:siswa= 1: | 300 |
asumsi rata-rata gaji guru per bulan | Rp. 5.000.000 |
asumsi biaya operasional sekolah per bulan (ke-TU-an, cleaning, buku, dll) | Rp 25.000.000 |
rasio lulusan SMA ke Pendidikan Tinggi = 1: | 10 |
rasio dosen:mahasiswa = 1: | 10 |
rasio perguruan tinggi : mahasiswa = 1: | 1.000 |
asumsi biaya operasional perguruan tinggi per bulan (ke-TU-an, cleaning, buku, lab dll) | Rp 250.000.000 |
Pos Kesehatan
Rasio dokter:penduduk = 1: | 1.000 |
Rasio rumah sakit:penduduk = 1: | 10.000 |
Rasio rumah sakit: desa = 1: | 3,0 |
Asumsi gaji dokter per bulan | Rp 7.500.000 |
Asumsi operasional tiap rumah sakit per bulan | Rp 225.000.000 |
Pos Pertahanan & Keamanan
Rasio tentara dengan garis perbatasan 1 km = | 25 |
Rasio polisi dengan jumlah penduduk = 1: | 1.000 |
Rasio kapal penjaga perbatasan 1 kapal = [km] | 25 |
Rasio pesawat militer untuk menjaga area 1 pesawat = [km2] |
40.000 |
Asumsi gaji tentara/polisi / bulan | Rp 7.500.000 |
Asumsi operasional markas tentara / bulan (hanya ada satu di tiap provinsi) |
Rp 1.500.000.000 |
Asumsi operasional markas polisi / bulan (ada di tiap kecamatan) |
Rp 105.000.000 |
Pos Pemerintahan & Keadilan
Rasio aparat administrasi pemerintahan : penduduk yang dibutuhkan = 1: | 1.000 |
Rasio aparat peradilan : penduduk = 1: | 1.000 |
Asumsi rata-rata gaji aparat pemerintahan & peradilan | Rp 7.500.000 |
Asumsi rata-rata operasional kantor pemerintahan & peradilan / bulan | Rp 33.000.000 |
Pos Infrastruktur & Fasilitas Umum Vital
Siklus perbaikan menyeluruh transportasi setiap | 10 tahun |
Siklus perbaikan menyeluruh fasum lainnya | 20 tahun |
Infrastruktur data meliputi aktivitas riset, sensus, pemetaan, pembangunan jejaring ICT | 20 tahun |
Infrastruktur energi meliputi pembangunan instalasi migas, pipa, PLTGU, PLTN, dan jaringan listrik | 20 tahun |
Infrastuktur pangan meliputi pembangunan pabrik pupuk, irigasi, dan pengolahan pasca panen | 20 tahun |
Infrastruktur pertahanan meliputi kendaraan tempur angkatan darat, laut dan udara berikut alutsista | 20 tahun |
Pos Cadangan Bencana terhadap APBN 5%
Pos Cadangan Maslahat non Vital 2%
Dari semua pos ini kemudian dihitung besaran-besaran makro dan menghasilkan angka dalam Tabel APBN.
Kedua, pos penerimaan disusun berdasarkan pos-pos yang ditetapkan syariah. Dalam kitab Al Amwal fi Daulah Khilafah Abdul Qadim Zallum menyatakan bahwa pos pendapatan negara terdiri dari tiga bagian:
(1) Bagian Fai dan Kharaj. Penerimaan ini meliputi:
Seperti dapat dilihat bahwa pos penerimaan pada bagian ini sifatnya tidak menentu, dan idealnya tidak perlu ada. Bila dakwah dapat berhasil dengan damai, maka tidak perlu perang sehingga tak ada ghanimah, dan tujuan perang itu sendiri memang tidak untuk mendapatkan ghanimah. Kemudian karena Indonesia secara umum masuk Islam tanpa penaklukan, maka penerimaan negara dari kharaj ini di Indonesia juga kurang relevan. Tanah milik negara bila perlu dapat dibagikan ke warga yang kekurangan, tanpa sewa. Jizyah akan hilang ketika warga non muslim masuk Islam, dan itu tidak boleh dihalang-halangi. Barang temuan atau waris justru harus dicarikan siapa yang berhak. Dan pajak hanya ditarik insidental kalau kas baitul maal terancam kosong padahal ada kebutuhan yang bersifat pasti
(2) Bagian Kepemilikan Umum yaitu pengelolaan sumber daya alam yang hakekatnya milik umum:
Kepemilikan umum harus dikembalikan kepada rakyat, baik berupa harta yang dibagikan langsung maupun berupa pelayanan negara yang dibiayai dari penjualannya baik di dalam negeri maupun ekspor.
(3) Bagian Shadaqah, yang terdiri dari shadaqah wajib yaitu:
Bagian Shadaqah adalah bagian yang unik. pertama karena volumenya penerimaannya menggambarkan tingkat kemakmuran masyarakat, sehingga kalau ekonomi lesu maka shadaqah juga berkurang; dan kedua, pengeluarannya hanya ke delapan ashnaf.
Untuk Indonesia, dari ketiga bagian ini, harta yang paling dapat diandalkan untuk APBN adalah kepemilikan umum, sehingga pada pos inilah dilakukan beberapa perhitungan dengan sejumlah asumsi, yang antara lain tergantung pada harga minyak dunia dan nilai tukar mata uang dunia.
Data yang ada saat ini:
Produksi minyak di Indonesia adalah sekitar 950.000 barrel per hari (bpd). Bila asumsi harga minyak adalah US$ 65/barrel dan nilai tukar rupiah Rp. 9000/US$ maka nilai minyak ini hanya sekitar Rp. 202 Triliun. Bila biaya produksi dan distribusi minyak ditaksir hanya berkisar 10% dari nilai tersebut, maka nett profitnya masih di atas Rp 182 Triliun. Namun keuntungan ini hanya tercapai bila seluruh hasil minyak dijual dengan harga pasar (tanpa subsidi, yakni US$ 72/barrel) dan baru hasilnya yang dikembalikan ke umum melalui Baitul Maal. Indonesia bahkan harus menjadi net-importer minyak, karena kebutuhan minyak per hari 1,2 juta barrel, akibat politik energi selama ini yang terlalu tertumpu pada minyak, termasuk lambatnya pembangunan jaringan kereta api berikut elektrifikasinya.
Produksi gas (LNG) adalah setara sekitar 5,6 juta barrel minyak per hari, namun harganya di pasar dunia hanya 25% harga minyak, jadi nilainya sekitar Rp 297 Triliun atau nett profitnya sekitar Rp 268 Triliun.
Produksi batubara adalah setara 2 juta barrel minyak per hari, dengan harga di pasar dunia sekitar 50% harga minyak, jadi nilainya sekitar Rp. 212 Triliun, atau nett profitnya sekitar Rp 191 Triliun.
Produksi listrik tidak signifikan kecuali bila dilakukan pembangkitan listrik dari energi terbarukan (air, angin, dan geothermal) atau nuklir. Energi listrik seperti ini biasanya impas dikonsumsi sendiri. Di Indonesia, karena tidak ada integrasi antara Pertamina, PGN, PT Batubara BukitAsam dan PLN, maka PLN rugi puluhan Triliun.
Produksi pertambangan terutama emas seperti Freeport atau Newmont hanya dapat ditaksir dari setoran pajak yang jumlahnya memang aduhai. Bila kita percaya kebenaran nilai pajak Freeport yang Rp 6 Triliun setahun, dan ini baru 20% dari nettprofit, itu artinya nettprofitnya adalah Rp. 30 Triliun per tahun. Ini masuk akal karena dari sumber lain didapat informasi bahwa produksi emas di Freeport adalah sekitar 200 Kg emas murni per hari. Secara kasar, bersama perusahan tambang mineral logam lainnya, yakni emas/Newmont juga timah, bauxit, besin juga kapur, pasir, dan lain-lain nett profit sektor pertambangan adalah minimal Rp. 50 Triliun per tahun.
Dengan demikian dari sektor pertambangan minyak, gas, batubara dan mineral logam didapat penerimaan sekitar Rp. 691 Triliun. Pada saat ini, dengan pola konsesi dan transfer pricing (terutama untuk gas, batubara dan emas) maka penerimaan yang dilaporkan BUMN maupun swasta ke negara jauh lebih rendah dari ini. Yang harus diingat adalah bahwa sektor pertambangan adalah tidak dapat diperbarui, meski teknologi dapat memperpanjang usianya, tapi suatu hari pasti akan habis juga.
Untuk produksi laut karena sifatnya terutama dilakukan secara bebas oleh nelayan swasta baik kecil maupun besar, tentu agak sulit untuk memasukkannya sebagai penerimaan negara. Menurut Rokhmin Dahuri, nilai potensi lestari laut Indonesia baik hayati, non hayati, maupun wisata adalah sekitar US$ 82 Milyar atau Rp. 738 Triliun. Bila ada BUMN kelautan yang ikut bermain di sini dengan ceruk 10%, maka ini sudah sekitar Rp. 73 Triliun.
Yang paling menarik adalah produksi hutan. Luas hutan kita adalah 100 juta hektar, dan untuk mempertahankan agar lestari dengan siklus 20 tahun, maka setiap tahun hanya 5% tanamannya yang diambil. Bila dalam 1 hektar hutan, hitungan minimalisnya ada 400 pohon, itu berarti setiap tahun hanya 20 pohon per hektar yang ditebang. Kalau kayu pohon berusia 20 tahun itu nilai pasarnya Rp. 2 juta dan nett profitnya Rp. 1 juta, maka nilai ekonomis dari hutan kita adalah 100 juta hektar x 20 pohon per hektar x Rp 1 juta per pohon = Rp 2000 Triliun. Fantastis. Namun tentu saja ini tidak mudah didapat, karena saat ini lebih dari separo hutan kita telah rusak oleh illegal logging. Harga kayu yang legalpun juga telah dimainkan dengan transfer pricing untuk menghemat pajak. Tapi Rp. 1000 Triliun juga masih sangat besar. Dan kalau kita kelola dengan baik, masih banyak hasil hutan lain yang bernilai ekonomis tinggi, misalnya untuk obat-obatan.
Ketiga, standar dari Dinar – namun juga natura.
Pada saat simulasi perhitungan APBN ini, angka yang dipakai adalah Rupiah. Ini sekedar untuk memudahkan mendapatkan gambaran berapa nilai tersebut, juga untuk membandingkan dengan APBN Republik Indonesia saat ini. Namun ke depan, kita harus mulai menggunakan standar emas yaitu Dinar, karena dengan itu APBN ini akan tak lekang oleh zaman, sementara APBN dalam Rupiah akan senantiasa terkoreksi oleh inflasi. Pada bulan April 2010, kurs Dinar yang merupakan emas 22 karat seberat 4,25 gram adalah sekitar Rp. 1.500.000 per Dinar.
Selain itu, sebenarnya di APBN Syariah ada pendapatan dan harta milik negara yang diakuntasikan dengan natura, karena memang tak semua penerimaan atau pengeluaran harus berupa uang. Misalnya, zakat juga tidak harus berupa uang, tetapi dapat juga tanaman atau ternak. Demikian juga jizyah, bahkan dapat pula dibayarkan dengan pakaian. Oleh sebab itu, angka-angka yang digambarkan di sini hanya untuk standardisasi nilai saja, yang memang sangat tepat bila menggunakan Dinar.
APBN Syariah juga tidak harus selalu dihabiskan pada tahun anggaran berjalan. Karena itu kolom penerimaan tidak harus balance dengan kolom pengeluaran. Boleh saja di suatu masa surplus dan di mana yang lain minus karena ada bencana, paceklik atau perang, sehingga negara perlu menunda sebagian pengeluaran atau meminjam atau menarik pajak.
Yang jelas, dengan anggaran 666 juta Dinar atau sekitar Rp. 999 Triliun (pada pos pengeluaran) sebenarnya sudah dapat tercukupi dengan hasil hutan yang lestari itu saja. Bagian-bagian seperti fai & kharaj (termasuk di dalamnya kemungkinan pajak), juga shadaqah (yang terkait zakat) bahkan belum perlu diperhitungkan.
Distribusi dalam pengeluaran juga cukup bagus. Pos yang terbesar adalah sektor pendidikan (termasuk dakwah), pengentasan kemiskinan dan infrastruktur. Di dalam sektor infrastruktur ini sudah tertanam anggaran riset sains dan teknologi yang cukup besar yakni hampir 3.5% APBN. Ini semua akan sangat cukup untuk menggerakkan ekonomi, sehingga bahkan setelah beberapa tahun, angka kemiskinan sudah sangat rendah sehingga pos pengentasan kemiskinan bisa tidak berarti. Asumsi yang digunakan dengan angka ini adalah setiap orang miskin mendapat asupan 600 gram nutrisi perhari senilai Rp. 10.000/kg. Ini artinya setiap orang miskin mendapat Rp. 180.000,- perbulan! Bandingkan dengan BLT selama ini yang hanya Rp. 100.000 per KK per bulan.
APBN
Pos Penerimaan (dalam juta Dinar)
Bagian Fai & Kharaj (tidak diperhitungkan) |
0 |
Bagian Kepemilikan Umum | |
– Minyak |
121,5 |
– Gas |
178,9 |
– Batubara |
127,5 |
– Emas & Mineral Logam lainnya |
33,5 |
– BUMN Kelautan |
48,9 |
– Hasil hutan |
666,0 |
Bagian Shadaqah (tidak diperhitungkan) |
0 |
JUMLAH PENERIMAAN |
1176,3 |
Pos Pengeluaran (juta Dinar)
Pengentasan Kemiskinan 50% penduduk |
167,9 |
Kompensasi | |
– Layanan Hankam & Jihad |
41,7 |
– Layanan Pemerintahan dan Peradilan |
30,8 |
– Layanan Pendidikan dan Dakwah |
180,0 |
– Layanan Kesehatan |
55,8 |
Maslahat Vital (Infrastruktur & Fasum) |
143,1 |
Cadangan Kebencanaan & Perang |
33,3 |
Maslahat Lain-lain |
13,2 |
JUMLAH PENGELUARAN |
666 |
Analisis
Desain APBN ini memang sangat berbeda dengan APBN Indonesia saat ini. APBN Indonesia saat ini memakai pendekatan sektoral dan institusional. Dokumen rinci APBN hingga level satuan kerja adalah sebuah monster yang sangat tebal meliputi ratusan ribu halaman. Walhasil, rasio-rasio anggaran terhadap target-target (output, outcome) pelayanan masyarakat kurang dapat diketahui dengan cepat, sementara peluang markup atau penganggaran ganda sangat besar. Di sisi lain, prinsip Dirjen Anggaran Kementerian Keuangan adalah, mereka yang tidak dapat menyerap anggarannya, akan dihukum dengan menurunkan anggaran tahun berikutnya. Tidak dilakukan pembedaan antara yang anggarannya kurang terserap karena efisiensi, atau salah perencanaan, atau faktor external (gangguan alam, masalah sosial, kondisi ekonomi global, kendala aturan yang berlaku, dsb).
Pada hitungan APBN syariah ini, surplus di jumlah penerimaan dapat digunakan untuk melunasi seluruh hutang Indonesia secepatnya, untuk kemudian kita melesat menuju kesejahteraan dengan syariah.
Tentu saja, bila khilafah berdiri di negeri muslim yang berbeda kondisinya dengan Indonesia, maka APBN-nya bisa tampak sangat berbeda. Kalau khilafah berdiri di Irak yang memiliki cadangan migas sangat besar dan merupakan tanah kharajiyah, maka bagian tersebut mesti diisi, sementara hasil hutan atau laut nyaris nol. Sebaliknya bila khilafah berdiri di Bangladesh yang nyaris tidak punya sumberdaya alam baik migas ataupun hutan, maka bagian fai dan kharaj (terlebih pajak) dan bagian shadaqah mesti dielaborasi dengan intensif.
Wallahu a’lam bis shawab.
Dr. Fahmi Amhar
Prof. Dr. Mahfud M. D., Ketua Mahkamah Konstitusi memiliki ide yang brilyan: para pejabat atau pegawai negeri sipil (PNS) di pos-pos tertentu – terutama yang menyangkut hukum atau keuangan, agar melaporkan kekayaannya, lalu kalau ternyata melebihi batas tertentu, diberi waktu dua bulan untuk menjelaskan dari mana sumber kekayaannya itu. Kalau tidak bisa, maka berarti kekayaannya hasil korupsi, sehingga pantas dihukum seberat-beratnya, kalau perlu hukuman mati.
Masalahnya sekarang, berapa penghasilan super maxima dari PNS yang paling top markotop itu?
Penghasilan PNS yang legal memang bukan cuma dari gaji, namun juga dari berbagai tunjangan dan dari penghasilan lain yang sah. Menurut Permenkeu no 01/PM.02/2009 tentang Standard Biaya Umum Tahun Anggaran 2010, ada beberapa penghasilan yang masuk akal, dan mungkin terjadi pada PNS yang memang memiliki kompetensi dan kapasitas tinggi. Berikut ini adalah simulasi penghasilan PNS yang “super maxima”
Katakanlah ini seorang PNS golongan IV/d, dengan jabatan fungsional peneliti utama, yang juga karena kompetensi, kerajinan dan loyalitasnya kepada pimpinan, mendapat tugas penelitian (riset insentif), juga sering ke daerah untuk memberi pelatihan teknis atau menjadi narasumber di berbagai lokakarya atau seminar di satker lain, juga sering dikirim ke Luar Negeri untuk menjadi delegasi Indonesia pada berbagai event ilmiah internasional. Berapa kira-kira penghasilan maksimumnya dalam setahun?
(1) Gaji pokok golongan IV/d masa kerja golongan 20 tahun = Rp. 1.738.800, ditambah tunjangan 1 istri (10%) dan 2 anak (@ 2%) = Rp. 23.775.840/tahun (Perpres 1/2006 ttg Penyesuaian Gaji Pokok PNS)
(2) Sebagai peneliti utama, dia berhak mendapat tunjangan peneliti senilai Rp. 1.400.000 / per bulan atau Rp. 16.800.000/tahun.
(3) Untuk tugas riset insentif, dia mendapat tambahan maksimum Rp. 50.000/jam x 20 jam / minggu. Dan karena setahun ada cuti dua minggu, maka dihitung 50 minggu, dan berarti Rp. 50 juta. Setelah dipotong PPh (pasal 21) 15% maka tinggal Rp. 42,5 juta.
(4) Tugas ke daerah 40 kali dalam setahun, dan setiap kali biasanya dihitung 3 hari. Dan karena di lokasi sering dijamu penuh oleh tuan rumah, maka uang lumpsum dia sebesar Rp. 300.000/hari utuh, maka ini berarti tambahan penghasilan 300.000 x 3 x 40 = Rp. 36 juta. Lumpsum ini bebas pajak!
(5) Honor narasumber sendiri, dihitung 2 x 3 Orang-Jam, dan karena pakar honornya Rp. 1.150.000,-/OJ, jadi kalau setahun 40 kali jadi narasumber, maka kira-kira menghasilkan Rp. 276 juta, dan setelah dipotong PPh (Pasal 21) menjadi Rp. 234,6 juta.
(6) Tugas ke Luar Negeri 10 kali dalam setahun, dan setiap kali biasanya dihitung 5 hari. Karena di lokasi sering dijamu KBRI, maka lumpsum dia sebesar rata-rata US$ 300/hari hanya terpakai untuk sewa hotel, dan karena pandai memilih hotel murah via internet, savingnya rata-rata US$ 250/hari. Dengan kurs Rp. 9000/US$ maka saving setahun jadi Rp. 112,5 juta. Dan ini bebas pajak!
Dari poin 1 sampai 6 saja, sudah didapatkan penghasilan dari APBN total sekitar Rp. 466.175.840,- Semua penghasilan ini wajar dan legal, mematuhi semua aturan. Untuk perjalanan misalnya, semuanya at cost, tidak perlu markup tiket atau memalsu bill hotel.
(7) Kalau dia ada di institusi yang sudah remunerasi, dan asumsikan dia ada di pertengahan dengan tambahan tunjangan Rp. 25 juta / bulan, dan ini otomatis mencakup tunjangan peneliti dia, maka tambahannya adalah (25 – 1,4) x 12 = Rp. 283,2 juta, atau setelah dipotong pajak Rp. 240.720.000.
Dengan remunerasi ini, PNS super maxima ini dapat penghasilan dari APBN setahun Rp. 706.895.840,-
Dan ini belum semua. Karena intelektualnya, dia dicari oleh berbagai PTS untuk mengajar.
(8) Pada malam hari atau hari Sabtu/Minggu masih memberi kuliah S2 di Perguruan Tinggsi Swasta 2 kali seminggu, setiap kali 3 jam, dan setiap jam diberi honor Rp. 200.000,-, jadi = Rp. 1,2 juta / minggu, selama 16 kali/semester atau setahun Rp. 38,4 juta, dipotong Pph (Pasal 21) menjadi Rp. 32.640.000,-
(9) Sebagai dosen, dapat tambahan lagi karena membimbing tesis dan menguji. Asumsikan mahasiswa yang dibimbing dan diuji adalah 20 orang tiap semester, untuk setiap bimbingan/pengujian dapat honor Rp 2 juta, maka setahun menjadi Rp. 80 juta, setelah potong pajak menjadi Rp. 68 juta
Kesimpulannya, penghasilannya hanya Rp. 807.535.840,-, setahun, tidak sampai Rp 1 Milyar !
Kalaulah untuk kebutuhan hidup dan sekolah anak-anak, yang kebetulan cerdas-cerdas (sehingga selalu di sekolah negeri yang baik dan dekat, tidak perlu kost atau ongkos), perlu Rp. 5 juta/bulan (60 juta/tahun), maka savingnya adalah sekitar Rp. 750 juta/tahun.
Jadi kalau ternyata kekayaannya setelah 10 tahun bekerja (dengan mengabaikan inflasi), lebih dari 7,5 Milyar, maka itu sudah sangat aneh. Ini hanya mungkin kalau ada penjelasan lain. Misalnya:
– Istri/suaminya juga bekerja sebagai eksekutif suatu BUMN atau perusahaan multinasional top, dengan salary Rp. 300 juta/bulan = Rp. 3,6 M / tahun (setelah PPh menjadi Rp. 3,06 M)
– Menjadi super motivator / entertainer, dan setiap tampil dibayar US$ 10.000, 50 minggu setahun, ini = Rp 4,5 M/tahun (setelah PPh Rp. 3,825 M).
– Memiliki buku bestseller, melebihi Laskar Pelangi, dicetak 1 juta exemplar setahun, dan mendapat royalti 10% dari harga toko yang Rp. 50.000,-, jadi tambahan penghasilan Rp. 5 M/tahun (setelah PPh menjadi Rp. 4.25 M)
– Memiliki investasi bisnis yang sudah mapan (tak perlu ditungguin), misal toko beras on-line beromzet 3000 ton / bulan, dengan nett profit setelah pajak sekitar Rp. 300 juta/bulan atau = Rp. 3,60 M / tahun. Kalau bisnis ini tumbuh 15% per tahun, maka di tahun ke-10 nett profitnya sudah 14.5 M per tahun.
– Memiliki temuan teknologi yang dipatenkan atau software computer yang laris, terjual di seluruh dunia 1 juta copy dengan nett profit per copynya Rp. 1 juta, maka ini sudah Rp. 1 Triliun sendiri.
Jadi mudah sekali meminta dibuktikan, apakah kekayaan yang super maxima itu halal atau tidak. Tinggal mau tidak kita menerapkan asas pembuktian terbalik? Khalifah Umar bin Khattab r.a. sudah menerapkan asas pembuktian terbalik kepada para pejabatnya 1400 tahun yang lalu!
Dr.-Ing. Fahmi Amhar
Peneliti Teknologi Pemetaan Digital Bakosurtanal
Jl. Raya Jakarta-Bogor Km. 46 Cibinong
Telp/fax. 021-87901254 email: famhar @telkom.net
Abstrak
Strategi marketing menurut Hermawan Kartajaya (one of “Marketing Guru”, who shaped the world of marketing) dapat dringkas dalam 9 prinsip. Prinsip-prinsip ini ternyata bisa diterapkan dalam berbagai aplikasi, baik di perusahaan besar, BUMN, jasa konsultasi, professional, bahkan hingga sampai ke personal (misalnya bagi seseorang yang ingin menjalani satu karier tertentu).
Pada tulisan ini 9 prinsip itu dicoba diterapkan untuk meningkatkan “daya jual” kemampuan penyediaan data, informasi dan solusi spasial dari dunia data spasial, khususnya Bakosurtanal.
Gambar 1. Sketsa model 9 prinsip dalam marketing
Prinsip 1 – 3: Explore MIND SHARE
Prinsip-1 (mapping strategy) : Segmentation
– View Your Market Creatively
Bagi suatu institusi publik LPND seperti Bakosurtanal, market mereka adalah masyarakat. Masyarakat ini dari sisi latar belakang ada yang telah melek peta (data spasial) dan ada belum (map illiteracy); yang melekpun ada yang telah menggunakan produk Bakosurtanal ada yang belum. Dari sisi respon terhadap produk, ada yang negatif, positif dan netral. Dari sisi sosiologis didapatkan berbagai latarbelakang: dari aspek kelembagaan (Bappeda, Dinas, BUMN, swasta, akademik, LSM), finansial (kurang, rata-rata, mampu), pendidikan (rendah, rata-rata, tinggi), lingkungan (rural, urban, metro), budaya (tradisional, modern, liberal), serta kedekatan kepada peta (jauh, standar, kental).
Apa yang perlu dibidik oleh Bakosurtanal khususnya dan dunia data spasial umumnya secara spesifik? Mungkin di suatu tempat, prioritas ditujukan ke Bappeda, sementara di tempat lain ke mahasiswa atau LSM.
Ibaratnya kita tidak boleh melihat semua pihak sebagai hutan, namun sebagai pohon, yang masing-masing bisa berbeda. Maka kita perlu kelompokkan yang karakternya kurang lebih sama – agar diakses dengan “bahasa” yang sama, atau oleh person dengan karakter sama. Kita juga akan tahu sikap dan perilaku yang tepat ketika berinteraksi dengan tiap segmen itu, sehingga marketing akan sampai, tidak belum-belum sudah ditolak, hanya karena ketaksesuaian metode pendekatan komunikasi kita, misalnya karena bahasa yang kita gunakan terlalu teknis, terlalu “spasial” – belum empati kepada calon konsumen.
Prinsip-2 (fitting strategy) : Targeting
– Allocate Your Resources Effectively
Karena kita memiliki sumberdaya yang terbatas, baik dari sisi jumlah orang, waktu maupun dana, maka mau tak mau harus ada skala prioritas. Inilah targeting. Mana yang akan kita bidik duluan, meski tidak berarti melalaikan segmen yang lain.
Sebelumnya kita mesti melihat dulu di mana potensi dan kekuatan kita. Target memang sedikit banyak tergantung pada kompetensi kita. Kita harus memastikan bahwa pada segmen yang kita tuju itu kita mempunyai possibility yang besar untuk diterima. Kalau kita menyapa target itu, dan kemudian timbul respon atau diskusi, maka itu berarti kita akan mendapatkan kemajuan. Namun sebagaimana sniper, kita memang perlu mengalokasikan waktu, tenaga dan pikiran, terutama untuk target utama kita. Baru sisanya untuk target berikutnya.
Gambar 2. Posisi Bakosurtanal (sebagai company) dan faktor-faktor yang mempengaruhinya
Dalam hal ini, Hermawan memberi ide analisis TOWS – kebalikan dari SWOT (lihat gambar-2). Dalam TOWS ini, yang dilihat pertama-tama adalah Threat (tantangan). Tantangan muncul dari 3C (Customer, Competitor dan Change).
Customer memiliki permintaan yang beraneka ragam (dari mulai keinginan membuat peta yang setiap rumah kelihatan, sampai yang satu kabupaten bisa muat dalam selembar untuk ditaruh di meja rapat).
Competitor meliputi berbagai institusi yang mengklaim diri mampu menyediakan data hingga solusi spasial dengan cepat (LAPAN, BPPT, Perguruan Tinggi, swasta) selain “clasic competitor” (Dittop-AD, Dishidros-AL, BPN, DKP).
Change meliputi perubahan-perubahan teknologi (hadirinya 4S – GPS, GIS, RS dan e/m-BussinesS), regulasi (UU Akses Informasi, UU Perlindungan Konsumen, RUU Rahasia Negara) dan perubahan sosial budaya yang inkremental (seperti penggunaan PDA dan GPS yang makin luas).
Namun tantangan inipun diimbangi dengan Opportunity – peluang menjadikan Bakosurtanal sebagai content-provider berbagai jenis location based service. Walaupun kita juga tahu bahwa untuk itu masih ada banyak Weakness (kelemahan) yang masih harus diatasi, terutama SDM yang benar-benar cakap manajemen dan melek informatika.
Namun kita tetap harus berbesar hati dengan apa yang telah dimiliki, terutama data yang begitu besar dengan kualitas terbaik yang mencakup seluruh Indonesia, juga dengan SDM yang berpengalaman dan berpendidikan tinggi. Selain juga jangan dilupakan posisi quasi-monopolistik yang masih ada, serta intangible assets berupa jaringan kerjasama yang telah dirintis selama ini.
Prinsip-3 (being strategy) : Positioning
– Lead Your Customers Credibly
Kalau kita mendatangi suatu lembaga dan menawarkan produk atau jasa kita, mereka akan bertanya, siapakah kita ini?
Karena itu agar aktivitas Bakosurtanal ini menancap dengan baik di dada customer, maka Bakosurtanal harus kredibel di mata customernya. Kredibilitas ini akan didapat ketika orang percaya bahwa kita ini unik dan membuktikan keunikan itu dengan produk dan jasa yang berkualitas nomor satu. Bahkan Bakosurtanal tidak hanya siap dengan produk unik sebagai sekedar komoditas, namun juga siap dengan produk yang memuaskan, bahkan memberi “sensasi” dan solusi. Kalau perlu tunjanglah hal itu dengan track-record selama ini, agar positioning itu kuat dan kita memang punya kredibilitas untuk itu.
Positioning bukan sesuatu yang bisa didapat dengan sendirinya, melainkan harus diperjuangkan dan dipupuk dengan differentiating dan branding.
Gambar 3. Produk yang unik dan “beda” dan relevan pada kebutuhan pengguna
Prinsip 4-6: Engage MARKET SHARE
Prinsip-4 (core tactic) : Differentiation
– Integrate Your Content and Context
Dalam berlomba-lomba bersama para “competitor”, kita harus menentukan kuat di mana dan mendiferensiasi di content atau context. Paling tidak satu dari ini harus beda dengan competitor. Akan lebih baik kalau content memang informatif, akurat atau berkualitas, dan context juga cantik, sistematik, pokoknya menarik orang untuk menyimak.
Content dan context harus terintegrasi dengan baik. Karena kita bergerak dalam informasi spasial ya contentnya harus spatially. Dan karena kita mass data provider – bukan sekedar riset, atau malah presentasi belaka – ya contextnya harus benar-benar memberikan apa yang dibutuhkan orang dalam mengatasi problemnya, bukan sekedar wacana ilmiah atau seminar tiada akhir (lihat gambar-3).
Differentiation of Bakosurtanal
We don’t make any map,
but 3D-topographic map
We don’t map just a garden or a city,
but national wide
We don’t map for specific purpose,
but for all purposes
We don’t offer just map,
but spatial data infrastructure
We are not just a mapping institute,
but also a “university of mapping”
We are not just a spatial data factory,
but we do also advance research in spatial data
We are not the only or the first in mapping,
but we are the most experienced in Indonesia
Prinsip-5 (creation tactic) : Marketing Mix
– Integrate Your Offer and Access
Marketing mix meliputi 4P yakni Product, Price, Place dan Promotion. Dalam merancang marketing mix ini kita harus kembali pada diferensiasi. Kita mau different di bidang apa? Kita misalnya ingin menjadi provider infrastruktur data spasial, maka orang harus mengingat kita sebagai penyedia yang paling ahli atas infrastruktur data spasial. Kita harus bicara mengenai data spasial dengan segenap aspeknya. Apapun persoalannya, harus kembali ke infrastruktur data spasial yang dalam tataran praktis baru akan sempurna bila diimplementasikan oleh semua stakeholder. Jadi diferensiasi harus diingat dulu agar tidak salah arah.
Kemudian kita harus susun product, price, place dan promotion agar cocok dengan diferensiasi tadi. Produk kita jelas yakni infrastruktur data spasial, mulai dari titik-titik kontrol, data gaya berat, pasut, foto-foto udara, peta dasar rupabumi dan wilayah cetak maupun digital dalam berbagai formatnya, gasetir toponimi, hingga ke berbagai atlas.
Pricenya adalah apa yang perlu diberikan oleh customer? Secara makro, masyarakat adalah customer yang membayar Bakosurtanal melalui mekanisme pajak dan APBN. Sedang secara mikro, berbagai pihak membeli data, informasi atau solusinya secara langsung dalam bentuk PNBP.
Gabungan antara product dan price ini disebut Offer. Offer adalah apa yang kita tawarkan kepada orang. Kita punya “servis”. Kita juga memasang “harga”.
Selain itu kita juga harus bisa diakses melalui place dan promotion. Kita bisa diakses lewat channel mana? Kalau orang mau produk ini, dia harus kemana? Bagaimana kita bisa diakses juga sebaiknya direncanakan, misalnya melalui suatu website, kartunama standar yang lengkap dengan nomor telepon atau HP.
Prinsip-6 (capture tactic) : Selling
– Build Long-term Relationship with Customer
Kita harus berani melakukan selling, tapi jangan hard selling atau menjual secara frontal. Tapi kalau terlalu pasif juga salah. Jadi ”seling is about art”.
Kita bisa menjual feature selling dengan menjual apa yang kita ada, benefit selling dengan menjual manfaat yang akan didapat customer bila “beli” kita. Namun yang terbagus adalah menjual solusi.
Ini artinya, jangan terpaku pada PNBP dari penjualan data. Andaikata seluruh data atau peta habis terjual pun, revenuenya tidak akan menutup investasi (yang untungnya ditanggung negara melalui APBN). Produk pemetaan tidak seperti produk industri rekaman. Investasi satu nomor lembar peta dapat mencapai Rp. 100 juta; sementara berapa exemplar peta yang akan terjual dengan harga Rp. 30.000/hardcopy atau Rp. 500.000/softcopy?
Karena itu lebih baik bermain pada benefit-selling. PNBP bisa didapat dari customization, memberikan solusi pada pengguna, termasuk juga memberikan update atau training. Dan untuk memperluas pasar ini, tidak ada salahnya untuk mencoba membagikan data secara gratis (pada segmen pasar tertentu), dan kemudian melihat peluang bisnis derivatifnya. Jadi rugi (sedikit) pada feature selling namun untung banyak di benefit selling.
Setelah itu kita harus terus menjaga relationship dengan pelanggan. Hubungan ini berlanjut terus, meski pelanggan sudah (pernah) membeli kita.
Kita bisa mengingatkan pelanggan dengan suatu newsletter atau mailing-list yang menginformasikan produk baru kita atau kemungkinan update data yang mereka miliki. Kita perlu mengadakan semacam “Bakosurtanal User Meeting” secara teratur sehingga hubungan dengan customer terus berlanjut.
Prinsip 7-9: Execute HEART SHARE
Prinsip-7 (value indicator) : Brand
– Avoid the Commodity-Like Trap
Jangan anggap nama sekedar nama. Nama itu penting dan orang harus mengetahui asosiasi apa yang melekat dengan nama kita. Kita punya kewajiban membangun brand kita sendiri, baik sebagai individu professional maupun sebagai “kru Bakosurtanal”. Walau awalnya adalah secara “kecil-kecilan” hanya di forum-forum “klasik” seperti Bappeda (Tata Ruang) atau Tata Pemerintahan (Tata Batas), tapi harus meningkat sehingga juga merambah ke dunia bisnis atau infotainment (informasi yang dikemas sebagai entertainment), sehingga makin banyak yang mengenal kita. Menulis di media, tampil di acara publik, atau muncul di televisi adalah salah satu usaha melakukan branding.
Setelah itu jaga nama baik kita. Jangan sampai kita keseringan mengumbar janji tapi tidak mampu memenuhinya (promise under delivery).
Lebih baik kita rugi materi, tidak apa asal jangan sampai nama kita jatuh. Sekali nama tercemar, kerugiannya akan lebih besar daripada yang diperkirakan.
Brand image Bakosurtanal
Spatial information
Sistematics – Nationwide
Quality – Accurate
Prinsip-8 (value enhancer) : Service
– Make Service as Your Way of Life
Dalam tingkatan intelektual, ilmu-ilmu servis memang harus dipelajari dengan baik, bagaimana memperlakukan orang yang butuh pelayanan, bagaimana melakukan orang dengan empati, bagaimana menghadapi orang yang tidak tahu namun sok tahu, dan sebagainya.
Namun kita juga harus belajar mengenali mood kita sendiri, dan mengindentifikasi mood orang lain. Dengan ini kita bisa menyesuaikan servis kita secara tepat, dengan empati yang lebih besar.
Dan supaya pelayanan menjadi mantap, kita harus berusaha menganggap servis sudah menjadi tugas kita di dunia. Artinya, bagi staf Bakosurtanal, jangan sampai mencurahkan perhatian kepada masalah pemetaan hanya dilakukan ketika ada tugas saja atau ketika ada kompensasi materi (UPK) saja. Di sinilah perlunya spiritual commitment, sehingga aktivitas marketing akan makin bersifat spiritiual.
Prinsip-9 (value enabler) : Process
– Improve Your Quality, Cost and Delivery
Menjadi terkenal atau memberikan servis yang baik tidak cukup, tetapi harus diperhatikan bahwa kita memberikan servis yang sesungguhnya. Dan ini sebuah proses. Di dalam segala proses ini kualitas harus dijaga, cost harus efisien dan bisa diberikan tepat waktu. Ada tiga proses, yaitu : 1) proses pekerjaan kita sehari-hari; 2) proses menangani keluhan atau permintaan “pelanggan”; dan 3) proses penciptaan suatu servis baru yang kreatif.
Demikianlah, Branding yang baik ini akan menaikkan Positioning Bakosurtanal, sehingga posisi tawarnyapun akan jauh lebih baik dari sebelumnya.
Gambar 4. Spiral peningkatkan posisi suatu institusi dengan marketing yang tepat
Daftar Pustaka:
Kartajaya, H. (2004): Marketing Your Self. Markplus.
Agustian, A.G. (2001): ESQ Power.