Sesungguhnya tidak ada orang maupun kaum, yang mengalami perubahan nasib tanpa mereka mengubah dulu “orientasi”-nya atau arah perjalanan hidupnya.
Kehidupan itu laksana perjalanan. Kalau kita berangkat mudik dari Jakarta ke Yogya, maka dari awal kita sudah seharusnya tahu, ke mana arah yang dituju. Kalau salah, jangan-jangan kita malah ke Barat, menuju Merak, lalu menyeberang ke Sumatra, wah makin jauh lah Yogya … Atau lebih parah lagi kita malah ke Cengkareng, naik pesawat, ternyata itu pesawat jurusan Jeddah. Wow, jadinya bukan mudik tapi umroh dong … 🙂
Biasanya dari Jakarta, pemudik ke Yogya akan menuju ke timur. Masuk tol Cikampek. Nah di pintu tol Cikampek, dia harus memutuskan, lewat Pantura atau lewat Bandung (jalur selatan). Yang lewat Pantura, ada kemungkinan akan menghadapi pilihan arah lagi. Mungkin di Subang ada yang dibuang ke jalur tengah, karena macet berat. Mungkin di Cirebon ada yang memilih ke kanan lewat Purwokerto. Mungkin di Kendal ada yang memilih lewat Weleri, Temanggung dan Magelang. Yang paling konvensional, akan melewati jalur yang lebar dan mulus, lewat Semarang lalu Magelang. Intinya, di tiap simpang jalan itu mereka harus memutuskan ke arah mana. Di situlah, setiap saat kita harus berorientasi. Kita ada di mana, dan tujuan itu ke arah mana.
Demikian juga dalam kehidupan. Setiap kita lulus satu jenjang pendidikan dan akan melanjutkan jenjang di atasnya, atau kita selesai studi dan mau bekerja atau membuka usaha, atau kita mau mendiami sebuah rumah dan membentuk rumah tangga, semua perlu orientasi. Orientasi itu yang akan memandu kita, apakah benar kita menuju tujuan kita sekolah, bekerja atau berumah tangga. Orientasi itu akan memberi informasi yang lengkap, sudahkah bekal kita memadai, apa saja yang harus disiapkan, dan berapa lama kita harus menyiapkannya. (more…)
Sesungguhnya tidak ada orang maupun kaum, yang mengalami perubahan nasib tanpa mereka mengubah dulu “differensiasi”-nya atau membuat perbedaan dalam dirinya dengan masa lalu atau dengan orang lain.
Allah menciptakan manusia dengan berbagai perbedaan. Perbedaan fisik, tempat lahir, latar belakang sosial, pendidikan dan sebagainya, itu qadha (kehendak Allah, di luar kekuasaan manusia). Jadi ini perbedaan yang tidak akan diminta pertanggungjawaban, jadi juga tidak perlu dipersoalkan. Perbedaan ini justru memudahkan manusia saling mengenal. Coba bayangkan kalau semuanya seragam? Kalau semua perempuan sama wajah dan pakaiannya, tentunya banyak suami yang kesulitan menemukan kembali yang mana istrinya.
Namun ada perbedaan yang justru harus kita ciptakan, kalau kita ingin berubah. Ada dua perbedaan atau diferensiasi yang bisa kita lakukan:
Pertama, perbedaan dengan dirinya sendiri di masa lalu. Tentunya perbedaan yang sifatnya mubah. Syukur-syukur malah yang sunnah atau wajib. Kalau dulu dia jarang berolahraga, sekarang bikin perbedaan dengan rajin olahraga tiap pagi, meskipun cuma senam atau jogging keliling RT 10 menit. Kalau dulu tak pernah pakai baju putih dan peci haji, apa salahnya sekarang pakai baju putih dan peci haji. Bagi yang belum berhaji, barangkali itu washilah untuk dimudahkan Allah jalan ke tanah suci. Atau juga washilah untuk jadi berhati-hati dalam berbuat. Ada sobat yang tinggal di Eropa, biasa beli daging di sebuah kios yang dijaga orang Turki. Ketika suatu hari dia datang dengan kostum putih dan peci haji, tiba-tiba penjaga warungnya bilang, “Pak Haji, ini daging yang dijual di kios ini tidak halal. Yang nyembelih orang kafir. Saya mah cuma jaga warung saja …”. (more…)
Sesungguhnya tidak ada orang maupun kaum, yang mengalami perubahan nasib tanpa mereka mengubah dulu persepsinya tentang berbagai hal.
Persepsi adalah tanggapan (penerimaan) langsung dari sesuatu serapan. Persepsi ini dihasilkan dari informasi yang masuk ke pancaindera seseorang, kemudian oleh otaknya dihubungkan dengan berbagai informasi yang telah ada sebelumnya, baik informasi yang masih mengambang, maupun yang sudah mantap atau dianggap referensi.
Namun kualitas persepsi juga tergantung kecepatan orang berpikir dan berapa banyak otaknya dilatih. Otak manusia memiliki keunikan, yakni makin sering dipakai, makin cepat dia berpikir dan makin banyak yang bisa disimpannya. Tetapi kualitas latihan ini juga tergantung jenis informasi yang dimasukkan. Ada informasi-informasi yang memperkuat otak, tetapi ada juga yang justru melemahkannya. Membaca Qur’an, memecahkan persoalan matematika atau menganalisis berita politik, adalah termasuk informasi yang memperkuat otak. Sedang pornografi, opera sabun atau gossip murahan, adalah informasi yang melemahkan. Otak melemah karena banyak sel-sel di otak yang terlena atau non aktif, kecepatan berpikir jadi berkurang, dan akibatnya persepsi yang dihasilkannyapun tidak optimal.
Di dunia bisnis, banyak analis ekonomi atau perencana keuangan yang berlatar belakang sains/teknik, karena konon otak mereka lebih terlatih memecahkan persoalan yang lebih rumit, sehingga terasa ringan dan lebih cepat ketika menghadapi persoalan bisnis atau finansial. Itulah kenapa, para ilmuwan zaman dulu selalu melalui masa kanak-kanak sebagai penghafal Qur’an, atau ulama fiqih juga belajar matematika. Di sisi lain, setiap orang yang sedang menghafal Qur’an wajib menghindari maksiat. Bahkan menonton dangdut dengan biduanita yang mengumbar aurat bisa menghilangkan 1-2 juz dari memory.
Adapun persepsi itu sendiri bisa bermacam-macam. Ada persepsi tentang diri sendiri. Ada persepsi tentang orang lain. Juga persepsi tentang alam semesta, masyarakat, negara, dan sebagainya. Semuanya akan menentukan apa yang akan dilakukan orang itu kemudian. (more…)