Sesungguhnya tidak ada orang maupun kaum, yang mengalami perubahan nasib tanpa mereka mengubah dulu bagaimana mereka mengatur zona-zona dalam hidupnya.
Setiap sebuah institusi membuat gebrakan, dan dia tahu tak mungkin mengubah seluruhnya sekaligus, maka akan dibuatlah zona-zona. Di kantor-kantor sekarang ada tulisan “Zona Bebas Asap Rokok”. Lalu perokok dikasih tempat di sudut yang dianggap tidak “membahayakan”. Di beberapa jalan polisi memasang spanduk “Zona Tertib Lalu Lintas”. Mafhumnya, di tempat lain untuk sementara dimaklumi bila belum tertib. Bahkan beberapa negara membuat “Zona Khusus Bebas Pajak”, agar investor datang dan membuat usaha di sana.
Dari sisi syari’ah, kita gembira bahwa ada beberapa pesantren menerapkan zonasi sejenis. Ada “Zona Muslimah Wajib Berjilbab”, di mana setiap perempuan yang memasuki area itu diwajibkan berjilbab, kecuali kalau memang non muslim. Mungkin baru Iran negeri yang mewajibkan semua perempuan dari manapun untuk ganti kostum ketika menginjak bandara di wilayah Iran. Ada juga “Zona Berbahasa Arab”, di mana setiap santri hanya dibolehkan berbahasa Arab. Kalau berbahasa selain itu bisa diberi sanksi. Ada juga di suatu kantor didapati tulisan “Zona bebas korupsi”. Maksudnya tentu saja bukan bahwa di situ orang bebas melakukan korupsi, tetapi di zona itu [diharapkan] sudah tidak ada lagi korupsi”.
Intinya dari semuanya, zonasi itu sering diperlukan sebagai trigger perubahan. Di perencanaan wilayah, tugas utama para planolog adalah membuat zonasi. Mana zona yang akan dipertahankan sebagai Kawasan Lindung, mana untuk Kawasan Pertanian, Ruang Terbuka Hijau, Area Permukiman dan seterusnya. Dengan cara ini, maka pemerintah mengantisipasi perkembangan jauh ke depan, agar pertumbuhan populasi tidak terkonsentrasi di suatu titik saja, yang bisa menyulitkan pemerintah dalam melayani warga secara optimal. (more…)
Sesungguhnya tidak ada orang maupun kaum, yang mengalami perubahan nasib tanpa mereka mengubah dulu bagaimana mereka mengatur alokasi sumber daya dalam hidupnya.
Semua apa yang ada di dunia serba terbatas. Sekaya ataupun seberkuasa apapun seseorang, tetap saja dia dicengkam keterbatasan. Setidaknya kapasitas otaknya terbatas. Tenaganya terbatas. Waktu yang dia miliki terbatas. Orang yang dia kenal terbatas. Oleh karena itu dia mesti pandai-pandai mengatur alokasi semua sumber daya yang dia miliki. Dan alokasi ini tergantung apa yang dia anggap penting.
Kalau kita memiliki sebuah gelas besar, lalu kita memiliki beberapa butir kelereng, beberapa sendok pasir dan secangkir air, lalu kita akan memasukkan semuanya ke dalam gelas besar tadi, apa dulu yang kita masukkan?
Kalau kita masukkan air dulu secangkir, ada kemungkinan gelas besar itu langsung hampir penuh, sehingga kelereng dan pasir itu tidak bisa masuk. Atau kalau dipaksakan masuk, maka airnya juga akan meluap dan malah terbuang percuma. Tentu saja, cara yang paling tepat adalah kita masukkan seluruh kelereng dulu. Lalu pasir akan mengisi di sela-selanya. Baru terakhir adalah air. (more…)
Sesungguhnya tidak ada orang maupun kaum, yang mengalami perubahan nasib tanpa mereka mengubah dulu obsesi-nya atau apa yang benar-benar menggodanya untuk diwujudkan dalam hidupnya.
Dalam istilah yang lebih lunak, kemampuan melihat inti persoalan atau wawasan ke depan atau bahkan kemampuan untuk merasakan sesuatu yg tidak tampak melalui kehalusan jiwa dan ketajaman penglihatan, disebut VISI. Tetapi ketika seseorang benar-benar meyakini visi itu, lalu hal itu selalu menggodanya untuk mewujudkannya – bahkan kadang disebut “gangguan jiwa”, maka ini disebut OBSESI.
Setiap capaian-capaian besar dalam sejarah, selalu dimulai dari orang-oang yang memiliki obsesi. Mencari jalan ke Kepulauan Nusantara merupakan obsesi bagi orang Eropa pd abad ke-15. Melihat jalan-jalan terang di malam hari oleh penerangan listrik merupakan obsesi Thomas Alva Edison di awal abad-20. Membuat roket yang dapat mendaratkan manusia di bulan adalah obsesi Werner von Braun di tahun 1960-an. Dan melihat ada komputer di setiap rumah tangga dan software di dalamnya bertuliskan Microsoft adalah obsesi Bill Gates di akhir 1990-an. Dan indahnya, setelah mereka bertahun-tahun bekerja seperti orang kesurupan, sampai sering lupa makan siang, semua telah berhasil meraih obsesinya !
Ada pepatah, “yang membuat banyak orang disebut gagal bukanlah karena dia gagal meraih target, tetapi karena dia menaruh target terlalu mudah”. Karena itu, kalau kita ingin merubah nasib kita di masa depan, kita wajib memiliki suatu obsesi, atau bahkan merubah obsesi yang sudah ada. (more…)