Belajar dari Negeri Para Mullah
Prof. Dr. Fahmi Amhar
“Pergi ke Iran mau ngapain? Mau jadi syi’ah?”, tanya seseorang. Pertanyaan tak serius ini tentu saja saya jawab dengan canda, “Lho saya kan sudah Ayatollah!”.
Ada juga canda yang lain, “Kalau belum menikah memang seharusnya ke Iran dulu, biar tidak menyesal …”. Konon sejak revolusi Islam, wanita Iran tidak boleh ikut seleksi wanita cantik sejagad seperti Miss Universe. Hal ini karena di Iran tidak ditemukan satupun wanita cantik. Adanya wanita amat cantik dan wanita cantik sekali …
Pertengahan tahun 2011, saya ke Iran diundang presentasi oleh International Conference on Sensors & Models of Photogrammetry & Remote Sensing di College of Engineering University of Teheran. Keputusan jadi berangkat diambil dua hari sebelumnya, setelah dipastikan kita bebas visa untuk seminggu. Meski jarang turis “nyasar” ke Iran karena berbagai travel warning dan citra Iran yang dibuat buruk media Barat, namun menurut saya ada dua hal yang perlu dipelajari dari negeri para Mullah ini. Pertama, tentang dunia sains di Iran yang tetap maju ditengah-tengah kesulitan akibat embargo yang dijatuhkan dunia. Kedua, realitas kehidupan sehari-hari di sebuah Republik Islam.
Tentang dunia sains di Iran:
Iran beruntung memiliki warisan kejayaan Islam masa lalu, bahkan juga dari masa pra Islam. Ingat, Salman al Farisi RA adalah sudah insinyur ketika dia masuk Islam. Nama-nama intelektual besar Islam seperti al-Khawarizmi, Ibnu Sina dan Umar Khayam, “hadir” dalam kehidupan sehari-hari. Banyak jalan atau lapangan dinamai dengan tokoh-tokoh itu. Iran bahkan memberi penghargaan tahunan “Al-Khawarizmi Award” bagi ilmuwan muslim dunia yang dianggap berprestasi dalam inovasi teknologi. Setiap tahun mereka juga mengundang seluruh negeri Islam dalam sebuah pameran internasional sains dan teknologi.
Dalam conference ini, saya melihat bahwa kualitasnya masih di atas rata-rata conference sejenis yang diadakan di Indonesia. Tidak cuma bahwa sebuah konferensi ilmiah internasional diawali dengan pembacaan al-Qur’an, tetapi presentasi para peneliti Iran, termasuk yang masih mahasiswa benar-benar mengambil thema yang tidak mudah, meski banyak batasan yang mereka alami. Sebagai contoh, ada ilmuwan Iran yang membuat sebuah alat yang dicangkokkan pada sebuah alat yang lebih besar buatan perusahaan Austria, Vexcel, untuk dipasarkan ke seluruh dunia. Tiba-tiba Vexcel dibeli Microsoft. Maka kerjasama dengan Vexcel otomatis batal, karena bila diteruskan, Microsoft akan kena UU Embargo. Dalam UU itu, semua perusahaan Amerika yang berhubungan dengan Iran akan dihukum. Kini Iran mencoba bekerja sama dengan China untuk alat yang serupa.
Namun kesulitan itu makin membuat Iran tertantang. Kata beberapa teknisi PTDI yang diperbantukan di industri pesawat Iran, mereka benar-benar “diperas ilmunya” selama di Iran. Ini sikap yang sangat berbeda dengan kita di Indonesia terhadap expatriat. Tak heran, nyaris tanpa pertolongan negara lain, tahun 2009 mereka sudah berhasil membuat roket yang dapat membawa satelit komunikasi ke orbit. Kalau Iran berhasil membuat bom atom, maka dengan roket tersebut Iran pasti akan dapat menjatuhkan bom ke mana pun di seluruh dunia. Oleh karena itulah, Amerika dan sekutunya makin kencang dalam membatasi gerak gerik Iran. Hal yang sejenis barangkali akan terjadi ketika Khilafah, yang mungkin jauh lebih “berbahaya” bagi Barat daripada Iran, diproklamasikan di sebuah negeri Islam.
Tentang realitas Republik Islam:
Di negeri ini internet disensor. Semua link berbau pornografi akan otomatis dialihkan ke situs yang menyediakan informasi ajaran Islam. Namun pasca keributan seputar pemilu 2009, situs seperti facebook, twitter, youtube dan banyak lainnya juga diblokir.
Di jalan-jalan tidak ada baliho iklan dengan gambar wanita. Di televisi juga tidak ada film Hollywood ataupun konser dengan biduanita yang tidak menutup aurat.
Di jalanan, berlaku aturan berpakaian Islam. Bahkan wanita peserta conference dari Russia pun begitu masuk imigrasi di bandara sudah harus berpakaian tertutup. Minimal bercelana panjang, blazer dan kerudung menutup rambut dan leher. Kadang sedikit rambut depan masih terlihat, namun ini tak masalah dalam fiqih syiah, karena dianggap bagian wajah yang biasa terlihat. Namun ada juga yang menambah dengan chador, kerudung besar (setengah lingkaran dengan radius setinggi badan) warna hitam yang diselimutkan dari kepala dan menjuntai ke tanah. Agar tak lepas, chador ini harus selalu dipegang. Kalau wanita itu mencangklong tas, tas itu akan tertutup chadornya. Konon, hanya di kota suci Qom yang nyaris seluruh wanitanya memakai chador.
Di bus tempat penumpang wanita di depan, laki-laki di belakang. Untuk kereta ada gerbong khusus wanita. Transportasi umum di Iran sangat murah. Tiket bus 1000 Riyals (sekitarr Rp. 800) dan Metro hanya 2000 Riyals. Bensin hampir sama dengan di Indonesia, 4500 Riyals, tetapi ada quota. Setiap kendaraan dijatah sehari 2 liter, angkutan umum/usaha 10 liter. Di SPBU ada card-reader. Kalau jatah habis maka berlaku harga 7000 Riyals. GDP perkapita US$ 10.800, lebih dari 3x Indonesia.
Di Teheran tak ada jaringan toko atau restoran cepat saji internasional. Jadi jangan mencari KFC atau McDonald. Pepsi atau CocaCola saja amat terbatas, apalagi khamr. Mungkin ada satu dua di pasar gelap, tapi yang jelas tidak ada di toko resmi. Demikian juga Hotel seperti Hilton. Sejak embargo ekonomi pasca revolusi Islam, Iran bisa hidup tanpa simbol-simbol modernitas seperti itu. Banyak pengusaha Barat hengkang karena mengkhawatirkan perang atau pertumbuhan negatif. Apalagi, sejak revolusi Islam, terbit Undang-undang perbankan bebas riba. Walhasil, kartu kredit seperti Visa atau Mastercard juga tidak bisa dipakai. Namun pasar-pasar Iran tetap ramai. Satu jalan panjang penuh dengan penjual spareparts kendaraan. Di tempat lain penuh dengan penjual baju atau barang-barang hobby. Banyak merek yang hanya ada di Iran. Usaha Kecil dan Menengah booming. Konon perdagangan dengan negara yang netral terhadap politik Iran amat deras, misalnya dengan Jepang, Perancis atau China. Cash dibayar dengan devisa dari expor, terutama migas. Iran mungkin negara tanpa utang luar negeri.
Jalan-jalan di Teheran juga relatif bersih, memberi tempat yang cukup untuk pejalan kaki, pokoknya lebih nyaman dari Jakarta, walaupun masih jauh dari Singapura. Tetapi air PAM dapat langsung diminum. Di dekat masjid Imam Khomeini bahkan ada zona pejalan kaki yang sangat luas dan nyaman karena dinaungi pohon-pohon rindang.
Namun memang bagi turis pemburu hiburan, di Iran nyaris tak ada hiburan. Ini yang juga dikeluhkan generasi muda Iran yang lahir pasca revolusi tapi pernah keluar negeri. Mereka menginginkan kebebasan. Mereka belum pernah merasakan, bagaimana Iran sangat menderita di masa Syah Reza Pahlevi. Raja zalim itu ingin membuat Iran negara paling sekuler dan liberal, namun pada saat yang sama dia sangat koruptif dan menjalankan politik negara intel. Hingga awal 1979, jarang orang percaya bahwa Raja yang amat berkuasa itu dapat digulingkan oleh ulama sepuh yang telah diasingkan 15 tahun.
Tak ada setahun pasca jatuhnya Syah Iran, dilakukan referendum, dan 90% rakyat Iran setuju dengan sebuah konstitusi baru yang dibuat Ayatullah Khomeini. Dalam konstitusi itu, pemimpin tertinggi Iran (Imam) dipilih dari dan oleh Dewan Ulama (Wilayatul Faqih). Imam ini yang menjadi panglima tertinggi angkatan perang, mengangkat para hakim serta setengah anggota Dewan Penjaga Revolusi yang mirip Mahkamah Konstitusi. Sementara itu Presiden dipilih rakyat untuk menjalankan pemerintahan. Parlemen membuat UU, namun dapat dicabut oleh Imam atas saran Dewan Penjaga Revolusi, bila dianggap bertentangan dengan Islam. Bila Presiden hanya berkuasa 4 tahun dan boleh dipilih sekali lagi, maka Imam mengabdi seumur hidup. Dalam ajaran syi’ah, masalah Imamat adalah bagian dari rukun iman. Dalam ajaran sunni, masalah kepemimpinan atau Khilafah adalah “min ma’luman bid dharurah”, tetapi bukan bagian rukun iman. Jadi kira-kira Imam adalah Khalifah, dan Presiden adalah Muawin Tafwidh, meski masih banyak bedanya.
Tetapi memang banyak kejutan dengan syi’ah ini. Begitu mendengar adzan, ada beberapa sisipan yang tidak lazim kita dengar, misalnya “Asyhadu an Ali Waliyullah! Asyhadu an Ali Hujatullah” dan “Hayya alal khoiru amal”. Di masjid jadi kikuk. Pernah orang KBRI sholat di masjid, karena mungkin “aneh” bagi orang sana, dia sampai difoto oleh intel masjid. Mungkin jaga-jaga, “ada penyusup sunni”.
Khutbah Jum’at juga lebih mirip orasi politik. Kadang ada yel-yel yang diteriakkan, “Hancurkan Amerika!”. Ini yang kadang ditakutkan oleh negeri-negeri Islam lainnya Maka undangan beasiswa ke Iran sering ditanggapi dingin oleh pemerintah kita. Namun demikian, dari Indonesia saja, kini ada 300 mahasiswa yang belajar agama di kota Qom. Apakah mereka akan dicuci otak dan jadi agen syiah di Indonesia? Atau mereka justru tertarik dengan wanita Iran yang menurut seorang mahasiswa yang terpental dari Qom (mungkin gagal dicuci otaknya): “memang cantik sekali, tapi kalau tidak matre , ya sangat syi’ah ” :-).
** ini re-published ** sepertinya pernah saya tulis di Notes, tapi koq tidak ketemu lagi ya ?
Tags: Dunia Islam, Iran, negeri mullah, timur tengah
Leave a Reply