Oleh: Fahmi Amhar
Seseorang datang ke dunia tanpa bisa memilih pada keluarga mana ia dilahirkan, pada lingkungan apa ia tumbuh, dan oleh (guru) siapa ia dididik. Maka pada umumnya seorang anak kecil tidak bisa memilih sejak awal, apa agama yang akan dianutnya. Bila ia dilahirkan pada sebuah suku di rimba di Afrika, bisa jadi ia akan menjadi pemeluk paganisme yang kolot. Bila ia dibesarkan oleh seorang kader partei komunis di Uni Soviet, ia akan menjadi komunis yang fanatik. Bila ia dididik terus pada sebuah sekolah katholik di Irlandia Utara, dia akan menjadi pejuang katholik yang berani mati. Dan bila dia tumbuh di Makkah Al Mukarramah, serta setiap tahun menyaksikan jutaan muslim dari seluruh dunia datang berhaji, ia bisa berkembang menjadi muslim yang kosmopolit.
Sebagian besar manusia terbentuk oleh lingkungan. Pemikiran, perasaan dan perbuatan mereka akan ditentukan oleh apa yang menjadi norma kolektif dalam lingkungan tersebut. Jarang seorang anak kecil yang berpikir seperti Ibrahim a.s., yang mempertanyakan “Benarkah yang dianut orang-orang ini?”. Lingkungan pada umumnya kurang menghendaki pemikiran yang bertentangan dengan mainstream. Di Barat ini akan “aneh” sekali bila ada orang yang mempersoalkan kebenaran prinsip sekularisme atau demokrasi. Seperti anehnya masyarakat Quraisy di Makkah abad 7 Masehi, ketika Muhammad Saw membawa ajaran Tauhid. Mereka menuduh Muhammad telah melecehkan nenek moyang mereka, melecehkan agama dan adat istiadat mereka, bahkan mengganggu keharmonisan hidup masyarakat Makkah (lihat Sirah Nabawiyah, Ibnu Ishaq). (more…)
wawancara dari Tim Redaksi D’Rise di publikasi 21 March 2011 di web drise-online.com
Sedikit sekali remaja yang rela ngasih waktu mudanya buat ngemil segala hal yang berbau karya ilmiah. Ya iyalah, hari gini gitu lho. Kebanyakan remaja lebih suka kegiatan senang-senang. Yang seru-seruan gitu deh. Tapi bagi Profesor Riset asal magelang ini, justru dunia ilmiah adalah mainannya saat remaja. Nggak heran kalo beliau sukses menggondol juara karya Lomba Karya Ilmiah Remaja (LKIR) LIPI tiga tahun berturut-turut (1984-1986). Dan akhirnya, dunia ilmiah juga yang mengantarkannya meraih gelar Doktor di Vienna University of Technology, Wina, Austria pada tahun 1997 (usia 29 tahun). Berikut kutipan obrolan kang Hafidz dari drise saat berkesempatan ngobrol dengan Dr. Ing. Fahmi Amhar. Just cekidot!
Boleh dong Pak cerita ke kita-kita gimana sih bisa dapetin gelar Dr di luar negeri gitu?
Dulu saya sekolah di kampung, di kota kecil Magelang, Jawa Tengah hingga SMA. Tahun 1986 diterima di Jurusan Fisika FMIPA ITB. Pada saat itu di Kantor Menristek juga ada seleksi Overseas Fellowship Program (OFP) untuk menjaring lulusan SMA yang mau dikirim belajar ke LN dengan beasiswa ikatan dinas. Saya ikut test OFP ini juga. Alhamdulillah, test akademis lolos. Pas psikotest di Jakarta, jadwalnya bersamaan dengan daftar ulang di ITB di Bandung. Akhirnya yang psikotest OFP saya tinggal. Setelah saya kuliah di ITB dua bulan, ternyata oleh Ristek dipanggil lagi, untuk ikut psikotest susulan. Ya sudah, test lagi, tapi tanpa beban. Ya Allah kalau memang ini jalan yang membawa aku makin dekat kepada-Mu, buatlah dia lancar, tapi kalau tidak, buat aku tidak lulus sekarang juga.Alhamdulillah lolos.
Setelah lulus test OFP itu,kami harus kursus bahasa & IPA 6 bulan. Lalu ujian bahasa. Baru berangkat ke LN. Di sana kami test masuk perguruan tinggi (jadi Sipenmaru lagi). Lalu kuliah. Alhamdulillah, setelah 6 tahun, saya meraih gelar “Diplom-Ingenieur”, ini gelar insinyur professional di Austria, Jerman, Swiss dan Perancis. Levelnya setara dengan S1+S2 di negeri berbahasa Inggris. Enam tahun sepertinya lama ya? Tapi saya mahasiswa nomor dua tercepat dari seluruh mahasiswa di jurusan geodesi yang jumlahnya 70 orang, dan orang asingnya cuma 4 orang. Maka oleh Professor saya, saya lalu direkrut untuk jadi asisten riset, sekaligus dapat mengerjakan program doktor saya. Saya masih perlu 4 tahun lagi untuk mewujudkan mimpi saya jadi doktor.Dr. Ing. Fahmi Amhar
Gimana ust melihat kondisi pelajar sekarang? Kanyanya tiap hari kita disuguhin potret buram pelajar melulu.
Ya, idealnya pelajar itu belajar, bukan cuma sekolah. Sekarang di sekolah, anak-anak itu tidak merasa banyak belajar untuk hidup. Mereka hanya di-drill untuk lulus UN, atau masuk perguruan tinggi. Padahal yang mampu ke Perguruan Tinggi baik dari sisi biaya maupun kecerdasan kan tidak semua. Harusnya, sekolah itu tempat yang menyenangkan. Karena guru-guru itu adalah life-mentor untuk menghadapi kehidupan yang panjang. Boleh jadi para pelajar itu ingin, sekolah ngasih pengalaman (experiential) dan suasana petualangan (adventurial). Karena mereka tidak mendapatkan dari sistem belajar-mengajar yang ada, makanya mereka memberontak. Jadinya tawuran, kebut-kebutan, narkoba, de el el.
Sebenarnya, para pelajar sekarang tuh masih pada punya idealisme untuk menjadi yang terbaik dan berwawasan gak sih Pak?
Mereka sejatinya punya idealisme, mereka juga lebih senang kalau menjadi yang terbaik dan punya wawasan. Tetapi, lingkunganlah yang kemudian meniup mati idealisme ini. Mereka melihat lingkungan yang buruk, tetapi koq dipertahankan? Orang-orang curang, koq akhirnya dapat lebih banyak? Mereka meniru para elit negeri ini. Mereka melihat guru-guru yang asal-asalan. Saya tidak bilang semua guru asal-asalan lho ya. Banyak juga guru yang baik. Tetapi, pelajar yang amburadul ini dapat dipastikan besar di lingkungan keluarga atau sekolah yang juga amburadul. Tidak ada panutan. Tidak ada arahan kecuali hanya bentakan atau makian, bukan teladan dan pendampingan.
Kalo gitu, apa sih yang bikin prestasi para pelajar menurun? sistemikkah? atau sekedar personal?
Kalau di suatu sekolah, distribusi prestasi itu merata, ada yang baik banget, top markotop lah, dan ada juga yang jelek, tetapi rata-rata di tengah, maka itu berarti yang jelek itu personal. Tetapi kalau semua buruk, itu buruknya pasti sistemik.
Saat ini negara getol berusaha mendongkrak kualitas pelajar, diantaranya dengan pelaksanaan Ujian Nasional. Gimana tuh Pak?
Ujian Nasional saya kira hanya salah satu alat untuk mengukur keberhasilan pendidikan. Tetapi dia tidak boleh jadi satu-satunya alat. UN itu tidak bisa mengukur siswa yang kreatif, siswa yang punya kemampuan memimpin, siswa yang punya jiwa enterpreneur, siswa yang sholeh dsb. Juga pendidikan tidak bisa didongkrak hanya dengan UN. Agar kualitas pendidikan naik, maka kualitas sekolah (gedung, lab, buku dsb) harus dinaikkan juga. Kualitas guru juga harus naik, guru harus dibuat sejahtera dan profesi ini harus dibuat bergengsi. Keberhasilan pendidikan juga terkait dengan ekonomi. Banyak anak cerdas berniat sekolah, dan sekolah sudah gratis, tetapi kondisi ekonomi orangtuanya memaksa dia bekerja saja jadi buruh, karena kalau sekolah, adik-adiknya kelaparan. Atau jarak rumahnya ke sekolah terlalu jauh, tidak ada angkutan kecuali sangat mahal. Ini semua harus diperbaiki, baru kita bisa menuntut kualitas hasil pendidikan meningkat.Dr. Ing. Fahmi Amhar
Banyak para pelajar kita yang sukses menggondol medali dalam olimpiade sains tingkat dunia di tengah prestasi pelajar yang merosot. Inikah oase di tengah padang pasir?
Bukan oase, tetapi tetes embun di tengah padang pasir. Ada teori bahwa di setiap bangsa itu, Tuhan menciptakan 2,5% manusia dengan kecerdasan jauh di atas rata-rata, tanpa memandang kelas sosial ataupun level nutrisinya. Kalau bangsa Indonesia ini 200 juta jiwa, maka ada 5 juta orang yang kecerdasannya jauh di atas rata-rata. Kalau murid kelas 1-3 SMA itu ada 5 juta siswa, maka sejatinya ada 125.000 siswa yang berbakat untuk diasah menjadi peraih medali emas di Olympiade Sains tingkat dunia. Tetapi sebagian besar dari mereka tidak pernah terdeteksi. Dan mereka yang akhirnya menjadi juara olympiade sains itupun masih harus membuktikan, seperti apa kontribusi real mereka nanti di masyarakat.
Solusi seperti apa yang mesti ditempuh untuk meningkatkan prestasi dan kualitas pelajar?
Pertama, bisa dimulai dari pelajar itu sendiri, atau orang tuanya, atau kakaknya, atau gurunya. Berikan contoh yang terbaik. Itu saja. Kedua, dimulai dari media massa (terutama televisi). Berikan tayangan-tayangan yang menggugah, menginspirasi, bukan hanya hiburan yang dangkal dengan target-target komersial jangka pendek. Ketiga, ini harus dari penguasa, minimal dari Pemda yang sekarang punya otonomi mengurusi sekolah. Seleksi gurunya yang benar, Proaktif meninjau sekolah yang fisiknya perlu ditingkatkan, Beri jaminan agar seluruh siswa dapat tersalurkan bakat positifnya. Semua anak itu punya bakat positif. Tidak harus semua jadi sarjana. Tetapi semua harus jadi manusia yang berguna.
Apa pesan dan motivasi Pak Fahmi untuk temen-temen pembaca drise?
Hidup yang terbaik itu adalah hidup untuk memberi yang sebanyak-banyaknya, bukan menerima yang sebanyak-banyaknya. [341]
BOX:
Biodata Singkat
Nama : Dr. Ing. Fahmi Amhar
Profesi : Ahli Peneliti Utama bidang Sistem Informasi Spasial di BAKOSURTANAL
: Dosen pasca Sarjana IPB dan Universitas Paramadina
: Trainer TSQ