Dr.-Ing. H. Fahmi Amhar,
Kadang-kadang ada seseorang bertanya kepada saya, “Prof, apakah saya bisa menjadi peneliti?”.
Dan kadang-kadang saya gemes dan ingin menjawab, “Biasanya kalau berbakat jadi peneliti, tidak akan pernah bertanya seperti itu”. 🙂
Peneliti itu ada dua macam: peneliti formal dan peneliti informal. Sama dengan dunia usaha, ada sektor formal yang diakui negara (karena bayar pajak) dan ada sektor informal, yang meskipun dirasakan nyata, tetapi sering tidak dihitung.
Di Indonesia, peneliti formal ada di dunia perguruan tinggi, lembaga penelitian, divisi R&D BUMN dan perusahaan swasta besar bahkan lembaga konsultan yang melakukan riset. Mereka tentu saja wajib membawa sejumlah syarat formal, misalnya minimal ijazah S1. Kalau mau jadi peneliti senior, profesor misalnya, tentu bahkan harus S3 (doktor). Selain itu, mereka wajib rajin membuat karya tulis ilmiah. Kalau tidak produktif, pasti dicopot-lah status penelitinya. Tetapi ada juga peneliti informal. Mereka adalah yang meneliti karena hobby, karena penasaran pada sesuatu, atau memang karena kebutuhan urusan/bisnis pribadinya. Mereka tidak peduli dengan status formal. Ada peneliti yang bahkan bukan sarjana. Tetapi karyanya jelas dirasakan banyak orang. Di tingkat dunia, banyak penemu teknologi yang sejatinya hanya peneliti informal. Thomas Alva Edison atau Bill Gates adalah para penemu yang gigih meneliti bertahun-tahun, sebelum karya mereka akhirnya mengubah dunia. Mereka tentu saja tidak akan lolos syarat peneliti formal, karena keduanya bukan sarjana. Mereka juga membuat tulisan yang sangat informatif, inovatif dan inspiratif bagi jutaan orang, tetapi mungkin tulisan itu juga tidak lolos standard jurnal ilmiah.
Saya saat ini menyandang predikat peneliti formal. Jabatan peneliti itu saya mulai sejak tahun 1998. Pada tahun 2010 saya bahkan sudah dikukuhkan sebagai Professor. Banyak orang melihat ini terlalu cepat. Tetapi sesungguhnya, saya sudah menjadi peneliti informal sejak tahun 1981 !!!
Benar, saya sudah menggeluti dunia penelitian sejak saya masih kelas 1 SMP !!! Apa ya buktinya? Buktinya, sejak kelas 1 SMP saya sudah gemar melakukan aktivitas yang ternyata terhitung aktivitas paling mendasar dalam penelitian, yakni membaca secara sistematis & kritis. Membaca sistematis artinya kita membaca dengan tujuan yang jelas, apa yang dicari, lalu dibuatkan summary atau dibuat klipping tema tertentu. Sedang kritis artinya, kita mendiskusikan topik itu, mencari kelebihan dan kelemahannya, bahkan membandingkan dengan tulisan lain. Kita tidak menganggap tulisan itu satu-satunya yang paling benar atau hebat. Waktu itu saya melakukan untuk tema elektronika. Saya membuat klipping rangkaian elektronika dari koran. Memang belum jurnal ilmiah. Tetapi saya sangat heran, kalau ada peneliti formal yang belum pernah melakukan seperti itu. Sekarang untuk membuat klipping semacam ini jauh lebih mudah, ada software free seperti MENDELEY yang bisa dipakai untuk mengklipping dan melakukan citasi berbagai versi dengan sangat cepat.
Aktivitas kedua adalah pengamatan. Sejak SMP, saya gemar membawa notes kecil setiap pergi ke mana-mana. Apa-apa yang menarik segera saya catat. Saya menghitung berapa langkah yang dibutuhkan dalam berjalan dari rumah ke masjid atau ke pasar. Beberapa hari saya mencatat jam berangkat dari rumah dan jam tiba di sekolah ketika saya bersepeda ke sekolah. Bahkan saya mencoba beberapa rute yang berbeda untuk membandingkan waktu perjalanannya. Saya bahkan iseng banget: menghitung jumlah pengemis yang ada sepanjang pertokoan pecinan, dari hari ke hari, sampai menjelang hari raya! Beberapa pengemis bahkan saya ajak ngobrol, saya tanya-tanya mereka dari mana, berapa uang yang didapat perhari, apakah mereka sendirian atau berkelompok, dan sebagainya. Dengan dikawani seorang teman, saya juga pernah melakukan survei menelusuri sebuah saluran irigasi yang cukup besar di Magelang (Kali Manggis) sampai ke hulunya di Kali Progo di Temanggung, sejauh kurang lebih 26 Km. Di beberapa lokasi, saya melempar botol plastik kecil untuk mengukur kecepatan airnya. Saya juga mengukur kedalaman air dan menaksir lebar sungai. Jadi saya dapat angka perkiraan debit air per detik. Kadang-kadang, sekarang saya mikir, apa kalau anak saya nekad melakukan seperti ini, bakal saya ijinkan ya? Tapi dulu Ibu saya tidak begitu tahu, bahwa saya senekad itu. 🙂
Tapi beberapa hal tidak bisa diamati begitu saja. Harus ada pengamatan yang dirancang. Bentuknya bisa eksperimen, atau untuk fenomena sosial bisa kuesioner. Saya banyak melakukan eksperimen dengan alat-alat listrik, kadang bahkan dengan tegangan tinggi. Saya membuat aquarium, di mana ikan saya masukkan, lalu saya aliri arus listrik PLN. Aman sih, karena kabelnya saya hubungkan seri dengan lampu. Tentu saja begitu elektroda dimasukkan, ikan-ikan pada pingsan. Begitu arus diputus, mereka bangun lagi … Kadang kalau saya pikir, nekad banget ya, kalau saya kesetrum gimana … Saya juga bikin kompor listrik dari batu tahu yang saya lubangi, lalu ke dalamnya dimasukkan elemen pemanas 300 Watt. Saya mencoba menghitung, berapa Rupiah yang dibutuhkan untuk mendidihkan seliter air. Ini saya kerjakan ketika saya kelas 1 SMA. Kemudian saya juga menyebarkan kuesioner ke teman-teman. Kuesioner pertama saya buat untuk tahu pendapat siswa atas tradisi memakai baju tradisional saat Hari Kartini. Ada guru-guru yang berkomentar miring, “ngapain sih bikin kuesioner segala ?” Padahal saya tidak minta bantuan apapun.
Aktivitas ketiga adalah menulis. Menulis yang tidak sekedar menulis, tetapi menuliskan hasil pengamatan, eksperimen atau hasil kuesioner kita langsung. It is very amazing! Hasilnya sering tidak terduga. Apakah Anda bisa menebak, berapa jumlah pengemis di hari biasa dan di hari Jum’at ? Benarkah tebakan Anda? Ini saya tulis. Saya mengikuti lomba karya tulis ilmiah sejak kelas 1 SMP (tahun 1981). Waktu itu LKIPR Dikbud (sekarang namanya LPIR Dikbud). Tetapi tulisan saya itu cuma dari bacaan dan ditambah opini (persisnya khayalan) :-). Tentu saja tidak lolos final. Tahun 1983 (kelas 3 SMP) saya ikut Lomba Karya Ilmiah yang diadakan Cerebrovit. Ini meskipun mayoritas masih dari bacaan, tapi ada sedikit pengamatan. Topiknya tentang Hobby. Alhamdulillah juara 1. Tahun 1983 (tapi sudah kelas 1 SMA) ikut Lomba Karya Ilmiah Perminyakan dari HMTM ITB. Ini nyaris hanya dari bacaan semua. Pas final, hanya dapat juara 2, soalnya yang juara 1 pakai kuesioner. Padahal kuesionernya sederhana, tanya ke sejumlah orang seperti ibu rumah tangga, pemilik warung dsb persepsi mereka tentang BBM dan alternatifnya. Tahun 1984 (kelas 1 SMA), saya menuliskan beberapa hasil survei pedesaan saya ke LKIR LIPI. Dipanggil final. Wah pesaingnya hebat-hebat. Banon Gede Umbaran dari Semarang melaporkan penelitiannya di kampung-kampung nelayan di Pantura. Sergius Sutanto penelitian tentang pengemis di Jakarta. Tetapi pas final, yang disidang oleh para Professor (Prof. Astrid Susanto, Prof. Conny Semiawan, Prof. Doddy Tisna Amidjaya), jawaban polos saya rupayanya memukau. Mungkin mereka melihat, ini beneran meneliti, dan tingkatannya memang masih anak SMA, tidak disetir oleh gurunya. Jadi saya dikasih juara 2 bersama dengan Sergius Sutanto. Yang juara 1 tidak ada.
Sampai detik itu, memang praktis tidak ada guru yang secara khusus membimbing. Di SMP saya ketemu Pak Bambang Supriyo, guru bahasa Indonesia yang mengajari membuat klipping dan majalah dinding. Juga Pak Darodji yang mengajari survei (sinau wisata). Tapi itu diberikan ke semua siswa. Anehnya, tidak banyak siswa yang lalu tertarik meneliti. Karena tidak punya “gen” meneliti ?
Karena memang tidak ada guru yang khusus membimbing, di SMA saya nekad mendirikan sendiri Kelompok Ilmiah Remaja (KIR). Ya di situ secara formalitas ada juga guru yang didudukkan sebagai pembimbing. Tetapi kami lebiih sering jalan sendiri. Lha bingung, kalau mengajak guru, ternyata mereka selalu mikir SPPD-nya. Padahal kami sering jalan sendiri tanpa SPPD … he he …
Memang hidup tidak selalu linier. Ada teman-teman yang waktu SMA sama sekali tidak tertarik ikut KIR, tapi ternyata setelah mahasiswa sangat cemerlang, lalu terus sekolah di luar negeri sampai S3, dan terus jadi peneliti kelas dunia. Sebaliknya, ada juga yang dulu ikut KIR, bahkan pernah menjuarai LKIR LIPI, tapi ternyata sekarang tidak terlalu terdengar kiprahnya dalam penelitian. Meskipun yang namanya peneliti informal, itu bisa saja profesinya jadi wartawan, aktivis LSM, atau bahkan wirausaha sejati, yang menjalankan roda bisnis tidak sekedar dengan intuisi, tetapi juga research-based, meskipun produknya tidak harus berbau teknologi.
Tetapi yang saya paling sedih adalah jika ada peneliti formal yang sebenarnya tidak paham-paham juga aktivitas penelitian itu apa. Ada yang menyangka, penelitian itu cuma membaca lalu menulis. Ada yang menyangka survei itu sudah penelitian. Padahal kan tergantung yang disurvei apa, bakal ada sesuatu yang “Wow” atau tidak. Tetapi saya paling “eneg” dengan peneliti yang hanya pelarian karena tidak laku di tempat lain, dan karena itu hanya menjadi pemburu “kum” – angka kredit peneliti – yang kadang bahkan menghalalkan segala cara, seperti nitip nama, niitip judul doang (tapi idenya seperti apa tidak jelas, boro-boro menunjukkan metode penelitiannya, boro-boro ikut menulis), bahkan plagiarisme. Yah sekilas, itulah dunia peneliti, yang saya sudah mulai sejak 32 tahun yang lalu.
Indikator menghabis-habiskan anggaran,
oleh aparat sipil di negara bukan-bukan,
di akhir tahun banyak rapat dan pelatihan,
di hotel paling mewah diselenggarakan,
terutama di daerah atau templat pelesiran,
tetapi yang hadir minim dan keluar masuk ruangan.
—
Acara dibuat tiga hari berturutan,
hari pertama cuma chek-in kedatangan,
hari ketiga cuma check-out kepulangan,
acara cuma di hari kedua dan juga cuma jam-jaman,
agar lumsum penuh tiga harian,
yang penting absen ditandatangan,
lalu narasumber dari luar berdatangan,
kualitas toh tak ada yang mempersoalkan,
yang penting ada materi untuk bahan pertanggungjawaban,
toh narasumberpun biasanya tidak keberatan,
karena honor mereka sekarang jutaan.
—
Tapi rakyat di luar sana dapat apa gerangan,
kalau makin baik birokrat membuat kebijakan,
tentu tak banyak lagi kritik maupun makian,
juga tak ada lagi puisi seperti ini jadi suratan,
tapi kalau justru makin rata kelaparan dan kebodohan,
atau makin canggih korupsi dan penindasan,
maka tunggulah puisi ini menjadi bola liar bersahutan,
yang bisa mendorong sebuah negeri berganti zaman.
Apakah ada bedanya, jika anak mencintai sastra sejak dini, khususnya puisi ?
Punya pengalaman pribadi, mungkin adik Anda, anak Anda atau Anda sendiri ?
Saya mendengar pendapat di atas tahun 1982, di sebuah seminar di kampus Universitas Tidar Magelang. Kami anak-anak SMP dilibatkan untuk meramaikan.
Tapi sesungguhnya, saya mulai belajar membaca puisi sejak tahun 1977. Ketika itu saya baru kelas 4 SD, oleh sekolah ditunjuk untuk ikut latihan buat lomba baca puisi bersama-sama beberapa anak kelas 5 dan kelas 6. Ada seorang ibu guru yang melatih di rumahnya. Saya yang paling kecil, berusaha memenuhi tugas itu, sekalipun sering berangkat ke rumah bu guru sambil naik sepeda hujan-hujanan. Saya masih ingat judul puisi pertama yang saya pelajari itu. Judulnya PAHLAWAN TAK DIKENAL, karya Toto Sudarto Bachtiar.
Sepuluh tahun yang lalu dia terbaring
Tetapi bukan tidur, sayang
Sebuah lubang peluru bundar di dadanya
Senyum bekunya mau berkata, kita sedang perang
…
Ternyata, sayalah akhirnya yang dikirim ke lomba antar sekolah. Di sana ya lucu-lucu. Ada yang mimik mukanya tanpa ekspresi. Ada yang ketika mengucapkan “peluru bundar”, tangannya melingkar seperti anak menyanyi “topi saya bundar”. Ada yang belum-belum sudah menangis …
Alhamdulillah, saya seharian di arena lomba. Disuruh baca lagi dan lagi. Sampai bosan. Ujung-ujungnya ternyata saya juara 3 se kotamadya. Yang juara 1 dan 2 dikirim ke tingkat di atasnya, entah karesidenan atau provinsi. Meski stop di situ (dan cuma disebutkan juara 3, tidak ada piagam, piala atau hadiah lainnya), tetapi sejak itu saya jadi mencintai puisi. Apalagi kalau dapat kumpulan puisi yang bagus-bagus, semacam karya Taufik Ismail atau WS Rendra.
Saya bahkan lalu mulai menulis puisi. Cuma karena saya bukan Abdurrahman Faiz yang dibesarkan oleh sastrawati Bunda Helvy Tiana Rosa, puisi-puisi saya berceceran tidak rapi. Setelah 35 tahun sebagian kecil berhasil saya kumpulkan lagi, ada yang masih tertulis pada buku jaman SD yang belum sempat dibuang. Ada yang di kartu ucapan yang biasanya selalu saya tulisi puisi. Entah kenapa kartu ucapan itu masih ada rumah, mungkin tidak jadi dikirim.
Ide puisi kadang muncul begitu saja. Kalau orang lain menyalurkan energi kekesalan atau kemarahan mereka dengan teriak-teriak, saya menyalurkannya dengan menulis puisi … Contohnya puisi berikut ini, ketika saya kesal melihat tingkah jama’ah pengajian yang menurut saya kurang proporsional.
Di dalam Khotbah
Orang-orang bersimpuh
Ada yang mendengar dengan patuh
Ada yang kisruh
Kalau yang pernah mondok bersua
Tanpa komentar mereka datang bersama, berlama
Mereka taqlid tak sanggup angkat muka
Kalau dari luar yang bicara
Berjubel massa
Ingin menimba, mendegar atau memirsa
Atau mengamin doa saja
Ada pula cuma mengintip lewat kamera
Kalau orang kantoran yang bersorah
Mereka bosan, ngantuk ingin pulang saja
Rasanya nan belajar matematika
Teredam segala karya dan karsa
Terbenam di bawah hawa selera
Deru kobar semangat dari rakyat yang tahu adat
Dari hati yang mengaku ilmu-ilmu sehitam bulu
Tapi hadapi ini mereka tak mau mampu
Tapi hadapi itu mereka enggan bersatu
(Masjid Jami’ Magelang, Februari 1983)
Ketika saya SMP, saya juga mulai mengirimkan puisi saya ke media massa. Ini puisi saya paling pertama yang dimuat:
Doa Husni
Dan mushola ini sudah berbercak
Acak
Langit bergayut sawang
Lantai pecah retak
Dinding mangkak
Sudut-sudut kuning Bacin
Dan mushola ini penuh manusia
bukan sholat bukan berdoa
Tapi arak, judi dan zina
Saat berebut hasil jasa
Dan mushola ini semakin jauh
Hati-hati yang rapuh
Akan luruh
Dicengkam rusuh
Dan mushola ini semakin sepi
Tak ada umat tak ada kiai
Malu dan tabu menyelimuti
Tinggallah doa Husni
Mengalun sepi
Menyendiri di malam sunyi
(Magelang, 21 Maret 1983)
(dimuat di majalah Zaman, 4 Juni 1983)
Ketika saya SMA, puisi itu saya coba pasang di majalah dinding. Oleh guru Bahasa Indonesia diminta dilepas, takut ada unsur SARA. Guru tersebut kebetulan non muslim. Padahal puisi itu sudah dimuat di media nasional. Sebenarnyalah, kejadian yang dilukiskan dalam puisi itu adalah kisah nyata. Ada mushola yang mengalami nasib mengenaskan seperti itu. Dan iman saya yang paling lemah hanya bisa menuliskannya menjadi sebuah puisi.
Saya juga lalu gemar membaca tafsir-tarjamah Qur’an gaya puitisasi dari HB Yassin. Meskipun ada orang yang keberatan Qur’an dibaca secara puitis, tapi kalau itu justru mendekatkan pendengarnya pada Qur’an, pada Allah, pada keindahan Islam, terus di mana salahnya?
Cinta puisi ini berjalan terus hingga sekarang. Tapi puisi tidak bisa direkayasa atau dibuat mengejar tayang atau mengejar “Tahun Anggaran”. Puisi bisa keluar kalau ada mood, bisa getar sejarah di sebuah lokasi, bisa ketegangan peristiwa, bisa energi-energi lain yang sulit tersalurkan. Misalnya ini, puisi ketika saya berada di Masjid Nabawi, Madinah, tahun 1994.
Dari relung-relung Masjid Nabawi
Aku bayangkan
Aku bersujud di tempat dulu Abu Bakar bersujud
di antara rumah Nabi dan mimbarnya
yang konon adalah secuil dari taman-taman surga
Aku bayangkan
Aku berdiri di tempat dulu ‘Umar berdiri
Tegar menghadang pasukan kufar di medan Badar
Tegar membedakan yang ma’ruf dari yang munkar
Aku bayangkan
Aku belanja di tempat dulu ‘Utsman berniaga
Ketika musim paceklik panjang melanda
Lalu tiba-tiba dagangannya dia sedekahkan semua
Karena katanya Allah telah membelinya
Aku bayangkan
Aku mengaji di tempat dulu ‘Ali mengaji
Memahat ayat-ayat suci
Ke dasar hati ke lubuk nurani
Untuk bekal hari ini dan sesudah mati
Aku bayangkan
Aku menjadi sahabat setia nabi
meski tak pernah kujumpa bahkan dalam mimpi
tapi aku rasakan kehadirannya tak cuma di masjid ini
(Masjid Nabawi, 1994)
Meskipun puisi itu saya tulis sendiri, tetapi setiap saya baca kembali, saya merasakan kembali getaran Masjid Nabawi atau Kota Madinah, yang bisa membuat saya merinding dan menangis. Apakah Anda merasakannya juga?
Kemudian ketika suasana dalam sebuah diskusi Islam begitu memanas, ketika kalangan sekuler-liberal yang merasa di atas angin kelihatan sangat bernapsu menghajar kalangan pro-syariah, saya akhirnya memutuskan mengangkat tangan, tidak untuk bertanya atau menyanggah, tetapi untuk membacakan puisi ini:
Kalau ide khilafah dianggap mengotori
kalau ide khilafah dianggap ide kotor dan mengotori,
maka mau dibawa kemana kenangan manis ummat ini,
pada Khulafaur Rasyidin dari Abu Bakar hingga Ali,
pada zaman keemasan Bagdad dan Cordova di Andalusi,
juga Khilafah Utsmani saat membantu Aceh di ujung sini,
ketika menghadapi Portugis yang ingin menjajah negeri ini.
Kalau ide khilafah itu ide kotor yang harus dibuang,
mau dibawa ke mana hadits-hadits yang cemerlang,
menyebutkan, bahwa Rasulullah berterus terang,
— “Bani Israel diperintah oleh para nabi.
— Setiap satu nabi wafat, akan diangkat nabi yang lain.
— Namun setelahku tidak ada lagi nabi,
— Namun akan ada banyak khalifah silih berganti”.
— “Lalu apa kewajiban kami?” tanya sahabat menantang.
— “Penuhi bai’at yang pertama”, kata nabi dengan tenang.
Bila khalifah mempersatukan, maka mereka akan menang.
Dan kalau ide khilafah itu ide sesat dan menyesatkan,
terus dengan ide apa umat ini akan dibangkitkan?
terus dengan apa agama ini akan dipertahankan?
terus dengan apa missi merahmati alam ini akan disebarkan?
Apakah sekulerisme dan demokrasi yang dianggap kawan?
Siapa sekulerist dan demokrat yang pantas dijadikan teladan?
Siapakah yang sukses dunianya dan di surga bertemu Tuhan?
Kami ingin pencerahan ..
Demikian juga dalam sebuah aksi tolak kekerasan atas nama agama, di mana berbagai pihak lebih suka berhadap-hadapan dan melupakan substansi persoalannya, saya mencoba mengetuk pintu hati orang-orang dengan cara yang berbeda:
Kalau saja hati kita seperti kaca
Kalau HIV adalah wabah yang menyerbu kampung kita,
Tentu cerdas bila sang Ustadz menyentil dalam khutbahnya,
Namun lebih cerdas lagi, bila ia tempatkan dalam konteksnya,
karena HIV bukanlah fenomena lokal semata,
maka menangkalnya perlu sinergi dari ketaqwaan manusia,
kontrol sosial lingkungannya, dan kepedulian negara,
bahkan lintas negara karena global cakupannya.
Kalau pelacuran adalah malapetaka kota kita,
Tentu syar’ie mengupasnya di majlis-majlis dzikir di sana,
Namun lebih syar’ie untuk membahasnya tak sekedar dari dosa dan pahala,
Karena bisnis tertua itu adalah limbah dari sistem ekonomi yang berkuasa,
Yang menindas hak-hak kaum dhuafa dan mencampakkan peran keluarga,
Maka harus dari segala mata angin penangkalnya,
Mulai dari diri sendiri, termasuk dari diri para penguasa.
Kalau Imam Samudra sudah mengakui dialah pelakunya,
Tentu cerdas bila sang Ustadz mencegah pelaku berikutnya,
Karena aksi-aksi teror mereka bukanlah jihad yang sejatinya,
Mungkin radikalitas mereka hanya diperalat agen-agen maya,
Yang tak pernah dapat kita bongkar jati dirinya,
Sebab kita selalu menghindar berpikir ke sana.
Kalau Al-Faruq & Hambali dibawa ke depan kita buat bicara,
Siapa sesungguhnya mereka dan majikan yang menyuruhnya,
Tentu akan jelas semua duduk perkaranya,
Mungkin pada Israel dan Amerika tak perlu kita curiga,
Namun ada apa di balik semua kabut dan rahasia,
Yang mungkin tak kan terkuak berabad lamanya.
Kalau saja Islam cukup didakwahkan tanpa negara,
Tentu tak perlu Allah menurunkan beberapa ayatnya,
Yang ayat itu tak mungkin tanpa negara akan terlaksana,
Tentu tak perlu Rasul mencari Nushroh ke beberapa kabilah yang berkuasa,
Yang dengan itu sebuah sistem baru akan dikawalnya,
Namun sebuah negara tentu bukan sekedar jargon sederhana,
Di dalamnya diperlukan kelengkapan maha rumit dan tertata,
Di dalamnya diperlukan manusia-manusia yang tak hanya bisa bicara,
Namun juga ihlas berkorban dan cerdas bekerja.
Kalau saja kita punya cukup waktu untuk duduk bersama,
Serta hati yang jernih untuk menyelami persoalan rumit agar jadi sederhana,
Tentu kita tidak perlu berkepala panas dan mulut hingga berbusa-busa,
Tentu kita tidak perlu kepada saudara kita berburuk sangka,
Karena kita masing-masing punya masa lalu yang berbeda,
Dengan endapan pengetahuan dan pengalaman aneka rupa,
Karena mungkin yang kita tahu tak lebih seujung kuku saja,
Atau boleh jadi apa yang kita sangka lawan kita perlu baca,
justru santapan kesukaannya di kala muda,
Karena boleh jadi apa yang kita yakini bermasa lamanya,
Besok berubah drastis karena secercah cahaya di dalam sukma,
Sebagaimana Umar bin Khattab yang memusuhi Nabi hingga ubun-ubunnya,
Tiba-tiba menjadi pembela Islam yang paling terpercaya.
Kalau saja kita masih diberi usia senafas lamanya,
Tentu kita ingin nafas kita itu berjuta maknanya,
Bermanfaat bagi manusia tanpa pandang siapa Tuhan mereka,
Karena Baginda Rasul mencontohi begitu rupa,
Karena para Sahabat adalah generasi terkemuka,
Yang Allah ridha pada mereka, dan penghuni langit mendoakannya,
Tentu kita harus kaji mendalam segala reniknya,
Dengan hati bening untuk menerima kebenarannya,
Sekalipun jerit nafsu kita ingin menolaknya.
(mus-lim@isnet.org 2004-10-05).
Ya, rupanya memang mencintai puisi sejak dini telah membuat saya menjadi sosok yang berbeda.
Alhamdulillah.