Belajar Menghitung Intangible Asset
Intangible Asset adalah aktiva tidak berwujud yang didefinisikan atau diidentifikasi sebagai aset non-moneter yang tidak dapat dilihat, disentuh atau diukur secara fisik, tetapi diciptakan melalui waktu dan usaha.
Ada dua jenis bentuk utama:
1. bersifat hukum (seperti rahasia dagang (misal daftar pelanggan), paten, copyright, dan merek)
2. bersifat kompetitif (seperti pengalaman, kegiatan kolaborasi, reputasi, budaya organisasi, dan kepuasan pelanggan).
Menghitung asset tak berwujud tidak semudah menghitung asset berwujud. Perlu banyak sekali asumsi dan model.
Model pertama misalnya, asset tak berwujud itu dihitung dari metode perolehan.
Biaya paten, copyright atau merk bisa diketahui secara langsung karena ada daftar tarifnya dari Kantor HAKI. Tetapi riset atau usaha sebelum ada sesuatu yang bisa dipatenkan dsb itu lah yang harus diasumsikan. Kalau riset untuk sebuah model mesin yang lebih efisien perlu 1 tahun, dan dilakukan oleh 5 peneliti, maka bisa diasumsikan berapa gaji peneliti, alat, dan bahan yang diperlukan sampai mesin itu layak paten. Mungkin kalau gajinya rata-rata sekitar Rp. 10 juta/bulan, maka dapat diasumsikan, riset itu akan memakan biaya Rp 10 jt x 5 orang x 12 bulan = Rp. 600 juta. Ditambah dengan alat dan bahan yang dipakai selama eksperimen dan fase prototype, maka kira-kira habis biaya Rp. 1 Milyar. Jadi inilah nilai paten tersebut dari sisi metode perolehan. Hal yang sama juga untuk sebuah pembuatan software, yang nanti produknya bisa dijual secara eceran pada lisensi copyrightnya.
Tetapi untuk merek atau rahasia dagang tentu menghitung nilai dengan metode perolehan ini agak susah. Nilai merek dan rahasia dagang itu diperoleh nyaris sejak perusahaan itu berdiri. Kalau perusahaan itu telah berusia 10 tahun, berapa kira-kira nilainya?
Ternyata kasus kedua ini lebih mirip pada intangible asset yang bersifat kompetitif. Merek sangat tergantung pada pengalaman, reputasi dsb. Dan ini hanya bisa didekati dengan metode potensi kapitalisasi.
Biasanya cara menghitungnya adalah dengan menghitung dari nilai pendapatan real perusahaan itu, trendnya (naik/turun), serta pangsa pasar yang masih bisa dijangkau. Bila perusahaan itu misalnya memiliki pendapatan tahunan Rp. 1 Trilyun dengan trend tumbuh 10%, maka dapat diasumsikan bahwa nilai pertumbuhan itu terjadi karena asset intangible jenis kedua ini. Kalau perusahaan itu listing di pasar modal – lepas dari soal setuju atau tidak dengan model bursa saham seperti ini – maka sesungguhnya nilai saham juga mencerminkan asset intangiblenya. Sebuah perusahaan yang reputasinya bagus, akan berpotensi meningkat pendapatannya di masa depan, sehingga nilai sahamnya juga akan meningkat. Sebaliknya, sebuah perusahaan yang reputasinya jatuh, misalnya karena kasus penipuan, nilai sahamnya akan anjlog, bahkan bisa sampai nol sama sekali, sekalipun sebenarnya mereka masih punya asset tangible seperti gedung, peralatan dsb. Ini karena tidak ada yang mau beli. Hal ini pernah terjadi pada perusahaan raksasa Amerika seperti Enron atau Worldcom.
Jadi berapa kira-kira nilai asset intangible jenis ini? Serahkan saja pada pasar, mereka berani menghargai berapa? Karena mereka pasti berharap akan menikmati keuntungan yang lebih tinggi. Microsoft atau Google adalah contoh nyata perusahaan yang nilainya didominasi oleh asset intangible. Satu software sederhana dari Microsoft mungkin dapat dihitung dengan metode perolehan memiliki nilai US$ 1 juta. Jika lisensi software itu dijual secara eceran seharga US$ 10 / copy, maka investasi itu baru balik modal setelah terjual 100.000 copy. Tetapi potensi kapitalisasi pasar Microsoft telah sedemikian besar. Di seluruh dunia diperkirakan ada lebih dari 500 juta computer menggunakan sistem operasi buatan Microsoft. Kalau 1% saja dari mereka tertarik untuk membeli software sederhana tadi, maka itu sudah 5 juta x US$ 10 = US 50 juta. Jadi 50 kali dari biaya perolehannya. Tentu saja tidak semua perusahaan bisa meniru metode perhitungan ini, karena tidak semua memiliki reputasi dan pangsa pasar sebesar Microsoft.
Pada mereka yang memiliki jasa membesarkan perusahaan dengan asset intangible, misalnya karena ide-ide jeniusnya, atau jejaring pasar yang dia buka, perusahaan sering memberikan share secara langsung, sehingga setiap ada keuntungan mereka akan dapat bagiannya, sekalipun mereka tidak menyerahkan modal (uang) kepada perusahaan. Sedang pada mereka berjasa tetapi juga ikut andil secara fisik misalnya dalam bentuk uang, penghargaannya bisa berupa pembagian keuntungan yang lebih besar dari sekedar proporsi andil fisiknya. Ini jelas sesuatu yang fair.
Bagaimana kalau ini diaplikasikan pada pribadi, bukan perusahaan?
Pada orang pribadi, kedua jenis asset intangible itu mungkin dimiliki. Tetapi mungkin asset intangible yang bersifat kompetitif yang paling mungkin dimiliki semua orang. Ketika orang dikenal baik reputasinya atau pengalamannya, maka faktanya “pasar” akan mengakuinya dengan “menawar”-nya dalam kompetisi dengan orang lain yang ingin mengambil manfaat dari orang itu. Seorang ilmuwan yang terbukti unggul pengalamannya, akan ditawari bekerja di sana-sini, atau setidaknya kebanjiran order di sana-sini, sehingga boleh jadi dia akan memilih pihak yang memiliki rekam jejak lebih tinggi penghargaannya. Ini bukan kapitalisasi ilmu, tetapi suatu mekanisme pasar yang wajar. Sedangkan orang yang asset intangible-nya tidak sesuai, justru akan ditinggalkan pasar ketika dia minta tarif terlalu tinggi.
Bahkan hal ini juga menyangkut hal yang sangat pribadi. Seorang yang ingin menikah, baik laki-laki maupun perempuan, sebenarnya lebih membawa asset intangible-nya dari yang tangible. Karena asset tangible seperti uang, kendaraan atau rumah bisa hilang, binasa kena bencana, dirampok orang, atau habis untuk biaya berobat. Tetapi asset intangible seperti pengalaman, kejujuran, jejaring teman-temannya, akan bisa membuat asset tangible baru. Mungkin pengalaman akan menyelamatkannya dari bencana. Mungkin kejujuran akan membuatnya dipercaya untuk menjalankan bisnis banyak orang. Dan mungkin teman-temannya yang berada di mana-mana akan menghemat banyak hal ketika dia membutuhkan sesuatu.
Di tingkat negara, asset intangible ini juga lebih menentukan. Singapura atau Jepang adalah negara dengan asset tangible yang minim. Mereka nyaris tidak punya sumberdaya alam. Tetapi bangsa mereka secara kolektif memiliki asset intangible yang luar biasa, seperti etos kerja, profesionalitas, inovasi, jejaring pasar, nyaris bebas korupsi dan sebagainya. Hal sama dimiliki oleh generasi muslim terdahulu ketika mereka mulai membangun Daulah Khilafah. Mereka lebih bermodal kepada asset intangible daripada asset tangible. Hanya makin lama asset intangible ini makin jarang dirawat, sehingga akhirnya “menguap” bersama waktu. Kita memang memerlukan waktu yang panjang untuk dapat mengembalikan asset intangible ini. Tetapi itu harus dimulai. Kita bisa mulai untuk tidak lagi membanggakan diri dengan sumberdaya alam kita ataupun materi yang kita miliki. Tetapi kita berintrospeksi pada asset-asset intangible yang kita miliki, etos kerja, profesionalitas, inovasi, jejaring, bebas korupsi, …
Wallahu a’lam bis shawab.
February 6th, 2014 at 8:59 am
Assalamualaikum Wr. Wb. Mas Fahmi,
Tidak sengaja menemukan halaman ini, merasa pernah kenal dengan Fahmi Amhar, ternyata memang Fahmi yang dulu 1 SMA, saya adik kelas mas Fahmi.
Background saya juga teknik (mesin), sekarang lagi konsen dengan Fixed Asset Management.
Tulisan cukup menarik dan mudah dipahami.
Terimakasih.
Wassalammualaikum Wr. Wb.