Financial-Spiritual-Revolution
Prof. Dr. Fahmi Amhar
Kecerdasan finansial adalah kecerdasan unik. Dia bukan termasuk kecerdasan elementer yang menurut pakar multiple-intelligence Howard Gardner terdiri dari kecerdasan logika-matematika, linguistik (bahasa), spasial (keruangan), musikal, kinestetik (gerak), interpersonal, intrapersonal, naturalis dan eksistensial.
Kecerdasan finansial sedikit banyak merupakan “senyawa” dari beberapa kecerdasan elementer. Tentu kita sepakat bahwa ada logika-matematika di sana. Seorang yang cerdas finansial tentu harus cepat berhitung bahwa meski cuma jualan cendol, kalau rata-rata punya dua gerai di setiap kabupaten/kota se Indonesia, maka omzetnya bisa satu milyar sehari. Dia juga harus cepat menguasai “bahasa-bahasa gaul” di dunia bisnis. Dia harus cepat tahu lokasi-lokasi strategis untuk mengembangkan pasar. Bahkan pengenalan atas selera musik juga bisa menguntungkan, karena banyak warung yang menjadi berkelas hanya karena iringan musik, baik dari tape recorder maupun live dari musisi jalanan. Dia harus cepat tanggap atas berbagai persoalan stakeholder, terutama SDM-nya. Dia juga harus punya kemampuan introspeksi yang cepat, selain tahan banting walau ancaman terus menghadang. Dia harus cepat menyesuaikan diri dengan perubahan kondisi alam, misal kalau sekiranya beberapa hari ke depan hujan turun lebih sering, lebih baik dia switch dari jualan es-cendol menjadi bubur cendol (hangat). Dan tentu saja dia harus cerdas menyandarkan eksistensinya di dunia ini kepada Sumber Segala Eksistensi, juga Sumber Segala Rizki, yaitu Allah swt. Kecerdasan yang terakhir ini sering juga disebut kecerdasan spiritual (SQ).
Sayangnya, meski setiap orang cepat atau lambat akan berurusan dengan dunia finansial, kecerdasan finansial nyaris tidak pernah diajarkan di sekolah. Bahkan hanya sedikit pengusaha yang mengasah kecerdasan finansialnya. Padahal, kecerdasan ini seharusnya melekat baik pada anak sekolah, buruh, karyawan, PNS, ibu rumah tangga, pengusaha, hingga para birokrat yang menjalankan negara.
Kecerdasan finansial (Financial Quotient, FQ) sebenarnya dapat diukur dengan sederhana. Bayi yang baru lahir akan memiliki FQ=0. Ketika seseorang mulai bekerja sehingga mendapatkan penghasilan sendiri yang mencukupi kebutuhannya, maka FQ=1 atau disebut telah meraih kemandirian finansial. Kalau punya penghasilannya tapi belum mencukupi, maka FQ terletak di antara 0 dan 1. Jika gajinya sudah melebihi kebutuhannya, FQ nya tetap = 1, karena bila dia mengalami sakit sehingga tidak bisa bekerja, atau bahkan di-PHK, dia masih akan terguncang.
Lain halnya bila dia memiliki sumber penghasilan pasif, yang tetap mengalir sekalipun dia karena suatu alasan tidak bekerja lagi. Pada saat itu FQ beranjak lebih dari 1. Ketika dari penghasilan pasif ini saja sudah mencukupi kebutuhannya, maka dikatakan FQ=2. Pada titik ini dia benar-benar memiliki kebebasan finansial. Kalau penghasilan pasif ini dua kali lipat dari kebutuhannya, maka FQ=3. FQ ini ke atas tidak terbatas. Orang seperti Bill Gates yang penghasilannya sebagai pemilik saham Microsoft barangkali sejuta kali kebutuhannya, dapat dikatakan memiliki FQ=1000001. Memang itulah, rizki dari passive income bisa tak terbatas, selama kita cerdas meyiapkannya.
Seorang pengusaha tidak otomatis memiliki penghasilan pasif, kecuali dia benar-benar bisa bebas dalam aktivitasnya sehari-hari. Dia tidak habis waktu mengurusi bisnisnya, karena sebagian besar telah dapat dikerjakan oleh sarana (mesin), ilmu (sistem) yang diciptakannya, dan SDM yang mendukungnya. Tak heran bila Rasulullah mengatakan bahwa, “Bila mati anak Adam, maka terputuslah amalnya, kecuali shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat atau anak yang shaleh”.
Dalam dunia finansial, shadaqah jariyah adalah peralatan atau sarana fisik seperti sawah, pabrik, komputer atau kendaraan usaha. Tentu saja semua tidak otomatis berproduksi menghasilkan passive income, tetapi juga perlu suatu ilmu atau sistem untuk menciptakan nilai tambah, dan SDM yang mampu menggerakkan semuanya dalam operasional sehari-hari. Bila tiga komponen ini sudah jalan, maka bila orang itu sakit, pergi haji, tidur, bahkan mati sekalipun, uang tetap terus mengalir!
Bila seperti ini halnya, maka kecerdasan finansial memang tidak hanya perlu dimiliki kalangan pengusaha saja. Pelajar atau karyawanpun perlu, agar mereka mempersiapkan diri, tidak makin tua makin terbelit dengan hutang yang akan merampas kemerdekaan mereka. Para PNS perlu cerdas finansial, agar tidak terkaget-kaget dengan masa pensiun yang menyebabkan penghasilannya turun drastis. Sedang para birokrat perlu agar tidak menjerumuskan daerah atau negerinya ke jebakan hutang, malah sukur-sukur bisa menciptakan passive-income bagi seluruh rakyatnya, sehingga negeri itu makin lama justru makin sejahtera. Rakyatnya jadi punya waktu luang yang cukup untuk belajar Islam dan berjuang berdakwah menegakkan syariah dan khilafah.
Adapun dimensi spiritual dari kecerdasan finansial terletak pada tiga hal. Pertama adalah dari motivasi finansial. Seorang muslim tidak seharusnya hanya mencari uang demi hidup yang enak dan hari tua yang aman. Seharusnyalah motivasinya yang utama adalah semangat mensukseskan ibadah yang perlu banyak uang, seperti naik haji, banyak shadaqah, wakaf atau menanggung anak yatim. Kedua, caranya meraih kebebasan finansial itu juga dengan cara-cara yang berkah, yang dipagari oleh syariah. Dan ketiga, kebebasan finansial yang diraihnya digunakan untuk tujuan-tujuan mulia yang lebih besar lagi, menyebarkan keberkahan ke dunia yang lebih luas!
Kalau sumbu kecerdasan finansial (FQ) adalah mendatar, maka sumbu kecerdasan spiritual (SQ) adalah ke atas. Kombinasinya adalah vektor kecerdasan finansial-spiritual (FSQ). Maka kita akan melihat bahwa untuk menaikkan besaran vektor itu, kita bisa menarik dimensi finansial, namun bisa juga dimensi spiritual. Banyak shadaqah, banyak wakaf, banyak berdakwah terbukti sering memberi hasil yang lebih besar daripada sekedar investasi mesin baru, membeli ilmu baru, atau merekrut expert baru. Ini terjadi karena dunia ini tidak sepenuhnya terletak pada garis yang bisa kita kendalikan atau kita pengaruhi. Kondisi cuaca, selera pasar, perubahan politik dan ekonomi global kadang berjalan liar, dan di situlah upaya pada dimensi spiritual sering menghasilkan keajaiban-keajaiban yang makin membuktikan kehadiran Tuhan.
Kita mesti melatih anak-anak kita kecerdasan finansial yang sekaligus spiritual. Permainan monopoli klasik yang hanya menyentuh dimensi finansial – sehingga cenderung sangat kapitalistik – perlu kita kembangkan sehingga juga memiliki dimensi spiritual. Mungkin dengan itu, suatu saat kita bisa berharap muncul revolusi keberlimpahan finansial sekaligus keberkahan spiritual (Financial-Spritiual Revolution).
Leave a Reply