PENANGGULANGAN BENCANA; Persoalan Fokus, Organisasi dan Anggaran
Prof. Dr.-Ing. Fahmi Amhar
Bakosurtanal
Indonesia adalah supermarket bencana. Belum selesai longsor di Wasior Papua teratasi, Gunung Merapi meletus, Gempa dan tsunami terjadi di Mentawai, dan Jakarta justru tenggelam dalam banjir. Sebenarnya, bencana (hazard) tidak harus menjadi malapetaka (disaster) selama kapasitas teknis maupun manusia di dalamnya cukup untuk mengantisipasinya. Curah hujan yang tinggi tidak akan menjadi malapetaka bila sistem drainase bagus. Longsor dan Gunung Meletus dapat dihindari dengan mengevakuasi atau memindahkan permukiman secara permanen ke daerah aman. Gempa bisa dihadapi dengan bangunan tahan gempa. Tsunami bisa diantisipasi dengan sistem peringatan dini dan pelatihan (tsunami drill) yang teratur.
Tetapi meski telah memiliki UU no 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana, dan telah dibentuk Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), tapi kapasitas bangsa ini dalam menanggulangi bencana nyaris belum banyak berubah. Akibatnya upaya-upaya mengatasi bencana ini dikeluhkan banyak pihak masih jauh dari optimal. Memang upaya penanggulangan bencana adalah juga tanggungjawab masyarakat – dalam bentuk edukasi dan gotong royong, namun tidak disangsikan bahwa pemerintah memiliki kemampuan yang paling besar. Pemerintah memiliki organisasi yang paling besar. Ada empat juta PNS dan setengah juta lebih anggota TNI dan POLRI. Pemerintah juga memiliki APBN dalam orde Trilyun. Ini semua jauh di atas seluruh LSM bersama-sama.
Penulis melihat ada tiga hal yang perlu lebih diperhatikan secara serius oleh Pemerintah agar upaya-upaya penanggulangan bencana ini ke depan lebih optimal.
Pertama masalah fokus. Fokus ini nanti akan mempengaruhi pola organisasi dan anggaran. Tidak pelak lagi, yang namanya bencana tidak bisa direncanakan seperti pesta pernikahan. Oleh sebab itu, banyak pihak tidak sabar, dan akhirnya hanya fokus dalam tanggap darurat saja. Padahal penanggulangan bencana memiliki setidaknya tiga siklus: pencegahan – tanggap darurat – pemulihan. Selama tidak ada kejadian yang memerlukan tanggap darurat, seharusnya ada upaya-upaya permanen untuk pencegahan. Memeriksa secara teratur sistem drainase, menguji kehandalan pencatat pasang surut, hingga melatih semua PNS, pelajar dan mahasiswa secara teratur dan sistemik untuk tanggap darurat – sesuai tipe bencana yang mungkin dihadapi di daerah itu, adalah contoh-contoh upaya pencegahan.
Kedua masalah organisasi. Karena fokus penanggulangan bencana hanya pada tanggap darurat, tak heran bahwa organisasi BNPB ataupun Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) hanya diisi dengan personel dan peralatan ala kadarnya. Mereka lebih mengandalkan pada personil yang dipinjam dari instansi lain seperti dari Kementerian PU, Kementerian Kesehatan, Kementerian Sosial, bahkan hingga BPPT atau Bakosurtanal dalam bentuk Tim Satuan Respon Cepat (SRC) atau Taruna Siaga Bencana (TAGANA). Teorinya, personil pinjaman ini sudah sepakat siap dikerahkan sewaktu-waktu ada bencana. Kenyataan di lapangan tidak semudah itu. Kadang-kadang anggota SRC ataupun TAGANA sedang menghadapi tugas pokok sehari-hari di instansinya. Dan tidak selalu mudah untuk setiap saat meninggalkan tugas pokoknya tersebut dan dikerahkan ke daerah bencana. Apalagi kalau sudah menjelang akhir tahun, di mana tugas-tugas menumpuk dan harus ada laporan akhir yang dapat dipertanggungjawabkan di depan auditor, yang tentu saja hanya akan menilai kinerja berdasarkan tupoksi tiap instansi. Organisasi yang kurang fokus ini juga menyebabkan rekrutmen personel BNPB atau BPBD belum berdasarkan kompetensi – atau bahkan sertifikasi. Personel PNS limpahan dari instansi lain masih ada yang “personel sisa”, bukan personel terbaik yang tahan banting. Dari sisi organisasi ini, harus diakui bahwa TNI memiliki organisasi dan personel terlatih yang paling siap melakukan tanggap darurat.
Ketiga masalah anggaran. Bencana terjadi tidak mengikuti tahun anggaran. Serapan anggaran untuk penanggulangan bencana tidak dapat linier seperti proyek-proyek normal. Misalnya ada aturan Kementerian Keuangan yang mengharuskan tgl 15 Desember sudah “saldo besi”. Bagaimana bila bencana terjadi setelah tanggal itu, seperti tsunami Aceh 26 Desember 2004 lalu? Aturan umum dalam penyerapan anggaran yang linier membuat institusi yang menyiapkan SRC dan TAGANA tidak bisa berbuat banyak ketika bencana terjadi di penghujung tahun. Ini menjadi lebih rumit ketika masih ada egoisme sektoral, sehingga banyak kantor BNPB / BPBD yang hingga kini masih numpang dan juga di lokasi yang kurang nyaman untuk didatangi.
Mudah-mudahan Pemerintah, dapat melihat persoalan ini secara jernih, sehingga kendala fokus, organisasi, anggaran, dan egoisme sektoral dapat diurai, korban bencana dapat lebih cepat ditolong dan masyarakat secara umum dapat ditingkatkan kapasitasnya menghadapi bencana.
Tags: Bakorsurtanal, bencana
Leave a Reply