Dr. Fahmi Amhar
Kapankah anda terakhir kali merawat tubuh dan memakai pakaian yang indah? Saat lebaran terakhir? Atau saat datang ke walimahan? Di mana? Di salon yang dilayani oleh para bencong atau di “salon syariah”?
Kalau bicara tentang merawat tubuh, kecantikan dan fashion, sekarang ini banyak orang salah sasaran. Di satu sisi sejumlah besar wanita akan merawat tubuh atau berdandan justru kalau akan keluar rumah, sedangkan di rumah, suaminya justru hanya disodori tubuh yang telah kusut dan bau. Namun di sisi lain, ada yang memang menganggap kosmetika adalah produk kapitalis, yang tidak perlu dikonsumsi seorang muslim. Memang tidak salah-salah amat. Apalagi sekarang nyaris semua produk kosmetika diiklankan dengan artis cantik yang memamerkan auratnya. Kosmetika yang diproduksi dan diiklankan secara syariah masih minoritas.
Padahal, bicara soal kesehatan kecantikan atau kosmetika, ternyata banyak kontribusi ilmuwan muslim di sana.
Parfum telah dikenal di Jazirah Arab sejak sebelum datangnya Islam, kemudian oleh Nabi Muhammad disunnahkan dipakai oleh laki-laki setiap akan ke masjid, dan oleh wanita setiap akan bertemu suaminya. Namun kaum Muslim banyak sekali melakukan pengembangan baru. Ahli kimia Jabir al-Hayan (lahir 722 M) dan Al-Kindi (lahir 801 M) mengembangkan banyak sekali teknik untuk membuat parfum dan kosmetik sebagaimana obat-obatan. Mereka mengembangkan teknik destilasi, evaporasi dan filtrasi untuk mendapatkan koleksi bau harum berbagai jenis bunga, buah, kulit buah, kulit pohon, daun hingga akar dari ratusan jenis tumbuhan. Sebagian zat ini ada yang larut di air, ada pula yang di minyak. Selain parfum, produk utama ilmu kimia ini adalah sabun. Sabun ini awalnya dibuat dari reaksi kimia yang melibatkan minyak sesam, potassium, alkali, kapur dan tanah lumpur. Namun sabun modern yang dibuat dari minyak nabati dan aromatik, resep awalnya juga ditemukan oleh ilmuwan muslim. Sabun ini berbeda dari sabun awal yang berubah menjadi deterjen. Al-Kindi menyediakan resep paling awal untuk memproduksi zat-zat ini dalam bukunya Kitab Kimiya’ al-‘Itr (Book of the Chemistry of Perfume). Pekerjaan al-Kindi ini dilanjutkan terus sampai ke masa Abu Ali ibn Sina di abad 11 M.
Pada abad 8-9 M, seorang saintis dan musisi Andalusia Abu l-Hasan ‘Ali Ibn Nafi‘ – yang lebih dikenal dengan nama Ziryab, telah meletakkan dasar-dasar kosmetika dan estetika dengan membuka sekolah kecantikan pertama di Alcazar, Cordoba. Di sana, Ziryab pertama-tama mengajari istrinya sendiri dan beberapa wanita – yang kemudian menjadi para asistennya untuk mengajari wanita-wanita lainnya – berbagai hal, dari mendesain mode pakaian hingga membentuk bulu mata dan bercelak. Dia juga menemukan depilatori untuk menghilangkan bulu tubuh yang berlebihan, deodoran yang dioleskan di ketek dan menemukan pasta gigi, meskipun bahan-bahannya sekarang sudah tidak diketahui lagi.
Ziryab juga menyarankan untuk memakai jenis pakaian yang berbeda untuk pagi, siang dan malam hari, bahkan mode yang berbeda setiap pergantian musim. Hal ini membuat seorang sejarawan Perancis Henri Terrace menyebut Ziryab “Bapak fashion”, yang mempengaruhi keseluruhan industri fashion hingga hari ini.
Selain itu, untuk memperkuat suasana indah, Ziryab juga memperkenalkan tatacara makan yang sekarang disebut sebagai “table manner”, di mana ada tiga tahap: soup, main course dan desert. Dia juga memulai tradisi baru menggunakan tempat minum dari bahan gelas atau kristal, menggantikan cangkir logam, sehingga keindahan minuman dapat ditonjolkan untuk membangkitkan selera. Makanan yang halal dan baik adalah kunci kesehatan, dan kesehatan adalah kunci kecantikan.
Di bidang kesehatan gigi, Abulcasis menulis dalam kitab At-Tasyrif (sekitar tahun 1000 M) metode untuk menguatkan dan memutihkan gigi. Berbeda dengan bangsa Mesir atau Romawi kuno, pasta gigi ini dilaporkan memiliki baik fungsi maupun cita rasa. Abulcasis merekomendasikan pasta gigi yang terbuat dari cinnamon, nutmeg, cardamom dan daun oriander. Selain itu Abulcasis juga menulis tentang isi dan manfaat hand-cream dan lotions dan teknik mewarnai rambut, seperti merubahnya jadi pirang atau mengoreksi rambut rusak.
Pada 1000 M, Abu al-Qasim az-Zahrawi menemukan lipstik dalam bentuk yang bertahan hingga kini.
Semua ini menunjukkan bahwa kaum muslim sebenarnya pernah memiliki peran besar dalam dunia kosmetika. Hanya saja, peran itu terwujud ketika syari’ah Islam masih tegak di masyarakat, sehingga mengurus kecantikan tidak bercampur dengan melakukan maksiat. Justru mengurus kecantikan dalam segala aspeknya bila dibingkai oleh kerangka kehidupan yang islami dapat menjadi sarana untuk lebih taat kepada Allah.