Apakah ada benang merah keterkaitan antara kehadiran (absen), perolehan honor tambahan selain gaji, Daftar Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan (DP3), Angka Kredit (AK), Kinerja dan Kenaikan Pangkat PNS?
Harusnya ada. Tapi saya yakin banyak yang tidak, atau samar-samar.
Ada PNS yang banyak tidak masuk tanpa ijin, tapi DP3 selalu “baik”.
Ada PNS yang kinerjanya payah, tapi dalam daftar honor namanya selalu masuk.
Ada PNS (pejabat fungsional) yang banyak tidak masuk, kinerjanya payah, tapi DP3 selalu baik, Angka Kredit naik terus, dan karena itu naik pangkat terus.
Bahkan ada PNS yang dalam Daftar Urut Kepangkatan (DUK) menduduki peringat tinggi, tetapi tidak ada pejabat senior dalam Badan Pertimbangan Jabatan dan Kepangkatan (Baperjakat) akan memilih dia untuk menduduki suatu jabatan struktural tertentu.
Kuncinya memang, banyak pejabat yang terlalu “berhati emas”. Tetapi salah tempat.
PNS jarang hadir, atau hadir tapi absen doang (lalu mangkir entah kemana, minimal mentally), tetapi tetap dimasukkan dalam daftar honor, dengan alasan, “kalau tidak masuk nanti ada sisa anggaran, nanti dimarahin”, ya sudah, terpaksa dimasukkan dalam daftar honor, walaupun nanti ada “kebijakan khusus”, honor itu mau diserahkan 100% atau sebagian saja, demi “rasa keadilan”.
PNS kinerja payah tapi DP3 terpaksa diberi nilai “Baik”. Alasannya, “kasihan, nanti kalau ada 1 nilai C, dia tidak bisa naik pangkat. Kan boleh jadi tahun depan kinerjanya membaik”. Kenyataannya, sampai pensiun tidak ada yang berani kasih nilai B. Naik pangkat terus. Dan kinerja pun tetap payah….
Kadang memang susah juga ya. Ada PNS A yang kompeten dan potensial. Tetapi kalau dikasih tanggung jawab, tidak dikerjakan. Sedangkan PNS B kurang kompeten dan kurang potensial, dan karena itu tidak dikasih tanggung jawab. Nah, Baiknya DP3 masing-masing dikasih apa? Kalau A dikasih Baik, dan B dikasih cukup, A akan protes, koq B yang lebih payah dinilai lebih baik? Sedangkan kita tidak bisa menilai Baik/Buruk seseorang yang tidak dikasih pekerjaan dan tanggungjawab. Tetapi DP3 tetap harus diisi kan?
PNS kinerja payah, tapi bisa mengumpulkan Angka Kredit (jabatan fungsional). Karena yang dilihat cuma ada dokumen yang dimasukkan dan dianggap memenuhi syarat AK . Seberapa jauh kesahihannya, atau relevansinya, jarang diributkan. Alasannya, “Kasihanlah, dia punya masalah, semoga ini bisa membantu meringankan penderitaannya”. Setelah AK terkumpul, dan DP3 juga baik, ya naik pangkat lagi. Dan di suatu titik membuat orang bingung. Ini ada orang pangkatnya tinggi, tetapi kinerjanya payah, tidak ada orang mau memakai dia, tidak ada Baperjakat mau mengangkatnya jadi pejabat. Koq bisa ya?
Masih banyak PR kita rupanya.
Dan perlu keberanian untuk bijaksana, dan perlu bijaksana untuk berani.
Mohon doanya.
FA.-
Dr. Fahmi Amhar
Apa yang terpikir oleh orang akan kota Jakarta? Survei membuktikan bahwa jawaban terbanyak adalah: macet!
Macet adalah dampak dari sebuah kota yang kurang terrencana. Setiap hari, tiga juta orang harus bergerak dari luar Jakarta untuk bekerja di Jakarta. Mereka harus tinggal di luar Jakarta, karena di Jakarta tidak lagi tersedia permukiman yang layak dan terjangkau oleh mereka. Sementara itu, penciptaan lapangan kerja masih tetap berpusat di Jakarta. Akibatnya timbul pergerakan massal. Celakanya, untuk pergerakan massal ini tidak tersedia sarana transportasi massal yang memadai. Jalur kereta api kita sangat terbatas, kumuh dan tidak aman. Konsentrasi penduduk yang sangat tinggi ini juga kurang ditopang dengan sarana dan prasarana yang memadai, seperti air bersih, pengolahan sampah, taman bermain apalagi fasilitas penanggulangan bencana. Kata Gubernur DKI Fauzi Bowo, Ruang Terbuka Hijau di DKI tinggal 9,1 persen, padahal menurut Undang-Undang no 26/2007 tentang Penataan Ruang mestinya 30 persen. Makanya setelah macet, Jakarta juga langganan banjir. Kalau dikatakan itu karena letak geografisnya yang lebih rendah dari muka air laut pasang, maka Amsterdam di Belanda sebenarnya lebih rendah lagi, yakni rata-rata tujuh meter di bawah muka laut), tetapi kota itu sudah sekian puluh tahun tidak pernah kebanjiran. Sedang kalau dikatakan bahwa Jakarta seperti itu karena populasi yang sangat tinggi, maka sebenarnya populasi Jakarta dan sekitarnya belum ada setengahnya Tokyo Jepang yang saat ini berpenduduk 39 juta jiwa. Saat ini Tokyo adalah kota terbesar dan terpadat di dunia, yang juga menghadapi ancaman bencana seperti gempa dan taifun. Namun siapapun yang pernah ke Tokyo tidak mendapati masalah seperti yang dihadapi Jakarta kecuali masalah itu teratasi.
Kuncinya adalah usaha tak pernah henti untuk merencanakan kota dengan baik, melaksanakan rencana dan mengawasinya supaya tidak ada pelanggaran. Ada banyak teknologi yang dapat dilibatkan agar penataan kota itu berjalan optimal. Dan ini pernah dilakukan di kota-kota besar Khilafah Islam seribu tahun yang lalu!
Seribu tahun yang lalu, tidak banyak kota besar di dunia dengan penduduk di atas 100.000 jiwa. Menurut para sejarahwan perkotaan Modelski maupun Chandler, Baghdad di Iraq memegang rekor kota terbesar di dunia dari abad-8 M sampai abad-13 M. Penduduk Baghdad pada tahun 1000 M ditaksir sudah 1.500.000 jiwa. Peringkat kedua diduduki oleh Cordoba di Spanyol yang saat itu juga wilayah Islam dengan 500.000 jiwa dan baru Konstantinopel yang saat itu masih ibu kota Romawi-Byzantium dengan 300.000 jiwa.
Namun sebagaimana laporan para pengelana Barat, baik Baghdad maupun Cordoba adalah kota-kota yang tertata rapi, dengan saluran sanitasi pembuang najis di bawah tanah serta jalan-jalan luas yang bersih dan diberi penerangan pada malam hari. Ini kontras dengan kota-kota di Eropa pada masa itu, yang kumuh, kotor dan di malam hari gelap gulita, sehingga rawan kejahatan.
Pada 30 Juli 762 M Khalifah al-Mansur mendirikan kota Baghdad. Al-Mansur percaya bahwa Baghdad adalah kota yang akan sempurna untuk menjadi ibu kota Khilafah. Al-Mansur sangat mencintai lokasi itu sehingga konon dia berucap, “Kota yang akan kudirikan ini adalah tempat aku tinggal dan para penerusku akan memerintah”.
Modal dasar kota ini adalah lokasinya yang strategis dan memberikan kontrol atas rute perdagangan sepanjang sungai Tigris ke laut dan dari Timur Tengah ke Asia. Tersedianya air sepanjang tahun dan iklimnya yang kering juga membuat kota ini lebih beruntung daripada ibu kota khilafah sebelumnya yakni Madinah atau Damaskus.
Namun modal dasar tadi tentu tak akan efektif tanpa perencanaan yang luar biasa. Empat tahun sebelum dibangun, tahun 758 M al-Mansur mengumpulkan para surveyor, insinyur dan arsitek dari seluruh dunia untuk datang dan membuat perencanaan kota. Lebih dari 100.000 pekerja konstruksi datang untuk mensurvei rencana-rencana, banyak dari mereka disebar dan diberi gaji untuk langsung memulai pembangunan kota. Kota dibangun dalam dua semi-lingkaran dengan diameter sekitar 19 Kilometer. Bulan Juli dipilih sebagai waktu mulai karena dua astronom, Naubakht Ahvaz dan Masyallah percaya bahwa itu saat yang tepat, karena air Tigris sedang tinggi, sehingga kota dijamin aman dari banjir. Memang ada sedikit astrologi di situ, tetapi itu bukan pertimbangan utama. Batu bata yang dipakai untuk membangun berukuran sekitar 45 centimeter pada seluruh seginya. Abu Hanifah adalah penghitung batu bata dan dia mengembangkan sistem kanalisasi untuk membawa air baik untuk pembuatan batu bata maupun untuk kebutuhan manusia.
Setiap bagian kota yang direncanakan untuk jumlah penduduk tertentu dibangunkan masjid, sekolah, perpustakaan, taman, industri gandum, area komersial, tempat singgah bagi musafir, hingga pemandian umum yang terpisah antara laki-laki dan perempuan. Bahkan pemakaman umum dan tempat pengolahan sampah juga tidak ketinggalan. Sebagian besar warga tak perlu menempuh perjalanan jauh untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya serta untuk menuntut ilmu atau bekerja, karena semua dalam jangkauan perjalanan kaki yang wajar, dan semua memiliki kualitas yang standar. Negara dengan tegas mengatur kepemilikan tanah berdasarkan syariat Islam. Tanah pribadi yang ditelantarkan lebih dari tiga tahun akan ditarik kembali oleh negara, sehingga selalu tersedia dengan cukup tanah-tanah yang dapat digunakan untuk membangun fasilitas umum.
Namun perencanaan kota juga memperhatikan aspek pertahanan terhadap ancaman serangan. Ada empat benteng yang mengelilingi Baghad, masing-masing diberi nama Kufah, Basrah, Khurasan dan Damaskus, sesuai dengan arah gerbang untuk perjalanan menuju kota-kota tersebut. Setiap gerbang memiliki pintu rangkap yang terbuat dari besi tebal, yang memerlukan beberapa lelaki dewasa untuk membukanya.
Tak heran bahwa kemudian Baghdad dengan cepat menutupi kemegahan Ctesiphon, ibu kota Kekaisaran Persia yang terletak 30 Kilometer di tenggara Baghdad, yang telah dikalahkan pada perang al-Qadisiyah pada tahun 637. Baghdad meraih zaman keemasannya saat era Harun al Rasyid pada awal abad 9 M.
Kejayaan Baghdad baru surut pasca serangan tentara Tartar pada tahun 1258 M, yang terjadi setelah ada pengkhianatan di antara pejabat Khilafah. Serangan ini berakibat terbantainya sekitar 1,6 juta penduduk Baghdad dan musnahnya khazanah ilmu yang luar biasa setelah buku-buku di perpustakaan Baghdad dibuang ke sungai Tigris, sampai airnya menghitam.
Dr. Fahmi Amhar
Apa yang menyebabkan bangsa Indonesia tak punya daya saing ekonomi? Sebagian orang menjawab, “kandungan teknologi dalam produk kita sangat rendah sehingga harganya murah”, dan “itu karena riset kita tidak kuat”, alasannya “anggaran riset kita hanya 0,2% dari APBN”.
Kalau masalahnya adalah uang, bagaimana kalau dicoba ditambah secara signifikan? Pada tahun 2009 lalu, Departemen Pendidikan Nasional yang diguyur 20% APBN mengalokasikan dana riset yang sangat besar melalui Dirjen Pendidikan Tinggi. Sebagian besar dana itu ditujukan kepada para dosen baik negeri maupun swasta, dan Rp. 400 milyar ditujukan pada para peneliti di Litbang Departemen di luar Depdiknas dan Lembaga Pemerintah Non Departemen. Ternyata, cuma sekitar 250 milyar yang terserap. Apa masalahnya?
Persoalannya adalah manajemen riset kita yang sangat jelek, yaitu aturan-aturan yang kontra produktif dan kultur birokrasi yang tidak kondusif.
Sebagai contoh, aturan tadi menyebutkan bahwa setiap peneliti maksimum hanya boleh diberi honor tambahan 4 jam perhari, @ Rp. 27.500,-. Jadi kalau peneliti itu bekerja 5 hari seminggu dan 50 minggu setahun, dia hanya akan dapat tambahan Rp. 27.500.000,- Dalam penelitiannya itu, tidak boleh ada pembelian alat atau barang modal. Tidak boleh juga ada perjalanan ke luar negeri, sekalipun untuk mempresentasikan papernya di simposium ilmiah internasional. Karena jatah setiap peneliti adalah Rp. 50 juta, maka sisa uang tersebut harus dipertanggungjawabkan untuk pengadaan bahan riset, pembelian alat tulis kantor, perjalanan dinas dalam negeri dan mengikuti atau mengadakan seminar di dalam negeri. Dampak aturan ini: sekitar 3000 peneliti enggan mengajukan proposal. Terkesan main-main saja.
Sementara itu, banyak hibah riset yang dikompetisikan secara internasional, yang juga tidak termanfaatkan oleh peneliti kita. Pasalnya, salah satu kriteria seleksinya adalah rekam jejak manajemen riset yang baik. Kalau muncul proposal dari berbagai institusi Indonesia yang tumpang tindih, maka itu indikasi manajemen riset di Indonesia amburadul. Akibatnya, ribuan dana hibah riset bergensi di Amerika Serikat, Uni Eropa dan Jepang, lebih banyak dimanfaatkan oleh peneliti-peneliti Cina dan India. Dari negeri-negeri Islam sangat sedikit. Dan Indonesia di nomor buncit.
Para peneliti kita lebih sering disibukkan oleh banyak hal di luar dunia riset. Seorang akademisi dengan jenjang S3 (Doktor) kerap dianggap kampiun di segala hal, atau setidaknya punya kecerdasan di atas rata-rata, sehingga lebih sering diminta duduk di birokrasi atau setidakknya dalam berbagai tim dan kepanitiaan, sehingga tak sempat lagi fokus melakukan riset. Dan mereka yang fokus riset pun hasil-hasilnya lebih sering tidak dipakai oleh para penentu kebijakan. Kebijakan publik lebih didominasi oleh para pembisik, baik dari kalangan politik, pengusaha maupun paranormal.
Inilah wajah dunia riset kita. Bagaimanakah dunia riset di masa keemasan Islam, di masa para mujtahid dan ilmuwan bersinergi menciptakan karya-karya peradaban yang sangat kreatif dan monumental hingga sekarang?
Riset di bidang sains dan teknologi tidak banyak berbeda dengan ijtihad seorang mujtahid di bidang hukum syara’. Keduanya sama-sama mencurahkan pikiran dan tenaga untuk mendapatkan jawaban suatu persoalan. Yang satu persoalan teknis, yang lain persoalan hukum. Mujtahid mencari jawaban itu dari dalil-dalil syara’, sedang ilmuwan mencarinya dari metode experimental (misalnya di bidang ilmu-ilmu alam) atau metode rasional untuk menurunkan pengetahuan baru dari pengetahuan yang sudah ada (misalnya di bidang matematika atau fisika teoretik).
Para cendekiawan muslim memberi perhatian pada semua jenis pengetahuan praktis, mengklasifikasi ilmu-ilmu terapan dan subjek-subjek teknologis berdampingan dengan telaah-telaah teoretis. Ini tampak misalnya dalam Mafatih al ‘Ulum karya al-Khwarizmi, Ihsa al-Ulum karya al-Farabi, al-Fihrist karya ibn an-Nadim, Muqaddimah karya ibn Khaldun hingga Al-I’lam bi-manaqib al-Islam karya al-Amiri. Dalam menggambarkan mekanika atau rekayasa Al-Amiri (wafat 991 M) menulis:
Mekanika adalah disiplin yang menerapkan matematika dan ilmu alam. Mekanika memampukan seseorang mengambil air yang tersuruk di bawah tanah, juga mengangkat air dengan kincir atau air mancur, mengangkut barang-barang berat dengan sedikit tenaga, membangun lengkungan jembatan di atas sungai yang dalam dan melakukan banyak hal lain, yang jika disebutkan semua membutuhkan banyak ruang.
Ilmuwan dan rekayasawan (muhandisun) mendapatkan kedudukan yang tinggi. Para khalifah dan sultan dekat dan hormat pada mereka. Dan seperti para mujtahid, ilmuwan di masa itu juga berani menyampaikan fakta ilmiah, sekalipun boleh jadi bertentangan dengan opini masyarakat atau penguasa. Sebagai contoh: al-Haitsam akhirnya menyimpulkan bahwa dengan teknologi saat itu sungai Nil mustahil dibendung, yang artinya proyek Sultan Mesir mesti dibatalkan. Akibat sikapnya itu, dia harus mengalami tahanan rumah bertahun-tahun dengan tuduhan telah gila. Ada sejarahwan yang menulis bahwa dia memang pura-pura gila untuk menghindari hukuman akibat wanprestasi. Kedua hal ini tak pernah diklarifikasi. Yang jelas, tidak mudah berpura-pura gila bertahun-tahun. Faktanya selama dalam tahanan, al-Haitsam tak berhenti meneliti, dan hasilnya adalah kitab dasar-dasar optika.
Secara umum, meski penguasa politis silih berganti, namun komitmen pada dunia ilmiah nyaris tidak berubah. Para ilmuwan disediakan dana yang nyaris tak terbatas, selama hasil penelitian mereka sebelumnya terbukti dapat diterapkan secara praktis. Bahkan di bidang ilmu dasar seperti astronomi dan matematika pun para peneliti wajib menjadikan masyarakat paham, atau minimal “terhibur” dengan ilmu. Majelis-majelis sains dan teknologi ramai dikunjungi khalayak. Karena itulah orang-orang kaya juga terpancing ikut mensponsori penelitian. Wakaf suatu perpustakaan atau laboratorium menjadi trend. Sultan dan aghniya’ bersaing agar namanya diabadikan menjadi nama suatu tabel astronomi yang berguna dalam navigasi, nama atlas dunia baru, atau nama ensiklopedia baru.
Setiap kali seorang ilmuwan selesai menulis sebuah buku, buku ini langsung dilelang. Tak sedikit aghniya yang menawar dengan emas seberat beberapa kali lipat timbangan buku itu. Setelah dilelang, buku itu akan diserahkan ke perpustakaan dan ratusan waraqien, atau tukang salin, akan menyalinnya dengan tangan untuk disebar ke masyarakat. Buku itu, beserta ilmu di dalamnya menjadi milik publik. Dan sang ilmuwan, dengan emas yang didapatnya, dapat meneliti kembali untuk menghasilkan karya selanjutnya.
Hasilnya, pada saat kedatangan pasukan Mongol di Baghdad tahun 1258 M, koleksi buku di perpustakaan khalifah di Baghdad lebih dari dua juta buku! Jumlah yang fantastik mengingat saat itu belum ada komputer dan mesin cetak. Semua buku itu adalah manuskrip tulisan tangan.
Manajemen riset di dunia Islam masih berjalan baik hingga pertengahan era khilafah Utsmaniyah. Namun riset yang dilakukan tinggal didominasi teknologi terapan, seperti di bidang arsitektur atau persenjataan, sedang riset dasar seperti fisika atau matematika nyaris terhenti. Masyarakatpun sudah tidak antusias dengan dunia ilmiah. Walhasil, ketika dunia Barat bangkit dengan riset dasar yang kuat, ilmuwan muslim merasa gagap mengejarnya. Mereka menunggu suasana kondusif masyarakat maupun negara seperti di awal era khilafah muncul kembali.