Krisis Energi bagi sebuah Negara Merdeka
Dr. Fahmi Amhar
Hari-hari ini sebagian kota-kota di Indonesia mengalami pemadaman listrik bergilir. Sebagian orang langsung menuduh bahwa PLN memang tidak becus mengurus listrik. Dan itu menjadi dalih bahwa sudah saatnya urusan listrik diserahkan kepada swasta, agar timbul iklim kompetisi, sehingga efisien dan optimal. PLN menjawab bahwa persoalannya terletak pada energi primer yaitu gas yang tidak diberikan ke PLN. Mayoritas pembangkit PLN dapat menggunakan dua jenis energi primer: BBM dan gas. Gas jauh lebih murah. Namun produsen gas di Indonesia tidak mau menjual gas ke PLN. Gas mereka sudah dikontrak ekspor ke Cina, sehingga industri di Cina lebih berdaya saing. Demikian juga dengan sejumlah daerah di Kalimantan yang beberapa tahun terakhir ini pemadaman listrik menjadi agenda mingguan. Meski mereka penghasil batubara, namun hanya sedikit yang boleh digunakan di sana. Selebihnya adalah untuk membuat kota-kota di Korea Selatan terang benderang.
Ketersediaan energi bagi sebuah negara memang suatu hal yang vital. Energi digunakan untuk industri, menggerakkan roda transportasi, menyalakan penerangan, memanaskan rumah dan alat dapur, menghidupkan peralatan elektronik, hingga intensifikasi pertanian, karena pada hakekatnya pemberian pupuk adalah subsidi energi ke produk tanaman.
Tidak heran bahwa setiap kali pasokan energi berkurang, terjadilah krisis. Namun dalam sejarah manusia, krisis energi sebenarnya sudah terjadi berkali-kali. Di zaman purba, ketika manusia masih hidup dari berburu, dan energi paling banyak didapatkan dari tenaga manusia, pertumbuhan jumlah manusia berakibat cadangan hewan buruan di sekitarnya terus menipis sehingga akhirnya terjadi krisis pangan yang berarti juga krisis energi. Namun krisis ini kemudian dijawab dengan beralihnya budaya berburu menjadi budaya pertanian dan peternakan, dan ketika tenaga manusia lalu digantikan dengan tenaga hewan yang telah dijinakkan.
Ketika jumlah manusia berikut kebutuhannya semakin meningkat, terjadilah krisis energi lagi. Tenaga hewan tidak cukup lagi untuk menggerakkan industri yang makin menjamur di sekitar perkotaan. Di situlah daya kreatifitas manusia ditantang lagi. Muncullah penggunaan energi non hayati. Rentang masa ini cukup panjang. Dimulai dari penggunaan energi air sejak zaman Romawi kuno, hingga penggunaan energi fosil (batubara, minyak) di awal revolusi industri (abad 17-18 M).
Umat Islam bukanlah pengguna energi air yang pertama, tetapi mereka memberikan kontribusi yang luar biasa bagi penemuan mesin-mesin energi yang lebih efisien. Dan meski umat Islam bukan penikmat revolusi industri, mereka telah memberikan kontribusi yang besar pada dunia pertambangan, sehingga membuka jalan untuk exploitasi dan pengolahan energi fosil.
Banu Musa bersaudara (abad 9 M) dan al Jazari (abad 12) adalah orang-orang yang mewariskan mesin-mesin yang sangat inovatif, baik dalam penggunaan energi air maupun untuk pertambangan.
Banu Musa terdiri dari tiga bersaudara, yang saat masih kecil ditinggal mati ayahnya, Musa bin Syakir, yang tewas ketika sedang menyamun! Namun khalifah al-Ma’mun yang melihat bakat kecerdasan anak-anak itu justru memerintahkan agar mereka diasuh oleh Yahya bin Abi Mansur, astronom khalifah dan Mas’ul Baitul Hikmah (ketua Akademi Ilmu Pengetahuan Khilafah). Muhammad bin Musa tumbuh menjadi astronom, matematikawan dan meteorolog. Adiknya, Ahmad bin Musa menjadi insinyur pencipta mesin. Sedang si bungsu Hasan bin Musa besar di geometri dan ilmu konstruksi.
Sinergi tiga bersaudara itu antara lain menemukan desain lampu minyak yang tahan tiupan angin sehingga cocok dipakai di udara terbuka. Mereka juga membuat alat ventilasi dan mesin keruk yang dirancang secara cerdas dan dimuat dalam buku mereka “Kitab al-Hiyal”.
Lampu tambang karya Banu Musa dengan pelindung yang dirancang agar diputar oleh angin ke arah yang melindungi lampu dari tiupan angin.
Mesin keruk dalam manuskrip Banu Musa,
dari koleksi Staatsbibliothek Berlin.
Saat itu (bahkan di Indonesia hingga saat ini), banyak pertambangan liar yang tidak begitu peduli aspek-aspek keselamatan. Orang berebutan untuk sampai ke posisi tambang yang diharapkan, sehingga dapat saja orang memulai harinya dengan kekayaan dan menjelang malam dia tak lagi memiliki apa-apa, akibat keduluan orang lain. Atau dia memulai dengan kemiskinan di pagi hari, dan malamnya menjadi pemilik sumber kekayaaan yang tak terhingga besarnya. Lokasi tambang bisa menjadi kuburan massal akibat gas beracun atau air bah yang memancar tiba-tiba dari sungai di dalam tanah.
Namun pada penambangan-penambangan yang dikelola pemerintah, sudah digunakan ventilator karya Banu Musa dan pompa air karya Taqiyuddin.
Alat ventilasi pertambangan karya Banu Musa, terdiri dari buluh peniup dan pipa-pipa yang memompa udara segar ke dalam untuk mengusir gas-gas beracun.
Ilustrasi pompa dan rantai untuk mengangkat air di lokasi pertambangan, karya Taqiyuddin (abad 10M).
Dengan alat-alat itu tak heran, ketika geografer al-Idrisi (abad 12 M) mengunjungi tambang air raksa di utara Cordoba Spanyol, ia diberitahu bahwa kedalaman lubang tambang dari permukaan tanah tidak kurang dari 250 fanthom (sekitar 457 meter). Itu tidak mungkin tanpa ventilator, pompa air dan drainase yang memadai.
Tentang pengolahan tambang, Al-Biruni menulis: “Pencarian batu la’l (sejenis rubi) dilakukan dengan dua cara. Pertama dengan menggali tambang di bawah gunung, dan yang lain dengan mencarinya di antara kerikil dan tanah yang berasal dari reruntuhan gunung akibat gempa bumi atau erosi karena banjir”. Dalam kitabnya al-Jamahir, al-Biruni membahas tentang berbagai mesin pengolah mineral. Mesin-mesin itu mirip penggiling kertas, tetapi yang dihancurkannya adalah batuan. Setelah dihancurkan sampai halus, batuan itu kemudian dapat dipisahkan, misalnya emas dari tembaga. Seluruh mesin-mesin ini pada abad ke-4 H (atau abad-10 M) telah digerakkan dengan tenaga air.
Meski pada saat itu batu bara atau minyak bumi belum banyak diketahui manfaatnya, sehingga teknologinyapun belum berkembang, namun tanpa alat-alat pertambangan yang dikembangkan kaum muslimin saat itu, exploitasi batu bara dan minyak bumi saat ini tidak bisa dibayangkan.
Yang jelas, teknologi bagaimanapun hanyalah alat. Tanpa tata energi dan sumberdaya mineral yang adil, teknologi itu hanya makin memperkaya mereka yang kuat dan bermodal yang umumnya konsorsium asing, dengan mengabaikan hak-hak pemilik sesungguhnya yaitu umat. Hanya negara yang benar-benar merdeka, yang berani melawan tekanan asing, sehingga menerapkan syariat, mengembangkan teknologi dengan bersemangat dan menggunakannya sehingga bermanfaat bagi seluruh umat.
Leave a Reply