Ekonomi Umat tak hanya Zakat
Dr. Fahmi Amhar
Menjelang pilpres lalu muncul gagasan ekonomi rakyat sebagai antitesis isu neoliberal yang menghinggapi salah satu cawapres. Selain ekonomi rakyat, ada istilah “ekonomi umat” – yang berkonotasi ekonomi yang dekat dengan pemeluk agama mayoritas negeri ini, yaitu umat Islam, yaitu ekonomi rakyat yang memperhatikan aspek halal-haram. Ekonomi umat juga sering disebut ekonomi syariah. Sejak hampir dua dekade ini, ekonomi syariah mengalami booming. Bank-bank syariah bermunculan. Disusul asuransi syariah, dan kini bahkan ada gagasan membuat pasar modal syariah. Namun volume perbankan syariah dalam realita baru sekitar 2% dari volume perbankan nasional. Dan masih banyak orang yang memandang bahwa ekonomi syariah adalah ekonomi yang menjadikan norma-norma ahlaq sebagai basis, ekonomi yang bebas riba dan mendorong zakat, wakaf, infaq dan shadaqah. Akibatnya ekonomi syariah dianggap sudah terbangun dengan adanya UU zakat, UU perbankan syariah, dan terakhir ini UU obligasi syariah (sukuk ritel).
Mungkinkah ekonomi umat tumbuh sempurna tanpa menjadikan syariah sebagai pilar peradaban semestanya? Bagaimana sebenarnya ekonomi umat di masa Daulah Islam mengalami kejayaannya?
Daulah Islam tidak tumbuh di ruang hampa. Pada saat Rasul datang ke Madinah untuk memimpin negara baru itu, sudah ada produksi, sudah ada bisnis, sudah ada pasar, pendeknya sudah ada ekonomi. Yang dilakukan Rasulullah adalah mendorong atau mendiamkan sebagian besar, dan melarang sebagian kecil.
Karena lebih mudah menghitung yang sedikit, maka kita mulai dari yang dilarang. Di antara sebab kepemilikan yang dilarang adalah bisnis terkait maksiat, yang menutup “keberkahan umum”, semisal pelacuran, perdukunan, bisnis sarana penyembahan berhala, bisnis makanan atau minuman yang diharamkan, dan sejenisnya.
Sedang pengembangan harta yang dilarang antara lain penimbunan, pembiaran lahan tidur, judi dan riba. Riba dilarang dengan tegas, baik riba itu sedikit ataupun banyak, baik untuk tujuan produktif maupun konsumtif, baik yang melakukan yahudi ataupun muslim yang baik-baik, karena riba pertama yang dihapuskan adalah dari Abbas bin Abdul Mutholib, paman Nabi sendiri, meski dia adalah penjaga sumur zam-zam yang paling ramah dalam melayani jama’ah haji.
Perkembangan Daulah Islam yang semula hanya kecil di Madinah namun kemudian bisa menjadi negara adidaya, tak lepas dari peran ekonomi syariah yang diembannya. Tanpa sistem ini, mustahil ekonomi umat akan tumbuh, sehingga mereka mampu mengumpulkan kekuatan untuk menantang negara-negara adidaya yang telah berkuasa beberapa abad lamanya: Romawi dan Persia.
Nabi membiarkan mata uang dinar emas Romawi dan dirham perak Persia tetap digunakan. Sepertinya Nabi memang dituntun wahyu untuk menggunakan mata uang yang tidak tergantung rezim yang sedang berkuasa. Meski belakangan beberapa khalifah mencetak dinar emas yang memiliki ciri Islam seperti adanya kalimat tauhid, namun yang terpenting pada mata uang emas adalah berat dan kadarnya. Dan itu berlaku universal. Jauh sebelum dunia mengenal istilah globalisasi ataupun IMF.
Nabi juga membiarkan sejumlah praktek ekonomi yang telah ada, seperti beberapa jenis aqad kerjasama bisnis atau syirkah (mudharabah, musyarakah, murabahah) dan melarang beberapa aqad yang lain, yang memang ternyata dalam jangka panjang berpotensi menimbulkan kezaliman. Nabi juga memberikan kepada sahabat suatu sumberdaya alam untuk dikelola, namun mencabut kembali bila diketahui sumber daya alam itu sangat besar, ibaratnya tak habis tujuh turunan.
Sejak Nabi masih hidup, negara sudah memiliki beberapa fungsi yang di zaman modern ini ada di Departemen Keuangan (urusan penarikan zakat dan distribusinya), Departemen Perdagangan (urusan pengawasan pasar), Bulog (urusan penyangga pangan), Departemen Sosial (urusan santunan bagi fakir miskin), hingga Kementrian BUMN (urusan industri strategis terkait pertahanan). Fungsi-fungsi ini terus terjaga sepanjang sejarah khilafah, bahkan makin diperkuat baik dalam bentuk organisasinya maupun fisiknya. Kalau di masa Rasul, urusan keuangan negara masih diselesaikan di rumah beliau, di masa Umar bin Khattab sudah harus dibuat bangunan khusus Baitul Maal yang juga memiliki areal padang rumput khusus untuk menggembalakan ternak-ternak zakat. Umar tanpa ragu mengadopsi sistem administrasi Diwan dari Persia guna mengurus Baitul Maal. Bagaimana tidak, seorang Abu Hurairah yang diutus Umar ke Bahrain saja pulang membawa harta 500 ribu dirham, atau dalam nilai sekarang sekitar 15 Milyar Rupiah. Padahal di masa Umar wilayah Islam sudah amat luas dan mencakup daerah-daerah subur di Iraq, Syams atau Mesir.
Sistem khilafah yang bersifat kesatuan memungkinkan peredaran kemakmuran tidak hanya di daerah yang kaya saja. Sumber-sumber keuangan seperti zakat, kharaj (pajak atas tanah yang dibebaskan oleh tentara Islam), ghanimah (pampasan perang), jizyah (pungutan pada non muslim ahlul dhimmah) dan fa’i semua diadministrasikan ke pusat. Pusat mendistribusikan harta itu kembali sesuai kebutuhan. Karenanya bisa jadi ada daerah-daerah Islam yang menjadi pensubsidi netto (karena paling kaya) atau tersubsidi netto (karena paling miskin).
Khilafah menggerakkan mesin negara berupa sistem pendidikan dan kesehatan gratis, juga pembangunan infrastruktur transportasi dan irigasi, agar daerah-daerah miskin itu perlahan-lahan bangkit menjadi daerah kaya. Jalan-jalan itu bahkan dilengkapi dengan tempat-tempat singgah untuk para musafir. Yang menarik, musafir dari negeri-negeri kafirpun akan dijamu dengan cuma-cuma selama maksimum tiga hari, bila singgah di sana. Ini dilaporkan antara lain oleh pengelana Eropa paling legendaris: Marco Polo, yang pada abad-13 Masehi pergi dari Venezia Italia ke Cina melewati “jalur sutra”, yang berarti sebagian besar perjalanannya adalah wilayah Daulah Islam. Islam memberikan jaminan keamanan bagi warga asing yang masuk negeri Islam, agar mereka dapat mendengarkan ayat-ayat Allah, dan melihat langsung bukti kehebatan Islam yang diamalkan. Hingga hari ini, sisa-sisa jalan atau saluran air yang dibangun di masa khilafah itu masih dapat dilihat, bahkan di tempat paling terpencil di Asia Tengah, di Andalusia Spanyol atau di selatan Sahara di Afrika. Sementara itu di tempat yang lebih ramai, jalan atau saluran itu tentu saja sudah direnovasi berulang kali dan kini menjadi bagian dari jalan atau kanalisasi modern.
Ketika Daulah Islam tegak dan menerapkan ekonomi syariat, perdagangan global adalah salah satu sarana dakwah yang efektif. Bahkan lewat para pedagang itulah antara lain dakwah Islam sampai ke Nusantara, sehingga Kerajaan Hindu terbesar di sana (yaitu Majapahit) dapat berganti menjadi beberapa kesultanan Islam, praktis tanpa pertumpahan darah yang berarti.
Leave a Reply