Jembatan Selat Sunda
Dr.-Ing. Fahmi Amhar
Peneliti Utama, Bakosurtanal.
Konon pada zaman es, pulau Sumatra, Jawa, dan Bali masih terhubung daratan dengan benua Asia. Karena itulah hewan-hewan di wilayah ini ada kemiripan. Kini, kondisi itu dimimpikan muncul lagi, setidaknya dalam wujud jembatan yang menghubungkan Malaysia dengan Riau melalui sejumlah pulau di Selat Malaka, kemudian jembatan Sumatra-Jawa melintasi Selat Sunda, jembatan Jawa-Madura (sedang dibuat dalam proyek Suramadu) dan jembatan Jawa-Bali. Jadi nantinya, untuk ke Bali, turis dari Eropa dapat naik mobil saja, sekalipun ada kemungkinan lebih mahal daripada naik pesawat.
Ide jembatan Selat Sunda menghangat lagi ketika akhir-akhir ini cuaca buruk berkali-kali membuat kapal-kapal feri terlambat. Akibatnya antrian penyeberangan mengular hingga 15 Km atau 2-3 hari, dari semula hanya 2-3 jam saja. Kalau yang antri itu truk pengangkut ayam potong, bisa-bisa ayam-ayam tersebut sudah mati duluan karena lemas atau kelaparan. Cuaca buruk juga sempat membuat pasokan batubara untuk PLTU Suralaya terganggu, dan Jawa mengalami krisis listrik.
Tahun 1960, Prof. Sediyatmo (yang namanya diabadikan untuk jalan tol bandara SukarnoHatta) sudah melontarkan gagasan jembatan Selat Sunda. Tahun 1986 BPPT ditugaskan Presiden Soeharto mengkaji penghubung Tri-Nusa-Bima-Sakti (Sumatra-Jawa-Madura-Bali). Waktu itu yang sempat mengemuka adalah terowongan. Namun ide terowongan akhirnya disingkirkan dengan sejumlah alasan: adanya palung sedalam 150 meter dengan lebar hingga 4 Km yang membuat panjang terowongan menjadi 2x panjang jembatan (biaya lebih besar), terowongan hanya dapat dilalui kereta listrik (sehingga mobil atau truk harus dinaikkan keatas kereta seperti pada terowongan Selat Kanal yang menghubungkan Inggris-Perancis) dan terowongan tidak dapat menjadi landmark.
Jarak terpendek di Selat Sunda: 27 km, dengan pulau-pulau di antaranya: Sangiang, Rimau Balak, Sebuku, Sebesi, Ular, Tempurung dan Krakatau.
Jalur terpendek in menurut survei geologi dan vulkanologi sudah cukup aman. Jalur subduksi Sunda yang rawan gempa ada jauh di selatan. Demikian juga gunung Krakatau berada cukup jauh. Namun demikian konstruksi jembatan harus dirancang tahan tsunami, yang diramalkan dapat terjadi bila Krakatau meletus lagi kurang lebih tahun 2300-an. Memang masih lama, namun untuk ukuran jembatan, 300 tahun “relatif muda”. Di Eropa ada sejumlah jembatan yang telah berdiri sejak zaman Romawi Kuno.
Yang menjadi pertimbangan juga adalah arus laut (0.95 m/s) dan kecepatan angin (15-18 knots). Desain konstruksi harus memiliki kekuatan yang tahan 3x arus dan angin tersebut. Memang belum ada pengukuran dalam skala yang diperlukan untuk elevasi pasang surut, tinggi dan perioda gelombang, arah/kecepatan angin dan arus, curah hujan, kelembaban, suhu, tekanan udara dan penyinaran matahari.
Model jembatan yang didesain adalah kombinasi jembatan cancang dan jembatan gantung. Karena Selat Sunda ada pada jalur internasional (Alur Laut Kepulauan Indonesia), maka Organisasi Hidrografi Internasional (IHO) maupun Organisasi Maritim Internasional (IMO) meminta bahwa di bawah jembatan utama harus bebas (clearance) setinggi 100 meter! Dengan demikian kapal tanker atau kapal induk terbesar di dunia pun dapat melintas dengan aman di bawahnya. Untuk itu bentang jembatan utama kira-kira akan sepanjang 3300 m. Jembatan gantung terpanjang di Indonesia saat ini baru 350 m! Namun di dunia saat ini jembatan dengan bentang 3300 m sudah ada, yakni yang menghubungkan Italia dengan pulau Sicilia di Messina.
Menurut Dr. Pariatmono, Asisten Deputi Menristek urusan Promosi dan Komersialisasi Iptek, BPPT melalui Pusat Pengkajian dan Penerapan Teknologi Industri dan Sistem Transportasi telah melakukan kajian yang cukup intensif atas jembatan-jembatan antar pulau. Sebagian yang telah dilaksanakan adalah jembatan Suramadu (dalam proses) dan jembatan Batam-Rempang-Galang (Barelang) yang telah selesai dan beroperasi. Kajian yang perlu dilakukan sebelum jembatan antar pulau dibangun meliputi kondisi alam (topografi darat, geologi, geomarine, geofisik, geoteknik), teknis struktur (aerodinamika, getaran) dan sosial ekonomi (lalu lintas, perkembangan wilayah).
Kompleksitas pembangunan jembatan Selat Sunda membuat prediksi biaya yang dibutuhkannya sangat tinggi. Hitungan dari Prof. Wiratman (guru besar teknik sipil ITB) biayanya sekitar US$ 8 Milyar. Sedang hitungan konsorsium dari AS, Korea dan Jerman, sekitar US$ 15 Milyar, namun dengan desain multiguna, jadi jembatan bukan hanya untuk lalu lintas jalan raya (tol), namun juga untuk kereta api, kabel-kabel listrik, fiber optik, pipa BBM, pipa gas dan bahkan untuk pengendara motor, sepeda dan pejalan kaki. Dengan saat ini sekitar 4 juta motor per tahun yang menyeberangi selat Sunda, jelas rancangan multiguna ini cukup menarik. PLTU besar bahkan dapat dibangun di dekat tambang batubara di Sumatera, sedang yang ke Jawa cukup kabel listrik saja.
Meski benefit secara nasional cukup besar, namun dengan kemampuan APBN yang ada sekarang, beranikah pemerintah segera membangun jembatan ini? Kalau jembatan ini dibangun dalam 5 tahun, maka setiap tahun harus dianggarkan dana sekitar Rp 25 Trilyun? Ini sudah 70% anggaran Departemen Pekerjaan Umum untuk membangun dan merawat jalan negara, jembatan dan infrastruktur lainnya di seluruh Indonesia.
Karena itu Presiden SBY menyambut baik inisiatif group Artha Graha (milik Tommy Winata) dan Media Group (milik Surya Paloh) untuk membangun jembatan Selat Sunda ini dengan prinsip Building – Operation – Transfer (BOT). Jadi jembatan dibangun oleh swasta, dioperasikan dengan sistem konsesi selama 30 tahun, baru kemudian diserahkan kepada negara. Namun tentu saja swasta cerdik juga. Dia tidak hanya meminta konsesinya seperti lazimnya membangun jalan tol, namun juga meminta kompensasi lahan di Banten dan Lampung masing-masing 10.000 hektar dan bagian dari sumberdaya alam di kedua provinsi itu.
Tinggal pemerintah sebagai pengurus dan pelindung masyarakat harus lebih cerdik lagi. Jangan sampai nanti lahan 20.000 hektar sudah diberikan dan oleh mereka sudah dijadikan real estate dengan total nilai lebih dari Rp. 100 Trilyun, namun jembatannya tidak jadi-jadi. Sekarang saja, jembatan Suramadu mengalami hal sejenis. Biaya membengkak terus dengan berbagai alasan. Di Jakarta bahkan proyek monorel yang jauh lebih sederhana juga terbengkelai. Di banyak tempat di Kalimantan atau Sumatra, proyek pertambangan atau perkebunan tidak sukses, karena pengusahanya sebenarnya hanya mengincar kayu yang akan digundulinya dulu dari area hutan yang konon potensial untuk perkebunan atau pertambangan tersebut. Kata Nabi, tidak boleh seorang muslim itu terperosok dalam lubang ular dua kali
Tags: jembatan, Pembangunan
Leave a Reply