dimuat di harian KR 8 Januari 2008
Dr.-Ing. Fahmi Amhar
Peneliti Utama, Bakosurtanal
Tahun Baru diwarnai dengan bencana baru. Dan kita sekali lagi terbangun dari tidur panjang: bencana yang acap kali terjadi belum membuat kita lebih cerdas.
Baru saja, ada orang yang bertanya: adakah Bakosurtanal siap dengan peta banjir kawasan Solo-Ngawi-Bojonegoro? Paling tidak untuk emergency, evakuasi, dan rehabilitasi. Banyak LSM dan ormas yang siap terjun tapi belum punya peta.
Ketika ditanyakan pada pejabat yang pernah punya proyek pemetaan bencana, dijawab sudah diupload di web Bakosurtanal. Ketika dilihat di web, ternyata file di situ hanya file jpeg (yang kalau diprint pasti gambarnya pecah) setara skala 1:1000.000. Jadi 1 cm di peta itu sama dengan 10 km di lapangan! Untuk overview satu propinsi, peta itu masih bisa dipakai, tetapi untuk bergerak di lapangan tentu jauh dari memadai!
Celakanya lagi, di peta itu: Solo, Ngawi dan Bojonegoro sempat digambar tidak rawan banjir! Tidak ada penjelasan metode pembuatan peta tersebut. Tetapi dapat diduga, hal itu karena (1) sumber data yang dipakai hanya peta Rupa Bumi Indonesia 1:25.000 yang toleransi kesalahan vertikalnya sekitar 3 meter; (2) pembuatannya, meski sudah melibatkan BMG dan Departemen PU, namun hanya berdasarkan data historis jangka pendek, belum dari spatial-system-dynamic-modelling; (3) generalisasinya terlalu excessive, sehingga untuk daerah rawan banjir praktis hamir seluruh Kabupaten dianggap rawan. Ya kalau seluruh Kabupaten rawan banjir, lantas di mana bisa ditampung pengungsi dan menurunkan logistik? Semoga peta ini belum sempat disosialisasikan…
Ketika hal ini disampaikan ke para pejabat yang berwenang, ada oknum pejabat yang menanggapi begini: “Coba anda bikin metode yang lebih baik …”. Weleh-weleh … padahal dulu waktu pembuatan peta itu kita tidak pernah diajak rembugan, boro-boro kecipratan … Tapi ini masih mending, ada juga oknum pejabat lain yang justru meradang, karena kita dianggap menyampaikan informasi tidak melalui jalur birokrasi yang sah. Perlu diketahui, banjir ini terjadi saat cuti bersama. Jadi kita mengontak para pejabat eselon satu itu dengan sms dan telepon. Kalau ini dianggap lancang, dan harus menunggu surat-menyurat konvensional, ya kapan korban di lapangan bisa ditolong?
Kita introspeksi, ini memang karena Bakosurtanal hingga saat ini belum punya PUSAT PEMETAAN KEBENCANAAN yang memadukan berbagai data di Bakosurtanal, BMG, Lapan, ESDM, PU, dll. Di Bakornas-Penanggulangan Bencana juga tidak ada. Dan di UU no 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana, urusan peta bencana diserahkan ke daerah, padahal daerah belum tentu ada orangnya yang peduli dan mampu. Walhasil, urusan pemetaan bencana adalah urusan voluntary. Hanya, sekali-sekali ada inisiatif yang kemudian mendapatkan kucuran anggaran dari DIPA. Itu juga sebenarnya tidak besar.
Tahun 2002, ketika banjir besar melanda Jakarta, dan banyak orang menawarkan pemetaan banjir, Dewan Geomatika Indonesia pernah mencoba membuat kajian pemetaan banjir. Hasilnya: saat ini masih cukup sulit menghasilkan peta banjir yang akurat. Penyebabnya tiga macam:
(1) Kita tidak punya peta 3-Dimensi yang cukup rinci dengan toleransi kesalahan vertikal maksimum 25 centimeter, dan resolusi spasial 1 meter; ini artinya mencakup selokan, gorong-gorong, tanggul pembatas jalan dan sebagainya. Peta dari Dinas Pengukuran dan Pemetaan Tanah (DPPT) DKI, yang konon berskala 1:1000 – 1:5000, pernah ditawarkan, tapi ternyata cuma ada 1 titik tinggi tiap 1 hektar, sedang jalan, selokan dan lainnya belum 3-Dimensi. Jadi ya susah, padahal banjir sudah terjadi ketika genangan air di jalan sudah mencapai 30 cm lantaran terhalang tanggul pembatas jalan, atau gorong-gorong mampet.
(2) Data seperti di atas, yaitu mencakup sepanjang daerah aliran sungai, akan sangat besar, sehingga modelling secara spatial-system-dynamic memerlukan processor paralel – ditaksir minimal sekitar 100 Pentium-IV @ 1 GHz. Dengan prosesor seperti ini diharapkan model yang dihasilkan dapat berpacu dengan peristiwa di alam, sehingga bisa untuk early warning. Pada umumnya sih orang mengambil jalan moderat dengan membuat “pre-run-model”. Jadi model-model disimulasi lebih dahulu, yang kemudian tinggal dipanggil saat di lapangan menunjukkan indikator tertentu.
(3) Untuk bisa melakukan modelling parallel itu, diperlukan beberapa SDM pakar, antara lain: ahli informasi spasial (pemetaan), ahli pemodelan system-dynamic & programmer yang menguasai pemrograman dalam lingkungan paralel, dan yang terakhir ini cukup sulit didapatkan di Indonesia.
Jadi untuk saat ini terus terang kita belum berani mengerjakan pemodelan banjir yang sesungguhnya, kecuali kalau baru sekedar “main-main”, misalnya:
(1) Ambil citra satelit Quickbird atau Radar (ALOS-Palsar) sebelum banjir dan setelah banjir, lalu tinggal digambar/delineasi kawasan yang terendam. Tapi gambar ini tidak memperlihatkan dinamika air, padahal genangan itu kan bergerak. Apa yang saat citra diambil tidak tergenang, boleh jadi beberapa jam kemudian tergenang, sedang yang semula tergenang cuma 20 centimeter, bisa jadi berubah menjadi 2 meter.
(2) Tentukan beberapa ratus titik di lapangan (paling gampang pilih tiang listrik), lalu ukur tingginya dengan GPS, pasang sticker berskala di tiang listrik itu yang menunjukkan angka elevasi absolut di atas permukaan laut, kemudian saat banjir bikin survei kecil-kecilan (boleh melibatkan masyarakat setempat) untuk memantau skala tertinggi yang disentuh air banjir. Mereka tinggal kirim sms dalam format tertentu, sehingga peta dapat diupdate dari menit ke menit. Ini mudah dan murah. Namun tentu hanya bisa menggambarkan banjir yang telah terjadi, belum yang masih mungkin terjadi di masa depan.
Memang kuncinya di spatial-system-dynamic, di mana komponen seperti curah hujan maksimum, landcover, pendangkalan sungai, kondisi selokan, gorong-gorong, pintu air, pompa serta situasi pasang surut dapat dimodelkan semua.
Berani? Maksudnya berani membiayainya, dan juga mencarikan personilnya? Kalau berani, sistem ini nanti dapat dipakai juga untuk AMDAL. Jika ada orang bikin real-estate baru, atau membuka kebun baru, maka sebelum terjadi apa-apa, dapat disimulasi, apakah proyek itu kelak dapat mengakibatkan banjir atau tidak. Kalau berpotensi banjir (sekalipun banjirnya tidak di situ), ijin tidak usah diberikan.
Gitu aja koq repot. Tidak repot, tapi sekali lagi siapa berani? Kita memang perlu pemimpin yang pemberani, yang takutnya hanya kepada Allah saja.
Dr. Fahmi Amhar
Peneliti Utama Bakosurtanal
Salah satu catatan dari Konferensi PBB untuk Perubahan Iklim (UNCCC) di Bali Desember 2007 lalu adalah keinginan negara-negara berkembang untuk mendapatkan transfer teknologi ramah lingkungan guna ikut mensukseskan pengurangan emisi demi mencegah pemanasan global. Negara-negara maju enggan mengabulkan permintaan itu dengan alasan teknologi itu ada pada dunia bisnis yang investasi risetnya telah dilindungi dengan hak paten. Karena itu, urusan transfer teknologi adalah urusan bisnis dengan korporasi yang memilikinya.
Pertanyaannya kini, apa saja yang termasuk teknologi ramah lingkungan, dan benarkah semua itu urusan bisnis?
Teknologi ramah lingkungan (eco-friendly-technology) dapat diringkas sebagai adalah segala jenis aplikasi teknologi yang dapat memberikan kepuasan penggunanya dengan sumber daya lingkungan yang lebih rendah. Sebelum kesadaran ekologi muncul, orang hanya berpikir ekonomi. Teknologi yang diterapkan adalah yang termurah dari sudut ekonomi, menggunakan sumberdaya alam maupun sumber daya manusia yang murah walaupun dari sudut ekologi bisa saja dinilai mahal. Hal ini karena sistem ekonomi masih jarang menilai lingkungan dengan harga yang wajar. Misalnya, berapa nilai oksigen yang kita hirup atau nilai lingkungan udara yang kita cemari dengan gas buang? Sebuah mesin yang lebih banyak menyedot oksigen untuk hasil kerja yang sama, secara ekologis adalah lebih mahal, walaupun secara ekonomis mungkin lebih murah. Hal ini karena oksigen itu menjadi berkurang untuk digunakan oleh mahluk hidup yang lain – termasuk manusia.
Secara umum, teknologi ramah lingkungan adalah teknologi yang hemat sumberdaya lingkungan (meliputi bahan baku material, energi dan ruang), dan karena itu juga sedikit mengeluarkan limbah (baik padat, cair, gas, kebisingan maupun radiasi) dan rendah risko menimbulkan bencana. Kita akan melihat contoh-contoh teknologi ini pada fokus pengembangan iptek nasional:
Pangan
Pola konsumsi paling ramah lingkungan adalah vegetarian. Dari bahan nabati yang sama, bila dikonsumsi langsung, manusia mendapatkan tujuh kali lipat nutrisi daripada jika bahan nabati itu digunakan untuk pakan ternak yang lalu dikonsumsi dagingnya.
Dapur modern yang rendah pemakaian energi (misalnya oven microwave) juga mestinya lebih ramah lingkungan. Demikian juga lemari pendingin yang bebas CFC. CFC adalah perusak lapisan ozon di atmosfir.
Masalah pangan juga terkait erat dengan sampah. Makanan kemasan memang praktis, tahan lama dan punya kelebihan dalam marketing. Namun banyak kemasan yang sebenarnya berlebihan dan tidak ramah lingkungan.
Saat ini sampah terbesar memang dari sektor pangan. Teknologi pengolah sampah, baik dari sisi pemisahan, daur ulang dan penghancuran jelas sangat diperlukan ketika volume sampah makin besar. Namun tentu lebih baik jika sampah ini dapat dihindari dengan mengubah pola kemasan pangan ke wadah pakai ulang. Dalam hal ini, teknologi bioproses untuk menghancurkan sampah dapat dipandang lebih ramah lingkungan daripada teknologi kimia.
Bioteknologi termasuk yang sangat diharapkan membantu menemukan bibit unggul tahan hama dan kekeringan yang pada lahan yang sama dapat menghasilkan pangan lebih banyak dalam waktu yang lebih singkat. Namun berbagai manipulasi transgenik membuat ketakutan tersendiri akan munculnya spesies baru yang justru dalam jangka panjang tidak ramah lingkungan.
Energi
Energi matahari adalah energi yang terramah lingkungan. Dibanding dengan mesin pengering, mengeringkan cucian di terik matahari itu ramah lingkungan, hanya perlu didesain saja jemuran yang praktis dan tidak membuat kesan kumuh. Demikian juga memanaskan air untuk mandi dengan menjemur air. Kalau dalam jumlah besar dan untuk disimpan memang perlu solar-collector lengkap dengan tankinya. Teknologinya sebenarnya sederhana dan murah, namun bisa cukup menghemat listrik atau gas, terutama untuk dunia perhotelan.
Dengan sistem ventilasi yang benar, desain gedung-gedung kita bisa menghemat penerangan maupun pendingin udara. Apalagi jika gaya pakaian kita menyesuaikan. Di Indonesia ini gaya busana yang latah meniru penjajah: untuk acara resmi kita pakai jas dan dasi, lantas agar tidak kegerahan, kita setel AC yang “sedingin kutub”, seakan kita memelihara pinguin di sana. Kita perlu berkaca dengan rekan-rekan kita sesama daerah tropis seperti Thailand atau Filipina, yang mengatur seragam dinas pegawai berupa T-shirt berkerah!
Di Jerman dan Jepang yang kesadaran lingkungan sudah tinggi banyak dikembangkan eco-house yang memadukan berbagai fungsi rumah secara maksimal. Dinding luar berselimut tanaman rambat. Atap berlapis solar panel. Aliran air dan udara dipikir masak-masak, misalnya air pemanas ruangan dapat dipakai mandi dan limbahnya dipakai menggelontor tinja. Septic-tank menghasilkan gas methan yang dapat dipakai menambah energi untuk dapur.
Rumah sakit di Berlin Jerman yang berselimut tanaman.
Indikator solar cell pada sebuah kantor di Kobe, Jepang. Solar cell mengirim 0,59 KW/m2
Solar panel terbesar di dunia, proyek GAIA di Jepang
Dulu, energi nuklir pernah dipandang sebagai energi ramah lingkungan, karena tidak menghasilkan emisi. Namun pendapat ini kini telah berubah. PLTN mensisakan masalah transportasi bahan nuklir dan tempat pembuangan limbah akhir yang sangat berresiko tinggi bagi lingkungan.
Yang kini digalakkan adalah teknologi biofuel dengan primadona micro-algae yang berpotensi menghasilkan 58.000 liter minyak/hektar (10x sawit). Sayang teknologinya masih disimpan negara maju, padahal Indonesia yang tropis dan banyak laut sangat berpotensi mengembangkannya.
Transportasi
Alat transportasi paling ramah lingkungan tentu saja adalah sepeda! Sudah banyak dikembangkan sepeda yang sangat efisien dari sisi energi, bahkan ada yang memiliki solar panel untuk menyerap energi matahari. Sepeda semacam ini dapat digunakan menempuh jarak ribuan kilometer.
Untuk beban yang sedikit berat di medan yang datar, becak dan pedati sebenarnya juga ramah lingkungan. Namun untuk jarak jauh dan beban raksasa, tentu saja kereta listrik lebih ramah lingkungan. Listriknya bisa dibangkitkan terpusat pada Pusat Listrik Tenaga Air, Panas Bumi atau sejenisnya. Kendaraan umum seperti bus juga lebih ramah lingkungan dibanding mobil pribadi. Lebih ramah lagi jika menggunakan baterei listrik. Di Swiss sudah 20 tahun digunakan bus listrik dengan baterei berupa gandengan kecil, yang jika mendekati kosong gampang diganti dengan yang penuh, sambil menunggu yang kosong diisi ulang.
Untuk transportasi individual bermesin, mobil listrik lebih ramah lingkungan dibanding mobil biasa. Masalahnya, kapasitas baterei dalam menyimpan energi saat ini masih belum sebanyak bensin pada berat yang sama. Nilai optimal baterei ini baru akan tercapai kalau menggunakan sel bahan bakar (fuel-cell), di mana energi disimpan dalam air yang dipisahkan (elektrolisa) ke hidrogen dan oksigen. Reaksi hidrogen-oksigen akan menghasilkan energi sangat besar dengan limbah kembali berupa air. Namun teknologi fuel cell saat ini masih sangat mahal (belum layak pasar).
Saat ini, mobil listrik baru dipakai secara terbatas di bandara atau rumah sakit. Namun beberapa industri mobil sudah meluncurkan mobil hybrid (misalnya Toyota Prios), yang berpenggerak listrik dan bensin. Saat macet, mesin listrik yang bekerja. Saat kecepatan optimal, mesin bensin akan mengambil alih. Jika diperlambat, energi mesin bensin dipakai untuk mengisi baterei.
Pada level sederhana, banyak inovasi juga dapat digunakan pada kendaraan biasa. Misalnya alat tambahan yang dapat dipasang untuk mengoptimalkan pembakaran. Pabrik mobil juga berlomba mengembangkan “3-liter-cars” – mobil yang dengan 3 liter bensin dapat menempuh jarak 100 Km.
Di laut juga dikembangkan kapal modern yang lebih ramah lingkungan, yakni yang menggunakan mesin dan sekaligus layar mekanis! Layar ini dapat dikembangkan otomatis jika arah dan kecepatan angin menguntungkan. Penggunaan energi angin dapat menghemat bahan bakar hingga 50%.
Teknologi energi dan transportasi yang ramah lingkungan termasuk yang saat ini paling dilindungi oleh industri negara maju dan karenanya paling mahal.
kapal modern dengan layar mekanis
Informasi dan Komunikasi
Komunikasi elektronik adalah sangat ramah lingkungan jika diterapkan dengan tepat. Telekomunikasi akan mengurangi kebutuhan transportasi, berarti hemat energi. Informasi juga dapat disebarkan tanpa kertas (paperless) sehingga mengurangi jumlah pohon yang harus ditebang.
Teknologi kertas daur ulang juga termasuk bagian upaya ramah lingkungan di sektor informasi. Dalam hal ini, tinggal menunggu kesadaran para penerbit. Jika di Indonesia, para penerbit justru berlomba menggunakan kertas yang putih agar terkesan lux, di luar negeri getol dikembangkan kertas daur ulang. Konon untuk mencetak novel Harry Potter 7, sampai dikembangkan 32 jenis baru kertas daur ulang. Penerbit di Kanada menggunakan kertas daur ulang 100%, sementara di Amerika baru 30%. Upaya ini sudah membuat edisi bahasa Inggris novel ini menghemat penebangan hampir 200 ribu pohon dan 8 juta kg gas rumah kaca.
Kesimpulan
Dengan demikian, bila ada kemauan kuat, sebenarnya banyak yang sudah dapat dilakukan oleh negara ataupun masyarakat negara berkembang untuk menjadikan negeri mereka lebih ramah lingkungan, tanpa harus menunggu belas kasihan atau hutang transfer teknologi dari negara-negara maju, yang umumnya dikaitkan beberapa syarat politis, syarat-syarat yang bernuansa penjajahan.
Teknologi yang dipatenkan oleh industri di negara maju pun, setelah 20 tahun akan habis patennya, dan dapat ditiru dan dikembangkan lebih lanjut oleh siapapun. Para ilmuwan, peneliti dan insinyur negara-negara berkembang harus lebih proaktif, kreatif dan tidak pasrah pada situasi, atau justru malah bangga sekedar menjadi karyawan atau buruh murah bagi industri dari negara-negara maju.
Jadi tak benar bila semuanya urusan bisnis. Masalah transfer teknologi adalah soal kegigihan negara berkembang untuk merebut teknologi serta niat baik negara maju untuk berbagi.
Dr. Fahmi Amhar
Peneliti Utama Bakosurtanal
Beberapa waktu yang lalu dunia dikejutkan dengan keputusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) yang menyatakan bahwa kepemilikan saham BUMN Singapura Temasek di Indosat dan Telkomsel yang dianggap dapat mengancam persaingan di bisnis telekomunikasi.
Biaya telekomunikasi di Indonesia sering dikeluhkan oleh banyak pihak sebagai yang termahal di dunia. Meski sekarang banyak aksi-aksi “banting harga” dari berbagai provider telepon seluler (baik GSM maupun CDMA) namun tidak sedikit dari tawaran itu yang masih menuliskan kecil “syarat dan ketentuan berlaku”, yang ujung-ujungnya tarif-tarif itu sama saja mahalnya. Karena itu gebrakan KPPU ini dapat dianggap sebagai angin surga bagi konsumen, namun bagi investor tentu sebaliknya. Ada yang ingin membawa kasus ini ke Arbitrase Internasional, karena Indonesia dianggap mengingkari perjanjian internasional.
Apapun yang nanti terjadi, kenyataan ini menyadarkan kita semua akan pentingnya teknologi informasi dan komunikasi (TIK). TIK adalah dunia yang sangat pesat kemajuannya, sangat signifikan pengaruhnya pada ekonomi, dan sangat besar dampaknya dalam kehidupan sosial budaya.
TIK adalah teknologi yang menggunakan listrik arus lemah untuk penyaluran isyarat (informasi), baik searah maupun dua arah (komunikasi). Dalam kehidupan sehari-hari, teknologi informasi biasanya diasosiasikan dengan persinyalan dan penggunaan komputer. Sedang teknologi komunikasi diasosiasikan dengan telepon, radio dan televisi. Internet masuk dalam keduanya, karena dapat menyalurkan informasi maupun digunakan untuk komunikasi. Internet adalah konvergensi semua teknologi informasi dan komunikasi. Apalagi pada bentuknya yang sekarang, ketika internet dapat diakses oleh telepon genggam dengan fasilitas 3G.
Pesatnya TIK dapat digambarkan pada perkembangan kemampuan dan harga komputer. Pada tahun 1987 sebuah komputer pribadi dengan prosesor Intel 80386SX – 20 MHz, 2 MB RAM dan 40 MB Harddisk harganya sekitar USD 4000,- Tahun 2007 dengan uang yang sama, kita bisa mendapatkan 10 komputer pribadi yang prosesornya Pentium 4 – 1 GHz, 1 GB RAM dan 40 GB Harddisk. Faktor peningkatan kemampuannya adalah 50x (prosesor), 500x (RAM) dan 1000x (Harddisk). Kalau diambil yang terrendah berarti performance naik 50x, dan harga turun 10x! Jadi performance meningkat 500 kali (!) dalam 20 tahun. Jadi kemajuan TIK ini adalah sekitar 25 kali per tahun (!).
Dengan gambaran ini, tak heran bahwa para investor TIK harus saling berpacu dengan para inventor. Ketika suatu penemuan TIK dinilai layak industri, maka investor harus mengeluarkan investasi yang cukup besar untuk dapat menguasai pasar. Kalau investasi ini belum kembali lalu sudah ada penemuan baru, maka investasi yang pertama akan hangus. Karena itu, dibuatlah strategi pengamanan, yang bila perlu penemuan baru ini tidak dikeluarkan dulu.
Dan karena para investor ini adalah perusahaan asing, maka jadilah mekanisme “pengamanan” dilakukan oleh mereka. Tarif telekomunikasi dibiarkan saja tetap mahal seperti sekarang, meski kini banyak bermunculan teknologi baru yang jauh lebih murah.
Di bidang telepon misalnya, teknologi Voice over Internet Protokol (VoIP) sudah tidak lagi bisa dibendung. Orang yang memiliki akses internet akan mendapatkan bahwa komunikasi yang paling murah, bahkan gratis (di luar biaya koneksi internet) adalah dengan Yahoo-Messenger (messenger.yahoo.com), Google-Talk (google.com/talk) atau Skype (skype.com). Skype bahkan bisa menghubungi ke telepon biasa maupun ponsel di luar internet (Skype-Out) atau dihubungi dari luar (Skype-In). Tarifnya pun hanya tergantung negara sasaran, untuk telepon ke Eropa dari seluruh dunia biaya permenitnya hanya 2 Eurocent (sekitar Rp. 275,-). Bandingkan dengan tarif pulsa telpon lokal dari Telkom yang Rp. 250,- per pulsa (3 menit). Google bahkan lebih jauh lagi mencanangkan proyek telepon gratis, yakni telepon dengan inada sambung berisi iklan.
Dengan VoIP ini telekonferensi juga dapat dilakukan dengan mudah dan murah. Anehnya, fasilitas ini masih jarang digunakan. Kita teringat bagaimana peradilan masih memilih telekonferensi berbiaya tinggi saat meminta keterangan saksi atau saksi ahli di luar negeri.
Kemampuan telekomunikasi saat ini sudah dapat digunakan untuk teleworking, yaitu tatkala pekerja pada beberapa sektor (terutama sektor jasa atau informasi) tidak harus ke kantor, cukup bekerja dari laptop atau PDA masing-masing. Kalau hal ini dilakukan, tentu amat menghemat energi untuk transportasi, mengurangi kemacetan dan polusi udara (sekaligus pemanasan global!), menghemat biaya ruang kantor dan para pekerja dapat mengalihkan waktu 2-4 jam yang semula habis di jalan untuk keluarga. Teleworking akan meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat. Tinggal adaptasi budaya saja yang harus disiapkan.
Bahkan penyelenggaraan pemilu atau pilkada dapat dihemat sangat signifikan dengan telekomunikasi. Di sejumlah negara maju, pemilu dilakukan dengan suatu alat serupa tablet-PC dengan pemindai sidik jari dan layar sentuh. Alat ini dapat dihubungkan langsung ke server database KPU via saluran telepon atau telepon satelit untuk daerah terpencil. Di dalam alat itu juga dipasang GPS sehingga posisi keberadaan alat itu di TPS dapat dikontrol. Seluruh sistem ini secara aliran informasi sudah diaudit seperti layaknya sistem ATM milik perbankan, sehingga kerahasiaan pilihan dan keamanan data tetap dijamin. Dengan sistem ini, hasil pemilu dapat diketahui sore itu juga, dan konsistensi angka di level TPS dengan rekapitulasi nasional dapat terjamin. Kalau di seluruh Indonesia ada 70.000 desa, dan untuk setiap desa cukup piranti TI seharga Rp. 15 juta termasuk pelatihan, maka biayanya hanya sekitar Rp. 1 Trilyun. Alat ini asal tidak rusak juga dapat dipakai berkali-kali, tidak perlu membuat surat suara, kotak suara dan bilik suara baru. Juga dapat menghemat proses perhitungan. Tentu sangat murah dibandingkan dengan usulan anggaran KPU yang lebih dari Rp. 49 Trilyun. Jika sebagian besar perangkat keras dan lunak untuk Pemilu seperti ini dapat diproduksi di dalam negeri, tentu suatu impuls yang lumayan untuk membangkitkan industri TIK dalam negeri. Beberapa negara lain boleh jadi akan memesan sistem semacam ini ke kita.
Sayangnya tingkat melek TIK dan akses TIK di Indonesia masih amat rendah, sekalipun di Indonesia kini ada 70 juta pengguna ponsel. Kalau akses ini sudah tinggi, akan mudah menghidupkan e-learning, e-bisnis dan e-government, suatu layanan pendidikan, bisnis atau pemerintahan secara elektronik, terutama via internet. Pelajar dan mahasiswa tak perlu mengeluhkan kurangnya buku di perpustakaan mereka, karena semua bisa didapat di internet. Isi situs ensiklopedia seperti en.wikipedia.org malah praktis tumbuh dan diupdate tiap hari. Demikian juga dengan peta seluruh dunia seperti di earth.google.com. Mahasiswa yang sedang penelitian juga dapat melihat jurnal, perpustakaan bahkan database paten dari mana saja (misalnya di www.uspto.gov – kantor paten Amerika). Ide pun akan lebih mudah dicari, sementara plagiat (penjiplakan) karya tulis ilmiah lebih mudah terdeteksi dan diatasi.
Seperti biasa, dunia bisnis memang jauh lebih tanggap. Beberapa maskapai penerbangan (misal AirAsia, Garuda) sudah menggunakan e-ticket. Tiket pesawat cukup dipesan via internet atau sms, juga dibayar dengan e- atau sms-banking. Beberapa toko juga sudah mulai menikmati tumbuhnya pasar seperti ini. Mereka mengembangkan mekanisme agar transaksi tetap dapat berjalan aman untuk kedua pihak, sekalipun payung hukumnya belum ada.
Di sisi dakwah, sebagian gerakan Islam sudah dapat memanfaatkan peluang yang ditawarkan TIK dengan cerdas. Informasi lebih mudah didapat ataupun disajikan via internet. Sebagian besar website bahkan bersifat dinamis dan interaktif. Namun ada juga kalangan yang pesimis dan ingin agar TIK dibatasi, karena khawatir disalahgunakan untuk menyebarkan pornografi. Namun secara teknis sebenarnya arus pornografi ini mudah difilter, dan secara budaya rating pornografi kini sudah dikalahkan oleh situs-situs komunitas yang bersifat interaktif.
Di bidang pemerintahan, TIK dapat dipakai pemerintah untuk mengumumkan seluruh aturan hukum di internet (baik yang masih rancangan maupun yang sudah disahkan), tender-tender (e-procurement), melayani pembayaran pajak (termasuk pajak kendaraan), pemesanan KTP/KK baru, hingga peringatan dini dan manajemen bencana. Pada situasi banyak bencana seperti saat ini, tersedianya informasi di internet yang cukup atas kondisi aktual di lapangan, jenis bantuan yang dibutuhkan, akses mencapai daerah itu dan sebagainya, tentu akan sangat membantu para relawan maupun orang yang ingin menyumbang untuk memulihkan situasi daerah korban.
Sekarang pun, asal ada kemauan kuat, sebenarnya sebagian besar layanan ini sudah bisa dikerjakan dalam hitungan hari. Teknologinya sudah tersedia. Namun kembali, masalah kemauan adalah masalah yang berkaitan dengan visi dan prinsip. Teknologi itu hanya alat. Jika para pelaku pelayanan publik ini melihat bahwa barangsiapa memudahkan urusan orang banyak Allah akan memudahkan urusannya di dunia dan di akherat nanti, tentu seluruh teknologi informasi dan komunikasi ini akan diupayakan secara maksimal untuk memudahkan urusan pelayanan seluruh ummat.
Tetapi sepertinya, dalam iklim kapitalisme sekuler seperti sekarang ini, hal itu baru terwujud di “Republik Mimpi”. Apa ya harus menunggu “revolusi” dulu? Atau justru setiap muslim, terutama yang bekerja di sektor publik, sekarang juga perlu mempersiapkan diri sebaik-baiknya, sehingga ketika sistem yang lebih manusiawi (khilafah) berdiri, seluruh SDM dan teknologinya sudah siap. Wallahu a’lam.