Islam adalah lawan dari kekufuran. Yang dipandang sebagai musuh adalah kekufuran, dan berarti kekuatan yang mendukung implementasi, mempertahankan atau mempromosikan sistem kufur. Kalau kekufuran diibaratkan kemiskinan, maka Islam tidak memerangi orang-orang miskin an sich, namun memerangi kemiskinan, dan berarti orang-orang yang membuat kemiskinan terus terjadi, yaitu para tiran, orang-orang yang terus berbuat kerusakan (fasiq) dan orang-orang yang berlaku tidak adil (dhalim).
Perlawanan Islam terhadap kekufuran dan permusuhan kekufuran atas Islam akan terus terjadi. Rasulullah SAW mendapat informasi dari Allah swt serta beberapa perintah sebagai berikut:
Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. (Qs. 2:190)
Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan (sehingga) agama itu hanya untuk Allah belaka. Jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), maka tidak ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang-orang yang zalim. (Qs. 2:193)
Mengapa kamu tidak mau berperang di jalan Allah dan (membela) orang-orang yang lemah baik laki-laki, wanita-wanita maupun anak-anak yang semuanya berdo’a: “Ya Rabb kami, keluarkanlah kami dari negeri ini yang zalim penduduknya dan berilah kami pelindung dan penolong dari sisi Engkau”. (Qs. 4:75)
Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggetarkan musuh Allah, musuhmu dan orang-orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya. Apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan dibalas dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya (dirugikan). (Qs. 8:60)
Dari ayat-ayat di atas jelas bahwa peperangan dalam kerangka jihad bisa terjadi karena (1) kaum muslimin diserang; (2) untuk melenyapkan fitnah (kekufuran) dan permusuhan; (3) demi membela yang tertindas – tanpa melihat agama mereka.
Untuk antisipasi peperangan melawan kekufuran yang selalu mungkin terjadi itu, kaum muslimin diwajibkan menyiapkan segala kekuatan yang dapat menggentarkan musuh, baik itu kekuatan iman, ilmu pengetahuan dan teknologi, malliyah, jasmaniyah, organisasi militer dan juga kekuatan dakwah. Seluruh potensi ummat diarahkan kepada peperangan tiada akhir melawan kekufuran, melawan sesuatu yang menghalangi missi Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam, dan missi muslim sebagai khalifatul fil ardh.
Dalam hubungannya dengan orang-orang Yahudi dan Nasrani, meski terdapat ayat:
Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu sehingga kamu mengikuti millah mereka… (Qs. 2:120)
namun ayat ini tak pernah dipakai kaum muslimin sebagai legitimasi memerangi Yahudi dan Nasrani, hanya karena agama mereka. Justru sebaliknya, kaum Yahudi dan Nasrani di dalam Darul Islam menikmati perlindungan yang tidak mereka temukan di negara lain. Namun perang salib, yang lama maupun yang baru, justru makin menunjukkan bahwa kekufuran adalah musuh kita, sampai kiamat tiba.
Tidak terlalu mudah mendapatkan gambaran yang akurat tentang peristiwa Perang salib yang sesungguhnya. Beberapa penulis sejarah menggambarkannya berbeda-beda, dan sebagian tampak berlebih-lebihan[i]
Kesulitan lainnya adalah mengenai nama-nama tempat atau kerajaan dalam buku-buku sejarah lama yang tidak dilengkapi peta, sehingga sulit dipastikan nama dan lokasinya di zaman modern ini, apalagi bila buku-buku tersebut ditulis dalam bahasa yang berbeda-beda, misalnya dari sumber berbahasa Arab atau Latin.
Pada tulisan ini sengaja dicari fakta-fakta dari sumber-sumber Islam dan non Islam, agar didapatkan keseimbangan informasi, terutama mengenai kondisi front masing-masing.
Secara keseluruhan perang salib berlangsung selama hampir dua abad, dengan momen-momen penting sebagai berikut:
Pada sinode di Clermont Perancis, Paus Urbanus II (1088-1099) memulai inisiatif mempersatukan dunia Kristen (yang saat itu terbelah antara Romawi Barat di Roma dan Romawi Timur atau Byzantium di Konstantinopel). Kebetulan saat itu raja Byzantium sedang merasa terancam oleh ekspansi kekuasaan Saljuk, yakni orang-orang Turki yang sudah memeluk Islam.
Ketika terasa cukup sulit untuk mempersatukan para pemimpin dunia Kristen dengan ego dan ambisinya masing-masing, maka dicarilah suatu musuh bersama. Dan musuh itu ditemukan: ummat Islam. Sasaran jangka pendeknyapun didefinisikan: pembebasan tempat-tempat suci Kristen di bumi Islam, termasuk Baitul Maqdis. Adapun sasaran jangka panjangnya adalah melumat ummat Islam. Pasukan salib tidak berencana membunuh khalifah. Yang mereka rencanakan adalah membunuh Islam, menghapus khilafah dan menghancurkan ummat yang melindunginya dan hidup untuknya. Apa artinya seorang khalifah jika lembaga khilafah tak ada lagi? Apa yang bisa dikerjakan khalifah jika ummat yang dipimpinnya tewas semua? [3:169]
1096 – serangan salib pertama diberangkatkan untuk merebut Yerusalem. Pada 1099 pasukan di bawah Gottfried von Bouillon merebut Yerusalem. Mereka mendirikan negara-negara salib, yakni negara-negara boneka di wilayah-wilayah yang diduduki tentara salib.
Namun karena kelemahan Byzantium dan perpecahan di kalangan muslim sendiri, negara-negara boneka ini berkembang sebagai negara-negara latin yang feodalistis dan tirani, di mana seluruh penduduk yahudi dan muslim dihabisi.
Pada serangan salib kedua (1147-1149) pasukan salib berusaha merebut wilayah-wilayah di sepanjang pantai laut tengah, baik yang dikuasai muslim maupun bukan, seperti misalnya wilayah Athena, Korinthia dan beberapa pulau-pulau Yunani. Ini menunjukkan bahwa serangan salib sebenarnya tidak spesifik ditujukan hanya kepada ummat Islam, karena memang kekufuran sebenarnya musuh seluruh manusia – hanya saja ummat Islam adalah penghalang terbesar bagi kekufuran itu.
Serangan salib ketiga (1189-1192) terjadi setelah Sholahuddin al Ayubi berhasil mempersatukan kembali wilayah-wilayah Islam di Mesir dan Syria. Pada 1171 Sholahuddin berhasil menyingkirkan kekuasaan Fathimiyah di Mesir yang merupakan separatisme dari Khilafah di Bagdad, dan mendirikan pemerintahan Ayubiah yang loyal kepada Khalifah. Pada 1187 al-Ayubi berhasil merebut kembali Yerusalem. Serangan salib ketiga ini dipimpin oleh tokoh-tokoh Eropa yang paling terkenal: Friedrich I Barbarosa dari Jerman, Richard I Lionheart dari Inggris dan Phillip II dari Perancis. Namun di antara mereka ini sendiri terjadi perselisihan dan persaingan yang tidak sehat, sehingga Friedrich mati tenggelam, Richard tertawan (akhirnya dibebaskan setelah memberi tebusan yang mahal), sedang Phillip bergegas kembali ke Perancis untuk merebut Inggris justru selama Richard tertawan.
Serangan salib keempat (1202-1204) terjadi ketika pasukan salib dari Eropa Barat ingin mendirikan kerajaan Norman (Eropa Barat) di atas puing-puing Yunani. Paus Innocentius III menyatakan pasukan salib telah murtad (excommuned). Di Konstantinopel permintaan-permintaan tentara salib menimbulkan perlawanan rakyat, yang dibalas tentara salib dengan membakar kota itu serta mendudukkan kaisar latin serta padri latin. Sebelumnya, kaisar dan padri Konstantinopel selalu yunani. Tahun 1212, ribuan pemuda Perancis diberangkatkan dengan kapal untuk bergabung dengan pasukan salib, namun oleh kapten kapal mereka justru dijual sebagai budak ke Afrika Utara! Reputasi pasukan salib dan respek atasnya sudah semakin pudar.
Serangan salib kelima (1218-1221) diumumkan oleh Paus Innocentius dan Konzil Lateran IV, yang juga menetapkan undang-undang inquisisi dan berbagai aturan anti yahudi. Untuk mendapatkan kembali kontrol atas pasukan salib, jabatan raja Yerusalem digantikan oleh wakil Paus. Jabatan “raja Yerusalem” ini hanyalah “formalitas idealis”, tanpa kekuasaan sesungguhnya, karena de facto Yerusalem telah direbut kembali oleh al-Ayubi.
Serangan salib keenam (1228-1229) dipimpin oleh kaisar Jerman Freidrich II. Sebagai “orang yang dimurtadkan” (excommuned) dia berhasil merebut kembali Jerusalem. Paus terpaksa mengakui dia sebagai raja Yerusalem. Sepuluh tahun kemudian Yerusalem berhasil direbut kembali oleh kaum muslimin.
Serangan salib ketujuh (1248-1254) dipimpin oleh IX dari Perancis yang telah dinobatkan sebagai “orang suci” oleh Paus Bonifatius VIII. Meski di negerinya Ludwig dikenal sebagai penegak hukum yang baik, namun ia memimpin sebuah organisasi yang amburadul sehingga justru tertangkap di Mesir.
Di bawah Paus Gregorius X (1274) dan juga setelah jatuhnya Konstantinopel (1453), perang salib pernah diserukan kembali, namun tak pernah dimulai. Sejak perang salib keempat, perang ini sudah jatuh popularitasnya.
Sementara itu, tanpa di bawah lambang pasukan salib, pada 1236 Cordoba pusat Daulah Islam di Andalusia direbut kembali oleh pasukan Katolik Kastilia. Pada 1258 Bagdad – pusat Khilafah – dihancurkan oleh Mongol-Tartar. Kedua serangan ini juga punya akibat yang sangat fatal pada sejarah ummat Islam selanjutnya.
Bagi Eropa, hasil positif perang salib yang utama adalah motivasi yang dalam banyak hal ikut memajukan Eropa. Ini karena perang salib mempertemukan bangsa Eropa dengan peradaban yang lebih tinggi [6:39].
Efek negatifnya adalah secara teologis Eropa makin terpolarisasi. Dunia Kristen Barat makin membentengi diri dan bersikap memusuhi terhadap segala yang berasal dari luar. Dan ini berjalan hingga abad 20. Mentalitas perang salib ini juga pernah digunakan beberapa penguasa Barat untuk menekan kaum protestan. Dan pada Perang Dunia II, Hitler memotivasi pasukannya dalam melawan Rusia sebagai “Perang salib melawan Atheisme”.
Oleh karena itu, bila George W. Bush “kelepasan” menyebut-nyebut perang salib demi minyak, senjata dan ideologi kapitalisme, hal itu tak perlu mengherankan lagi.
Al-Wakil menuliskan bahwa sebab-sebab yang mendorong orang-orang Kristen terjun ke medan perang bertahun-tahun adalah [3:165]:
1. Penyebab utama perang salib adalah kedengkian orang-orang Kristen kepada Islam dan umatnya. Ummat Islam berhasil merebut wilayah-wilayah strategis yang sebelumnya mereka kuasai (terutama di Timur Tengah). Mereka menunggu kesempatan yang tepat untuk meraih apa yang hilang dari tangannya, balas dendam terhadap ummat yang mengalahkannya. Kesempatan itu datang ketika ummat Islam lemah dan kehilangan jati dirinya yang kuat yang sebelumnya meredam perpecahan dan menyatukan langkah. Para tokoh agamawan Kristen bangkit menyerukan pembersihan tanah-tanah suci di Palestina dari tangan-tangan kaum muslimin dan membangun gereja dan pemerintahan Eropa di dunia Timur. Perang mereka dinamakan perang salib karena tentara-tentara Kristen menjadikan salib sebagai simbol obsesi suci mereka dan meletakkannya di pundak masing-masing.
2. Perasaan keagamaan yang kuat. Orang-orang Kristen meyakini kekuatan gereja dan kemampuannya untuk menghapus dosa walau setinggi langit.
3. Perlakuan in-toleran orang-orang Saljuk terhadap orang-orang Kristen dan para peziarah Kristen yang menuju Yerusalem. Orang-orang Saljuk adalah penguasa wilayah Turki yang relatif belum lama memeluk Islam dan belum begitu memahami syariat Islam dalam memperlakukan agama lain.
4. Ambisi Sri Paus yang ingin menggabungkan gereja Timur (ortodoks) dengan gereja Katolik Roma. Paus ingin menjadikan dunia Kristen seluruhnya menjadi satu negara agama yang dipimpin langsung Sri Paus.
5. Kegemaran tokoh-tokoh dan tentara Kristen untuk berpetualang ke negara lain dan mendirikan pemerintahan boneka di sana.
Bagi para pemimpin Kristen, kondisi waktu itu sangat tepat untuk memulai serangan ke dunia Islam, karena:
1. Ada kelemahan dinasti Saljuk, sehingga “front” terdepan dunia Islam terpecah belah.
2. Tidak adanya orang kuat yang menyatukan perpecahan ummat Islam. Khilafah de facto terbagi sedikitnya menjadi tiga negara: Abbasiyah di Bagdad, Umayah di Cordoba dan Fathimiyah di Kairo.
3. Beberapa kabilah pesisir telah masuk agama Kristen seperti Genoa dan Venezia, dan ini memuluskan jalan antara Eropa dan negara-negara Timur.
4. Kemenangan Sri Paus atas raja sehingga Sri Paus memiliki kekuatan mengendalikan para raja dan gubernur di Eropa.
Dampak perang salib
Bangsa Eropa belajar berbagai disiplin ilmu yang saat itu berkembang di dunia Islam lalu mengarangnya dalam buku-buku yang bagi dunia Barat tetap terasa mencerahkan. Mereka juga mentransfer industri dan teknologi konstruksi dari kaum muslimin, sehingga pasca perang salib terjadi pembangunan yang besar-besaran di Eropa. Gustav Lebon berkata: “Jika dikaji hasil perang salib dengan lebih mendalam, maka didapati banyak hal yang sangat positif dan urgen. Interaksi bangsa Eropa selama dua abad masa keberadaan pasukan salib di dunia Islam boleh dikatakan faktor dominan terhadap kemajuan peradaban di Eropa. Perang salib membuahkan hasil gemilang yang tak pernah mereka bayangkan sebelumnya.”
Lalu apa yang didapat oleh kaum muslimin? Tidak ada. Ummat Islam tak bisa mengambil apa-apa dari satu pasukan yang bermoral bejat[ii], yang sebagian besar berasal dari para penganggur dan penjahat. Perang salib menghabiskan assset ummat baik harta benda maupun putra-putra terbaik. Kemiskinan terjadi karena seluruh kekayaan negara dialokasikan untuk perang. Dekadensi moral terjadi karena perang memakan habis orang laki-laki dan pemuda. Kemunduran ilmu pengetahuan terjadi karena ummat menghabiskan seluruh waktunya untuk memikirkan perang sehingga para ulama tidak punya waktu untuk mengadakan penemuan-penemuan dan karya-karya baru kecuali yang berhubungan dengan dunia perang.
Perang salib merupakan salah satu titik balik dari sejarah keemasan ummat Islam. Perang salib yang melelahkan telah ikut berkontribusi atas proses hancurnya Khilafah Abbasiyah, sehingga serangan Tartar atas Bagdad pada 1258 hanya sekedar finalisasi dari proses tersebut.
Dengan melihat fakta-fakta serta analisis di atas, tampak bahwa dari sisi kaum muslimin perang salib – apapun motif sesungguhnya – selalu hanya berdampak negatif. Namun demikian, jangankan bila diserang, ummat Islam memang harus memikul amanah Qur’an untuk melawan fitnah (kekufuran) dan kezaliman. Dan kapitalisme pimpinan Amerika Serikat adalah bentuk termodern dari kekufuran dan kezaliman itu. Sedang Israel di Palestina adalah front terdepan perang tersebut.
Dari sisi orang-orang Barat, istilah perang salib dihadapi dengan beragam. Pada masyarakat Barat yang sekuler, motivasi religius seperti pada abad 11-13 sudah tak ada lagi. Istilah itu hanya dilontarkan sebagai “penyatu opini” bahwa mereka sama-sama terancam oleh Islam (maka dibuat skenario serangan teror 911 atas WTC), seakan-akan perang salib dimulai oleh kaum muslimin, dan secara militer ummat Islam memang masih memiliki kekuatan yang mampu menggoyang kedigdayaan Barat.
Faktanya, dari sisi manapun, ekonomi, teknologi, militer, ummat Islam sekarang ini berbeda dengan ummat Islam abad 11-13, yang masih memiliki khilafah yang berfungsi baik, serta ekonomi dan teknologi yang lebih maju dari Barat.
Faktanya, sekarang dunia Islam terpecah dalam puluhan negara, yang kesemuanya dipimpin oleh para diktator yang membebek pada Barat. Mereka tergantung pada ekonomi dan teknologi Barat. Sedang rakyatnya hidup dengan berorientasi pada budaya Barat dan gandrung mengkonsumsi produk industri Barat.
Kalau demikian apa yang dicemaskan Barat?
Kebobrokan sistem kapitalisme telah nyata, baik berupa kerusakan lingkungan, pemiskinan di dunia ketiga maupun disorientasi kehidupan pada masyarakat Barat sendiri, yang di antaranya tercermin dari peningkatan penggunaan narkoba dan angka bunuh diri. Orang jelata di Barat akhirnya merasakan sesuatu yang tidak benar dan tidak adil pada sistem yang diterapkan atas mereka. Mereka menyadari bahwa sistem itu hanya menguntungkan segelintir kecil elit mereka, yakni para kapitalis serta politisi yang merealisasi tujuan para kapitalis itu secara sah.
Dan tidak ada lagi di dunia ini yang bisa membendung laju kapitalisme seperti itu di Barat. Sampai akhirnya, di dunia Islam muncul gerakan-gerakan Islam yang melawan kekufuran kapitalisme itu, baik karena dorongan aqidah, maupun karena kesumpekan hidup akibat praktek kapitalisme di negeri-negeri Islam.
Karena itu, yang dicemaskan Barat, atau secara spesifik: yang dicemaskan para kapitalis Barat, tak lain adalah geliat gerakan-gerakan Islam.
Rupanya, meski puluhan tahun sudah khilafah dibubarkan dan sistem kapitalisme diterapkan di dunia Islam, namun selama ummat Islam ini masih ada, dan selama akses kepada sumber-sumber Islam masih dibuka, selama itu pula masih akan bermunculan orang-orang dari ummat Islam ini yang menggeliat untuk bangkit melawan kekufuran, karena kekufuran adalah musuh abadi Islam sejak para nabi.
Sejarah menunjukkan, perang salib-pun akhirnya dimenangkan oleh kaum muslimin, setelah tentara salib berkuasa hampir dua abad. Bagdad-pun demikian, setelah dihancurkan Tartar, akhirnya bangkit kembali. Ini karena ummat Islam masih ada dan dakwah masih berjalan. Berbeda dengan Andalusia, yang ketika inquisisi seluruh muslim dihabisi, sehingga sampai sekarang praktis wilayah itu tidak pernah menjadi muslim kembali.
Karena itu, seandainya perang salib terjadi lagi, maka model yang paling masuk akal adalah model inquisisi. Ummat Islam akan dihabisi, sebab tidak cukup menjadikan mereka sekuler, yang masih berpotensi untuk bangkit kembali.
Untuk itu ditempuh strategi penghancuran dakwah dan penghancuran ummat. Dakwah digilas dengan isu terorisme. Harakah-harakah dakwah yang paling ideologis diserang lebih dulu, walaupun pada akhirnya, yang paling moderatpun akan digilas juga, sebagaimana pengalaman di Bosnia. Sedang penghancuran ummat dilakukan dengan penguasaan total sumber-sumber ekonomi. Maka penguasa manapun yang sulit diajak “kerjasama” akan dihabisi untuk digantikan dengan agen-agen mereka. Beserta tentara dan rakyat yang mendukungnya.
Di sisi lain, kekuatan kapitalisme dioptimalkan untuk membiayai penyesatan opini via media massa, mengorbitkan intelektual yang mendukung mereka (seperti JIL), membiayai partai politik yang sejalan dengannya, melobby penguasa atau tokoh masyarakat agar lunak terhadap mereka, membayar demonstrasi yang mengusung agenda-agenda mereka – sadar ataupun tidak, dan bila perlu membiayai aksi-aksi teroris yang dipandang bermanfaat untuk kepentingannya – baik sadar ataupun tidak bahwa mereka dimanfaatkan.
Menjawab konspirasi ini, tak ada jalan lain bagi harakah-harakah Islam selain lebih merapatkan barisan agar mendapatkan energi yang cukup untuk secepatnya menegakkan kembali Khilafah Islamiyah, karena hanya institusi ini yang akan sanggup menahan “perang salib” tersebut bahkan membalikkannya menjadi jihad fii sabilillah, untuk membuka Roma, sebagaimana nubuwaah Rasul.
Referensi:
[1] Imam AS-SUYUTHI (1498): Tarikh Khulafa’. (penerjemah: Samson Rahman). Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2001.
[2] IBNU KHALDUN (1332–1406): Muqaddimah. (penerjemah: Ahmadie Thoha). Jakarta, Pustaka Firdaus, 2000.
[3] Muhammad Sayyid AL-WAKIL (1989): Wajah Dunia Islam dari Dinasti Umayyah hingga Imperialisme Modern. (penerjemah: Fadhli Bahri). Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1998.
[4] Cyril GLASSE: Enskilopedi Islam Ringkas. Jakarta, RajaGrafindo Persada, 1999.
[5] Gerhard KONZELMANN (1988): Die Islamische Herausforderung. 5. Aufl. dtv, 1991.
[6] Franklin H. LITTELL (1976): Atlas zur Geschichte des Christentums (The Macmillan Atlas History of Christianity). New York: Macmillan Publishing Co.; Deutsche Ausgabe – Brockhaus Verlag, 1989.
[7] Werner STEIN (1979): Der grosse Kulturfahr-plan. Berlin: Herbig, 1979.
[i] Ibnu Katsir (dalam [3]: 167) berkata bahwa pasukan Armanus Raja Romawi terdiri dari 35.000 Batrix, dan tiap Batrix mengepalai 200.000 personil kavaleri. Artinya, tujuh milyar personil!. Tampak angka ini terlalu dilebih-lebihkan oleh sumber Ibnu Katsir.
[ii]Pada tentara salib bahkan terdapat suatu “corps pelacur” dari Perancis khusus untuk menghibur pasukan salib yang berbulan-bulan jauh dari keluarga.
Dr. Fahmi Amhar
Dosen Pascasarjana Universitas Paramadina
Dalam sejarah dunia yang panjang, tidak banyak negara-negara yang berhasil membentuk diri menjadi negara kuat yang menguasai wilayah yang luas (minimal pada 10 bangsa / etnis yang berbeda), pada masa yang cukup lama (minimal 10 generasi atau sekitar 300 tahun) serta meninggalkan jejak peradaban yang signifikan, yang terasa sampai saat ini.
Hingga abad-15 M, mungkin hanya tiga negara seperti itu, yaitu Imperium Romanum (Romawi) yang berkuasa dari kira-kira Abad ke-7 SM hingga abad 15 M di seluruh Eropa dan Afrika Utara, lalu imperium Persia dari masa Cyrus (abad 10 SM) hingga abad 8 M dan membentang di wilayah Irak sekarang hingga sebagian India dan Asia Tengah, dan Imperium Islam (abad 8 M hingga 17 M) dan membentang dari Maroko di tepi Atlantik hingga Merauke di Nusantara.
Selain mereka ada juga beberapa negara besar, misalnya Mesir dan Cina. Kerajaan Mesir Firaun bertahan hampir 4000 tahun, namun meski meninggalkan jejak peradaban yang luar biasa (piramid dsb), luas kekuasaannya terbentang hanya di sekitar sungai Nil saja. Demikian juga kerajaan Cina yang meski wilayahnya sangat luas namun tidak mencakup variasi etnis yang seheterogen seperti halnya Romawi, Persia dan Islam. Cina juga tercatat berkali-kali dijajah oleh orang-orang Tartar / Mongol. Bangsa Tartar ini juga meski tercatat pernah menguasai hampir separoh dunia (dari Polandia sampai Cina), namun selain tidak meninggalkan jejak peradaban yang berarti, kekuasaanya juga tidak lebih dari tiga generasi.
Sedang setelah abad-15, keseimbangan dunia mulai berubah. Sejak abad-15, muncul berbagai imperium baru. Sejarah mencatat imperium Austria (Habsburg) yang pernah menguasai sebagian besar Eropa melalui politik peperangan maupun pernikahan. Kebesaran imperium Austria terlihat dari aliran seni arsitektur dan musik yang banyak ditemukan di se-antero Eropa. Kemudian imperium Portugis dan Spanyol yang pernah menguasai banyak wilayah di Amerika Latin, Afrika, sebagian India hingga beberapa pulau di Nusantara selama beberapa abad, hingga sekarang ini bahasa Spanyol dan Portugis masih bertahan sebagai bahasa resmi di PBB. Kemudian mereka tergantikan oleh imperium Inggris dan Perancis yang juga memiliki jajahan di seluruh dunia, dan bahasanya juga masih dipakai di mana-mana. Dan setelah perang dunia kedua, posisi mereka tergantikan oleh Amerika Serikat dan Uni Soviet. Kini setelah perang dingin berakhir, tinggal Amerika yang aktif sebagai imperium tunggal. Wilayah cengkeraman kekuasaanya praktis ada di seluruh dunia, setidaknya secara tidak langsung melalui badan-badan dunia (PBB, WTO, IMF, …). Meski Amerika Serikat baru berusia 230 tahun, tapi jejak peradabannya sudah melebihi imperium Romawi.
Terbentuknya suatu kekuasaan yang kemudian dicatat sejarah sebagai suatu “imperium” tidaklah terjadi tiba-tiba. Paul Kennedy dalam “The Rise and Fall of Great Powers” berteori bahwa faktor-faktor ekonomilah yang menjadikan sebuah negara semakin penting, sehingga kemudian menjadi lebih kuat dari negara lain. Yang dimaksud faktor ekonomi adalah sinergi antara posisi geopolitis, sumber daya alam, tingkat teknologi penduduknya, kekuatan struktur politiknya dan semua ini akan berperan pada ketahanan militer negara itu.
Fakta, semua negara yang pernah menjadi imperium, memiliki semua yang dibutuhkan itu. Pertanyaannya adalah, mengapa ada masa-masa pasang surut, ketika meski suatu negara masih memiliki semuanya, namun dia tidak lagi menjadi penting di kancah dunia. Sebagai contoh, Russia sebagai penerus Uni Soviet, masih memiliki semua yang dipunyai Uni Soviet. Dia masih memiliki wilayah yang luas, dari batas Skandinavia hingga batas Korea; sumber alamnya masih sama, teknologinya masih teknologi Soviet yang mampu membuat bom atom dan pesawat luar angkasa, struktur politiknya mestinya lebih kuat karena lebih demokratis, dan empat juta tentaranya dengan minimal 10000 kepala nuklir masih merupakan kekuatan yang mampu menghancurkan seluruh dunia. Namun kini Russia bukan lagi imperium. Dia sudah kehilangan hampir semua negara satelitnya. Bahkan politik ekonominya sudah dikendalikan oleh AS lewat WTO.
Jadi apa sesungguhnya yang membentuk imperium?
Alvin Toffler dalam “The Future Shock” menjelaskan bahwa pengaruh dan kepemimpinan, baik dalam skala kecil maupun skala imperium, bisa timbul oleh tiga hal:
1. muscle – pengaruh yang ditimbulkan oleh kekuatan fisik (militer). Artinya bangsa atau negara yang yang di bawah pengaruhnya, bisa dikuasai karena dipaksa, karena takut, atau karena meminta perlindungan. Inilah pada umumnya imperium Romanum, Persia dan juga negara-negara yang terjajah oleh negara kapitalis di abad pertengahan.
2. money – pengaruh yang ditimbulkan oleh kekuatan ekonomi, termasuk sumberdaya alam. Artinya bangsa atau negara yang yang di bawah pengaruhnya bisa dikuasai karena mendapat kompensasi ekonomi (hutang, investasi, akses sumber alam, akses produk, akses pasar). Inilah yang terjadi di abad-20 dengan Uni Soviet dan AS. Di masa komunis, negara-negara Eropa Timur merasa perlu bergabung dengan Uni Soviet karena akses kepada minyak dan gas Soviet – yang tidak perlu dibeli dengan $ di pasar bebas, tapi cukup dibarter dengan gula atau buah-buahan.
3. mind – pengaruh yang ditimbulkan oleh kekuatan pemikiran, termasuk gaya hidup dan teknologi. Artinya bangsa atau negara yang di bawah pengaruhnya bisa dikuasai karena pemikiran yang diembannya. Pemikiran yang merasuki itulah yang membuat mereka mau dipimpin oleh sang imperior.
Menurut Toffler, model kepemimpinan yang ketiga inilah yang paling tinggi mutunya. Meski beberapa imperium terbukti saat ini memiliki ketiga-tiganya, Namun dilihat dari sejarahnya, selalu dapat dimengerti bahwa semua bermula dari pemikiran. Setelah ada pemikiran, maka kekuatan ekonomi dapat dibangun dan dipertahankan lebih lama. Dengan kekuatan ekonomi ini maka kekuatan fisik dapat dibiayai lebih lama.
Tanpa kekuatan pemikiran, maka kekuatan ekonomi mudah dibuat loyo, dan tanpa kekuatan ekonomi, kekuatan fisik hanya bisa dipertahankan sebentar.
Dalam sejarah dapat dilihat bahwa tidak ada imperium yang dapat bertahan dengan penguasa yang bersikap absolut dan monolitik (diktator). Imperium Romanum pun memiliki senat yang selalu diajaknya berdiskusi dan bahkan diandalkan keputusannya dalam persoalan-persoalan negara yang pelik. Bagaimanapun pemimpin kalau ingin terus didukung, dia tidak bisa begitu saja melupakan para pendukung politiknya. Tentu saja, pada rakyat perseorangan di masa itu tetap akan ada keputusan-keputusan yang akan dinilai oleh kita sekarang sebagai sangat otoriter. Namun secara makro, itu tidak akan terjadi bila tidak didukung (minimal didiamkan) oleh konstruksi sosial politik yang ada.
Jadi, bagaimana keputusan politik diambil, sesungguhnya tidak tergantung pada apakah negara itu berbentuk kerajaan dengan raja yang turun temurun atau oleh presiden yang dipilih setiap lima tahun.
Sistem khilafah per default adalah negara yang tidak otoriter. Dalam berbagai aspek hukum, hukum ditentukan oleh syara’, tidak oleh kehendak Khalifah. Sedang dalam persoalan lain, khalifah wajib bermusyawarah dengan ahlu halli wa aqdi (Majlis Ummah).
Kalaupun kemudian terkesan khilafah berasal dari satu dinasti, maka itulah kenyataan praktis yang terjadi. Bagaimanapun, anak-anak seorang khalifah relatif memiliki kesempatan belajar politik lebih baik dari orang-orang lain. Dia akan lebih banyak mengenal para tokoh, lebih sering belajar dari orang-orang yang paling alim, dan mungkin juga lebih luas aksesnya kepada media massa. Walhasil ketika ada pemilihan khalifah baru, dia memiliki posisi start yang jauh lebih baik dari semua kandidat lain.
Dan berbeda dengan kerajaan, dalam sistem khilafah tidak ada putera mahkota yang harus jadi dalam keadaan apapun. Tidak seperti di Cina, yang sejarah mencatat seorang kaisar Pu Yi yang baru berumur 3 tahun, dan akhirnya disetir habis-habisan oleh Perdana Menterinya yang korup.
Peralihan imperium Romanum dan Persia ke imperium Islam terjadi dalam proses dakwah. Persia jauh lebih cepat tunduk di bawah kekuasaan Islam karena imperium ini dikenal sangat korup dan kejam kepada rakyatnya. Islam diterima rakyat sebagai ajaran yang memerdekakan manusia dari perbudakan sesama ke penghambaan kepada Allah saja. Dan ketika dakwah Islam dihalangi secara fisik, rakyat Persia sendiri yang turut membantu pasukan jihad, sehingga tak sampai seabad setelah Nabi wafat, Persia sudah seutuhnya di bawah naungan Islam.
Adapun transisi Romawi ke dalam Islam memakan proses hampir 800 tahun. Daerah jajahan terdepan Romawi di Syams dapat dibebaskan pada masa Umar bin Khattab. Namun ibu kota Konstantinopel baru bisa dibebaskan oleh Muhammad al-Fatih tahun 1453. Kuncinya memang dakwah dan pemikiran. Pemikiran yang merasuki para mujahidin Islam dan rakyat yang akan dibebaskan.
Transisi imperium Islam ke imperium kafir di abad 17 hingga sekarang, juga berangsur perlahan, dimulai dari masuknya pemikiran asing ke tubuh kaum muslimin dan khilafah. Khilafah baru benar-benar dibubarkan tahun 1924, namun sebelumnya dia sudah seperti digerogoti kanker yang kronis selama lebih dari dua abad.
Hasil karya imperium Islam sangat berbeda baik dengan sebelumnya (Romawi/Persia) maupun sesudahnya (AS, Inggris, Perancis, dll.).
Imperium Islam tidak pernah merendahkan etnis manusia yang di bawahnya, sehingga tidak pernah menimbulkan kebencian kepada negara yang membawanya, hingga sekarang. Kalaupun di suatu masa pernah ada kebencian Arab atas Turki, maka itu tidak lain adalah hasil provokasi calon penjajah atau imperium baru.
Imperium Islam tidak pernah menjarah sumberdaya alam dari negeri yang dikuasainya (seraya memiskinkannya), justru malah sebaliknya, terkadang mereka mensupply negeri manapun (termasuk yang tidak dikuasainya) yang kekurangan atau mengalami musibah.
Imperium Islam tidak pernah menimbulkan bencana lingkungan atau sosial yang serius. Imperium Amerika sekarang ini menimbulkan situasi lingkungan global yang sangat parah (AS yang paling besar mengkonsumsi BBM dan otomatis memproduksi limbah / polutan justru sampai kini menolak meratifikasi protokol Kyoto yang membatasi gas rumah kaca); serta kesenjangan yang makin meluas antara negara-negara kaya (di “utara”) dan negara-negara miskin di “selatan”.
Hasil peradaban Islam juga menunjukkan bahwa mereka peduli kepada karya-karya yang tidak sekedar memiliki nilai material, intelektual dan emosional, namun juga memperhatikan nilai spiritual, sehingga manusia dari kalangan apapun merasa lebih dimanusiawikan, karena merasa dekat dengan Sang Penciptanya. Ini yang jarang ditemukan dari karya-karya imperium yang lain.
Sejarah mencatat setidaknya tiga imperium Islam besar, yaitu dinasti Umayyah, Abbasiyah dan Utsmaniyah. Bagaimana sesungguhnya periodisasi ini muncul dan bagaimana keadaan sesungguhnya di masa itu?
Sesungguhnya para ahli sejarahlah yang membagi masa panjang imperium Islam dalam tiga kurun ini.
Imperium Umayyah muncul setelah Muawiyah menerima pengalihan bai’at dari Hasan bin Ali pada tahun 661 M, namun kemudian Muawiyah melakukan bid’ah – dengan meniru model suksesi Romawi dan Persia, yakni mencalonkan putranya, Yazid, sebagai penggantinya, dan memaksa ummat untuk berbaiat pada putranya, semasa Muawiyah masih hidup.
Namun demikian, bid’ah dalam suksesi ini tidak lantas membuat imperium Islam melemah dan hancur. Justru di masa ini ilmu-ilmu hadits, fiqh maupun sains mulai tumbuh dan kemudian berkembang pesat. Wilayah kekuasaan Islam meluas hingga Maroko dan Andalusia di sebelah barat, sampai tepi sungai Indus di timur.
Sebenarnyalah, bid’ah putra mahkota ini tidak berjalan mulus. Ada beberapa khalifah pengganti yang bukan anggota keluarga dekat khalifah sebelumnya. Karena itulah, para sejarawan menyebut “Bani Umayyah” sebagai nama dinasti ini – diambil dari nama kakek buyut Muawiyah. Muawiyah adalah anak Abu Sofyan bin Harb bin Umayyah bin Abdus Syam bin Abdul Manaf. Abdus Syam adalah saudara Hasyim. Sementara itu Rasulullah adalah anak Abdullah bin Abdul Munthollib bin Hasyim. Jadi, konklusi nama dinasti ini dilakukan belakangan. Andaikata seluruh khalifah pada periode ini hanya keturunan Muawiyah – tentu namanya ”Bani Muawiyah” – dan itu tidak terjadi.
Periode pertama ini berakhir ketika terjadi Revolusi Abbasiyah pada tahun 750 M. Ketika itu kezaliman khalifah Marwan II (744-750) sudah tidak tertanggungkan lagi. Namun sebenarnya, tidak semua khalifah dinasti ini seperti itu. Khalifah Umar bin Abdul Aziz (717-720) dapat dianggap sebagai khalifah yang sangat sukses dan dicintai rakyat, bahkan sering dijuluki Khulafaur Rasyidin ke-5.
Hampir semua sejarahwan pada masa lalu maupun kini hanya tertarik untuk menulis aspek politik / pemerintahan, tak terkecuali dari Imperium Umayyah ini. Maka salah satu yang dianggap menonjol (“bernilai sejarah”) dari era ini adalah permusuhan yang mendalam kepada kelompok Syiah. Di belakang hari hal ini menimbulkan dendam di kalangan syiah, sehingga menutup seluruh prestasi Imperium Umayyah, bahkan juga era Khulafaur Rasyidin.
Di era Imperium Abbasiyah, situasi politik jauh lebih baik. Terjadi rekonsiliasi besar-besaran untuk berbagai kalangan yang selama masa Umayyah berseberangan dengan elit penguasa – terutama dengan Syiah. Tak heran bahwa perkembangan fiqih maupun sains lebih hebat lagi di masa ini, walaupun ada era di mana ada pemaksaan atas suatu pendapat yang diadopsi oleh negara – seperti di zaman Al-Makmun, di mana negara mewajibkan orang untuk meyakini bahwa Qur’an itu mahluk – sehingga sejumlah ulama yang meyakini bahwa Qur’an adalah Kalamullah kemudian dipenjarakan.
Wilayah kekuasaan juga tumbuh lebih pesat lagi pada awalnya, walaupun kemudian cukup berat membawa bangsa-bangsa yang kemudian masuk Islam itu pada tingkat pemikiran yang sama. Walhasil, berbagai anasir filsafat Yunani, Persia dan India kuno pelan-pelan mulai merasuk ke dalam tubuh masyarakat Islam.
Menjelang abad 11 M, pengaruh berbagai filsafat ini sudah cukup serius, berpengaruh dalam bentuk berbagai ijtihad yang tidak bermutu yang melemahkan umat Islam. Sementara itu kekurangmampuan penguasa pusat dalam mengurus rakyat di wilayah yang sangat luas ini, menyulut beberapa gerakan separatisme di beberapa tempat. Di Mesir muncul Daulah Fathimiyah – suatu sempalan sesat dari kelompok Syiah. Beberapa sultan (gubernur) di imperium kemudian menutup pintu ijtihad, sebagai upaya mencegah eskalasi gejala ini. Namun hal ini tidak menolong banyak. Lemahnya imperium kemudian memancing datangnya pasukan salib (1096-1187), dan yang lebih fatal adalah pengkhianatan wazir khalifah sehingga Pasukan Tartar (Mongol) sampai ke Bagdad dan membantai lebih dari 2,6 juta penduduknya pada 1258.
Peristiwa pembantaian Tartar itu sekaligus mengakhiri era Abbasiyah di Bagdad. Namun nama dinasti ini – yang diambil dari nama Abbas bin Abdul Muntholib – yang juga mungkin baru dipakai para sejarahwan setelah melihat ginealogi para khalifahnya – masih dipakai hingga tahun 1517. Tiga tahun setelah hancurnya Bagdad, pada 1260, khilafah Abbasiyah diteruskan kembali di Mesir, di bawah perlindungan sultan-sultan Mameluk. Namun khalifah tinggal simbolis saja, sebab yang sesungguhnya berkuasa adalah sultan-sultan Mameluk itu. Walau demikian negara ini masih bertahan hingga hampir tiga abad.
Secara tatanegara, sultan Mameluk di Mesir sesungguhnya hanyalah gubernur di dalam khilafah. Mereka mendapat legitimasi kuat karena berhasil mengalahkan dan mengusir pasukan Tartar pada 1261 di Ain Jalut. Namun di akhir abad 15, popularitas sudah kalah di bawah gubernur Islam yang lain, yaitu para Sultan Turki di Anatolia, yang pada 1453 telah membuka Konstantinopel. Akhirnya, ketika pusat imperium di Mesir tidak bisa dipertahankan lagi, tampuk kepemimpinan imperium berpindah ke dinasti Utsmaniyah di Turki pada 1517.
Dinasti Utsmaniyah diberi nama dari pendirinya yaitu Utsman pada 1299. Imperium ini mencapai legitimasi dunianya setelah mendapatkan perpindahan kekhilafahan dari Abbasiyah di Mesir, meski mereka tidak menggunakan gelar Khalifah sebagaimana sebelumnya. Namun, pada 3 Maret 1924, Inggris tetap menyebut peristiwa pengusiran penguasa terakhir Utsmaniyah sebagai pembubaran khilafah (The Abolish of Caliphate).
Seperti imperium yang lain, imperium Utsmaniyah juga mencapai puncak kejayaannya di abad-abad awalnya. Mereka praktis menjadi adi kuasa dunia yang disegani lawan dan dihormati kawan. Kemunduran baru terjadi pada abad 18, setelah dakwah dan jihad tidak lagi ditekuni dengan serius, sehingga terjadi kemunduran di segala bidang. Bandul sejarah kemudian berubah total ketika di Eropa terjadi revolusi pemikiran, revolusi Perancis (1789) yang disusul dengan revolusi industri di Inggris dan seluruh negeri di Eropa, dan kemudian Amerika Serikat. Akhirnya imperium Utsmaniyah runtuh setelah terseret dalam Perang Dunia I, setelah rakyatnya yang multi-entnis sebelumnya dipecahbelah dengan sentiemen nasionalisme.
Secara umum kehidupan rakyat di seluruh imperium ini relatif lebih baik dari pada dunia di luar khialfah. Inilah yang menyebabkan mereka yang keluar negeri selalu dihormati karena dianggap representasi dari suatu negara yang hebat. Mungkin sama dengan turis dari Jerman yang datang ke negeri muslim saat ini – dianggap hebat, karena berasal dari negeri yang hebat.
Demikian pula ketika para pedagang muslim dari imperium Islam datang ke Nusantara, berduyun-duyun raja-raja Hindu dan Budha menjadikan mereka penasehat, sampai akhirnya di Nusantara bermunculan kesultanan-kesultanan Islam.
Jejak tiga imperium ini masih bisa dilihat hingga sekarang. Masjid Umayyah masih berdiri tegak di Damaskus. Berbagai observatorium bintang yang didirikan khilafah Abbasiyah masih tegak di berbagai tempat di Iran dan Irak – kecuali yang sudah dibom oleh pasukan AS sejak invasi ke Irak tahun 2003. Demikian juga di Turki masih berceceran peninggalan sejarah sebuah imperium besar. Masjid Sultan Ahmet yang menjadi icon Istanbul adalah bukti penguasaan teknologi konstruksi yang sangat hebat ketika itu.
Tentang kehidupan rakyat mereka, dapat dibaca dari laporan-laporan perjalanan musafir barat, seperti catatan Marcopolo (abad 13). Wilayah imperium Islam terkenal dengan kerapihan dan kebersihannya, pelayanannya terhadap orang sakit – sekalipun orang asing, level pendidikannya yang tinggi – padahal bebas biaya. Kehidupan seperti itu terus berjalan berabad-abad tanpa terganggu dengan hiruk pikuk politik. Secara logika juga mustahil berdiri sebuah negara yang kuat, tanpa di dalamnya ada masyarakat yang solid mendukungnya, karena diberikan keadilan dan kesejahteraan.
Ini artinya, fenomena tragedi atas beberapa penguasa (fitnah, pembunuhan) hanya terjadi di kalangan elit, namun siapapun penguasa Islam itu, mereka sangat serius dalam mengurusi rakyatnya.
Di Nusantara, pengaruh tiga imperium ini berjalan berangsur-angsur. Kontak pertama sudah terjadi di zaman Umayyah. Namun kontak yang intensif, hingga penempatan pejabat penting baru terjadi setelah zaman Utsmaniyah, antara lain berupa penempatan seorang laksamana di Aceh (diberi nama “Gubernur Turki”) untuk membantu Aceh menghadapi Portugis di selat Malaka. Faktanya, banyak sekali sultan-sultan di Nusantara yang baru percaya diri setelah mendapat pengakuan dari Syarif Makkah – yakni gubernur Khilafah yang ditugaskan mengurusi kota Makkah. Pada umumnya sultan-sultan itu bertemu dengan Syarif Makkah pada saat ibadah haji.
Memang secara bahasa tidak ada satu negarapun yang diceritakan di atas yang menamakan diri “Negara Islam”? Ngara Islam ada dalam substansi – yakni negara yang hukumnya bersumber dari Kitabullah dan Sunnah Rasul, dan keamanannya semata-mata di tangan kaum muslimin. Negara ini bukan negara bangsa dan juga bukan negara agama. “Negara Islam” adalah terminologi ideologis, seperti kita menyebut “Negara Demokrasi”. Jadi ia bukan nama sebuah negara. Penguasa imperium Islam menyebut dirinya khalifah, amirul mu’minin, atau sultan – karena penggunaan istilah-istilah ini adalah mubah. Dan semuanya menggambarkan bahwa mereka mengemban tugas untuk menerapkan hukum Islam serta menyebarkan dakwah ke seluruh dunia. Di dalam imperium Islam hidup berbagai bangsa (etnis) dan berbagai pemeluk agama dengan damai. Orang-orang Nasrani, Yahudi, Majusi, Hindu, dan kafir lainnya tidak dipaksa masuk Islam, namun mereka didakwahi dengan diberi contoh yang baik, dan diperlakukan adil berdasarkan syariah Islam.
Fakta-fakta ini harus dihidupkan dan diceritakan kepada anak-cucu kaum muslimin, agar mereka sadar, bahwa Islam pernah mengantarkan kepada kemuliaan, dan mereka adalah pewaris-pewaris orang-orang mulia. Kakek-kakek mereka adalah Umar bin Khattab, Harun al Rasyid, al-Mu’tashim Billah, Salahuddin al-Ayyubi, Mehmet al Fatih, Sulaiman al-Qanuni dan sebagainya.
Mereka harus merebut kembali kemuliaan itu dengan membangun kembali penyebab kemuliaan itu. Kemuliaan itu terjadi karena mereka meyakini aqidah Islam, kemudian menerapkan syariah dalam wadah khilafah, kemudian melakukan dakwah dan jihad fi sabilillah.
Pada abad-21 ini, dunia sudah sekarat. Imperium-imperium lain yang menggantikan khilafah terbukti tidak mampu menjadi sumber rahmat bagi seluruh alam. Belum ada tiga abad, tanda-tanda kiamat sudah semakin dekat. Kiamat dalam arti kehancuran ekosistem, kehancuran generasi, dan kehancuran hubungan antar manusia. Karena itu, menjadi tugas sejarah bagi kaum muslimin untuk kembali mengantarkan yang telah dinubuwatkan Rasulullah, “…. Bahwa setelah itu akan ada lagi khilafah yang didirikan sesuai dengan metodeku”.
Dan jika umat Islam meyakini keniscayaan tibanya saat tersebut, sejumlah ilmuwan Barat dengan analisis ilmiahnya menyatakan bahwa munculnya kembali imperium Islam adalah salah satu dari empat kemungkinan yang akan terjadi pada 2020.
Wallahu a’lam.
Makalah ini disiapkan sebagai pengantar untuk Kajian Al-Muhajirin, Cagak – Gunungputri, Bogor. 14 April 2002.
Pendahuluan
Dunia ini penuh masalah. Masalah ini ada yang bersifat internal maupun external, ada yang bersifat lokal maupun global. Banyak orang mengeluhkan “keterasingan dalam keramaian” (masalah internal). Orang juga mengeluhkan berbagai krisis yang ada saat ini: ekonomi yang makin “mencekik”, keamanan yang makin rawan, pendidikan yang amburadul, politik yang korup, dsb. (masalah external). Masalah ini terjadi di Indonesia (Ambon, Poso, Aceh, Papua), di dunia kaum Muslimin (Palestina, Afghanistan, dll), dan juga di dunia (krisis lingkungan hidup global, krisis utara-selatan dsb).
Sering terbersit dalam hati banyak orang, mengapa tidak tersisa rasa “kesetiakawanan” antara elit politik dengan rakyatnya yang menderita, antara para konglomerat dengan orang-orang melarat, antara negeri Islam yang kaya migas (Emirat, Kuwait) dengan yang miskin (Bangladesh, Afghanistan) dan antara negara-negara maju (USA, Eropa, Jepang) dengan negara-negara terbelakang.
Semua “dibiarkan” menghadapi nasibnya sendiri-sendiri. Yang sudah diuntungkan oleh “taqdir”, merasa bukan tugasnya untuk peduli dan berbagi, bahkan merasa bahwa yang kurang beruntung itu tidak berpotensi apa-apa untuk diajak bersama-sama menyongsong masa depan yang lebih cemerlang.
Keadaan seperti ini adalah ciri-ciri keruntuhan suatu peradaban, betapapun besar peradaban itu. Ibnu Khaldun dalam “Muqaddimah”-nya menyimpulkan bahwa era kebesaran peradaban besar seperti Mesir atau Romawi Kuno, bahkan Daulah Abbasiyah, berakhir ketika ikatan semangat kesetiakawananan yang menyatukannya mulai memudar. Penulis modern seperti Paul Kennedy pun menyimpulkan hal yang sama. Benarlah firman Allah:
Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (suatu mentaati Allah) tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, maka sudah sepantasnya berlaku terhadapnya ketentuan Kami, kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya. (Qs. 17:16)
Pertanyaannya sekarang: ikatan kesetiakawanan seperti apa yang bisa mengatasi itu semua? Bagaimana menumbuhkannya dan merawatnya agar tidak memudar dan kemudian dilupakan?
Macam-macam Ukhuwah
Ikatan kesetiakawanan disebut juga “ukhuwah”.
Di dunia dikenal beberapa jenis “ukhuwah”.
Secara alami, manusia akan membuat suatu ikatan dengan manusia-manusia lain yang sering berinteraksi dengannya. Maka tidak heran bahwa ikatan yang terkecil adalah ikatan kekeluargaan. Ikatan ini bisa berkembang menjadi ikatan kesukuan/kebangsaan (ukhuwah ashobiyah).
Ikatan yang lain terjadi karena kesamaan domisili, yang dalam cakupan yang luas menjadi ikatan setanah-air (ukhuwah wathoniyah).
Sering pula suatu ikatan muncul karena kesamaan minat atau kepentingan yang perlu diperjuangkan, sebagaimana tampak dalam banyak perkumpulan dan perserikatan (ukhuwah maslahatiyah).
Dan ada pula ikatan karena kecenderungan spiritual yang sama, tanpa suatu sistem untuk urusan non spiritual (ukhuwah ruhiyah bi ghoiri nizham).
Keempat jenis ukhuwah di atas memiliki cacat yang serius. Mereka bersifat emosional, temporal dan reaktif, sehingga tidak akan proaktif mengantisipasi tantangan yang bersifat global dan jangka panjang.
Bahkan ikatan-ikatan itu memiliki efek samping yang berbahaya. Ukhuwah ashobiyah telah menjadi akar penjajahan dan peperangan antar bangsa, atau setidaknya egoisme / egosentrisme nasional. Dan pada level terbatas ia adalah akar nepotisme (pemanfaatan hubungan kekerabatan untuk melawan hukum).
Ukhuwah wathoniyah telah menyulut tawuran antar kampung atau sekolah. Memang bila suatu negeri diserang dari luar, warga negeri itu akan setiakawan. Namun bila serangan itu hilang, kesetiakawanan itu akan terreduksi ke tingkat yang lebih rendah, bahkan sampai ke kampung atau sekolah.
Ukhuwah maslahatiyah akan hilang bila kepentingan bersama itu tidak aktual lagi. Inilah arti “tidak ada teman abadi, yang ada hanya kepentingan abadi”.
Demikian juga ukhuwah ruhiyah bi ghoiri nizham. Suatu kelompok pemeluk agama tertentu, bisa jadi setiakawan sepanjang menyangkut urusan ritual atau sentimen-sentimen agama. Namun begitu masuk urusan kehidupan bermasyarakat, tiadanya sistem yang mengatur kehidupan bermasyarakat yang plural, membuat ikatan ini tidak produktif. Ini yang membuat bangsa-bangsa Eropa berabad-abad saling berperang meski mereka sama-sama Nasrani, dan demikian juga saat ini di antara negeri-negeri Islam atau partai-partai Islam yang justru centang perenang, bukannya mensinergikan kekuataannya, namun justru saling mengeliminir satu sama lain.
Bila demikian Ukhuwah Islamiyah itu apa?
Ukhuwah Islamiyah Mabda’iyah
Ikatan yang tidak emosional dan mampu menembus batas-batas ruang dan waktu serta tidak sekedar merupakan reaksi sesaat atas suatu kejadian adalah ikatan ideologis (mabda’iyah). Mabda adalah suatu pemikiran yang mendalam dan menyeluruh, yang di atasnya bisa dibangun suatu sistem (nizham) yang lengkap untuk mengatasi berbagai masalah hidup manusia, menjelaskan cara pelaksanaannya dan memelihara serta mengemban ide tersebut.
Islam adalah salah satu mabda’ itu. Dengan demikian ukhuwah Islamiyah adalah ikatan karena mabda’ Islam, karena diterimanya ideologi Islam, karena diterapkannya sistem Islam – dan bukan sekedar ikatan antar pemeluk Islam yang emosional, temporer dan reaktif saja.
Inilah rahasia, mengapa ikatan ini bisa lintas batas. Islam begitu mudah diterima oleh segala bangsa, di segala lokasi, di segala waktu, dan lebih dari itu, ia produktif. Sejarah Islam telah menunjukkan bahwa pada saat ukhuwah ini masih terjaga dengan baik, peradaban emas Islam diemban bersama-sama oleh bangsa-bangsa dari tepi Atlantik sampai perbatasan Cina, dari ujung Kaukasus sampai ujung Sahara, dari yang berkulit putih sampai yang berkulit hitam, dari yang bermata sipit sampai yang berambut pirang. Bahkan tak cuma muslim saja yang bangga menjadi pemanggulnya. Banyak dari tokoh peradaban Islam yang sejatinya adalah non muslim, namun mereka berkarya untuk kemuliaan Islam dan kaum muslimin.
Peradaban Islam ini baru runtuh ketika ukhuwah Islamiyah mabda’iyah digerogoti virus-virus dari ukhuwah jenis lain, yang disebarkan oleh musuh-musuh Islam pada saat tubuh ummat Islam sedang lemah karena kendurnya dakwah dan jihad.
Menanam dan Merawat Ukhuwah
Menumbuhkan Ukhuwah Islamiyah bukanlah hal yang mudah. Ukhuwah tidak bisa dibeli atau dibuat secara instant (biarpun dengan do’a), namun ia harus ditanam hati-hati dengan pemikiran (tsaqafah) Islam yang jernih; lalu dipupuk, disiram dan dijaga dari hama dengan amal-amal Islam yang tulus dalam kerangka sistem Islam.
Dan jika mereka bermaksud hendak menipumu, maka sesungguhnya cukuplah Allah (Pelindungmu). Dialah yang memperkuatmu dengan pertolongan-Nya dan dengan para mu’min. Dan Yang mempersatukan hati mereka. Walaupun kamu membelanjakan (kekayaan) yang ada di bumi, niscaya kamu tidak akan dapat mempersatukan hati mereka, akan tetapi Allah telah mempersatukan hati mereka. Sesungguhnya Dia Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (Qs. 8:62-63)
Contoh pemikiran Islam yang terbukti telah mampu menumbuhkan ukhuwah pada dimensi global adalah semangat egaliter dalam Islam:
Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal (Qs. 49:13)
Sedang contoh amal Islam yang diajarkan untuk merawat ukhuwah dari hari ke hari misalnya:
Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia. (Qs. 41:34)
Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olokkan kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olokkan) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olokkan) dan jangan pula wanita-wanita (mengolok-olokkan) wanita lain (karena) boleh jadi wanita-wanita (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari wanita (yang mengolok-olokkan) dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri dan janganlah kamu panggil memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan ialah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertaubat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim. (Qs. 49:11)
Masih banyak amalan-amalan praktis sehari-hari yang diajarkan Rasulullah yang mampu menanam dan merawat ukhuwah, dan menjadikan manusia merasakan sejuknya ukhuwah Islamiyah. Yang jelas, ukhuwah ini baru akan produktif menjawab segala masalah bila kita jadikan sistem Islam sebagai al-miqyas (tolok ukur) dalam segenap amalan kita, baik yang sifatnya individual maupun sosial.
Wallahu ‘alam bis shawab.
Bacaan Lanjut
Abdullah Nashih Ulwan: Merajut Keping-keping Ukhuwah. CV Ramadhani, 1989.
Fauzy Sanqarith: Taqarrub ilallah thariqut-taufiq. Daarun Nahdlah al Islamiyah, Beirut. 1997.
Ibnu Khaldun: Muqaddimah, Penerjemah: Ahmadie Thoha, Pustaka Firdaus, 2001.
Paul Kennedy: The Rise and Falls of Great Powers. Random House, New York, 1987.
Penulis adalah alumnus Vienna University of Technology, Austria; dan saat ini aktif sebagai Peneliti Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (Bakosurtanal), Cibinong; Aktivis Pusat Studi dan Khazanah Ilmu-ilmu Islam, Bogor; dan Dosen Pascasarjana Universitas Paramadina, Jakarta.