Tulisan ini dipublikasikan di harian KR, Yogya, 12 Juni 2006
Dr.-Ing. Fahmi Amhar
Peneliti Utama Bakosurtanal
Meletusnya Merapi sering dikaitkan dengan suatu mitos. Kiai Dandang Wesi – danyange gunung Merapi – ini nama menurut almarhum SH Mintardja – barangkali sedang hajatan. Dan menurut Mbah Maridjan, orang hajatan tidak akan buang sampah di pekarangan rumah. Makanya dia tenang-tenang saja tinggal di dusunnya. Dia bahkan tidak tertarik untuk diajak Walikota Berlin ke Jerman ikut “ngeruwat” Piala Dunia.
Demikian juga, gempa besar yang meluluhlantakkan Yogya dan Klaten tempo hari, konon karena Nyi Loro Kidul – ratu laut selatan – marah karena RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi mau disahkan. Karena nanti kembenannya yang seksi bisa jadi delik. Ini minimal menurut Permadi, anggota DPR dari PDIP yang tetap berprofesi atau berhobby sebagai paranormal. Versi lainnya mengatakan bahwa Nyi Loro Kidul yang sekarang sudah teremansipasi, jadi tidak mau lagi dimadu oleh Kanjeng Sultan Yogya. Wah-wah, yang namanya mitos bisa liar begini.
Tapi yang lebih liar lagi, beberapa hari yang lalu ada sms dan email yang beredar di seluruh jagad. Bahwa lempeng Indo-Australia sedang bergerak menuju lempeng Eurasia, dan dalam 11 hari setelah 27/5/2006, atau tanggal 6/6 kemarin, akan menumbuknya dan melecut gempa yang lebih besar lagi. Akibatnya beberapa kalangan ragu-ragu untuk beres-beres rumah. Sampai-sampai ada anggota tim yang ditugaskan mendata rumah yang akan dibantu lalu menunda pendataan, sekalian saja kalau gempa besar itu sudah terjadi, pikirnya.
Apa yang terjadi ini semua adalah mitos. Kadang-kadang mitos dibumbui dengan sains. Tentu saja dari orang yang tidak begitu mengerti sains. Karena yang namanya gerak lempeng itu tidak mudah diukur dalam ukuran hari. Kalau lempeng bergerak 10 cm per tahun, artinya per hari kurang dari 0,3 milimeter. Ini suatu dimensi yang bisa diukur untuk benda mikroskopis, tetapi tidak bisa diukur dengan ketelitian yang dibutuhkan untuk ukuran lempeng benua. Lagipula, gempa besar itu bukanlah saat “tumbukan” itu sendiri, tetapi ketika material yang ada di perut bumi sudah tidak sanggup menahan energi desakan lempeng.
Kembali ke masalah mitos. Mbah Maridjan mungkin sedang melakukan doa dan ritual tertentu sesuai keyakinannya. Waktu dulu Yogya terancam badai, ada sesaji dengan 12 atau 17 macam jenang. Ritual semacam ini tentu saja tidak ilmiah, tetapi faktanya sudah dilakukan orang berabad-abad. Pada situasi di mana sains juga tidak banyak menolong, orang biasa lari ke mitos dan klenik. Tidak cuma di Yogya. Di Jepang dan Amerika yang sudah majupun, mitos tetap ada. Hal ini terkait dengan kebutuhan spiritual yang merupakan bagian dari fitrah manusia.
Tetapi ada cerita menarik yang terjadi hampir 14 abad yang lalu. Kalau Yogya terancam gunung Merapi, maka negeri Mesir terancam banjir Sungai Nil atau di musim yang lain kekeringan. Maka Mbah Maridjan-nya negeri Mesir biasa melakukan ruwatan. Dan tak tanggung-tanggung, sesajennya – menurut mitos mereka – harus seorang perawan rupawan, yang setelah dihias akan dilarung hidup-hidup ke sungai Nil.
Ketika Islam masuk ke Mesir, dan ingin melarang orang Mesir meneruskan tradisi itu, mereka menghadapi penolakan. “Kalau tidak diruwat, kalau terjadi bencana gimana …”. Maka Khalifah Umar bin Khaththab lalu menulis sebuah surat.
Bunyi surat itu kira-kira begini, “Wahai Sungai Nil, kalau engkau mengalir karena dirimu sendiri, maka janganlah mengalir. Namun jika yang mengalirkan airmu adalah Allah, maka mintalah kepada-Nya untuk mengalirkanmu kembali”. Umar menyuruh orang Mesir untuk melarung surat itu, sebagai ganti dari perawan rupawan.
Allah Maha Mendengar. Tahun itu sungai Nil tidak membuat bencana. Dan mitos Mesir kuno pelan-pelan tergantikan dengan iman. Dan di zaman keemasan Islam, sains kemudian tumbuh pesat di sana dengan landasan iman.
Oleh sebab itu, mungkin rakyat Yogya – terutama yang muslim – pelu menggantikan segala jenis ruwatan ke Merapi, cukup dengan surat seperti surat Umar bin Khaththab tadi. “Wahai gunung Merapi, kalau engkau meletus karena kehendak Allah, taatlah kepada-Nya …. “.
Karena, bencana yang ditimbulkan Merapi atau Laut Selatan, yang tidak bisa kita cegah, boleh jadi memang kehendak Allah untuk menguji kita. Namanya anak sekolah, kalau mau naik kelas ya harus lulus ujian dulu. Begitu kan?
Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: “Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi? (Qs. 29-al-Ankabut : 2)
Tulisan ini dipublikasikan di Republika, 1 April 2003
Dr. Fahmi Amhar
Dosen Pascasarjana Univ. Paramadina
Perang modern tidak lagi dilakukan secara berhadap-hadapan antara dua pasukan di medan terbuka. Begitu dimulai, perang ini akan lebih banyak dilakukan secara impersonal dengan teknologi, dipersiapkan jauh-jauh hari, dikendalikan dari jarak jauh, dan dilakukan malam hari. Pembantaian dibuat seperti play station, dan sang pembunuh tidak perlu mencium langsung bau anyir darah. Pada pembantaian di Iraq ini, perang sangat teroptimasi dengan teknologi informasi (IT) yang luar biasa.
Jauh sebelumnya, intelijen AS akan memburu data dari semua penjuru. Satelit mata-mata AS membuat citra yang paling rinci yang pernah ada. Kalau satelit sipil seperti Ikonos atau Quickbird hanya mampu membuat citra dengan kehalusan pixel satu atau setengah meter, maka kita harus yakin bahwa satelit mata-mata akan mampu membaca tulisan koran.
Sementara itu shuttle radar topographic mission telah memetakan topografi seluruh dunia dengan pixel lima meter. Ini data yang di-release untuk sipil. Berapa akurasi militer yang dirahasiakan, tidak kita ketahui.
Dengan citra dan topografi ini, AS bisa membuat peta mutakhir daerah manapun tanpa perlu ijin atau sepengetahuan pemerintah manapun. Memang, dari peta ini beberapa ciri bangunan atau nama-nama geografis belum bisa diketahui. Untuk itulah AS akan mengirim spion untuk mengumpulkan informasi objek terutama yang dianggap vital dan tak “terbaca” dari angkasa. Juga tempat-tempat yang diduga berranjau. Mereka akan “berwisata” sambil merekam objek-objek “menarik” dengan piranti sistem posisi global (GPS). Piranti ini begitu mungil, bisa ditaruh dalam jam tangan, atau korek api. Begitu melihat objek menarik, wisatawan gadungan ini akan mengaktifkan GPS, sehingga objek itu terekam beserta posisinya. Kalau spion ini salah, petanya juga salah. Akibatnya fatal. Di Beograd jet AS pernah membom kedubes Cina, yang dikiranya markas Slobodan Milosevic. Di Iraq juga ada apartemen yang disangka mes militer. Malah Saddam sendiri tak diketahui ada di mana.
AS memiliki peta yang lebih rinci dari otoritas nasional manapun di dunia. Dengan data spasial tiga dimensi ini, pilot-pilot AS bisa melakukan simulasi terbang yang sangat realistis atas kota-kota di dunia. Mereka juga bisa optimalkan rute gerak pasukan, baik di darat maupun udara. Model elevasi digital (DEM) yang ada pada sistem ini juga yang menuntun rudal jelajah Tomahawk atau pesawat Stealth ke sasaran dengan efisien, tanpa takut menabrak gunung atau apapun.
Tapi itu semua belum cukup. AS juga ingin informasi tentang orang-orang yang perlu diawasi. Untuk itu intelijen AS menyadap informasi yang lalu lalang via jaringan telekomunikasi (dengan satelit AS), juga data perbankan dan data kartu kredit. Dengan analisis database, maka kebiasaan orang-orang yang disorot dinas rahasia AS bisa diikuti. Ostrovsky (1990) dalam By Way of Deception melukiskan, bahwa dengan analisis database kartu kredit saja, CIA atau Mossad bisa mempelajari penerbangan atau hotel apa yang sering dipakai seseorang, berapa pengeluarannya, apa yang suka dibelinya, siapa yang sering diteleponnya, siapa yang mengirim dana padanya, dan kapan dia ke mana. Tak heran bahwa dinas-dinas rahasia itu punya background & insider information yang sangat rinci tentang tokoh-tokoh di negeri Islam. Mungkin di antara mereka ada yang berbakat jadi pengkhianat.
CIA-World-Fact-Book yang sering jadi referensi, adalah versi sipil dari bank data yang sangat lengkap. Di situ tersimpan data logistik di tiap daerah, yang di masa perang akan penting. Misalnya, bahwa di suatu desa ada sekian penduduk, sekian yang bisa perang, sekian janda (mungkin disiapkan untuk “hiburan” tentara AS), sekian ton pangan, dan sebagainya. Informasi itu penting untuk manuver pasukan, evakuasi, ataupun menduga lokasi musuh dalam perang gerilya. Di Indonesia, data seperti ini dikelola Direktorat Topografi TNI-AD dengan memanfaatkan organnya sampai ke desa, yaitu Babinsa. Bedanya, AS mengumpulkan Laporan Geografi Militer dari seluruh dunia.
Dengan data yang begitu lengkap, AS bisa membangun sistem informasi geografis (GIS) yang luar biasa. Mereka bisa simulasi berbagai skenario perang, berapa korban yang akan jatuh dan kerugian yang ditimbulkan jika suatu senjata canggih seperti gelombang mikro ataupun nuklir digunakan. Mereka juga bisa berhitung tentang “keuntungan” perang dalam jangka panjang.
Andaikata diijinkan dipakai untuk sipil, sistem semacam ini sangat optimal untuk mempelajari pola bencana alam seperti banjir, gempa tsunami atau kebakaran hutan. Kapasitas komputasi sistem ini bisa membantu mengetahui dengan akurat, apa action yang tepat untuk misalnya mencegah banjir Jakarta: apa benar dengan reboisasi Puncak?; dengan kanal banjir senilai 15 Trilyun?; dengan pompanisasi?; dengan pembersihan tepi Ciliwung dari pemukiman liar?; atau apa? Sayang sistem tadi justru dipakai untuk optimasi pembantaian kaum muslimin.
Perangkat ini dilengkapi sistem pakar (expert-system) yang akan membantu pengambilan keputusan. Bisa jadi keputusan kapan perang dimulai, atau suatu rudal diluncurkan, tidak di kepala George Walker Bush, apalagi PBB, melainkan pada sistem pendukung keputusan (decission support system), yang tentu hanya mesin pintar berkapasitas besar, tanpa nurani.
Ketika perang, pasukan di garis depan akan dilengkapi alat GPS-telemetri, inframerah dan telematika. GPS akan memandu ke sasaran. Komando di belakang bisa memantau posisi dan kondisi pasukannya dari laptopnya. Kalau ada prajurit yang terluka atau tertangkap, posisinya langsung bisa diketahui.
Sementara itu alat inframerah berguna untuk melihat di kegelapan. Alat ini bisa mendeteksi manusia, yang tubuhnya memancarkan panas pada spektrum tertentu, meski bersembunyi di balik semak-semak atau dinding dengan ketebalan tertentu.
Mereka juga dilengkapi piranti telematika, yang akan memasok data-data terakhir ke front, baik dari satelit, atau analisis komputer atas data intelijen mutakhir. Agar jaringannya tidak disusupi hacker musuh, maka dilakukan enkripsi cryptografi yang sangat rumit.
Sementara itu senjata yang dipakai pun memiliki kandungan IT yang makin tinggi. Kini ada robot-robot mungil (dragon-runner) yang memiliki kecerdasan buatan (artificial intelligence). Robot ini bisa mengambil keputusan mandiri dan terus mengupdate diri dengan “pengalamannya”. Ia dilengkapi kamera dan sejumlah sensor suara, panas atau bau. Dengan software pengenal pola, maka robot ini bisa mengenali musuh dan secara mandiri menyerangnya.
Sementara itu ada jenis robot lain yang dilengkapi bom dan piranti GPS. Bom itu diprogram untuk hanya meledak di lokasi yang koordinatnya ada pada daftar. Bom ini bisa juga dicurahkan dari “mother bomb” sebagai “bom satelit” atau diluncurkan sebagai ”position guided missile” (PGM).
Jenis senjata lain adalah senjata radio yang bisa merebut kontrol atas piranti elektronik. Pesawat-pun bisa dibajak secara elektronik (electronic hijacked) – hal mana diduga kuat terjadi pada pesawat yang menabrak WTC 11 September 2001. Masih dengan radio adalah gangguan frekuensi (jamming) sehingga seluruh piranti telekomunikasi musuh terganggu.
Namun teknik jamming ini bisa pula digunakan musuh untuk melawan. Kalau ada ahli elektronik muslim yang mampu membuat pemancar yang kuat, bisa jadi pasukan AS yang dipandu GPS akan kehilangan arah, karena sistem GPS-nya ngaco. Karena itu pasukan AS juga dilengkapi sistem navigasi inersia (INS), yang tidak tergantung pada gelombang radio.
Apakah Iraq mampu mengatasi keunggulan IT AS itu? Boro-boro. Jangankan membungkam sistem GPS AS, pasokan listrik saja mungkin sudah byar pet. Dalam perang modern, instalasi listrik dan telekomunikasi adalah objek yang sering dihantam dulu. Iraq bahkan sebelumnya sudah melatih rakyatnya untuk biasa “bekerja seperti di zaman Khalifah Harun Al Rasyid”, tanpa listrik, tanpa komputer, tanpa radio.
Maka di atas kertas, Iraq atau negara manapun yang mencoba “berani” melawan AS sudah akan keok. Meski demikian, dalam perang manapun, yang terpenting bukanlah senjata, tapi “man behind gun” atau bahkan “God behind gun”. Di Vietnam dan Somalia pun AS tak begitu sukses. Jadi kalau Allah menghendaki bisa saja, seluruh sistem IT AS itu ternyata ditanami virus oleh programmernya, yang kesal dengan arogansi Bush. Atau Chief Information Officer (CIO) Pentagon sendiri – sebagai orang yang de facto paling berkuasa atas sistem IT ini – terketuk nuraninya, lalu menembak ke “gawang” sendiri. Atau di lapangan, serdadu AS yang stress pada mabuk, lalu ribut sendiri. Yang jelas, makin canggih teknologi, ia makin rentan, dan “kecerdasan bertahan hidup” (survival quotient) dari pasukan akan turun. Sementara rakyat Iraq yang bertahan dengan ruh jihad siap menghabisi pasukan AS di perang kota. Banyak yang bisa terjadi. Allah juga pernah mengirim burung Ababil untuk menghancurkan pasukan Abrahah.
Kenyataan ini seharusnya membuka mata kita, bahwa untuk melawan negara sekuat Amerika, kaum muslimin tidak bisa mengandalkan Iraq, apalagi yang dipimpin seorang tiran, dan setelah diembargo dan dilucuti. Kaum muslimin memerlukan sebuah negara yang lebih kuat dari Amerika, negara yang mempersatukan seluruh potensi kaum muslimin di dunia. Negara seperti itu adalah Daulah Khilafah, yang pernah meruntuhkan adidaya Persia dan Romawi, namun sayang telah tiada sejak pasca Perang Dunia I. Untuk itulah, respon kita terhadap serangan AS atas Iraq tidak cukup hanya jangka pendek seperti aksi protes, boikot, bantuan kemanusian atau pun qunut nazilah.
Kita harus punya agenda jangka panjang, membangun kembali persatuan ummat Islam sedunia, dalam wadah Daulah Khilafah, karena hanya negara ini yang pernah menjadi adidaya. Dan negara ini pula yang nanti akan mengembangkan teknologi yang lebih kuat berdasarkan syariat, sehingga tak hanya menandingi arogansi AS, tapi bahkan menundukkannya, dan lalu menjadikan teknologi itu sarana mewujudkan keadilan, kemakmuran dan rahmat di seluruh alam.
dipublikasikan di majalah ESQ “Nebula” edisi 03 (Februari 2005)
Tahun lalu, ketika hangat-hangatnya planet Mars pada posisi terdekat dengan bumi, ada “wacana” bahwa itu adalah tanda-tanda kiamat. Hal ini karena planet Mars setelah itu tampak berjalan “mundur” – apa yang dalam astronomi kuno disebut “retrograde motion”. Beberapa kalangan awam (non astronom) menyangka, bahwa hal serupa bisa terjadi dengan matahari, sehingga suatu ketika matahari tampak terbit dari Barat – hal mana dalam suatu hadits Nabi dikatakan sebagai tanda-tanda kiamat.
Koreksi atas “Retrograde Motion”
Retrograde Motion bukanlah gerakan mundur suatu benda langit yang sesungguhnya. Namun hanya penampakannya dari permukaan bumi, yang disebabkan oleh model geosentris.
Ceritanya begini: manusia mengamati semua objek langit dari permukaan bumi (toposentris). Karena mereka tahu bumi itu mirip bola yang sangat besar, maka data koordinat toposentris itu lalu ditransformasi ke pusat bumi (geosentris). Model ini juga dipakai karena keyakinan saat itu bahwa bumi ini diam sedng menurut agama-agama yang ada saat itu (pra-Islam), manusia itu fokus ciptaan Tuhan, sehingga bumi harus jadi titik sentral alam semesta. Model geosentris ini disebut juga model Ptolomeus.
Dari model ini, dicobalah untuk melakukan prediksi ke depan. Misalnya, kalau suatu bintang hari ini tampak di posisi anu, maka setengah tahun lagi di posisi mana. Prediksi dengan model ini relatif akurat untuk alat-alat yang dipakai hingga saat itu – kecuali untuk planet.
Planet-planet luar (Mars, Jupiter dan Saturnus yang dikenal saat itu), pada saat-saat tertentu tampak bergerak mundur (disebut “retrograde motion”). Awalnya gerak mundur ini dicoba dijelaskan dengan suatu epicycle, yakni lingkaran bantu pada orbit tiap planet. Maksudnya, ada suatu titik yang mengorbit mengelilingi bumi (masih geosentris!), lalu planet-planet itu bergerak mengelilingi titik tersebut. Tapi makin lama, epicycle ini makin rumit, makin membingungkan dan makin tidak bisa diprediksi.
Sampai Copernicus muncul menyederhanakan model tadi dengan ide bahwa semua planet, termasuk bumi, harusnya mengelilingi matahari. Maka tiba-tiba seluruh fenomena retrograde motion tadi jadi bisa dijelaskan. Retrograde motion terjadi karena periode planet dalam mengelilingi matahari (atau disebut “revolusi”) tidak sama. Misalnya revolusi bumi 365.25 hari, sedang Mars 687 hari. Maka ada saat-saat di mana Mars tampai “di depan” bumi, kemudian tiba-tiba “di belakang” bumi. Ini mirip dengan arena balap sepeda, di mana yang di lingkaran dalam kecepatannya lebih tinggi dari di lingkaran luar. Itulah retrograde motion.
Rotasi Bumi dan Matahari Terbit
Yang membuat matahari terbit di timur adalah perputaran bumi pada porosnya (“rotasi”). Bumi berrotasi dari barat ke timur, sehingga Indonesia selalu melihat matahari lebih dulu daripada India. Arah barat-timur sebenarnya hanya arah relatif terhadap arah poros bumi. Ini dikenal dengan “hukum tangan kanan”: kalau ibu jari tangan kanan menghadap utara, maka arah keempat jari yang lain adalah arah rotasi. Arah poros bumi diorientasikan ke sejumlah bintang kutub utara. Bisa saja orbit bumi terganggu dan arah poros ini bergeser, seperti dibuktikan dari sejumlah penelitian bahwa di masa lalu poros bumi itu tidak seperti saat ini. Fenomena ini disebut perkelanaan kutub (polar wandering). Bahkan kita bisa berkhayal bahwa yang sekarang Utara itu bisa saja suatu saat Selatan. Namun selama arah rotasi bumi masih mengikuti hukum tangan kanan, maka daerah sebelah timur masih lebih dulu melihat matahari. Artinya, kemanapun poros bumi menghadap, selama rotasinya tetap, maka matahari tetap tampak terbit dari “timur”.
Perlambatan Rotasi Bumi
Dulu orang mendefinisikan satu hari sebagai satu kali bumi berputar pada porosnya. Sebagai acuan perputaran adalah objek astronomis yang dianggap tetap (bintang yang jauh). Inilah yang disebut jam astronomis. Sekali putaran perlu waktu 23 jam 56 menit 4 detik. Hanya karena bumi juga mengitari matahari, maka satu hari jadi 24 jam.
Sejak ditemukannya jam atom yang sangat stabil dan teliti, maka orang lalu bisa mengukur periode astronomi itu lebih akurat. Dan hasilnya orang menemukan bahwa jam astronomis itu tidak stabil. Kadang lebih cepat dan kadang lebih lambat. Orang lalu memisahkan antara gangguan sesaat (temporer) dari gangguan tetap yang berjangka panjang. Sebuah badan ilmiah dibentuk khusus untuk itu, yaitu International Earth Rotation Service yang berpusat di Observatorium Paris.
Efek temporer disebabkan objek-objek langit lain yang kebetulan sedang berdekatan. Ini dikenal dengan “multi-body-problems”. Sedang efek jangka panjang dipastikan akibat pasang surut, baik oleh bulan maupun matahari. Beberapa ilmuwan telah mengukur efek ini. Mereka menggunakan ribuan data astronomi. Yang paling mutakhir adalah dengan 15 tahun lunar-laser ranging, yakni pengukuran laser ke beberapa cermin reflektor yang dipasang di bulan oleh missi-missi ruang angkasa Amerika atau Russia. Dickey, Williams dan Newhall (1984) memberi angka 1,9 ms/cy. Artinya rotasi bumi melambat 1,9 per seribu detik dalam seabad! Angka yang amat kecil, namun efek kumulatifnya ke depan menarik untuk diselidiki lebih lanjut (Bretterbauer, 1989, p 98).
Para ahli menduga beberapa skenario.
Pertama, rotasi bumi akan melambat sedemikian rupa, sampai suatu ketika akan sama dengan revolusi bulan mengitari bumi. Pada kondisi ini, panjang hari akan menjadi sebulan qomariah. Sisi bumi yang menghadap bulan akan konstan, sedang sisi lainnya tidak akan pernah lagi melihat bulan. Pada saat seperti itu tentu perintah sholat dan puasa akan menjadi absurd. Kondisi ini diperkirakan terjadi minimal 261 abad lagi. Angka ini belum bisa dipastikan karena masih menunggu data yang lebih banyak lagi dari beberapa satelit pengamat dinamika matahari untuk mengetahui pengaruh pasang surut matahari. Ada beberapa ilmuwan yang memprediksi sampai beberapa milyar tahun.
Kedua, rotasi bumi akan terus melambat sampai akhirnya rotasi bumi sama dengan revolusi bumi mengitari matahari. Pada kondisi ini, panjang hari akan menjadi setahun syamsiah. Sisi bumi yang menghadap matahari akan konstan, selalu siang, dan akan panas sampai ratusan derajat Celcius, sedang sisi lainnya akan selalu malam dan membeku melebihi dinginnya kutub saat ini. Pada wilayah perbatasan akan selalu berhembus topan dengan kecepatan ribuan kilometer/jam. Bumi sudah tidak akan bisa lagi dihuni mahluk hidup. Kondisi ini diperkirakan terjadi minimal 954 abad lagi – walaupun banyak juga ilmuwan yang menduga setelah beberapa milyar tahun.
Namun jelas, kedua efek ini tidak akan membuat arah rotasi bumi menjadi berbalik, sehingga matahari tampak terbit dari barat. Rotasi bumi tidak pernah benar-benar akan berhenti lalu berbalik arah. Dia hanya akan setimbang, dan titik setimbangnya pada asumsi pertama adalah saat rotasi bumi sama dengan revolusi bulan; sedang pada asumsi kedua saat rotasi bumi sama dengan revolusinya mengitari matahari.
Namun sekali lagi, masih banyak yang kita belum tahu. Bisa jadi, jika didapatkan bahwa rotasi matahari berlawanan arah dengan revolusi bumi mengitarinya, efek rotasi bumi terbalik itu masih bisa terjadi. Namun yang jelas, ketika kondisi itu ada, bumi sudah tidak layak lagi dihuni manusia.
Jadi bila dikatakan ketika kiamat terjadi matahari terbit dari barat, ya bisa saja, namun saat itu mungkin sudah tidak ada manusia menyaksikannya, kecuali bila mereka sudah menciptakan teknologi canggih yang mengantisipasi ekologi bumi yang sudah tidak ramah pada kehidupan.
Bencana Kosmik
Yang lebih mungkin dalam mengganggu rotasi bumi sehingga berbalik dan matahari tampak terbit dari barat adalah bila hadir suatu objek langit yang bermassa sangat besar (lebih besar dari bulan!) dengan lintasan sangat dekat dengan bumi. Saat ini objek “liar” yang ada seperti komet atau asteroid tidak ada yang sebesar itu. Kalaupun ada komet sebesar Schomaker-Levy yang menghantam Jupiter tahun 1996 lalu, atau seperti dalam film Armagedon ada asteroid khayal sebesar negara bagian Texas menghantam bumi, maka yang timbul hanya bencana ekologis yang dahsyat, namun belum akan merubah arah rotasi bumi.
Namun lain persoalannya bila hadir suatu objek yang disebut “black-hole”. Objek ini bermassa paling kecil seperseribu matahari atau 333 kali bumi, namun besarnya hanya beberapa kilometer saja. Karena sangat padat, maka medan gravitasinya sangat tinggi, semua materi di dekatnya akan terhisap, sampai-sampai cahayapun tidak bisa lepas darinya. Akibatnya, blackhole tidak akan kelihatan! Dia hanya akan terdeteksi bila cahaya bintang di belakangnya tiba-tiba seperti hilang “tertelan” sesuatu yang gelap.
Kalau blackhole mendekati bumi, maka akan terjadi bencana kosmik maha dahsyat. Bulan yang massanya 1/81 bumi akan keluar dari orbitnya – mungkin termakan oleh blackhole. Bumipun akan berguncang sangat dahsyat, gunung-gunung akan berhamburan. Mungkin saja rotasi bumi jadi berbalik dan matahari tampak muncul dari barat. Tapi semua sudah telat. Itulah kiamat. Tidak ada lagi saat untuk bertobat.
Tahukah kamu apakah hari Kiamat itu.
Pada hari itu manusia seperti anai-anai yang bertebaran, dan gunung-gunung seperti bulu yang dihambur-hamburkan. (Qs. 101:3-5)